Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis

jawab ke tangan mereka. Munculnya perasaan menghadapi suatu kesulitan juga nampak dalam hubungan pertemanan individu penderita thalassaemia. Di masa remaja, individu umumnya akan memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktunya tidak di rumah dan memiliki penekanan untuk beraktivitas bersama dengan teman sebayanya. Hal ini turut menjadi pendukung munculnya perasaan ingin menjadi seperti teman sebaya mereka Pramita, 2008. Selain itu, penemuan lain menunjukkan bahwa penderita thalassaemia mayor kerap merasa tertekan maupun mudah marah. Tak hanya itu menunjukkan bahwa posisi tertekan juga tampak dari kecenderungan para penderita thalassaema mayor juga sering memikirkan kematian serta kemungkinan bunuh diri pada tahun- tahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena berada di antara kehidupan dan kematian Ghanizadeh, 2007 dalam Pramita, 2008.

C. Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis

1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis

Reaksi pertama yang dialami oleh kebanyakan orang ketika dokter mendiagnosis adanya masalah kesehatan yang serius adalah reaksi keterkejutan shock . Shock menjadi merupakan suatu kondisi dimana seseorang menjadi terpaku karena adanya suatu peristiwa membingungkan yang terjadi serta bertindak secara otomatis tanpa adanya suatu keterikatan atas situasi Shontz, 1975 dalam Sarafino, 2011. Kondisi shock bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa juga berlanjut selama berminggu-minggu. Hal ini tergantung pada tingkat tertentu dalam setiap krisis yang dialami oleh seseorang. Kondisi shock akan sangat terlihat ketika krisis datang. Biasanya, setelah beberapa waktu menggunakan strategi koping yang berfokus pada kondisi emosional, seperti penyangkalan, realitas mulai mengganggu: gejala tetap berlangsung atau semakin memburuk, adanya diagnosis tambahan yang menguatkan diagnosa sebelumnya, dan akhirnya menjadi suatu kepastian bahwa penyesuaian akan kondisi tersebut perlu dilakukan Sarafino, 2011 Seseorang dengan penyakit kronis memiliki kecenderungan untuk menghadapi realitas secepat mungkin hingga mereka mencapai suatu penyesuaian terhadap problem dan implikasi yang dihadapi. Hanya saja, tidak semua orang bereaksi seperti demikian: beberapa mungkin berlaku tenang, sedang yang lain mungkin menjadi tidak berdaya atas adanya kecemasan atau menjadi histeris Silver Wortman, 1980 dalam Sarafino, 2011. Seseorang yang menggunakan denial dan strategi penghindaran lainnya sesungguhnya bermaksud untuk mengendalikan respon emosional mereka terhadap stresor, terutama ketika mereka percaya bahwa mereka tidak mampu melakukan apa-apa untuk mengubah situasi yang dihadapi Carver Connor- Smith, 2010; Lazarus Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011. Penelitian Froese et al. 1974, dalam Sarafino, 2011 melalui denial dan mereka yang menggunakan denial sebagai suatu strategi untuk menghadapi krisis cenderung memiliki kecemasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, penghindaran yang berlebihan ini dapat dengan segera menjadi maladaptif terhadap kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis penderita Suls Fletcher, 1985; Roesch Weiner, 2001 dalam Sarafino, 2011.

2. Pentingnya penyesuaian terhadap penyakit bagi penderita penyakit kronis

Pengetahuan atas adanya penyakit kronis yang serius secara cepat mengubah cara mereka melihat diri dan kehidupannya, bahkan beberapa rencana yang telah mereka buat untuk waktu yang dekat ataupun jangka panjang mungkin menjadi sekedar harapan setelah adanya diagnosis. Hal ini dikarenakan mereka mungkin bisa lebih tidak berdaya, merasa buruk, kesakitan, ataupun merasa terancam atas kondisi yang dihadapi. Semakin besar suatu ancaman dipersepsi oleh penderita dalam berbagai kondisi-kondisi tersebut, semakin susah pula mereka akan dapat mengatasi kondisi yang mereka hadapi Cohen Lazarus, 1979; Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011. Banyak orang dengan penyakit kronis akan memiliki kesadaran diri tentang masalah kesehatan mereka-dan bahkan melakukan stigma terhadap diri mereka-dan ingin menyembunyikannya dari orang lain Sarafino, 2011. Berbagai aspek dari prosedur pengobatan seringkali membuat penyesuaian menjadi sulit dicapai. Sebagai contoh, beberapa perawatan akan terasa menyakitkan atapun melibatkan obat-obatan yang menghasilkan berbagai efek samping, baik yang mengarah pada masalah kesehatan tambahan atau mengganggu fungsi sehari-hari penderita, seperti munculnya kelelahan. Selain itu, prosedur pengobatan lainnya mungkin memiliki jadwal dan membutuhkan komitmen atas waktu yang memerlukan penderita dan keluarga mereka untuk membuat suatu perubahan besar dalam gaya hidup mereka dan tentunya memberikan kesulitan bagi individu tersebut Sarafino, 2011. Banyak aspek fisik dan sosial dari lingkungan kita yang dapat memengaruhi cara kita menyesuaikan diri dengan masalah kesehatan kronis Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011. Aspek fisik lingkungan rumah sakit, misalnya, menjadi hal yang sangat membosankan dan membatasi penderita. Kondisi ini dapat menekan semangat juang serta suasana hati individu. Aspek fisik lingkungan rumah yang penuh dengan dukungan dan perhatian, sebaliknya akan membantu penderita dalam melakukan penyesuaian atas kondisi diri. Menghadapi suatu penyakit serius serta masa depan yang belum pasti membuat beberapa orang khawatir secara berlebihan sekaligus membayangkan kemungkinan terburuk terkait kondisi mereka. Lingkungan sosial memiliki peran penting dalam membantu individu dengan penyakit kronis mengatasi hal ini. Lingkungan sosial penderita berfungsi selayaknya sebuah sistem, dimana perilaku setiap individu akan mempengaruhi individu yang lain Cutrona Gardner, 2004, Kerns Weiss, 1994 dalam Sarafino, 2011. Kehadiran dukungan sosial, misalnya, biasanya membantu penderita dan keluarga serta teman-teman untuk mengatasi penyakit tersebut. Secara umum, sumber utama dukungan sosial bagi orang yang berpenyakit kronis biasanya berasal dari keluarga dekat mereka Miller Cafasso, 1992; Berg Upchurch, 2007 dalam Sarafino, 2011. Namun, adanya kehadiran teman-teman dan tetangga juga turut membantu. Selain itu, penderita juga dapat bergabung dalam suatu support group dengan suatu problem kesehatan tertentu. Kelompok-kelompok ini dapat memberikan informasi dan dukungan emosional. Oleh karena itu, bila seseorang mampu mencapai suatu penyesuaian terhadap kondisi sakitnya, sebagai hasil dari suatu krisis yang dihadapi, maka ia akan mampu 1 menghadapi ketidakmampuan dan rasa sakit atas kondisi sakitnya, 2 mampu menghadapi kesulitan terkait bakat atau keahlian — mampu mengevaluasi rencana pendidikan dan karir, serta mencari pekerjaan baru 3 menerima perubahan atas kondisi tubuh, memiliki harga diri, dan meningkatkan kompetensi serta meraih prestasi 4 tidak mengalami kesulitan atas adanya kehilangan suatu aktivitas yang menyenangkan dan pencarian aktivitas yang baru serta perubahan dalam relasi sosial dengan keluarga, teman, ataupun pasangan 5 tidak lagi mengalami perasaan penolakan denial, kecemasan, dan depresi 6 mampu mematuhi segala prosedur pengobatan yang perlu dijalani.

3. Denial dan keinginan menjadi orang pada umumnya

Berkenaan dengan respon individu terhadap adanya penyakit kronis yang dialami, Elisabeth Kubler-Ross 2009 memberikan gambaran yang cukup utuh melalui wawancaranya dengan 200 orang dengan penyakit kronis. Ia memaparkan bahwa individu yang mendapati dirinya berpenyakit kronis akan menjalani lima fase, yaitu denial, anger, bargaining, depression, acceptance. Salah satu yang menarik dari lima fase Kubler-Ross ini, ialah denial yang merupakan reaksi pertama yang muncul dalam menghadapi penyakit kronis. Denial di sini dapat begitu bernilai sebagai reaksi pertama karena memberikan individu waktu untuk mengusahakan strategi koping lain dan memberikan motivasi pada individu bahwa ia bisa memperoleh pandangan lain tentang pengalaman yang ia alami. Selain denial yang dipakai sebagai strategi koping, menjadi normal adalah isu lain yang tak asing lagi bagi individu dengan penyakit kronis. Beberapa penelitian menemukan gagasan “menjadi normal” atau “melanjutkan hidup” adalah hal yang paling sering ditemukan dalam usaha hidup bersama penyakit kronis Gallo et al. 1992 dalam Taylor, 2008; Admi, 1996; Christian D’Auria, 1997; Atkin Ahmad, 2001; Kim Kang, 2003. Bagi para individu dengan penyakit kronis, mereka seolah hidup dengan “kehidupan ganda”. Sourkes dalam penelitiannya menjelaskan tentang kondisi yang dirasakan oleh individu dengan penyakit kronis, yaitu keinginan mereka untuk menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat yang sama, mereka harus hidup bersama dengan penyakit yang membuat mereka tampak “abnormal” dari penyakitnya Sourkes, et al., 2005; Sourkes, 2007. Berjuang untuk menjadi individu normal menjadi isu yang muncul pada masa remaja, khususnya remaja pertengahan Taylor, et al., 2008. Semakin banyak terapi yang harus dilakukan, maka semakin besar tekanan yang diberikan oleh penyakit dan proses terapi pada kehidupan remaja Gallo et al. 1992 dalam Taylor, et al., 2008. Kebutuhan untuk terlihat sama dengan teman sebaya, untuk dilihat sebagai normal, yang begitu kuat muncul menyebabkan remaja meninggalkan kebiasaan berkenaan dengan proses terapi yang sebelumnya ia terima tanpa banyak kesulitan Michaud, Suris Viner, 2007. Demi menunjukkan dirinya yang normal, remaja dengan penyakit kronis mencoba untuk menghadapi berbagai keterbatasan yang diberikan oleh penyakit, yang terkadang mengarah pada sikap menolak proses terapi Taylor, et al., 2008.

D. Keengganan dalam Proses Terapi