Pembahasan Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi 1. Sikap membohongi diri

E. Pembahasan

Melalui eksplorasi atas pengalaman psikologis dalam menjalani proses terapi pada remaja thalassaemia mayor, peneliti memperoleh dua kategori utama. Kategori pertama mengarah pada hal-hal yang memunculkan keengganan dalam menjalani proses terapi dan tentu menghambat berjalannya proses berobat. Kemudian, kategori yang lain mengarah ke hal yang sebaliknya, yakni mendukung proses pengobatan.

A. Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi 1. Sikap membohongi diri

a. Keinginan untuk menjadi normal merasakan apa yang orang lain rasakan Tampaknya benar, pesan seorang anak berumur 11 tahun yang mengungkapkan “Bila anak-anak adalah anak yang normal, tidak memiliki sakit, mereka akan senang diperlakukan secara spesial. Tapi, jika anak-anak memiliki sakit, mereka ingin diperlakukan secara normal.” Sourkes, 2008. Pesan yang disampaikan olehnya menjadi hal yang tepat untuk mengilustrasikan pengalaman hidup remaja dengan thalassaemia mayor . Keinginan untuk diperlakukan secara normal dalam pernyataan tersebut menunjukkan pentingnya pandangan dan perlakuan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri secara normal. Di sisi yang lain, keinginan diperlakukan secara normal juga mengilustrasikan sebuah harapan yang diinginkan oleh individu yang memiliki sakit untuk menjadi seseorang yang normal. Keinginan untuk “menjadi” orang normal dan “diperlakukan” secara normal, bagi remaja thalassaemia mayor dalam penelitian ini, tidak sebatas harapan adanya pandangan dan perlakuan yang diperolehnya dari orang lain untuk membuatnya seperti orang normal. Keinginan untuk “menjadi” orang normal terwujud sebagai sebuah usaha aktif dari para remaja thalassaemia mayor sendiri untuk bisa “merasakan” apa yang orang normal rasakan. Usaha yang dilakukan oleh remaja thalassaemia mayor ini hadir dalam bentuk pembohongan diri. Membohongi diri sendiri dilakukan sebagai cara para informan untuk menganggap dirinya sehat dan tidak memiliki sakit dengan tidak melakukan proses pengobatan. Pembohongan diri ini kerap kali ditemukan dalam remaja dengan thalassaemia saat menghadapi berbagai keterbatasan yang ditimbulkan oleh penyakit yang ia miliki. Penelitian Atkin Ahmad 2001 menunjukkan bahwa penyangkalan atas kondisi sakit dengan tidak melakukan terapi pada usia remaja merupakan jalan utama yang ditempuh agar tampak normal. Para remaja menolak apapun yang membuat mereka tampak berbeda dengan orang lain. Salah satu cara yang ditemukan muncul ialah penolakan untuk menjalani terapi kelasi ataupun usaha- usaha lain yang dapat dilakukan untuk menjaga kondisi diri. Pembohongan diri juga menghadirkan perasaan tenang bagi informan. Seperti yang disampaikan oleh informan Dd 18 “Ada kalanya aku merasa tenang aja, akhirnya aku bisa kayak orang lain, ya.. meski membohongi diri sendiri. Aku sadar, tapi emang menenangkan .” Dengan membohongi diri seolah tidak memiliki sakit, keinginan informan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan menjadi terwujud. Membohongi diri dalam ini mengambil peran sebagai suatu strategi yang dilakukan oleh remaja thalassaemia guna tetap memegang kontrol atas hidupnya dan mencoba mengendalikan kondisi yang dimiliki Frydenberg, 1997; Hill, 1994 dalam Atkin Ahmad, 2001. Lebih lanjut, Sourkes dalam penelitiannya menjelaskan tentang kondisi yang dirasakan oleh individu dengan penyakit kronis, yaitu hidup dalam dua kehidupan : mereka merindukan untuk menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat yang sama, mereka hidup bersama dengan penyakit yang membuat mereka tampak “abnormal” dari penyakitnya Sourkes, et al., 2005. Kondisi yang dipaparkan oleh Sourkes ini menjelaskan usaha membohongi diri sendiri sebagai hal yang memungkinkan untuk dilakukan oleh remaja thalassaemia mayor sebagai caranya merespon harapannya untuk menjadi normal yang sulit untuk dilakukan. Tercapainya keinginan remaja thalassaemia mayor untuk menjadi orang normal dan merasakan apa yang orang lain rasakan, di lain sisi menghadirkan pengorbanan lain, yaitu proses pengobatan. Anggapan bahwa mereka tidak memiliki sakit, bagi para informan dapat terwujud dengan tidak menjalani proses terapi. Ketiga informan memaparkan keinginan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan salah satunya yaitu dengan tidak harus terus melakukan proses terapi, seperti orang pada umumnya. Para informan akan merasa dirinya sehat dan tidak memiliki sakit bila proses terapi tidak dilakukan. Oleh karena itulah, usaha membohongi diri sendiri yang dilakukan para informan mengarahkan pada keengganan para informan untuk menjalani proses terapi. “… Para remaja mengutarakan kebencian mereka terhadap terapi karena hal tersebut membuat mereka tampak berbeda. Tanda-tanda yang mengisyaratkan adanya perbedaan mereka dengan orang lain, seperti keharusan untuk mengkonsumsi obat-obatan demi mempertahankan hidup serta harus berpikir mengenai kesehatan mereka lebih sering daripada teman-teman mereka merupakan sebuah beban dan pada kesempatan lain, hal ini cukup untuk membuat mereka menghentikan perawatan.” ChristianD’Auria 1997, AtkinAhmad 2001, Hokkanen et al. 2004, McEwan et al. 2004, Huus Enskar 2007 dalam Taylor, et al., 2009 Membohongi diri sendiri sebagai sarana untuk merasakan apa yang orang lain rasakan bisa dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi denial. Hanya saja, denial dalam konteks ini tidak dimengerti sebagai kondisi penyangkalan karena para informan tidak mampu menerima kondisi sakit mereka, tapi sebaliknya sebagai suatu strategi penerimaan atas kondisi sakit mereka. Bila meminjam gagasan Fromm dalam Braune, 2014 tentang harapan, kita bisa melihat bahwa membohongi diri sendiri di sini merupakan suatu cara individu dengan thalassaemia untuk mencipta harapan. Harapan yang digunakan untuk terus melanjutkan hidup serta menghidupi mimpi mereka. Penegasan akan denial sebagai sarana pencipta harapan muncul terutama karena denial yang digunakan sebagai strategi tidak bersifat pasif dengan sekedar berharap dan tanpa usaha pun juga hanya menunggu, tetapi merupakan suatu usaha aktif untuk terus mempertahankan kemungkinan yang begitu kecil diraih, yaitu menjadi sembuh atau dapat menjalani hidup seperti orang normal. Keinginan atas adanya kesembuhan yang secara tersirat yang kemungkinannya begitu kecil ini bisa dimengerti sebagai suatu harapan seperti apa yang disampaikan o leh Fromm “setidaknya masih ada kesempatan meskipun kemungkinan itu sangat kecil untuk meraih objek dari suatu harapan.” Fromm, 1968 dalam Braune, 2014. Pemahaman akan pembohongan diri terkait kondisi yang mereka hadapi sekarang, yakni belum mendapati adanya obat yang mampu memberi kesembuhan, tidak lantas menghambat mereka untuk menghidupi harapan untuk bisa merasakan apa yang orang normal rasakan dan terus melanjutkan hidup berbekal harapan itu. b. Tidak adanya perubahan atas situasi, Tidak akan sembuh Tidak adanya perubahan yang dirasakan atas proses terapi dan ketidakmampuan para informan untuk mengubah kondisi mereka menjadi sembuh turut menjadi alasan mendasar para informan melakukan pembohongan diri. Seperti yang disampaikan oleh informan Dd 18 dan Fa 19, ketidakberdayaan informan atas situasi yang tak bisa para informan ubah yakni dengan mengkonsumsi obatpun, kondisi yang mereka hadapi akan selalu sama dan tidak akan pernah sembuh. Kondisi yang dialami oleh remaja thalassaemia mayor ini bukan tanpa sebab. Kondisi yang dialami oleh para informan dapat dijelaskan sebagai Learned Helplessness, suatu keadaan dimana seseorang berusaha untuk menanamkan kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa apapun usaha yang dilakukan tidak akan ada gunanya. Learned Helplessness pada awalnya terjadi ketika individu melihat suatu situasi sebagai keadaan stress yang tidak menyenangkan atau memberatkan. Ketika seseorang percaya bahwa dirinya tidak mampu untuk mengontrol atau memprediksi peristiwa atau hasil yang akan terjadi di lingkungan sekitarnya, maka dirinya akan merasa frustasi pada situasi tersebut, dan akan mengembangkan situasi tidak berdaya Roussi, 2008.

2. Rasa malas

Rasa malas adalah perasaan dominan yang dirasakan oleh para informan ketika menjalani proses pengobatan. Para informan menyampaikan bahwa rasa malas inilah yang seringkali membuat ketiga informan tidak menjalani pengobatan. Hal ini dikarenakan adanya kejenuhan atas pengobatan serta pengalaman negatif yang terus berulang serta, seperti rasa sakit karena suntikan dan ketidakleluasaan para informan untuk bergerak bebas saat terapi. Ini senada dengan konsep learned helplessness yang merupakan : “…. fenomena psikofisiologis dimana individu mengembangkan kondisi tidak berdaya yang muncul setelah adanya pemaparan berulang terhadap kejadian- kejadian negatif yang mana seseorang mempersepsikan tidak adanya kontrol yang dimiliki. Maier Seligman, 1975. Seperti yang telah dipaparkan diatas, learned helplessness sendiri menjadi suatu konsep yang penting dan potensial dalam memahami usaha individu menghadapi suatu penyakit kronis. Hal ini dikarenakan individu dengan penyakit kronis sering dihadapkan pada konfrontasi berulang terhadap situasi negatif yang tidak bisa terkontrol dalam konteks menghadapi penyakit yang diderita Smalheer, 2011. Kondisi tersebut membuat seseorang bersikap tidak berdaya dan mengabaikan kesempatan untuk untuk mengalami perubahan atau merasa lebih baik dengan tidak berobaat Ntim, 2012.

B. Hal yang Mendorong Proses Terapi 1. Ikatan emosional dengan ibu