57
Bagian Keempat
TARIKH
Standar Kopetensi : Santri mampu mentauladani perjuangan dan karakter sahabat Nabi Muhammad
Saw dan serta mentauladani perjuangan dan karakter tokoh Islam Minangkabau
Kemampuan Dasar
1. Mentauladani perjuangan dan karakter sahabat Nabi Muhammad Saw.
2. Mentauladani perjuangan dan karakter Tokoh Islam dari Minangkabau
Haji Agus Salim Indikator Capaian
1. M em aham i ringkasan perjuangan Zaid bin Tsabit
2. M enyim pulkan lim a prilaku baik Zaid Bin Tsabit
3. M em berikan cont oh prilaku yang pat ut dit auladani dari Zaid Bin Tsabit
4. M em aham i ringkasan perjuangan Ibnu M as’ud
5. M enyim pulkan lim a prilaku baik Ibnu M as’ud
6. M em berikan cont oh prilaku yang pat ut dit auladani dari Ibnu M as’ud
7. M em aham i biografi Agus salim
8. M ent auladani Karakt er Agus Salim
9. Melakukan atau mencontohkan perbuatan yang mencontoh prilaku
Agus salim
58
ZAID BIN TSABIT Pengumpul Al-Qur’an
“Seandainya Zaid harus memikul satu atau beberapa gunung di atas pundaknya, itu pasti
lebih ia sukai daripada bila ia melakukan satu kesalahan-meskipun
sangat kecil-dalam
menuliskan ayat atau menyusunnya menjadi satu surat. Semua kengerian terbayang dalam hati dan
tanggung jawab agamanya bila seandainya ia melakukan kesalahan seperti itu, bagaimanapun
juga kecilnya atau tanpa disengaja olehny”.
Bila Anda membawa Al-Qur’an dengan tangan kanan dan menghadapkan wajah kepada-Nya dengan sepenuh hati, lalu Anda menelusuri lembaran demi
lembaran, surat demi surat atau ayat demi ayat, ketahuilah bahwa di antara orang yang telah berjasa besar terhadap Anda, hingga Anda dapat bersyukur dan
mengenal karya besar terhadap Anda, hingga anda dapat bersyukur dan mengenal karya besar ini, ialah seorang manusia utama yang bernama Zaid bin Tsabit.
Semua peristiwa tentang pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf akan selalu menyebut seorang sahabat yang mulia ini.
Seandainya diadakan penaburan bunga sebagai penghormatan dan kenang-kenangan terhadap mereka yang mendapat berkat karena telah
mempersembahkan jasa yang tidak ternilai dalam menghimpun, menyusun, menertibkan dan memelihara kesucian Al-Qur’an, hak Zid bin Tsabit untuk
menerima bunga-bunga penghormatan dan penghargaan itu tentu sangat besar. Ia adalah seorang Anshar yang berasal dari Madinah. Ketika Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Anak kecil ini ikut masuk Islam bersama-sama keluarganya yang lain yang juga memeluk Islam. Ia mendapat
berkah karena didoakan oleh Rasulullah SAW. Orang tuanya membawa dirinya untuk ikut bersama-sama dalam perang Badar, namun Rasulullah SAW tidak
membolehkan dirinya untuk ikut karena umur dan tubuhnya yang masih kecil. Pada perang Uhud ia bersama teman-teman sebayanya menghadap lagi
kepada Rasul SAW dan memohon aga dapat diterima dalam barisan Mujahidin,
59
bahkan para keluarga anak-anak ini pun mendukung sepenuhnya permintaan mereka sangat berharap dikabulkan. Rasul SAW mengamati pasukan berkuda cilik
itu dengan pandangan yang penuh dengan rasa syukur. Rasulullah sepertinya masih keberatan untuk merekrut mereka dalam
perang kali ini. Namun, salah seorang di antara mereka yang bernama Rafi’ bin Khudaij tampil di hadapan Rasulullah SAW dengan membawa tombaknya, lalu
memainkannya dengan gerakan yang lihai dan menkjubkan. Ia lalu berkata kepada Rasululah SAW, “Sebagaimana engkau lihat, aku adalah seorang pelempar
tombak yang mahir, karena itu izinkanlah aku untuk ikut.” Rasul SAW mengucapkan selamat terhadap pahlawan muda yang sedang
dalam masa pertumbuhan ini sambil memandanginya disertai senyuman puas, lalu mengizinkannya untuk ikut berperang.
Melihat itu, pembuluh darah rekan-rekannya pun mendidih. Anak remaja kedua yang bernama Samurah bin Jundub tampil kedepan dan dengan penuh
kesopanan ia memperlihatkan kedua lengannya yang kuat dan kekar. Beberapa orang dari keluarganya mengatakan kepada Rasul SAW, “Samurah mampu
merobohkan orang berbadan tinggi sekalipun.” Rasul SAW menyambutnya dengan senyuman yang penuh kasih sayang
dan mengizinkannya ikut berperang. Kedua remaja ini memang telah berumur lima belas tahun, di samping pertumbuhan badan juga kuat.
Masih tersisa enam remaja lain selain mereka berdua, di antaranya Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka terus saja berusaha dengan segala
upaya agar diizinkan ikut berperang, ada yang mengungkapkannya dengan memohon-mohon dengan penuh harapan, ada yang sampai menangis, dan ada
juga yang menunjukkan otot-otot lengan mereka. Tetapi, karena usia mereka yang masih terlalu muda dan tulang tubuh mereka yang masih lemah, Rasul SAW
menjanjikan mereka untuk ikut di pertempuran mendatang. Dalam riwayat lain dijelaskan, di usianya yang masih 13 tahun, Zaid bin
Tsabit menghadap Rasulullah SAW dengan membawa sebilah pedang yang panjangnya melebihi panjang badannya lalu berkata: “Wahai Rasulullah, Saya
bersedia mati untuk Anda, Izinkanlah aku berjihad bersamamu, memerangi
60
musuh-musuh Allah.” Namun Rasulullah tidak mengizinkannya untuk berperang karena usianya
yang masih sangat muda. Zaid pun kembali, dengan rasa iba karena keinginannya ditolak nabi. Namun, cita-cita itu tidak padam, apalagi mendapat dukungan dari
ibu dan paman-pamannya. Meski tidak bisa berkontribusi dalam peperangan, maka Zaid ditempa dan
dibina untuk mendalami ilmu agama sehingga pamannya pun menghadap Nabi SAW dan berkata: Wahai Rasulullah Ini anak kami. Dia hafal tujuh belas surat
dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya fasih, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepadamu. Dia juga pandai baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya
lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingimu selalu. Jika engkau menghendaki, silakan
mendengarkan bacaannya. Setelah menyaksikan kemampuanya, Rasulullah menyuruh remaja itu
untuk mempelajari bahasa Ibrani, Suryani dan bahasa lainnya. Dalam waktu singkat ia kuasai lalu Zaid diangkat sebagai sekretaris Rasulullah ketika
berinteraksi dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang berbahasa Suryani. Zaidlah yang kemudian membacakan surat mereka kepada Rasul dan menuliskan
surat Rasulullah untuk mereka. Zaid bin Tsabit kemudian dipercaya sebagai orang yang menuliskan
wahyu yang diterima oleh Rasulullah SAW. Penulisan wahyu itu dilakukan secara teliti dan diawasi oleh Nabi.
Zaid sendiri bersama rekan-rekannya memulai peran mereka sebagai mujahid di jalan Allah dalam Perang Khandaq, pada tahun V hijrah.
Kepribadiannya sebagai seorang Muslim yang beriman terus tumbuh dengan cepat dan menakjubkan. Ia bukan hanya terampil sebagai pejuang,
melainkan juga sebagai tokoh intelektual yang memiliki beragam keunggulan. Ia tidak henti-hentinya menghafal Al-Qur’an, menuliskan wahyu untuk Rasulnya,
serta unggul dalam ilmu dan hikmah. Ketika Rasul SAW mulai menyampaikan dakwahnya ke seluruh negeri di
luar Madinah, dan mengirimkan surat kepada para raja dan kaisar dunia, beliau
61
mengutus Zaid mempelajari beberapa bahasa asing, dan ia pun berhasil menguasainya dalam waktu yang singkat.
Demikianlah kepribadian Zaid bin Tsabit menjadi cemerlang dan mendapat tempat yang mulia di tengah-tengah masyarakat Muslim. Ia menjadi
orang yang dihormati dan dihargai oleh kaum muslimin. Asy-Sya’bi mengatakan, “Zaid hendak pergi dengan berkendara, namun Ibnu Abbas memegangkan tali
kendali tunggangannya. Zaid berkata kepadanya, “Tidak perlu begitu, wahai putra paman Rasulullah,” Ibnu Abbas langsung menyahut, “Tidak, beginilah seharusnya
yang kami lakukan terhadap ulama kami.” Qabishah mengatakan, “Zaid di Madinah mengendalikan kepemimpinan
dalam bidang peradilan, fatwa, qira’ah dan faraidh pembagian harta warisan.” Tsabit bin Ubaid mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang
lebih humoris di rumahnya dan sosok yang lebih disegani di majelisnya selain Zaid.”
Ibnu Abbas menuturkan, “Tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat Muhammad SAW mengakui bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang dalam
ilmunya.” Semua sifat tentang dirinya yg sering diungkapkan oleh para sahabatnya
itu benar-benar menambah pengetahuan kita terhadap tokoh yang oleh takdir telah disediakan baginya tugas terpenting di antara semua tugas dalam sejarah islam,
yaitu tugas menghimpun Al-Qur’an. Sejak wahyu mulai diturunkan kepada Rasulullah SAW agar beliau
termasuk orang-orang yang menyampaikan peringatan, di mana proses Al-Qur’an dan dakwah selanjutnya itu diawali dengan ayat yang menakjubkan berikut ini:
Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah
Yang Maha Mulia, yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Al-“Alaq: 1-5
Sejak permulaan itu, wahyu turun menyertai Rasulullah SAW setiap beliau berpaling menghadapkan wajahnya ke hadirat Allah, sambil mengharapkan
cahaya dan petunjuk-Nya. Wahyu itu diturunkan selama jangka waktu kerasulan,
62
di mana sepanjang waktu itu beliau sibuk dengan suatu peperangan, dan berganti dengan peperangan yang lain. Beliau selama waktu itu mampu mengalahkan tipu
daya dan permusuhan, yang terus datang silih berganti. Salama waktu itu beliau membangun dunia baru. Dunia baru dengan
segala makna baru yang ada. Selama itu wahyu terus turun dan Rasul membacakan da menyampaikannya. Dan di sana ada satu kelompok yang
diberkahi yang mencurahkan segala perhatian terhadap Al-Qur’an yang diberkahi yang mencurahkan segala perhatian terhadap Al-Qur’an sejak hari-hari pertama.
Sebagian tampil menghafalkannya semampunya dan sebagian yang lain mempunyai keterampilan menulis, sehingga mereka menjaga ayat-ayat tersebut
dengan tulisan-tulisan mereka. Dalam jangka waktu sekitar 21 tahun, Al-Qur’an turun ayat demi ayat,
atau beberapa ayat disusul oleh beberapa ayat, sesuai dengan tuntutan keadaan dan sebab-sebabnya. Mereka yang ahli menghafal dan menuliskannya itu
mendapat taufik yang besar dari Allah Ta’ala dalam melaksanakan tugas mereka. Al-Qur’an tiak turun dalam satu waktu atau secara keseluruhan sekaligus,
karena ia bukanlah kitab yang dikarang atau artikel yang disusun. Al-Qur’an merupakan dalil dan pedoman bagi umat baru yang dibangun secara alami, satu
bata demi satu bata, hari demi hari, hingga akidah, perasaan, pikiran dan kemauannya terbentuk sesuai kehendak Illahi. Ia tidak memaksakan secara
membabi buta, tetapi menuntun umat ini sesuai dengan pengalaman atau tabiat manusiawi untuk menempuh jalan ketaatan yang sempurna menuruti kehendak
tersebut. Karena itu, Al-Qur’an datang secara berangsur-angsur sesuai dengan keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang, situasi yang
selalu berubah dan krisis yang muncul. Seperti telah kami sebutkan sebelumnya, banyak penghafal dan penulis
menjaga Al-Qur’an. Di antara pemimpin dalam urusan ini ialah Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan seseorang
yang mempunyai kepribadian yang mulia yang sedang kita bicarakan sekarang ini, yaitu Zaid bin Tsabit. Semoga Allah ridha kepada mereka semua.
Setelah wahyu turun secara sempurna dan pada masa-masa akhir dari
63
turunnya wahyu tersebut, Rasul SAW membacakannya kepada kaum muslimin secara tertib menurut urutan surat dan ayat-ayatnya. Setelah beliau wafat, kaum
muslimin segera disibukkan oleh peperangan menghadapi kaum yang murtad. Dalam pertempuran Yamamah yang telah kita bicarakan sebelumnya, tepatnya
saat kita membicarakan Khalid bin Al-Walid dan Zaid bin Al-Khatthab, banyak ahli baca dan ahli hafal Al-Qur’an yang gugur syahid.
Meski api kemurtadan masih membara, Umar bergegas menghadap Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan dengan gigih memohon kepadanya agar
segera mengumpulkan Al-Qur’an sebelum sisa qari’ dan huffazh itu gugur semua sebagai syuhada. Khalifah akhrinya meminta petunjuk kepada Rabbnya dengan
shalat istikharah, lalu berunding dengan para sahabatnya. Kemudia ia memanggil Zaid bin Tsabit. Ia berkata kepadanya, “Kamu adalah seorang anak muda yang
cerdas, kami tidak meragukan dirimu.” Abu Bakar lalu memintanya agar segera memulai pengumpulan Al-Qur’an yang mulia dengan meminta bantuan para ahli
yang berpengalaman dalam bidang ini. Zaid bangkit untuk menunaikan tugas di mana masa depan islam sebagai
agama bertolak dari tugas tersebut. Zaid mendapatkan ujian yang sangat besar dalam rangka menyukseskan tugas yang terberat dan terbesar itu. Ia mengatakan
segala cara untuk mengumpulkan ayat-ayat dan surat demi surat dari hafalan para huffazh dan dari tulisan. Dengan menimbang, membandingkan dan memeriksa
satu dengan lainnya, akhirnya ia dapat menghimpun Al-Qur’an yang tersusun dan teratur rapi.
Amalnya ini dinilai bersih oleh aklamasi atau kesepakatan para sahabat. Semoga Allah meridhai mereka yang hidup semasa dengan Rasul selalu
mendengarkan Al-Qur’an itu dari beliau selama tahun-tahun kerasulan, terutama kalangan ulama, para penghafal dan penulis di antara mereka.
Zaid melukiskan kesukaran besar yang harus dihadapi karena kesucian dan kemuliaan tugas tersebut, “Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk
memindahkan gunung dari tempatnya, itu tentu lebih mudah kurasa bagiku dari pada perintah mereka menghimpun Al-Qur’an.
Memang benar, seandainya Zaid harus memikul satu atau beberapa
64
gunung di atas pundaknya, itu pasti lebih ia sukai daripada bila ia melakukan satu kesalahan-meskipun sangat kecil-dalam menuliskan ayat atau menyusunnya
menjadi satu surat. Semua kengerian terbayang dalam hati dan tanggung jawab agamanya bila seandainya ia melakukan kesalahan seperti itu, bagaimanapun juga
kecilnya atau tanpa disengaja olehnya. Tetapi, taufik Allah mendampinginya, dan selain itu janji-Nya pun bersamanya, dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr Al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya. Al-Hijr: 9
Zaid sukses melaksanakan tugas penting itu, dan telah menyelesaikan kewajiban dan tanggungjawab sebaik-baiknya. Ini merupakan tahap pertama
pengumpulan Al-Qur’an. Namun, penghimpunan kali ini masih tertulis dalam banyak mushaf. Meskipun perbedaan tanda baca memang terjadi antara satu
mushaf dan mushaf lainnya, pengalaman menyakinkan para sahabat Rasul SAW mengharuskan penyatuan semua itu dalam satu mushaf saja.
Pada masa khalifah Utsman, kaum muslimin terus-menerus melanjutkan perjuangannya dalam membebaskan manusia dari penindasan penguasa di
negeri-negeri lain, meninggalkan Madinah dan merantau ke pelosok-pelosok yang jauh. Saat setiap harinya orang berbondong-bondong masuk Islam dan berjanji
setia kepadanya. Ketika itulah tampak jelas hal-hal yang berbahaya yang diakibatkan oleh perbedaan beberapa mushaf, yakni timbulnya perbedaan bacaan
terhadap Al-Qur’an, sampai-sampai di kalangan para sahabat generasi awal dan angkatan pertama. Oleh karena itu, segolongan sahabat yang dikepalai oleh
Hudzaifah bin Al-Yaman tampil menghadap Utsman, dan menjelaskan keperluan yang mendesak untuk menyatukan mushaf.
Khalifah akhirnya melakukan shalat istikharah kepada Rabbnya, lalu berunding dengan sahabat-sahabatnya. Sebagaimana Abu Bakar dulu meminta
dengan Zaid bin Tsabit, sekarang Utsman pun meminta bantuan tenaganya. Maka Zaid mengumpulkan para sahabat dan orang yang dapat membantunya. Mereka
mengambil beberapa mushaf dari rumah Hafshah binti Umar yang selama ini dipelihara dengan baik di sana. Mulailah Zaid dan para sahabatnya melaksanakan
65
tugas tersebut. Semua pihak yang membantu Zaid adalah penulis-penulis wahyu dan
penghafal Al-Qur’an. Namun, nila terdapat perbedaan dan ternyata sedikit sekali terdapat perbedaan itu, mereka selalu berpegang kepada petunjuk Zaid, dan
menjadikan sebagai alasan kuat dan keputusan akhir. Sekarang, kita dapat membaca Al-Qur’an yang mulia tersebut dengan
mudah atau mendengarnya dari bacaan orang dengan merdu. Namun, sayang, hampir bisa dipastikan tidak pernah terbayang dalam pikiran kita tentang
kesukaran-kesukaran hebat yang dialami oleh orang-orang yang telah ditentukan Allah untuk menghimpun dan melihatnya.
Sejatinya, tidak ada bedanya kesukaran yang harus dialami oleh para pengumpul Al-qur’an itu dengan dan nyawa-nyawa yang harus dikorbankan
oleh mereka yang berjihad di jalan Allah. Keduanya adalah untuk mengukuhkan berdirinya agama yang benar di muka bumi ini dan melenyapkan kegelapan
dengan cahayanya yang berdering.
66
HAJI AGUS SALIM
The Grand Oldman, Seorang Diplomat Ulung
A. Riwayat Hidup