Klasifikasi Pekerja pada Bidang Pertanian

Memang banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pekarangan mempunyai peranan yang penting bagi orang desa Soemarwoto, 1997: 289-290. Antara pekarangan dan sawah terdapat hubungan yang dinamis. Pada waktu musim panen padi, pemungutan hasil dari pekarangan menurun. Makin jauh jarak waktu dari masa panen padi, makin meningkat pemungutan hasil dari pekarangan. Proporsi hasil pekarangan yang dikonsumsi menurun dan yang dijual bertambah. Gambar 3 PEKARANGAN RUMAH WARGA CIKERUH JATINANGOR Sumber: Dokumentasi Penelitian, 24 Juli 2012 Berbeda dengan sawah, ladang, dan kebun, pemungutan hasil di pekarangan tidak sekaligus, tetapi dilakukan sedikit demi sedikit menurut keperluan. Buah banyak juga yang mempunyai musim. Karena di pekarangan terdapat banyak jenis buah, musim buah bergantian. Dengan demikian, sepanjang tahun ada saja yang dapat dipetik. Ini merupakan sifat penting pekarangan, terutama bagi pemiliknya yang kebetulan tidak mempunyai pekerjaan tetap.

3.2.5 Klasifikasi Pekerja pada Bidang Pertanian

Dalam sektor pertanian muncul beberapa istilah mata pencaharian, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Petani pemilik. Yang dimaksud dengan petani pemilik adalah petani yang menggarap lahan miliknya sendiri. Hasil yang didapatkan dari lahan mereka digunakan untuk keperluan sendiri atau diberikan kepada anak mereka dan sebagian kecil bisa untuk dijual. 2. Petani penggarap. Petani penggarap adalah petani yang tidak memiliki lahan sendiri, tetapi mengerjakan lahan milik orang lain Sunarti, 1990. Dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah panyawah atau pangebon. Petani ini kebanyakan menggarap sawahnya yang dulu menjadi miliknya atau milik orang tuanya, tetapi sekarang telah menjadi milik orang lain, yang mereka sebut sebagai juragan atau “orang kota”. Alasan mereka menjual lahannya karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak atau ada juga yang disebabkan oleh adanya keinginan lain seperti menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Motivasi mereka hanya ingin memiliki predikat haji. Mengenai sistem yang digunakan adalah sistem sewa, maronengah, atau merpuluh. Adapun yang dimaksud sewa di sini adalah menyewa tanah untuk satu kali panen dengan jumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika waktu sewa telah habis, bisa diperpanjang atau ditawarkan kepada orang lain. Maro atau nengah adalah sistem bagi hasil setiap kali panenan. Satu banding satu, artinya sebagian untuk pemilik sawah dan sebagian untuk penggarap dengan ongkos produksi diserahkan sepenuhnya kepada si penggarap. Jika terjadi kegagalan panen, kerugian ongkos produksi ditanggung oleh penggarap, pemilik sawah tidak tahu menahu karena sistem bagi hasil memang begitu adanya. Merpuluh, merupakan sistem bagi hasil dengan perhitungan 6:4. Enam bagian hasil untuk pemilik dan empat bagian lagi untuk penggarap. Beban produksi dibebankan pada pemilik lahan sedangkan penggarap hanya melaksanakan tugasnya menggarap dan merawat sampai panen. 3. Buruh tani. Yang dimaksud dengan buruh tani adalah orang yang tidak memiliki lahan dan juga tidak menyewa lahan, tetapi bekerja di sektor pertanian sebagai buruh tanam dan buruh menuai, dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah pangderep. Hasil yang mereka dapatkan adalah dengan upah atau bagi hasil satu banding empat 1:4. Jika pangderep mendapat lima takar, maka ia mendapat satu takar, sedangkan yang empat takar untuk pemilik sawah. Untuk lahan huma atau ladang, hitungan padi memakai sistem ikat atau pocong; dikenal dengan istilah gacong.

3.3 Peternakan