infeksi atau bahaya pendarahan. Pengangkatan limpa baru boleh dilakukan sesudah anak berumur lima tahun, karena sebelum usia lima tahun, resiko
terjadinya infeksi yang berat cukup besar. Sesudah pengangkatan limpa, kebutuhan tranfusi darah biasanya berkurang sekitar 50 persen.
d. Cangkok sumsum tulang Cangkok sumsum tulang ini dilakukan dengan mengganti jaringan
sumsum tulang penderita dengan sumsum tulang donor. Dr. Indra B. Hutagalung Sp A., mengungkapkan bahwa di negara-negara maju, para
ahli melakukan cangkok sumsum tulang bagi penderita Thalassaemia. Biasanya sumsum tulang donor yang cocok diambil dari orangtua, saudara
kembar atau saudara kandung penderita. Di Indonesia, tindakan ini masih dalam taraf permulaan. Pencangkokan ini sebaiknya dilakukan sedini
mungkin, yakni pada saat anak belum banyak mendapat tranfusi darah, hal ini untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penolakan terhadap
jaringan sumsum tulang donor. Biaya cangkok sumsum tulang di Singapora bisa mencapai 1 miliar rupiah Chairunisya, 2007.
3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor
a. Masalah fisik Kondisi penyakit thalassaemia sebagai sebuah penyakit yang
diderita sejak umur kurang dari 1 tahun dan berlangsung seumur hidup membuat para penderita thalassaemia mayor mengalami berbagai
masalah. Salah satu masalah yang harus dihadapi berkaitan dengan
keadaan fisik mereka. Pada umumnya, penderita thalassaemia mayor terlihat pucat dan kelelahan serta tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan pekerjaan yang berat. Kondisi ini menyebabkan penderita thalassaemia mayor
tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik yang berlebihan Vullo, et al., 1995. Penderita juga mengalami gangguan
tumbuh kembang dengan perawakan tubuh yang pendek, sedangkan anak yang mendapatkan tranfusi darah secara teratur pertumbuhannya normal
dengan daya tahan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah sakit Gandi, 2007.
Tranfusi darah yang diperlukan seumur hidup menyebabkan kelebihan zat besi pada para penderitanya. Selain itu, para penderita yang
sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh. Penumpukan zat besi terjadi pada organ-organ
tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit Vullo, et al., 1995; Pramita, 2008. Ketika banyak zat besi disimpan dalam
jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan disana, jantung menjadi tidak
mampu memompa darah disekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Oleh karena itu, pasien yang ditranfusi dengan
baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya meninggal pada umur dua puluhan Vullo, et al., 1995.
Selain itu, penumpukan zat besi di kulit juga dapat mengakibatkan kulit penderita menjadi gelap dan mungkin muncul noda-noda yang tidak
lengkap. Hal tersebut merupakan efek dari kelebihan zat besi pada sel pigment di kulit. Masalah ini akan berkurang atau hilang semuanya setelah
penderita mulai menggunakan perawatan desferal secara teratur Vullo, et al., 1995.
Gangguan lain muncul pula pada organ hati dan limpa. Perut penderita buncit akibat pembesaran hati dan limpa. Hati kadang membesar
dengan ukuran sedang hingga berat, kulit berwarna kuning. Masalah hati disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui tranfusi darah, dan oleh
kelebihan zat besi. Hepatitis C adalah infeksi paling utama yang dapat menyebabkan masalah hati Vullo, et al., 1995. Limpa berfungsi
menghancurkan sel darah merah yang sudah rusak. Pada penderita thalassaemia mayor
, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga limpa perlu memproduksi sel darah merah yang lebih banyak.
Kondisi ini membuat kerja limpa menjadi sangat berat. Akibatnya limpa semakin lama semakin membengkak Gandi, 2007.
Selain efek pada limpa, masalah lain yang timbul pada penderita thalassaemia mayor
adalah pada sumsum tulang. Sumsum tulang pipih di muka sebagai pabrik sel darah merah akan berusaha memproduksi sel
darah merah sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi dari kurangnya sel darah merah dalam tubuh. Akibatnya sumsum tulang ini akan membesar
dan memberikan bentuk muka mongoloid yang merupakan wajah khas thalassaemia mayor.
Tulang dahi, belakang kepala, dan tulang pipi yang menonjol, sehingga batang hidung penderita tampak masuk kedalam dan
jarak antara kedua mata menjadi jauh serta pertumbuhan tulang rahang atas berlebihan sehingga posisi gigi maju ke depan Gandi, 2007.
Banyak penderita thalassaemia tidak berkembang normal pada masa pubertas. Hal ini dikarenakan kelebihan zat besi yang telah merusak
kelenjar endokrin yang mengontrol kematangan seksual, atau kelenjar lainnya yaitu kelenjar sex itu sendiri Vullo, et al., 1995. Sekitar 50-75
penderita thalassaemia mayor mengalami pubertas terlambat akibat penimbunan besi dalam kelenjar endokrin. Pada anak perempuan,
payudara belum bertumbuh walaupun sudah mencapai usia 13 tahun, waktu menstruasi juga terlambat bahkan sebagian penderita perempuan
tidak bisa menstruasi karena ovuriumnya terganggu. Pada anak laki-laki, testis tidak tampak membesar walaupun sudah berusia 14 tahun. Untuk
mencegah timbulnya pubertas tersebut, maka penderita harus memperbaiki gizinya, meningkatkan keadaan kesehatannya dengan pemberian tranfusi
darah serta terapi kelasi yang teratur sejak awal agar tercapai kematangan seksual yang normal pada waktunya Gandi, 2007.
b. Masalah psikologis Selain berbagai dampak fisik dari adanya penyakit thalassaemia,
persoalan psikologis juga muncul pada penderita thalassaemia ini. Tubuh yang terlihat kerdil dan pucat karena kekurangan darah, bentuk wajah
mongoloid akibat kelainan pada tulang wajah dan juga kulit yang menghitam akibat penumpukan zat besi dapat menyebabkan rendahnya
self-esteem penderita Thalassaemia. Perbedaan fisik yang dihadapi
membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman yang lain Vullo, et al., 1995. Permasalahan yang berhubungan dengan sekolah turut menjadi
isu yang penting bagi penderita thalassaemia. Sebesar 70 penderita thalassaemia
mengalami kecemasan mengenai sekolahnya, terutama pada kegiatan akademik dan olah raga Gharaibeh, et al., 2009. Terapi rutin
yang harus dilakukan serta kondisi fisik yang mudah lelah membuat kegiatan sekolah dan berbagai aktivitas lain seringkali terhambat.
Khurana, et al., 2006. Peralihan pada masa remaja menuju dewasa memunculkan persepsi
baru pada penderita thalassaemia khususnya mengenai orientasi terhadap masa depan. Penelitian menemukan adanya persepsi dari individu dengan
thalassaemia bahwa mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang
mereka inginkan. Kesulitan yang dihadapi muncul karena terhambatnya kondisi fisik serta terbatasnya kemampuan akademik. Persepsi inilah yang
memunculkan keinginan untuk menikah pada penderita menjadi kecil karena masalah fisik dan kondisi keuangan mereka di masa yang akan
datang mereka pandang sebagai suatu kondisi yang memburuk Khurana et al., 2006; Fung, et al., 2008
Thalassaemia mayor merupakan penyakit seumur hidup, penerimaan
keluarga dan penderita terhadap diagnosis penyakit serta cara pengobatan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup penderita. Dukungan
psikologis dalam hal ini tentunya menjadi satu kebutuhan yang diperlukan oleh penderita thalassaemia mayor. Penyakit kronis akan menimbulkan
masalah emosi yang semakin meningkat pada setiap tahap perkembangan kehidupan penderita. Penderita akan merasa bahwa mereka adalah orang
yang sangat berbeda, terbatas, atau terisolasi dari orang-orang di sekitarnya. Penderita akan cepat mengalami depresi, diikuti perasaan
marah terhadap kenyataan yang terjadi dalam hidupnya Pramita, 2008. Di sepanjang usia kehidupannya, para penderita thalassaemia mayor
harus mendapatkan perawatan secara terus menerus. Kondisi ini menghadirkan kebutuhan atas bantuan dari keluarga untuk perawatan
klinis secara rutin seperti tranfusi darah dan terapi kelasi. Penelitian terkait hal ini mengilustrasikan perlakuan yang diberikan oleh keluarga pada para
penderita. Dalam penelitiannya, penderita thalassaemia mayor cenderung diperlakukan overprotektif, dimanjakan dan diberikan perhatian yang
berlebihan oleh kedua orangtua mereka Prasomsuk et al., 2007. Perlakuan yang diberikan oleh keluarga ini yang kemudian membuat para
individu dengan thalassaemia mayor mengalami proses pengembangan diri yang lebih lambat.
Berkenaan dengan hubungan dengan orang terdekat, muncul berbagai penekanan dari penderita thalassaemia maupun keluarga bahwa
masa remaja ialah periode yang sulit. Orientasi pemikiran yang bergeser dan membuat remaja mulai berpikir dengan cara orang dewasa memegang
peranan mengenai hal ini. Sikap tidak patuh secara umum, termasuk dalam proses terapi, kemudian dimungkinkan muncul karena tepat di masa ini
pula ada peralihan penentuan keputusan atas segala bentuk tanggung
jawab ke tangan mereka. Munculnya perasaan menghadapi suatu kesulitan juga
nampak dalam
hubungan pertemanan
individu penderita
thalassaemia. Di masa remaja, individu umumnya akan memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktunya tidak di rumah dan
memiliki penekanan untuk beraktivitas bersama dengan teman sebayanya. Hal ini turut menjadi pendukung munculnya perasaan ingin menjadi
seperti teman sebaya mereka Pramita, 2008. Selain itu, penemuan lain menunjukkan bahwa penderita thalassaemia mayor kerap merasa tertekan
maupun mudah marah. Tak hanya itu menunjukkan bahwa posisi tertekan juga tampak dari kecenderungan para penderita thalassaema mayor juga
sering memikirkan kematian serta kemungkinan bunuh diri pada tahun- tahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena
berada di antara kehidupan dan kematian Ghanizadeh, 2007 dalam Pramita, 2008.
C. Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis