66
HAJI AGUS SALIM
The Grand Oldman, Seorang Diplomat Ulung
A. Riwayat Hidup
Haji Agus Salim dijuluki “The Grand Oldman” artinya “Orang Tua Besar”,
karena kecendiakawanan
dan kehebatannya
berorasi dan
berdiplomasi. Ia menguasai dan fasih berbicara dalam sembilan bahasa. Selain bahasa Minang, Melayu, dan bahasa Belanda. Agus Salim juga
menguasai bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan bahas Jepang. Dalam hal ini, tak ada yang bisa manandinginya.
Nama aslinya adalah Mashudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran”.Ia lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, dekat
Bukittinggi, keturunan dari keluarga yang terpelajar, anak pasangan Muhammad Salim Ayah dan Siti Zainab Ibu. Ayahnya pernah menjabat
sebagai Jaksa Kepala di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.Agus Salim merupakan putra kelima dari 15 bersaudara.
B. Pendidikan Haji Agus Salim
Pendidikan dasar Haji Agus Salim dimulaidari sekolah Belanda yang dikhususkan untuk anak-anak keturunan Eropa, Europeesche Lageree School
ELS. Pada masa itu, belajar di sekolah Belanda merupakan keistimewaan tersendiri karena yang boleh bersekolah di sana hanya anak-anak keturunan
Eropa, sedangkan anak pribumi hanya dari kalangan bangsawan dan anak pegawai tinggi saja.
Setelah menamatkan di ELS pada tahun 1898, ia melanjutkan studinya ke Hoegere Burger School HBS, sebuah sekolah setingkat SMP di Batavia
Jakarta. Selam di HBS ia mondok di rumah keluarga milik Belanda, yaitu orang tua dari Prof T.H.Kock. Dirumah ini ia diasuh oleh seorang pembantu
perempuan asal jawa. Pada waktu itu, menurut kebiasaanadat jawa, pembantu perempuan biasanya memanggil anak lelaki tuannya dengan sebutan “Gus”.
Mashudul Haq juga dipanggil dengan sebutan ini.Ia lalu menambah huruf
67
“A” di depannya, menjadi Agus, yang kemudian ditambah nama Ayahnya: Salim, sehingga menjadi Agus Salim. Sejak itu panggilan nama Agus Salim
lebih popular dibandingkan nama aslinya sendiri. Agus Salim menempuh studi di HBS hanya selama lima tahun dari
seharusnya enam tahun. Ia pun meraih predikat lulusan terbaik HBS se-Kawasan Hindia Belanda. Bermodalkan prestasi tersebut, pada tahun 1903,
ia mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintahan Hindia Belanda untuk melanjutkan studi ilmu kedokteran di negeri Belanda. Namun
permohonan itu ditolak. Raden Ajeng Kartini, anak Bupati Jepara yang kelak juga menjadi pahlawan nasional, merekomendasikan Agus Salim agar
menggantikan dirinya yang telah menikah untuk pergi ke Belanda. Kartini menulis surat kepada J.H Abendanon, tertanggal 24 Juli 1903. Pemerintahan
Hindia Belanda menyetujui permintaan Kartini tersebut, namun Agus Salim justru menolaknya dengan alasan bahwa bukan atas dasar kemampuan dirinya
sendiri melainkan sebagai ‘pemberian’ orang lain. Setelah mencoba bekerja di berbagai tempat, pada tahun 1906, Agus
Salim mendapat tawaran kerja sebagai dragoman ahli penerjemah Arab Saudi. Awalnya enggan menerima tawaran itu, tetapi atas saran ibunya, ia
akhirnya bersedia berangkat ke Arab Saudi dan bekerja di sana antara tahun1906 hingga 1911.
Selain bekerja, Agus Salim juga memanfaatkan tinggal di Saudi untuk menambah ilmu dan meluaskan wawasannya. Ia sempat belajar agama dan
Bahasa Arab kepada ulama-ulama asal Indonesia yang bermukim disana. Diantaranya kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Imam Masjidil
Haram yang adalah saudara sepupunya sendiri. Ayah Agus Salim, Muhammad Salim, adalah adik dari Abdul Latif Khatib Nagari, Ayahanda
Ahmad Khatib. Lima tahun lamanya ia bekerja di Jeddah, setiap tahun ia menunaikan
ibadah haji. Pada tahun 1911 Haji Agus Salim pulang ke Indonesia, membawa pengetahuan dan pengalaman yang luas, terutama mengenai
pengetahuan agama dan Bahasa Arab. Sepulangnya ke tanah air, ia bekerja
68
pada kantor BWO di Jakarta. Setahunkemudian ia berhenti dan pulang ke kampung halamannya, Koto Gadang. Di sini ia mendirikan sekolah
Hollandsch Indlancsche School HIS pada tahun 1912 dan mengasuhnya hingga tahun 1915.
Pada tahun1912 Agus Salim mempersunting Zaniatun Nahar, gadis sekampungnya. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh delapan anak, yaitu
Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiayang, Ahmad Syauket, Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansyur Abdurrahman Siddik. Agus
Salim tidak
menyekolahkan anak-anaknya,
melainkan dididiknya
sendiri.Tujuannya agar anak-anaknya bersifat kritis dan korektif, serta tidak mudah dipengaruhi oleh pikiran dan kebudayaan kaum penjajah.
Tahun 1915 Agus Salim berangkat lagi ke Jawa dan bekerja pada Translateur Bureau di kantorTranslateur Indonesische Drukkery hingga dua
tahun berikutnya. Setelah ia ditunjuk memimpin surat kabar Neratja, organ Serikat Islam SI yang didirikan HOS Tjokroaminoto. Ia juga menjadi ketua
redaksi untuk seksi bahasa melayu pada kantor Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian menjadi Balai Pustaka.
C. Agus Salim terjun ke Dunia politik