Tukang Jahit Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga

Sumber: Dokumentasi Penelitian, 04 Juli 2012

3.8.3 Tukang Jahit

Profesi tukang jahit mulai dikenal di Indonesia seiring dengan masuknya mesin jahit modern buatan Eropa pada masa kolonial Belanda 1920. Karena jarak antara kota-kota di Jawa Barat dan Batavia relatif dekat, dengan sendirinya keterampilan menggunakan mesin jahit modern yang pertama kali diperkenalkan oleh orang Belanda kepada orang pribumi di Batavia itu juga cepat diketahui dan dikuasai oleh masyarakat Sunda. Maka, sejak itulah orang Sunda di Jawa Barat mengenal profesi tukang jahit. Setelah zaman Republik, profesi tukang jahit memang sempat begitu lama berjaya. Pakaian memang perlengkapan hidup yang amat vital bagi manusia, terlebih bagi masyarakat yang sedang berkembang menuju modern seperti Indonesia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika pada waktu itu keterampilan membuat pakaian sangat dibutuhkan baik di kota maupun di desa. Namun, seiring dengan semakin gencarnya industrialisasi di negara ini, termasuk industrialisasi di bidang tekstil dan garmen, perlahan tetapi pasti, profesi tukang jahit-tangan manual semakin memudar pamornya. Pendirian pabrik-pabrik pakaian jadi dengan target volume produksi yang besar menuntut penggantian kerja tangan manusia dengan mesin yang dapat bergerak lebih cepat dan massif. Hal itu kian diperparah pula oleh kebijakan pemerintah dalam hal impor pakaian jadi dari negara lain seperti Jepang, Cina, dan Korea yang harganya sangat murah. Namun, di tengah derasnya terjangan pakaian jadi produk asing yang memang lebih kompetitif baik dalam kualitas maupun harga ini masih saja ada yang terus bertahan dengan profesi menjahit. Salah satunya adalah Lia. Menurut Lia, profesi menjahit pada keluarganya merupakan profesi turun-temurun. Lia mendapatkan keterampilan menjahit dari suaminya, sedangkan suaminya mendapatkan keterampilan tersebut dari uyut-nya. Alasan Lia mempelajari keterampilan ini karena ingin membantu pekerjaan suaminya. Gambar 30 TUKANG JAHIT DI CARINGIN - JATINANGOR Sumber: Dokumentasi Penelitian, 25 Juli 2012 Proses berlatih menjahitnya berawal dari kebiasaan melihat suaminya bekerja. Dari situ ia tergerak untuk mulai belatih menggerakkan mesin jahit dengan kakinya. Setelah itu ia berlatih agar mesin jahitnya bisa tetap bergerak ke satu arah ke depan. Tahap selanjutnya adalah berlatih menjahit pada sisa kain sampai jahitannya bisa lurus. Setelah merasa cukup terampil, ia pun sedikit-sedikit mulai membantu pekerjaan suaminya menjahit. Dalam hal keterampilan membuat pola, Lia baru melalukannya setelah merasa benar-benar mahir menjahit. Ongkos jahit tiap model pakaian berbeda. Jika modelnya hanya kemeja atau rok biasa, ongkosnya Rp40.000,00. Namun, jika model pakaian yang dijahitnya banyak variasi, ongkosnya bisa sampai Rp60.000 – Rp100.000,00. Jika dirata-rata, penghasilan menjahit Lia kira-kira Rp100.000,00 per hari. Penghasilan itu kotor karena sebagian disisihkan untuk membayar biaya sewa tempat, listrik, dan ongkos transportasi. Kebetulan rumah tinggal Lia yang terletak di dekat Pasar Induk Caringin, Bandung, terbilang jauh jaraknya dari tempat ia menjalankan profesinya, yaitu di Jalan Caringin, kawasan Jatinangor, Sumedang. Lia dan suaminya termasuk beruntung karena masih sering didatangi pelanggan setianya, dan karena itu pula ia masih bisa mempertahankan nafkah keluarganya. Berlawanan dengan nasibnya, banyak tukang jahit yang terpaksa berhenti dari pekerjaannya karena ditinggalkan para pelanggannya yang kini lebih suka membeli pakaian jadi dari toko atau toserba. Selain karena bermerek terkenal, pakaian yang mereka beli pun mereka anggap jauh lebih bagus baik model maupun kualitas jahitannya.

3.8.4 Pembantu Rumah Tangga