Dengar kisah mereka: pengalaman remaja Thalassaemia Mayor menjalani proses terapi.
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA
THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Setiawati Tjandra
129114005
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2017
(2)
ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA
THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Disusun Oleh : Setiawati Tjandra NIM : 129114005
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing,
(3)
iii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Dipersiapkan dan ditulis oleh : Setiawati Tjandra NIM : 129114005
Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal 12 April 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Penguji Tanda Tangan
Penguji 1 : Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si. ____________ Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M. Psi ____________ Penguji 3 :Edward Theodorus, M.App.Psy ____________
Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan,
(4)
iv
PERSEMBAHAN
Teruntuk si bungsu, Bayu Michael Candra.. yang kehadiran dan celotehnya selalu dirindukan, yang hingga saat ini masih berjuang dengan thalassaemia, bersama mereka yang juga masih dan akan terus berjuang
(5)
v
MOTTO
Menunggu dan bersabar, bukan berarti tak berdaya,
bukan pula berarti pasrah, ataupun tak bisa berbuat apa-apa.
Menunggu dan bersabar, membuat kita berhenti sejenak,
untuk menyadari besarnya daya yang kita punya, dan kembali berjuang melanjutkan perjalanan.
Menunggu dan bersabar, Di setiap detiknya..
membuat kita belajar berjalan bersama dengan segala proses, untuk berani berdamai dengan perasaan-perasaan,
untuk mendengarkan pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan, untuk sungguh mengerti kasih tak bersyarat,
untuk kembali jatuh dan kembali berdiri, dan untuk akhirnya percaya,
(6)
vi
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 7 Maret 2017 Peneliti,
(7)
vii
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA
THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Setiawati Tjandra
ABSTRAK
Thalassaemia mayor sebagai penyakit kronis yang diturunkan secara
genetis menempatkan proses terapi sebagai satu-satunya cara untuk terus bertahan di sepanjang kehidupan. Hanya saja, proses terapi yang terus dijalani menghadirkan gelombang naik dan turun di dalam perjuangan para remaja
thalassaemia mayor. Keputusan untuk terus berjuang atau menyerah menjalani
proses terapi menjadi bentuk krisis di masa ini. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia
mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka.
Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang remaja thalassaemia mayor menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan metode analisis IPA
(Interpretative Phenomenological Analysis). IPA membantu peneliti untuk
melakukan interpretasi atas makna personal informan terkait proses terapi serta merangkai pengalaman ini secara komprehensif. Penelitian ini menemukan bahwa sikap membohongi diri sendiri dan rasa malas akibat kejenuhan serta pengalaman negatif selama proses terapi menjadi alasan utama remaja thalassaemia mayor enggan berobat. Sebaliknya, ikatan emosional dengan ibu, kehadiran pasangan, dukungan keluarga dan sahabat menjadi hal yang mendorong remaja thalassaemia
mayor untuk semangat berobat. Penemuan yang perlu digarisbawahi, demi
mendorong remaja thalassaemia mayor untuk terus berobat, tujuan personal merupakan hal yang penting. Dukungan dari orangtua pada remaja thalassaemia
mayor dengan menghadirkan kebebasan atas pilihan hidup dan kesempatan
menghidupi minat mereka menjadi penting sebagai kekuatan mereka untuk terus berjuang mempertahankan hidup.
(8)
viii
HEAR THEIR STORIES : THE EXPERIENCE OF THALASSAEMIA MAJOR ADOLESCENT THROUGH MEDICAL TREATMENT PROCESS
Setiawati Tjandra
ABSTRACT
In terms of medical treatment, adolescent with thalassaemia major would faced ebb and flow in the ongoing therapy. Repeated exposure to medical regiment enact crisis which also convey the weighty decision about the path to their future life to their hands. In this study, the author explore the psychological experiences during palliative care on adolescent with thalassemia major. The semi-structured interviews are conducted with three adolescent with thalassemia major. Interpretative phenomenological analysis was used as primary analysis. The result shows repeated measure to medical regiment give rise to non-compliance with medication that have roots in three major things: the act of self-denial, boredom as the impact of fed up with therapy, and the negative experience during medical treatment. To the contrary, emotional relationship with mother, the presence of romantic relationship, along with family and peers suppport became the encouragement. Furthermore, the result also shows that the presence of personal purpose in life occupied an important place. As a way to corroborate this finding, the presence of opportunity from parents to choose freely the way of their life and to live in freedom to grab their interest became basic reason for their struggle to keep going with life.
(9)
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Setiawati Tjandra
NIM : 129114005
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA
THALASSAEMIA MAYORMENJALANI PROSES TERAPI”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 7 Maret 2017
Yang menyatakan,
(10)
x
KATA PENGANTAR
Pengalaman pribadi sebagai seorang caregiver dan perjumpaan dengan para individu dengan thalassaemia menyadarkan peneliti akan arti sebuah perjuangan. Bermula dari kisah mereka tentang berbagai suka duka yang harus mereka alami di usia yang masih muda hingga mengamati perjuangan mereka yang terus berkembang bersama thalassaemia hingga kini, membuat peneliti terusik untuk menuliskan kisah mereka. Karya ini peneliti peruntukkan bagi para individu dengan thalassaemia sebagai sebuah bentuk empati dan dukungan kepada mereka.
Selama proses penelitian karya, peneliti mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugrah, kasih dan rahmat-Nya, peneliti diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Dengar Kisah Mereka:
Pengalaman Remaja Thalassaemia Mayor Menjalani Proses Terapi” sebagai
syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian karya ini juga tidak akan selesai tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si., selaku dosen pembimbing, yang tak berhenti untuk menantang peneliti bergerak lebih jauh dan selalu mempercayai peneliti untuk terus berkembang hingga peneliti kini lebih percaya diri. Terimakasih untuk perhatian, dukungan dan juga kepedulian atas apa yang peneliti perjuangkan dalam tulisan ini, yang seringkali memberi pencerahan sekaligus inspirasi bagi peneliti selama ini.
2. Sylvia Carolina M.Y.M., M.Si., selaku dosen yang telah menemani peneliti selama setengah perjalanan penelitian ini dilakukan. Terimakasih atas cinta dan kehangatan yang selalu dibagi. Peneliti belajar banyak bahwa memperjuangkan sesuatu dari hati itu membutuhkan kesabaran dan keberanian.
(11)
xi
3. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi, terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman berharga selama saya menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
4. POPTI Kalimantan Barat, ketiga informan yang sangat peneliti cintai, dan juga teman-teman thalassaemia lainnya yang sudah mempercayai peneliti dan bersedia untuk berbagi pengalaman hidup dengan sangat terbuka. Terimakasih atas pengalaman dan juga dukungan kepada peneliti selama ini. Begitu banyak pelajaran berharga yang peneliti peroleh dan tak bisa peneliti ganti dengan apapun.
5. Kedua orangtua peneliti, rumah untuk selalu pulang, yang tak pernah bertanya kapan lulus dan mendukung peneliti secara penuh untuk mengejar apapun yang peneliti yakini dan selalu mengingatkan peneliti untuk tak pernah ragu memperjuangkan mimpi.
6. Dua adik laki-laki tampan di rumah, yang selalu memberi keceriaan dan semangat melalui gurauan untuk cepat lulus, yang membuat peneliti termotivasi untuk segera lulus.
7. Rifki A.P., seorang pendengar juga kawan menulis kisah. Terimakasih untuk kesabaran dan keteduhan dalam menemani di kondisi apapun. Terimakasih sudah mengajarkan untuk menulis dengan hati dan menjadi tangguh. Terimakasih untuk waktu yang diluangkan atas berbagai hal yang bahkan tak bisa peneliti tuliskan satu persatu. Terakhir, terimakasih karena selalu percaya dan tak pernah menyerah dalam mengingatkan “tiada perjuangan yang tak berharga”
8. Suster Dewi dan Mbak Thia, yang sudah peneliti anggap sebagai ibu kedua, yang selalu tau cara untuk memberikan kehangatan, dan menunjukkan pada peneliti sebuah kasih tanpa syarat, dan tempat untuk selalu pulang di saat peneliti jatuh dan menyerah.
9. Mbak Retha, Mas Stanis, Jejes, Ivie, Bayu, Edo, Rikjan, Ara, Lenny, dan Kenang. Terimakasih atas kehadiran dan keceriaan yang membuat peneliti tak pernah ragu menoleh ke belakang serta tak merasa berjalan sendirian. Terimakasih selalu mengingatkan peneliti untuk menikmati proses.
(12)
xii
10.Seluruh teman-teman P2TKP, Grup Babi kesayangan, Menuju S.Psi, Mari Jajan, Begadang sampai sarjana, dan DPS Pak Cahyo serta teman-teman lain yang menemani perjalanan kuliah, terimakasih untuk semangat dan tawa yang tak pernah luput untuk diberikan.
11.Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini.
Keterbatasan, kekurangan dan kesalahan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini tentu tak bisa dipungkiri. Kritik, saran ataupun usaha untuk memperdalam pemahaman akan topik yang diteliti merupakan hal yang berarti bagi peneliti. Semoga tulisan yang belum sempurna ini menyumbangkan pengetahuan yang dapat bermanfaat dan membantu orang lain. Terimakasih dan salam hangat.
Yogyakarta, 7 Maret 2017
(13)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ... iv
HALAMAN MOTTO ... ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ... vi
ABSTRAK ... ... vii
ABSTRACT ... ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ... ix
KATA PENGANTAR ... ... x
DAFTAR ISI ... ... xiii
DAFTAR TABEL ... ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... ... 1
A. Latar Belakang ... ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... ... 11
C. Tujuan Penelitian ... ... 12
D. Manfaat Penelitian ... ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 14
A. Thalassaemia sebagai Penyakit Kronis ... ... 15
B. Tentang Thalassaemia ... ... 17
1. Definisi thalassaemia ... ... 17
2. Perawatan medis thalassaemia mayor ... ... 19
3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor ... ... 22
C. Penyesuaian Individu terhadap PenyakitKronis ... ... 28
1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis ... ... 28
2. Pentingnya penyesuaian bagi penderita penyakit kronis ... ... 30
3. Denial dan keinginan menjadi orang normal ... ... 32
(14)
xiv
1. Non-Compliant Behaviour ... ...34
2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor ...37
E. Pencarian Makna Hidup menurut Frankl...39
F. Penelitian tentang Thalassaemia ... ... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... ... 46
A. Strategi Penelitian ... ... 46
B. Keunggulan IPA dalam penyakit kronis ... ... 47
C. Refleksivitas Peneliti...50
D. Fokus Penelitian ... ... 52
E. Informan Penelitian ... ... 52
F. Saturasi Data ... ... 52
G. Metode Pengambilan Data ... ... 53
H. Prosedur Pengambilan Data ... ... 55
I. Metode Analisis Data ... ... 56
J. Kredibilitas Penelitian ... ... 58
K. Pedoman Wawancara ... ... 59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 63
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... ... 63
1. Persiapan dan perizinan... ... 63
2. Pelaksanaan penelitian ... ... 65
B. Informan Penelitian ... ... 66
1. Demografi informan ... ... 66
2. Latar Belakang Informan ... ... 67
C. Hasil Penelitian ... ... 71
1. Informan Dd (18) ... ... 71
a. Kesadaran akan thalassaemia dan usaha menjaga kondisi fisik ... 71
b. Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas ... 73
c. Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas ... ... 74
d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi ... 75
e. Sikap membohongi diri sebagai alasan enggan terapi ... ... 77
(15)
xv
g. Keluarga: alasan untuk bertahan... ... 79
h. Batasan dan ketidaknyamanan diperlakukan seolah anak kecil ... 82
i. Pengabaian atas terapi dan rasa bersalah pada ibu ... ... 84
j. Pasangan: sumber keberartian hidup dan kedekatan emosional... 85
k. Menjadi seorang musisi dan harapan untuk dipercaya .... ... 86
l. Citra diri positif dan penerimaan teman sebaya ... ... 87
m. Thalassaemia ialah sahabat hidup dan gambaran kematian ... 88
2. Informan Nn (20) ... ... 89
a. Kesadaran dan pemahaman atas kondisi sakit ... ... 89
b. Keterbatasan meraih mimpi dan batasan orangtua ... ... 90
c. Perasaan tidak dimengerti dan arti kebebasan ... ... 92
d. Pengalaman terapi: kejenuhan, rasa sakit, dan ketidakleluasaan .... 93
e. Keinginan untuk sembuh: alasan untuk bertahan ... ... 94
f. Rasa malas dan aktivitas kerja sebagai penghambat ... ... 96
g. Keinginan menjadi orang pada umumnya ... ... 97
h. Ibu: pendorong proses terapi ... ... 98
i. Pentingnya keluarga, pasangan dan sahabat ... ... 99
j. Independensi dan pengalaman ditolak ... ... 101
k. Segala impian dan harapan ... ... 103
l. Thalassaemia hadiah dari Tuhan dan gambaran kematian ... 104
3. Informan Fa (19) ... ... 105
a. Pengetahuan dan pemahaman atas thalassaemia ... ... 105
b. Keterbatasan pencapaian angan-angan ... ... 107
c. Berobat: upaya bertahan hidup ... ... 108
d. Proses terapi: rasa sakit, kejenuhan hingga efek samping terapi .. 109
e. Rasa malas berobat dan ketidakberdayaan atas situasi .. ... 111
f. Rasa kesal dan keinginan menjadi normal ... ... 112
g. Harapan atas proses terapi ... ... 113
h. Kebutuhan akan pasangan dan relasi yang dekat ... ... 114
i. Batasan dan sikap terhadap batasan ... ... 115
(16)
xvi
k. Keluarga dan keinginan untuk terus bersama ... ... 117
l. Membanggakan ibu: alasan terus bertahan ... ... 119
m. Kekecewaan terhadap ayah hingga merasa tidak berarti ... 120
n. Thalassaemia serta keoptimisan untuk tetap hidup ... ... 121
o. Dilema: kuliah vs terapi dan perasaan tidak dipahami ahli medis 123 D. Analisis Data ... ... 126
1. Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi ... ... 126
a. Sikap membohongi diri ... ... 127
b. Rasa malas ... ... 130
2. Hal yang Mendorong Proses Terapi ... ... 133
a. Ikatan emosional dengan ibu ... ... 133
b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) ... ... 136
c. Kehadiran keluarga dan sahabat ... ... 141
d. Alasan untuk tetap bertahan ... ... 146
E. Pembahasan ... ... 158
1. Alasan utama keengganan menjalani terapi ... ... 158
a. Sikap membohongi diri ... ... 158
b. Rasa malas ... ... 164
2. Hal yang Mendorong proses terapi ... ... 165
a. Ikatan emosional dengan ibu ... ... 165
b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) ... ... 168
c. Kehadiran keluarga dan sahabat ... ... 170
d. Alasan untuk bertahan ... ... 172
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 177
A. Kesimpulan ... ... 177
B. Saran ... ... 178
DAFTAR PUSTAKA ... ... 184
(17)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pelaksanaan penelitian ...65 Tabel 2. Demografi informan ...66
(18)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Persetujuan Informan 1 ... 193
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Informan 2 ... 196
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Informan 3 ... 197
Lampiran 4. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ... 198
Lampiran 5. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ... 199
Lampiran 6. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ... 200
Lampiran 7. Analisis Data Informan 1 ... 201
Lampiran 8. Cluster of Meaning Informan 1 ... 238
(19)
xix
DAFTAR GAMBAR
(20)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Aku udah lama malas berobat, hampir tiga tahunan. Bosan aja jalanin hidup yang gitu-gitu terus, suntik lagi, suntik lagi. Sakit. Merasa gitu-gitu aja hasilnya. Gak ada perubahan. Ini penyakit seumur hidup. Rasanya tuh percuma, ngapain
juga minum obat. Kalau berobat terus, kan gak sembuh-sembuh juga” – Dd, 18
tahun “(sambil menangis) aku pengen jadi orang normal, yang hidup tanpa tranfusi, suntikan, tanpa obat, dsb. Seolah aku gak sakit. Itu aja. Itu yang buat aku ga mau berobat. Banyak hal yang gak bisa aku capai akhirnya. Apapun yang ingin aku lakukan, nari, dan banyak lagi. Gak kayak orang-orang lain kan. Belum lagi
orangtua yang khawatir. Aku gak mau mereka khawatirin terus.” – Nn, 20 tahun
Pernahkah Anda bayangkan bila Anda harus berulang kali merasakan sakit karena suntikan dan selalu minum berbagai obat setiap hari, seumur hidup Anda? Bila Anda tahu bahwa diri anda tak akan pernah sembuh, meskipun berjuang sekalipun, apa yang anda rasakan? Lantas, apa yang anda bayangkan untuk dilakukan bila memang harus menjalani hidup begitu adanya?
Mencoba mendalami kehidupan individu thalassaemia mayor seperti yang tergambar di atas, penelitian ini berusaha untuk melukiskan berbagai pengalaman yang mereka rasakan di tengah perjuangan mereka. Posisi sebagai seorang
caregiver yang telah menemani mereka dan seringkali mendengar keluh kesah
mereka, khususnya selama proses terapi, mendorong peneliti untuk mencoba memahami berbagai hal yang mereka rasakan melalui penelitian ini.
Kisah Dd (18) dan Nn (20) hanyalah dua dari sekian banyak pengalaman penderita thalassaemia mayor di Indonesia. Tentulah, apa yang mereka
(21)
ungkapkan hanya mewakili sebagian kecil dari berbagai pengalaman dan perasaan yang dialami oleh penderita thalassaemia mayor lainnya. Individu dengan
thalassaemia mayor adalah orang-orang yang harus selalu berada di bawah
bayang-bayang perawatan medis, sepanjang hidup mereka. Perawatan paliatif, merawat untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan tidak menyembuhkan, adalah hal yang akan selalu ditemui oleh para penderita thalassaemia seumur hidupnya (WHO, 2015). Seolah tak cukup, ketidakpastian akan kesembuhan juga disertai dengan beratnya proses terapi yang juga tak terelakkan.
Proses pengobatan bagi remaja penderita thalassaemia mayor dilihat sebagai suatu proses yang menyakitkan dan menjadi suatu beban. Hal ini disebabkan oleh proses pengobatan yang selalu didahului oleh pemeriksaan darah secara bertahap, serta menimbulkan rasa bosan dan putus asa karena harus menjalankannya setiap bulan dan bukan merupakan pengobatan yang menyembuhkan (Surilena, 2014). Penderita lebih merasa disiksa daripada dikasihi melalui pengobatan tersebut, sehingga mereka sering berusaha untuk menolak dan mengurangi hari-hari dengan pompa infus. Tusukan-tusukan jarum pada kulit menimbulkan kerusakan terhadap citra diri. Penderita akan merasa badannya penuh dengan lubang-lubang hasil tusukan jarum. Perasaan terikat serta gerakan yang tidak bebas timbul pada waktu menggunakan pompa infus juga membuat penderita merasa berbeda dan terbatas (Gandi, 2007). Perawatan di rumah sakit, tindakan pengambilan darah dan penggunaan obat kelasi besi dapat menimbulkan perasaan cemas pada penderita (Shaligram, Girimaji, & Chaturvedi, 2007). Pada penderita yang melakukan tranfusi dan pengobatan secara rutin, akan seringkali
(22)
menunjukkan reaksi psikososial dan pengalaman buruk, diantaranya ditandai dengan rasa malas, hilangnya nafsu makan, mengalami penurunan berat badan, sulit berkonsentrasi, susah tidur, mudah capek, gangguan mood, merasa tidak memiliki harapan dan munculnya pikiran-pikiran akan kematian atau bunuh diri. Reaksi psikososial ini mengakibatkan para penderita mengalami perasaan akan kecemasan dan ketakutan akan kematian, perubahan citra diri, dan tidak bisa meneruskan rencana hidupnya (Vullo, Modell, & Georganda, 1995; Mulyani & Fahrudin, 2014).
Gambaran kondisi yang dialami para penderita thalassaemia di atas mendorong peneliti untuk mengurai pengalaman penderita thalassaemia lebih jauh. Thalassaemia adalah kelainan darah yang diturunkan, bersifat kronis, dan pada umumnya muncul pada masa kanak-kanak (Mulyani & Fahrudin, 2011; Thalassaemia International Federation, 2015). Di Indonesia jumlah penderita penyakit thalassaemia tergolong tinggi dan termasuk dalam negara yang beresiko tinggi terkena thalassaemia (Soelaman, 2010 dalam Mulyani & Fahrudin, 2011). Sejak 2006 sampai 2008, rata-rata pasien baru thalassaemia meningkat sekitar 8% dan diperkirakan banyak kasus yang tidak terdeteksi, sehingga penyakit ini telah menjadi penyakit yang membutuhkan penanganan yang serius (Yayasan ThalassaemiaIndonesia, 2009 dalam Indanah, Yetti, & Sabri, 2013). Data Menkes pada tahun 2012 menyatakan bahwa dengan angka kelahiran 23 per mil dari 240 juta penduduk Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 200.000 bayi pembawa sifat thalassaemia dan 3.000 penderita thalassaemia lahir tiap tahunnya (Surilena, 2014). Menurut Ketua Yayasan Thalassaemia Indonesia, Ruswandi, jumlah
(23)
penderita thalassaemia mayor di Tanah Air terus mengalami peningkatan. Hingga tahun 2016, jumlah penderita saat ini sudah mencapai 7.238 orang. Meskipun demikian, angka tersebut hanya mencerminkan jumlah pasien yang terdata di rumah sakit-rumah sakit yang ada di Indonesia dan terus naik rata-rata sepuluh persen per tahun. Angka pasti keseluruhan penderita tentunya lebih besar (Widiyatno, 2016).
Thalassaemia mayor, salah satu jenis dari penyakit thalassaemia,
merupakan suatu kelainan darah serius yang diderita sejak lahir. Oleh karena sifatnya yang kronis, maka kelainan ini akan terus terbawa sepanjang kehidupan individu, artinya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh. Penderita thalassaemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka sehingga memerlukan tranfusi darah seumur hidup secara teratur Penderita menjalani tranfusi darah sepanjang hidup karena satu-satunya pengobatan thalassaemia mayor adalah melalui pemberian tranfusi darah (Gandi, 2007).
Tranfusi darah memang merupakan pilar utama untuk mempertahankan hidup bagi individu dengan thalassaemia mayor. Hanya saja, proses pengobatan ini membuat individu dengan thalassaemia mayor menghadapi sebuah dilema baru. Pemberian tranfusi darah dalam jangka waktu yang lama justru menimbulkan efek samping yaitu penumpukan zat besi dalam jaringan tubuh yang menimbulkan berbagai dampak terhadap keadaan fisik mereka (Vullo, et al. 1995). Penumpukan zat besi dapat terjadi pada organ-organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit. Apabila pengobatan yang dilakukan
(24)
hanya berupa tranfusi, perubahan fisik akan sulit dihindari dan dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi beberapa organ tubuh. Ketika banyak zat besi disimpan dalam jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan di sana, jantung menjadi tidak mampu memompa darah di sekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama kematian individu dengan thalassaemia mayor (Gandi, 2007).
Dengan kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya usaha mencapai usia remaja merupakan suatu perjuangan yang cukup sulit bagi para penderita
thalassaemia mayor. Apabila penderita thalassaemia mayor tidak dirawat dan
tidak melakukan tranfusi darah sejak usia dini, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan kurang dari lima tahun dan meninggal karena gagal jantung akibat anemia berat (Gandi, 2016). Begitu pula tanpa tranfusi yang memadai, penderita
thalassaemia mayor akan meninggal pada dekade kedua (Mulyani & Fahrudin,
2014). Tidak hanya itu, tercatat sebesar 71% penderita meninggal pada umur belasan tahun. Hal ini dikarenakan oleh penyakit hati atau terutama kegagalan fungsi jantung akibat pengobatan yang hanya berupa tranfusi saja (Gandi, 2007).
Hal yang belum mendapatkan sorotan di sini ialah jenis perawatan medis lain yang dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang umur individu dengan thalassaemia mayor, yakni terapi kelasi. Terapi kelasi menjadi proses pengobatan lanjutan yang seharusnya dilakukan oleh penderita thalassaemia mayor selain tranfusi darah. Terapi kelasi merupakan cara untuk mengontrol total zat besi dalam tubuh sebagai akibat dari tranfusi darah.
(25)
Dua bentuk terapi kelasi yang umumnya digunakan adalah Desferrioxamine
(Desferal) berupa penyuntikan dan Deferiprone (Ferriprox) serta Deferasirox
(Exjade) yang merupakan terapi kelasi alternatif berupa kapsul yang bisa diminum
(Gandi, 2007). Bila tranfusi dilakukan teratur dengan terapi kelasi, maka usia individu dengan thalassaemia mayor akan lebih dari dua puluh tahun dan bahkan mampu bertahan hingga usia tujuh puluh tahun bila tidak terjadi penimbunan zat besi di organ-organ tubuh atau komplikasi infeksi (Gandi, 2016). Di sini jelaslah bahwa terapi kelasi memang memegang peranan dalam meningkatkan kualitas hidup individu dengan thalassaemia mayor. Namun demikian, sebagaimana proses lain dalam pengobatan penyakit kronis, proses terapi ini tetap memiliki persoalan mendasar yang belum dapat dipecahkan.
Hasil dari pengobatan thalassaemia yang tidak bisa diketahui dan dirasakan dengan cepat menjadi persoalan mendasar yang dihadapi oleh para penyandang
thalassaemia. Sedangkan secara nyata, tindakan pengobatan yang dilakukan para
individu dengan thalassaemia hanya bersifat paliatif. Perawatan jenis ini menjadi sistem pendukung untuk membantu pasien hidup seaktif mungkin hingga saatnya nanti dan bertujuan untuk mengurangi keparahan gejala penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup pasien (WHO, 2015). Hal yang dapat digarisbawahi terkait hal ini ialah bahwa perawatan paliatif tidak mengarah pada usaha untuk menyembuhkan kondisi sakit, melainkan sebuah tindakan supportif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Keterbatasan yang terlihat dari segala jenis perawatan mengiringi munculnya persoalan lain, yaitu keengganan para penderita thalassaemia untuk
(26)
melakukan proses terapi. Sering timbul penolakan dari para penderita untuk melakukan proses terapi yang mengarah pada penurunan intensitas dalam menjalani proses pengobatan, terlebih pada usia remaja (Gandi, 2007; Vullo, et.al, 1995). Pengabaian akan pengobatan yang hadir dalam keengganan berobat dengan demikian menjadi suatu bentuk tindakan yang dapat mempercepat kematian sendiri. Pengabaian akan pengobatan ini kemudian menjadi penyebab utama yang mendasari fakta sebagian besar dari individu dengan thalassaemia mayor tidak mencapai usia produktif atau usia tua karena meninggal pada usia 19-30 tahun (Yuliani, 2004). Tak hanya itu, fakta menunjukkan individu dengan thalassaemia
mayor yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal
biasanya akan meninggal pada usia kurang dari dua puluh tahun (Vullo, et. al., 1995). Dalam hal ini, terapi kelasi menjadi hal yang sangat vital untuk dilakukan demi mencegah terjadi kerusakan organ-organ utama tubuh yang akan mengakibatkan kematian dari penderita (Gandi, 2007).
Bila pengabaian akan proses terapi dapat mengakibatkan kematian pada individu dengan thalassaemia, maka keengganan yang dirasakan oleh para remaja
thalassaemia mayor saat melakukan proses terapimenjadi suatu hal yang penting
untuk dilihat lebih jauh. Peneliti melihat penelitian yang berfokus pada pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi akan membantu untuk memahami pengalaman yang dirasakan para penyandang
thalassaemia secara lebih utuh dan menyeluruh. Hal ini penting mengingat
pengetahuan akan kondisi psikologis dan sudut pandang remaja dengan
(27)
serta keengganan yang kemudian mereka rasakan. Penekanan penelitian pada remaja thalassaemia mayor juga memiliki signifikansi dan urgensi yang kuat. Seperti apa yang sudah disampaikan sebelumnya, tercatat sebesar 71% penderita
thalassaemia meninggal pada umur belasan tahun (Gandi, 2007). Bahkan,
individu dengan thalassaemia mayor yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya akan meninggal pada usia kurang dari dua puluh tahun (Vullo, et. al., 1995). Kondisi tersebut mengilustrasikan masa remaja ialah titik krusial bagi para individu dengan thalassaaemia mayor, sebuah proses yang akan dilalui untuk terus bertahan melanjutkan masa depan ataukah menuju hal yang tidak diharapkan untuk terjadi, seperti kematian. Penekanan atas kondisi ini kemudian perlu diperhatikan karena pada periode ini remaja thalassaemia
mayor memegang peran penting dalam menentukan keputusan untuk tetap
menjalani proses terapi atau sebaliknya melakukan pengabaian atasnya.
Mempunyai suatu penyakit kronis bukanlah suatu hal yang dapat dengan mudah diterima. Tak seorangpun suka merasa dirinya sakit, apalagi menerima dirinya harus menjalani pengobatan seumur hidup. Hal tersebut mengisyaratkan dinamika psikologis pada individu dengan thalassaemia memainkan peranan penting dalam proses pengobatan yang dilakukan penderita. Akan tetapi, seperti apa yang dikemukakan Jain, Bagul, dan Porwal (2013) sebagai latar belakang penelitian mereka mengenai problem psikososial dari remaja dengan thalassaemia, “telah banyak hal yang diteliti mengenai thalassaemia mayor tetapi sedikit perhatian yang diberikan pada aspek-aspek psikologis dari penyakit ini.” Sejalan dengan pandangan mereka, peneliti juga menemukan adanya ruang
(28)
kosong yang sama berkaitan dengan tinjauan berbagai penelitian mengenai proses pengobatan individu thalassaemia.
Berbagai penelitian yang peneliti temui terkait kondisi psikologis lebih mengedepankan faktor-faktor di luar diri individu atau keterkaitan antara individu dengan penyakit dan lingkungan tanpa adanya eksplorasi yang lebih jauh pada pengalaman psikologis individu sebagai pembahasan utama. Aspek psikososial tampaknya menjadi primadona bagi para peneliti yang mencoba menggali perihal
thalassaemia. Hal-hal ini meliputi aspek psikososial individu yang berkaitan
dengan relasi interpersonalnya (Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008), adanya beban dan bentuk reaksi psikososial yang dirasakan (Mulyani & Fahrudin, 2011), maupun munculnya beban psikososial dan kebutuhan akan adanya dukungan sosial (Khurana, Katyal, & Marwaha, 2006; Gharaibeh, Amarneha, & Zamzam, 2009; Wahab, et al., 2011; Indanah, et al., 2013).
Penelitian lain lebih menaruh fokus pada keluarga, baik tentang keluarga itu sendiri maupun peranan keluarga bagi individu dengan thalassaemia. Peranan keluarga bagi individu dengan thalassaemia ini sendiri meliputi peran dan fungsi keluarga itu sendiri, fungsi edukasi, tipe pengasuhan, maupun pemahaman orangtua (Hullmann, Wolfe-Christensen, Meyer, McNall-Knapp, & Mullins, 2010; Widayanti, Ediati, Tamam, Faradz, Sistermans, & Plass, 2011; Ishfaq, Bhatti, & Naeem, 2014; Surilena, 2014). Sedangkan beberapa penelitian yang lain justru melihat pengalaman personal ataupun opini keluarga, khususnya ibu dalam pengalamannya merawat anak thalassaemia (Prasomsuk, Jetsrisuparp, Ratanasiri,
(29)
T., Ratanasiri, A., 2006; Ammad, Mubeen, Shah, Mansoor, 2011; Saldanha, 2013; Arbabisarjou, Karimzaei & Jamalzaei, 2014; Anum & Dasti, 2015).
Begitu pula penelitian yang berfokus pada individu dengan thalassaemia, penelitian terkait thalassaemia lebih mengarahkan pembahasan mengenai kerentanan psikologis maupun kualitas hidup penderita. Dalam paparan mengenai diri beberapa penelitian ini justru mengarahkan pembahasan mengenai diri yang terorientasikan ke luar diri seperti pembahasan mengenai pandangan akan masa depan ataupun pemilihan karir (Bush, Mandel, & Giardina, 1998; Fung, Low, Ha, & Lee, 2008). Selain itu, penelitian yang mengarahkan orientasi pembahasan ke dalam diri justru berkenaan dengan pertumbuhan dan fungsi kognitif (Subroto & Advani, 2003; Safitri, Ernawaty, & Karim, 2015; Raz, Koren, Dan, & Levin, 2016). Sedangkan paparan yang menyentuh dinamika psikologis secara umum berpusat pada kualitas hidup para penderita thalassaemia (Wahyuni, 2010 & Mariani, 2011). Sebagai pengecualian adalah penelitian Purnamaningsih (2014) yang menyuguhkan depresi yang dialami para penderita thalassaemia mayor dan faktor yang mempengaruhinya, Pramita (2008) yang memaparkan harapan pada remaja penyandang thalassaemia mayor, dan Lestari (2013) yang mendeskripsikan mengenai pengalaman psikologis individu dengan thalassaemia dalam menghadapi sakitnya serta interaksinya dengan anggota keluarga yang merawatnya.
Ruang kosong terkait pembahasan sisi psikologis pada proses terapi dalam berbagai penelitian tentang thalassaemia inilah yang mendorong peneliti untuk mengarahkan fokus penelitian pada pengalaman psikologis selama menjalani
(30)
proses terapi. Keengganan dalam menjalani proses pengobatan serta paparan mengenai alasan-alasan psikologis yang menyertai kondisi tersebut adalah wilayah yang minim dijamah oleh para peneliti. Fred Kleinsinger (2010) juga menawarkan pandangan bahwa adanya keengganan, apa yang disebutnya sebagai
noncompliant behavior, dalam proses pengobatan individu dengan penyakit
kronis memainkan peranan penting dalam kegagalan penanganan. Oleh karena itu, pemahaman akan pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor selama menjalani proses terapi beserta alasan utama yang mendasari alasan keengganan yang mereka lakukan perlu untuk dilakukan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sudut pandang baru yang dapat membantu keluarga, profesional kesehatan, praktisi psikolog dan masyarakat umum untuk lebih memahami kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor sekaligus sebagai pendorong bagi para individu dengan thalassaemia mayor untuk terus menjalani proses pengobatan melalui pehamanan atas kondisi diri yang semakin baik.
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini, pertanyaan yang ingin diangkat oleh peneliti adalah “Bagaimana pengalaman dan dinamika psikologis para remaja thalassaemia
(31)
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan bidang keilmuan psikologi klinis-kesehatan khususnya mengenai infomasi akan kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor selama menjalani proses pengobatan. Dengan demikian, paparan akan alasan yang menjadi dasar keengganan dalam menjalani proses pengobatan juga memberikan sumbangan terhadap psikolog kesehatan dalam menghadapi klien dengan kondisi yang serupa. Diharapkan pula, penelitian ini dapat memberikan referensi bagi peneliti lain dengan topik yang berkaitan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini berusaha untuk menyuarakan apa yang dirasakan sesungguhnya oleh remaja dengan thalassaemia mayor selama menjalani proses pengobatan. Hal ini termasuk alasan-alasan yang mendasari sikap keengganan dalam menjalani pengobatan sebagai salah satu upaya untuk lebih memahami dan mengerti kondisi mereka.
(32)
Adanya informasi mengenai gambaran kondisi psikologis ini diharapkan pula dapat memberikan pemahaman yang baik bagi keluarga juga para praktisi kesehatan. Pemahaman ini diharapkan dapat menjadi upaya dalam memberikan penanganan yang tepat dan menyeluruh terhadap remaja
thalassaemia mayor. Keluarga dan praktisi kesehatan dapat
mempertimbangkan kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor dan tidak hanya berfokus pada terpenuhinya berbagai proses pengobatan semata. Dengan mengikutsertakan pertimbangan tersebut, keluarga dan praktisi kesehatan didorong untuk memikirkan alternatif pendekatan yang dapat membuat remaja thalassaemia mayor merasa nyaman dalam menjalani proses pengobatan.
Selain itu, penelitian ini juga dapat menyajikan pengalaman-pengalaman yang dapat digunakan sebagai refleksi bagi remaja thalassaemia
mayor tentang apa yang dapat mereka lakukan dikemudian hari terkait kondisi
yang sedang dihadapi. Hal ini berkenaan dengan upaya memberi pemahaman kepada remaja thalassaemia mayor yang enggan menjalani pengobatan menjadi rutin menjalani pengobatan sebagai bentuk dari penerimaan atas kondisi diri.
(33)
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, peneliti berupaya memberikan gambaran umum tentang
thalassaemia sebagai penyakit kronis, dinamika awal yang dialami individu dalam
proses menghadapi penyakit kronis serta berbagai aspek yang mempengaruhi individu berpenyakit kronis menjalani suatu proses pengobatan. Pembahasan diawali dengan gambaran singkat mengenai posisi thalassaemia sebagai sebuah penyakit kronis. Pembahasan tersebut diikuti dengan informasi lebih lanjut mengenai thalassaemia seperti definisi thalassaemia, proses pengobatan yang harus dijalani oleh individu dengan thalassaemia, serta masalah fisik dan psikologis yang dialami oleh penderita. Kemudian, peneliti memaparkan pula bagaimana individu dengan thalassaemia melakukan penyesuaian terhadap penyakitnya. Hal ini mencakup reaksi awal individu ketika menghadapi sakit, pentingnya penyesuaian terhadap kondisi sakit, serta gambaran atas denial yang dihadapi oleh mereka juga keinginan untuk menjalani kehidupan sebagaimana orang pada umumnya. Selain itu, dalam pembahasan ini, peneliti juga memaparkan mengenai munculnya keengganan sebagai bentuk tantangan dalam menjalani proses terapi. Pembahasan ini diakhiri dengan penjelasan mengenai alasan mendasar interpretative phenomenology analysis dipergunakan sebagai sarana dalam mendekati pengalaman individu dengan penyakit kronis. Diharapkan, seluruh pemaparan dalam bab dua ini dapat memberikan sebuah konteks yang merangkai pengalaman individu dengan thalassaemia dalam menjalani proses pengobatan.
(34)
A. Thalassaemia sebagai Penyakit Kronis
Studi tentang penyakit kronis bukanlah suatu hal yang baru. Penyakit kronis itu sendiri merupakan istilah payung bagi beberapa penyakit dengan karakteristik yang serupa. Norman & Ruescher (2011) melihat penyakit kronis sebagai “suatu penyakit yang berlangsung selama waktu yang sangat lama, atau bahkan terkadang seumur hidup seseorang.” Penyakit kronis memiliki karakteritik yang berbeda dari penyakit akut. Pada penderita penyakit akut, penderita mengalami suatu keadaan sakit, penderita mendapatkan pengobatan, dan kemudian pada akhirnya akan berujung pada kesembuhan atau kematian. Di lain sisi, model keadaan sakit yang dialami oleh penderita penyakit kronis sedikit berbeda. Seseorang mengalami suatu keadaan sakit dan mengetahui apa yang salah dalam dirinya, mendapatkan sebuah perawatan, namun dirinya akan tetap menderita penyakit tersebut dan berharap kondisinya tidak seburuk seperti halnya sebelum mendapat perawatan. Selain itu, penyakit kronis bersifat progresif dan akan semakin memburuk dari waktu ke waktu jika pengobatan yang seharusnya dijalani oleh penderita tidak dilakukan (Norman & Ruescher, 2011).
Mengacu paparan Conrad (1987, dalam Fyrand, 2003) penyakit kronis bisa terbagi menjadi tiga kategori: (1) lived with illnesses (2) mortal illnesses (3)
at-risk illnesses. Pada kategori lived with illnesses, seseorang diharuskan beradaptasi
dan mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya mereka tidak mengalami ancaman terhadap kehidupannya oleh penyakit yang diderita. Penyakit yang tergolong dalam kategori ini yaitu : diabetes, asma, arthritis, epilepsi, dan disabilitas. Kategori kedua, yaitu mortal illnesses, adalah suatu kondisi penyakit
(35)
yang mengancam hidup seseorang. Kondisi ini tidak terpengaruh tahu atau tidaknya seseorang akan penyakit dan gejala yang ia hadapi, ia tetap beresiko menghadapi kematian. Contoh penyakit dalam kategori ini yaitu kanker, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskuler. Kategori selanjutnya, yaitu at-risk
illnesses merupakan kategori yang berbeda dari dua kategori sebelumnya.
Kategori ini tidak berfokus pada ancaman yang timbul dari penyakit, akan tetapi menitikberatkan pada risiko yang menyertai penyakit, yakni terjadinya hal-hal yang kemudian menimbulkan risiko kematian akibat pengaruh lingkungan atau perilaku individu yang mempengaruhi penyakit. Penyakit yang tergolong dalam kategori ini yaitu hipertensi, dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas seperti hemofilia dan thalassaemia.
Melalui paparan Conrad tersebut, secara jelas kita dapat melihat bahwa
thalassaemia tergolong ke dalam penyakit kronis, khususnya at-risk illnesses.
Adalah sesuatu yang penting untuk menjadi pertimbangan untuk memaparkan
thalassaemia dalam konteks sebagai sebuah penyakit kronis. Hal ini mengingat
segala macam aspek-aspek yang dihadapi dalam penyakit kronis menjadi ciri khas dalam pengalaman individu dengan penyakit thalassaemia. Untuk itulah, informasi mengenai thalassaemia dan hal-hal terkait penyakit kronis perlu dipaparkan secara menyeluruh.
(36)
B. Tentang Thalassaemia
1. Definisi thalassaemia
Thalassaemia adalah kelainan darah yang diturunkan atau diwariskan.
Penyakit ini merupakan salah satu kelainan genetik terbanyak di dunia, dan khususnya dialami pada orang-orang yang berasal dari daerah Laut Tengah hingga daerah sekitar khatulistiwa, Timur Tengah atau Asia (Subroto & Fajar, 2003; Chairunisya, 2007). Thalassaemia berasal dari bahasa latin
“thalasanemia” yang berarti anemia yang terdapat di dekat laut (Rosu, 2006
dalam Pramita, 2008). Di masa lalu, sebelum penemuan mengenai penyakit ini mendunia, penyakit ini dikenal sebagai Anemia Mediterranean (Vullo, Modell, & Georganda, 1995). Di Indonesia, frekuensi gen thalassaemia diperkirakan sebesar tiga sampai delapan persen. Setidaknya, 200 ribu orang mempunyai thalassaemia trait (bawaan) dan terdapat lebih dari 3000 anak yang menderita penyakit thalassaemia (Gandi, 2007).
Berdasarkan tingkat keparahannya, Gandi (2007) memaparkan
thalassaemia menjadi tiga jenis:
a. Thalassaemia trait (Thalassaemia bawaan). Orang dengan
thalassaemia trait adalah seseorang yang sehat namun ia dapat
meneruskan gen thalassaemia kepada anak-anaknya. Thalassaemia
trait disebut juga sebagai Thalassaemia minor. Thalassaemia minor ini
sudah ada sejak lahir, dan gen thalassaemia itu akan tetap ada di sepanjang hidupnya namun tidak menunjukkan gejala yang berarti, selain gejala anemia yang sangat ringan sehingga tidak membutuhkan
(37)
pengobatan ataupun tranfusi darah. Menurut perkiraan, di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 200.000 orang thalassaemia trait
b. Thalassaemia mayor. Di Indonesia, penderita thalasaaemia mayor lebih
sering ditemukan. Penyakit ini merupakan kelainan darah serius yang mungkin terjadi bila kedua orangtua mempunyai gen pembawa sifat
thalassaemia. Individu dengan penyakit thalassaemia mayor telah
mewarisi gen tersebut sejak mereka dilahirkan (Northen California Comprehensive Thalassaemia Center, 2005). Anak-anak yang memiliki
thalassaemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi mulai menderita
kekurangan darah pada usia antara 3 sampai 18 bulan. Penderita tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka. Oleh karena itu, dalam tulang sumsum mereka tidak dapat diproduksi sel-sel darah merah yang cukup. Mereka memerlukan tranfusi darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila anak-anak dengan thalassaemia
mayor tidak dirawat dan melakukan pengobatan, maka hidup mereka
biasanya hanya bertahan antara 1 sampai 8 tahun. Setiap tahun setidaknya 100.000 anak yang lahir di dunia menderita thalassaemia
mayor. Di Indonesia tidak kurang dari 3000 anak kecil yang menderita
penyakit tersebut. Thalassaemia mayor sering disebut juga sebagai
Homozygous Beta Thalassaemia.
c. Thalassaemia intermedia. Thalassaemia intermedia secara sederhana
berarti thalassaemia yang agak ringan (Vullo, et al., 1995).
(38)
dan thalassaemia minor. Anak-anak dengan thalassaemia intermedia mulai merasakan masalah dalam hidupnya sedikit lebih lama dibandingkan mereka yang mempunyai thalassaemia mayor. Kebanyakan dari mereka hidup normal sampai berumur 2 tahun lebih, dan sebagian dari mereka yang lebih ringan mungkin tidak mempunyai hasil diagnosa sampai mereka berumur sekitar 7 tahun, atau terkadang lebih tua lagi. Adakalanya, seseorang dengan thalassaemia intermedia yang sangat ringan ditemukan mempunyai thalassaemia hanya di kehidupan dewasanya, sebagai contoh ketika hamil, atau ketika mereka melakukan pemeriksaan medis untuk alasan yang lain. Penderita
thalassaemia intermedia mungkin memerlukan tranfusi darah secara
berkala namun lebih jarang frekuensinya dibandingkan thalassaemia
mayor dan umumnya dapat bertahan hidup sampai dewasa. Namun, ada
juga sebagian penderita thalassaemia intermedia yang juga dapat bertahan hidup tanpa harus melakukan tranfusi secara teratur.
2. Perawatan medis penderita thalassaemia mayor
a. Tranfusi darah
Tranfusi darah yang dilakukan secara teratur sangat dibutuhkan penderita thalassaemia mayor. Pemberian tranfusi ini bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin bagi penderita thalassaemia mayor dan merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Tranfusi darah dilakukan supaya penderita dapat beraktivitas secara normal, mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang normal serta mencegah terjadinya
(39)
kelainan organ tubuh seperti kelainan endokrin dan kegagalan jantung. Umumnya tranfusi dilakukan setiap 2 sampai 5 minggu sekali seumur hidupnya untuk mempertahankan kadar hemoglobin normal (lebih dari 12g/dl sampai 15g/dl) (Gandi, 2007).
b. Terapi kelasi
Terapi kelasi ialah salah satu cara untuk mengontrol total zat besi dalam tubuh sebagai dampak tranfusi darah. Menurut Gandi (2007), bila kadar zat besi dalam tubuh berlebihan (mencapai 20 gram), maka akan timbul gejala klinis keracunan zat besi. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi beberapa organ tubuh yang dapat menyebabkan kematian pada umur belasan tahun karena penyakit hati atau terutama kegagalan fungsi jantung pada 71% penderita. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka penderita thalassaemia memerlukan obat kelasi besi atau pengikat zat besi agar dapat dikeluarkan dari jaringan tubuh. Pemberian obat kelasi besi secara teratur dapat meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang umur penderita thalassaemia. Menurut Gandi (2007), ada dua cara terapi kelasi yang umumnya digunakan penderita thalassaemia mayor :
1. Desferrioxamine (Desferal atau singkatnya DFO). Desferrioxamine
merupakan salah satu cara yang telah diakui efektifitasnya dan disetujui pemakaiannya di dunia. Penyuntikan desferal dilakukan di bawah kulit atau di bawah urat nadi untuk mengeluarkan zat besi melalui urine menggunakan pompa infus khusus. Pemakaian alat ini diperlukan karena obat ini hanya efektif bila diberikan secara perlahan-lahan
(40)
selama kurang lebih 10 jam per hari (8-12 jam). Efek kelasi besi akan hilang tidak lama setelah infus DFO dihentikan. Idealnya obat ini diberikan lima hari dalam seminggu seumur hidup. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per minggu.
2. Deferiprone (Ferriprox) dan Deferasirox (Exjade). Ferriprox dan
exjade merupakan obat kelasi alternatif berupa kapsul yang bisa
diminum. Ferriprox diminum 3 kali sehari. Obat ini diserap dengan cepat di saluran cerna dan dikeluarkan melalui urine. Exjade baru dipasarkan di Amerika pada November 2005. Obat ini lebih praktis karena hanya diminum sekali sehari, namun harganya lebih mahal dari obat ferriprox. Obat ini sebagian besar akan dikeluarkan melalui tinja dan sisanya melalui urine. Saat ini ferriprox dan exjade banyak digunakan oleh penderita thalassaemia yang kurang patuh menggunakan obat DFO.
c. Pengangkatan limpa
Beberapa pasien melakukan operasi pengangkatan limpa. Limpa pada penderita umumnya membesar karena memompa darah secara berlebihan. Operasi ini dilakukan bila limpa sudah sangat membesar sehingga timbul
hiperesplenisme yaitu bila aktivitas limpa berlebihan, maka bukan hanya
menghancurkan sel darah merah lebih cepat, tetapi juga sel darah putih dan keping darah yang menurun. Hal ini akan mengakibatkan anak mudah
(41)
infeksi atau bahaya pendarahan. Pengangkatan limpa baru boleh dilakukan sesudah anak berumur lima tahun, karena sebelum usia lima tahun, resiko terjadinya infeksi yang berat cukup besar. Sesudah pengangkatan limpa, kebutuhan tranfusi darah biasanya berkurang sekitar 50 persen.
d. Cangkok sumsum tulang
Cangkok sumsum tulang ini dilakukan dengan mengganti jaringan sumsum tulang penderita dengan sumsum tulang donor. Dr. Indra B. Hutagalung Sp A., mengungkapkan bahwa di negara-negara maju, para ahli melakukan cangkok sumsum tulang bagi penderita Thalassaemia. Biasanya sumsum tulang donor yang cocok diambil dari orangtua, saudara kembar atau saudara kandung penderita. Di Indonesia, tindakan ini masih dalam taraf permulaan. Pencangkokan ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yakni pada saat anak belum banyak mendapat tranfusi darah, hal ini untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor. Biaya cangkok sumsum tulang di Singapora bisa mencapai 1 miliar rupiah (Chairunisya, 2007).
3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor
a. Masalah fisik
Kondisi penyakit thalassaemia sebagai sebuah penyakit yang diderita sejak umur kurang dari 1 tahun dan berlangsung seumur hidup membuat para penderita thalassaemia mayor mengalami berbagai masalah. Salah satu masalah yang harus dihadapi berkaitan dengan
(42)
keadaan fisik mereka. Pada umumnya, penderita thalassaemia mayor terlihat pucat dan kelelahan serta tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat. Kondisi ini menyebabkan penderita
thalassaemia mayor tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik
yang berlebihan (Vullo, et al., 1995). Penderita juga mengalami gangguan tumbuh kembang dengan perawakan tubuh yang pendek, sedangkan anak yang mendapatkan tranfusi darah secara teratur pertumbuhannya normal dengan daya tahan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah sakit (Gandi, 2007).
Tranfusi darah yang diperlukan seumur hidup menyebabkan kelebihan zat besi pada para penderitanya. Selain itu, para penderita yang sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh. Penumpukan zat besi terjadi pada organ-organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit (Vullo, et al., 1995; Pramita, 2008). Ketika banyak zat besi disimpan dalam jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan disana, jantung menjadi tidak mampu memompa darah disekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Oleh karena itu, pasien yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya meninggal pada umur dua puluhan (Vullo, et al., 1995).
Selain itu, penumpukan zat besi di kulit juga dapat mengakibatkan kulit penderita menjadi gelap dan mungkin muncul noda-noda yang tidak
(43)
lengkap. Hal tersebut merupakan efek dari kelebihan zat besi pada sel pigment di kulit. Masalah ini akan berkurang atau hilang semuanya setelah penderita mulai menggunakan perawatan desferal secara teratur (Vullo, et al., 1995).
Gangguan lain muncul pula pada organ hati dan limpa. Perut penderita buncit akibat pembesaran hati dan limpa. Hati kadang membesar dengan ukuran sedang hingga berat, kulit berwarna kuning. Masalah hati disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui tranfusi darah, dan oleh kelebihan zat besi. Hepatitis C adalah infeksi paling utama yang dapat menyebabkan masalah hati (Vullo, et al., 1995). Limpa berfungsi menghancurkan sel darah merah yang sudah rusak. Pada penderita
thalassaemia mayor, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan
sehingga limpa perlu memproduksi sel darah merah yang lebih banyak. Kondisi ini membuat kerja limpa menjadi sangat berat. Akibatnya limpa semakin lama semakin membengkak (Gandi, 2007).
Selain efek pada limpa, masalah lain yang timbul pada penderita
thalassaemia mayor adalah pada sumsum tulang. Sumsum tulang pipih di
muka sebagai pabrik sel darah merah akan berusaha memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi dari kurangnya sel darah merah dalam tubuh. Akibatnya sumsum tulang ini akan membesar dan memberikan bentuk muka mongoloid yang merupakan wajah khas
thalassaemia mayor. Tulang dahi, belakang kepala, dan tulang pipi yang
(44)
jarak antara kedua mata menjadi jauh serta pertumbuhan tulang rahang atas berlebihan sehingga posisi gigi maju ke depan (Gandi, 2007).
Banyak penderita thalassaemia tidak berkembang normal pada masa pubertas. Hal ini dikarenakan kelebihan zat besi yang telah merusak kelenjar endokrin yang mengontrol kematangan seksual, atau kelenjar lainnya yaitu kelenjar sex itu sendiri (Vullo, et al., 1995). Sekitar 50-75% penderita thalassaemia mayor mengalami pubertas terlambat akibat penimbunan besi dalam kelenjar endokrin. Pada anak perempuan, payudara belum bertumbuh walaupun sudah mencapai usia 13 tahun, waktu menstruasi juga terlambat bahkan sebagian penderita perempuan tidak bisa menstruasi karena ovuriumnya terganggu. Pada anak laki-laki, testis tidak tampak membesar walaupun sudah berusia 14 tahun. Untuk mencegah timbulnya pubertas tersebut, maka penderita harus memperbaiki gizinya, meningkatkan keadaan kesehatannya dengan pemberian tranfusi darah serta terapi kelasi yang teratur sejak awal agar tercapai kematangan seksual yang normal pada waktunya (Gandi, 2007).
b. Masalah psikologis
Selain berbagai dampak fisik dari adanya penyakit thalassaemia, persoalan psikologis juga muncul pada penderita thalassaemia ini. Tubuh yang terlihat kerdil dan pucat karena kekurangan darah, bentuk wajah mongoloid akibat kelainan pada tulang wajah dan juga kulit yang menghitam akibat penumpukan zat besi dapat menyebabkan rendahnya
(45)
membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman yang lain (Vullo, et al., 1995). Permasalahan yang berhubungan dengan sekolah turut menjadi isu yang penting bagi penderita thalassaemia. Sebesar 70% penderita
thalassaemia mengalami kecemasan mengenai sekolahnya, terutama pada
kegiatan akademik dan olah raga (Gharaibeh, et al., 2009). Terapi rutin yang harus dilakukan serta kondisi fisik yang mudah lelah membuat kegiatan sekolah dan berbagai aktivitas lain seringkali terhambat. (Khurana, et al., 2006).
Peralihan pada masa remaja menuju dewasa memunculkan persepsi baru pada penderita thalassaemia khususnya mengenai orientasi terhadap masa depan. Penelitian menemukan adanya persepsi dari individu dengan
thalassaemia bahwa mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang
mereka inginkan. Kesulitan yang dihadapi muncul karena terhambatnya kondisi fisik serta terbatasnya kemampuan akademik. Persepsi inilah yang memunculkan keinginan untuk menikah pada penderita menjadi kecil karena masalah fisik dan kondisi keuangan mereka di masa yang akan datang mereka pandang sebagai suatu kondisi yang memburuk (Khurana et al., 2006; Fung, et al., 2008)
Thalassaemia mayor merupakan penyakit seumur hidup, penerimaan
keluarga dan penderita terhadap diagnosis penyakit serta cara pengobatan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup penderita. Dukungan psikologis dalam hal ini tentunya menjadi satu kebutuhan yang diperlukan oleh penderita thalassaemia mayor. Penyakit kronis akan menimbulkan
(46)
masalah emosi yang semakin meningkat pada setiap tahap perkembangan kehidupan penderita. Penderita akan merasa bahwa mereka adalah orang yang sangat berbeda, terbatas, atau terisolasi dari orang-orang di sekitarnya. Penderita akan cepat mengalami depresi, diikuti perasaan marah terhadap kenyataan yang terjadi dalam hidupnya (Pramita, 2008).
Di sepanjang usia kehidupannya, para penderita thalassaemia mayor harus mendapatkan perawatan secara terus menerus. Kondisi ini menghadirkan kebutuhan atas bantuan dari keluarga untuk perawatan klinis secara rutin seperti tranfusi darah dan terapi kelasi. Penelitian terkait hal ini mengilustrasikan perlakuan yang diberikan oleh keluarga pada para penderita. Dalam penelitiannya, penderita thalassaemia mayor cenderung diperlakukan overprotektif, dimanjakan dan diberikan perhatian yang berlebihan oleh kedua orangtua mereka (Prasomsuk et al., 2007). Perlakuan yang diberikan oleh keluarga ini yang kemudian membuat para individu dengan thalassaemia mayor mengalami proses pengembangan diri yang lebih lambat.
Berkenaan dengan hubungan dengan orang terdekat, muncul berbagai penekanan dari penderita thalassaemia maupun keluarga bahwa masa remaja ialah periode yang sulit. Orientasi pemikiran yang bergeser dan membuat remaja mulai berpikir dengan cara orang dewasa memegang peranan mengenai hal ini. Sikap tidak patuh secara umum, termasuk dalam proses terapi, kemudian dimungkinkan muncul karena tepat di masa ini pula ada peralihan penentuan keputusan atas segala bentuk tanggung
(47)
jawab ke tangan mereka. Munculnya perasaan menghadapi suatu kesulitan juga nampak dalam hubungan pertemanan individu penderita thalassaemia. Di masa remaja, individu umumnya akan memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktunya tidak di rumah dan memiliki penekanan untuk beraktivitas bersama dengan teman sebayanya. Hal ini turut menjadi pendukung munculnya perasaan ingin menjadi seperti teman sebaya mereka (Pramita, 2008). Selain itu, penemuan lain menunjukkan bahwa penderita thalassaemia mayor kerap merasa tertekan maupun mudah marah. Tak hanya itu menunjukkan bahwa posisi tertekan juga tampak dari kecenderungan para penderita thalassaema mayor juga sering memikirkan kematian serta kemungkinan bunuh diri pada tahun-tahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena berada di antara kehidupan dan kematian (Ghanizadeh, 2007 dalam Pramita, 2008).
C. Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis
1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis
Reaksi pertama yang dialami oleh kebanyakan orang ketika dokter mendiagnosis adanya masalah kesehatan yang serius adalah reaksi keterkejutan
(shock). Shock menjadi merupakan suatu kondisi dimana seseorang menjadi
terpaku karena adanya suatu peristiwa membingungkan yang terjadi serta bertindak secara otomatis tanpa adanya suatu keterikatan atas situasi (Shontz, 1975 dalam Sarafino, 2011). Kondisi shock bisa berlangsung hanya beberapa
(48)
saat atau bisa juga berlanjut selama berminggu-minggu. Hal ini tergantung pada tingkat tertentu dalam setiap krisis yang dialami oleh seseorang. Kondisi
shock akan sangat terlihat ketika krisis datang. Biasanya, setelah beberapa
waktu menggunakan strategi koping yang berfokus pada kondisi emosional, seperti penyangkalan, realitas mulai mengganggu: gejala tetap berlangsung atau semakin memburuk, adanya diagnosis tambahan yang menguatkan diagnosa sebelumnya, dan akhirnya menjadi suatu kepastian bahwa penyesuaian akan kondisi tersebut perlu dilakukan (Sarafino, 2011)
Seseorang dengan penyakit kronis memiliki kecenderungan untuk menghadapi realitas secepat mungkin hingga mereka mencapai suatu penyesuaian terhadap problem dan implikasi yang dihadapi. Hanya saja, tidak semua orang bereaksi seperti demikian: beberapa mungkin berlaku tenang, sedang yang lain mungkin menjadi tidak berdaya atas adanya kecemasan atau menjadi histeris (Silver & Wortman, 1980 dalam Sarafino, 2011).
Seseorang yang menggunakan denial dan strategi penghindaran lainnya sesungguhnya bermaksud untuk mengendalikan respon emosional mereka terhadap stresor, terutama ketika mereka percaya bahwa mereka tidak mampu melakukan apa-apa untuk mengubah situasi yang dihadapi (Carver & Connor-Smith, 2010; Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011). Penelitian Froese et al. (1974, dalam Sarafino, 2011) melalui denial dan mereka yang menggunakan denial sebagai suatu strategi untuk menghadapi krisis cenderung memiliki kecemasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, penghindaran yang berlebihan ini
(49)
dapat dengan segera menjadi maladaptif terhadap kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis penderita (Suls & Fletcher, 1985; Roesch & Weiner, 2001 dalam Sarafino, 2011).
2. Pentingnya penyesuaian terhadap penyakit bagi penderita penyakit kronis Pengetahuan atas adanya penyakit kronis yang serius secara cepat mengubah cara mereka melihat diri dan kehidupannya, bahkan beberapa rencana yang telah mereka buat untuk waktu yang dekat ataupun jangka panjang mungkin menjadi sekedar harapan setelah adanya diagnosis. Hal ini dikarenakan mereka mungkin bisa lebih tidak berdaya, merasa buruk, kesakitan, ataupun merasa terancam atas kondisi yang dihadapi. Semakin besar suatu ancaman dipersepsi oleh penderita dalam berbagai kondisi-kondisi tersebut, semakin susah pula mereka akan dapat mengatasi kondisi yang mereka hadapi (Cohen & Lazarus, 1979; Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011). Banyak orang dengan penyakit kronis akan memiliki kesadaran diri tentang masalah kesehatan mereka-dan bahkan melakukan stigma terhadap diri mereka-dan ingin menyembunyikannya dari orang lain (Sarafino, 2011).
Berbagai aspek dari prosedur pengobatan seringkali membuat penyesuaian menjadi sulit dicapai. Sebagai contoh, beberapa perawatan akan terasa menyakitkan atapun melibatkan obat-obatan yang menghasilkan berbagai efek samping, baik yang mengarah pada masalah kesehatan tambahan atau mengganggu fungsi sehari-hari penderita, seperti munculnya kelelahan. Selain itu, prosedur pengobatan lainnya mungkin memiliki jadwal dan membutuhkan komitmen atas waktu yang memerlukan penderita dan keluarga
(50)
mereka untuk membuat suatu perubahan besar dalam gaya hidup mereka dan tentunya memberikan kesulitan bagi individu tersebut (Sarafino, 2011).
Banyak aspek fisik dan sosial dari lingkungan kita yang dapat memengaruhi cara kita menyesuaikan diri dengan masalah kesehatan kronis (Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011). Aspek fisik lingkungan rumah sakit, misalnya, menjadi hal yang sangat membosankan dan membatasi penderita. Kondisi ini dapat menekan semangat juang serta suasana hati individu. Aspek fisik lingkungan rumah yang penuh dengan dukungan dan perhatian, sebaliknya akan membantu penderita dalam melakukan penyesuaian atas kondisi diri.
Menghadapi suatu penyakit serius serta masa depan yang belum pasti membuat beberapa orang khawatir secara berlebihan sekaligus membayangkan kemungkinan terburuk terkait kondisi mereka. Lingkungan sosial memiliki peran penting dalam membantu individu dengan penyakit kronis mengatasi hal ini. Lingkungan sosial penderita berfungsi selayaknya sebuah sistem, dimana perilaku setiap individu akan mempengaruhi individu yang lain (Cutrona & Gardner, 2004, Kerns & Weiss, 1994 dalam Sarafino, 2011). Kehadiran dukungan sosial, misalnya, biasanya membantu penderita dan keluarga serta teman-teman untuk mengatasi penyakit tersebut. Secara umum, sumber utama dukungan sosial bagi orang yang berpenyakit kronis biasanya berasal dari keluarga dekat mereka (Miller & Cafasso, 1992; Berg & Upchurch, 2007 dalam Sarafino, 2011). Namun, adanya kehadiran teman-teman dan tetangga juga turut membantu. Selain itu, penderita juga dapat bergabung dalam suatu
(51)
support group dengan suatu problem kesehatan tertentu. Kelompok-kelompok ini dapat memberikan informasi dan dukungan emosional.
Oleh karena itu, bila seseorang mampu mencapai suatu penyesuaian terhadap kondisi sakitnya, sebagai hasil dari suatu krisis yang dihadapi, maka ia akan mampu (1) menghadapi ketidakmampuan dan rasa sakit atas kondisi sakitnya, (2) mampu menghadapi kesulitan terkait bakat atau keahlian— mampu mengevaluasi rencana pendidikan dan karir, serta mencari pekerjaan baru (3) menerima perubahan atas kondisi tubuh, memiliki harga diri, dan meningkatkan kompetensi serta meraih prestasi (4) tidak mengalami kesulitan atas adanya kehilangan suatu aktivitas yang menyenangkan dan pencarian aktivitas yang baru serta perubahan dalam relasi sosial dengan keluarga, teman, ataupun pasangan (5) tidak lagi mengalami perasaan penolakan (denial), kecemasan, dan depresi (6) mampu mematuhi segala prosedur pengobatan yang perlu dijalani.
3. Denial dan keinginan menjadi orang pada umumnya
Berkenaan dengan respon individu terhadap adanya penyakit kronis yang dialami, Elisabeth Kubler-Ross (2009) memberikan gambaran yang cukup utuh melalui wawancaranya dengan 200 orang dengan penyakit kronis. Ia memaparkan bahwa individu yang mendapati dirinya berpenyakit kronis akan menjalani lima fase, yaitu denial, anger, bargaining, depression,
acceptance. Salah satu yang menarik dari lima fase Kubler-Ross ini, ialah
denial yang merupakan reaksi pertama yang muncul dalam menghadapi
(52)
karena memberikan individu waktu untuk mengusahakan strategi koping lain dan memberikan motivasi pada individu bahwa ia bisa memperoleh pandangan lain tentang pengalaman yang ia alami.
Selain denial yang dipakai sebagai strategi koping, menjadi normal adalah isu lain yang tak asing lagi bagi individu dengan penyakit kronis. Beberapa penelitian menemukan gagasan “menjadi normal” atau “melanjutkan hidup” adalah hal yang paling sering ditemukan dalam usaha hidup bersama penyakit kronis (Gallo et al. 1992 dalam Taylor, 2008; Admi, 1996; Christian & D’Auria, 1997; Atkin & Ahmad, 2001; Kim & Kang, 2003). Bagi para individu dengan penyakit kronis, mereka seolah hidup dengan “kehidupan ganda”. Sourkes dalam penelitiannya menjelaskan tentang kondisi yang dirasakan oleh individu dengan penyakit kronis, yaitu keinginan mereka untuk menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat yang sama, mereka harus hidup bersama dengan penyakit yang membuat mereka tampak “abnormal” dari penyakitnya (Sourkes, et al., 2005; Sourkes, 2007).
Berjuang untuk menjadi individu normal menjadi isu yang muncul pada masa remaja, khususnya remaja pertengahan (Taylor, et al., 2008). Semakin banyak terapi yang harus dilakukan, maka semakin besar tekanan yang diberikan oleh penyakit dan proses terapi pada kehidupan remaja (Gallo et al. 1992 dalam Taylor, et al., 2008). Kebutuhan untuk terlihat sama dengan teman sebaya, untuk dilihat sebagai "normal", yang begitu kuat muncul menyebabkan remaja meninggalkan kebiasaan berkenaan dengan proses
(53)
terapi yang sebelumnya ia terima tanpa banyak kesulitan (Michaud, Suris & Viner, 2007). Demi menunjukkan dirinya yang normal, remaja dengan penyakit kronis mencoba untuk menghadapi berbagai keterbatasan yang diberikan oleh penyakit, yang terkadang mengarah pada sikap menolak proses terapi (Taylor, et al., 2008).
D. Keengganan dalam Proses Terapi
1. Keengganan proses terapi (Non-compliant Behaviour)
Individu dengan penyakit kronis akan menemui suatu “proses yang terus berlanjut serta terus bergeser dimana individu akan mengalami suatu interaksi dua arah antara dirinya dan dunianya” (Paterson, 2001 dalam Kralik, Telford, & Koch, 2005). Lebih lanjut, melalui proses ini, individu akan merasakan adanya pergeseran perspektif dan cara mereka memaknai segala pengalamannya. Pergeseran ini bersifat dinamis, bisa berujung pada dua titik: pentingnya menjalani dan mempertahankan hidup atau jenuh terhadap proses berulang serta menyerah untuk berjuang. Pengalaman proses terapi yang terus berulang menghadirkan kejenuhan dan perasaan tidak lagi ingin melakukan terapi. Kejenuhan ini menjadi landasaan dari munculnya perasaan enggan untuk menjalani satu-satunya cara bertahan hidup mereka dengan penyakit kronis, yakni proses terapi.
Berbagai usaha tentunya telah dilakukan oleh para individu dengan penyakit kronis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi mereka yang baru, yakni dengan penyakit kronis. Namun, hal tersebut tidak menghindarkan mereka dari
(54)
situasi kejenuhan yang dirasakan dan mengarahkannya pada pilihan untuk tidak menjalani proses terapi. Secara konseptual, sikap yang ditunjukkan oleh individu dengan penyakit kronis seringkali dilihat sebagai “non-compliance behaviour” (NCB). Non-compliance behaviour dapat dimengerti sebagai “sejauh mana perilaku seseorang memiliki ketepatan dengan nasihat medis” (Sacket, 1976 dalam Kyngas, Hentinen, & Barlow, 1998). Kelebihan sudut pandang ini, kepatuhan dan ketidakpatuhan dipandang sebagai sebuah usaha aktif sekaligus proses perawatan yang bertanggung jawab, di mana pasien bekerja untuk menjaga kesehatan mereka dengan bekerjasama dengan para ahli kesehatan. Pasien disini bukan hanya mengikuti aturan yang ditata oleh ahli kesehatan, melainkan menunjukkan komitmen aktif untuk peduli secara aktif tentang kesehatannya (Hentinen, 1988 dalam Kyngas, et al., 1998). Hal ini menjadi pembeda utama dengan konsep yang terkadang sering dipertukarkan dengan istilah non-compliance behaviour, yakni non-adherence. NCB menghadirkan pergeseran dari sebuah pendekatan otoriter yang lebih tradisional menjadi sebuah kemitraan kolaboratif antara pasien dan dokter yang didasarkan pada tujuan yang saling menguntungkan sekaligus memberikan pemahaman bersama terkait masalah dan solusi yang potensial. NCB memunculkan sebuah model yang saat ini banyak digunakan yang disertai pengambilan keputusan bersama, di mana dokter dan pasien, setelah diskusi, bersepakat atas masalah mendasar yang dihadapi dan menawarkan jalan menuju penanggulangan (Kleinsinger, 2010). Dengan perspektif ini, suatu keengganan yang muncul dalam proses terapi individu dengan penyakit kronis
(1)
(sesuatu yang ingin dicapai)
Adanya bayangan diri di masa depan
(kesenjangan impian dan keterbatasan diri)
Impian yang dimiliki bertentangan dengan kondisi fisik informan (tidak boleh kelelahan)
Informan melakukan kompromi atas impian yang ingin dicapai karena kondisi fisik
Pengaruh
penyakit terhadap diri informan (Kesenjangan antara harapan dan keterbatasan diri)
Kepasrahan informan atas kondisi fisik yang menghambat
tercapainya impian.
Batasan dari orangtua
menghambat mimpi
Batasan yang diberikan orangtua mengacu pada kekhawatiran
terhadap kondisi fisik informan
Kepasrahan atas ketidakmungkinan mencapai mimpi. Meskipun demi kebaikan informan, batasan yang diberikan orangtua membatasi informan untuk berkembang dan mengeksplorasi hal yang ia sukai
Kepesimisan meraih cita-cita— batasan ortu
Informan merasa pesimis untuk mencapai mimpi karena skill & batasan dari orangtua terkait kondisi sakitnya Meskipun demi
Impian
(Keinginan untuk membahagiakan orang tua)
Ikatan emosional dengan ibu
Informan merasa bersalah karena
belum bisa
membahagiakan orang tua dan sering mengecewakan orang tua karena sikapnya yang tidak penurut
(2)
281 kebaikan informan,
batasan yang diberikan orangtua membatasi informan untuk berkembang dan mengeksplorasi hal yang ia sukai
Sikap terhadap batasan
(ketidaknyaman informan atas perlakuan
terhadap diri)
Ketidakmampuan informan untuk mengeksplorasi hal yang ia sukai karena keterbatasannya serta ketidaknyaman atas perlakuan diri
Kepasrahan atas
mimpi dan
batasan orang tua
Kepasrahan informan atas kondisi sakit dan batasan orang tua yang menghambat informan mencapai impian
26.
Bagaimana informan melihat
dirinya saat ini?
Citra diri
(keras kepala dan manja)
Karena kondisinya yang sakit, informan melihat dirinya sebagai pribadi yang manja, sangat disayang keluarga, dan keras kepala (tidak menurut ketika harus terapi medis).
Keinginan untuk mandiri dan tidak merepotkan orang lain (Kekhaawatiran pandangan negatif tentang diri)
Selain tidak ingin merepotkan orang lain, informan merasa malu bila harus terus bergantung pada orang lain di usianya yang ke 20 tahun.
Citra diri
(pribadi lemah sekaligus
tangguh)
Pandangan terhadap
kemampuan diri untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki Positif?
Citra diri
(Orang yang terus berjuang dan sadar atas kondisi sakit)
Keinginan bahwa proses pengobatan tidak menghambat kemauan serta keinginan untuk tidak bergantung pada orang lain
27. Kamu pernah (mengalami) ada
seorang sahabat yang juga punya
Gambaran mengenai kematian
Informan memiliki
kesiapan dan
memahami risiko terburuk dari kondisi
Kesadaran untuk lebih
memperhatikan diri
Informan memahami risiko terburuk dari kondisi sakit yang dihadapi dan bersikap
kesadaran
informan untuk lebih
memperhatikan
Kepergian rekan senasib membuat informan sedih sekaligus
(3)
penyakit yang sama, dan sudah
meninggalkan kita terlebih dahulu? Kalau
boleh tahu, bagaimana responmu saat mendengar hal
tersebut?
(Kesiapan: semua orang pasti akan meninggal suatu saat)
yang dihadapi
Keterikatan emosional dengan teman senasib membentuk persepsi atas kematian yang tidak terelakkan
Gambaran mengenai kematian
pasrah atas hidupnya Perjumpaan informan dengan kematian teman senasib menyadarkan
informan untuk lebih bertanggung jawab atas kondisi fisik Keterikatan
emosional dengan teman senasib membentuk persepsi atas kematian yang tidak terelakkan
diri Gambaran mengenai kematian
menyadarnya untuk lebih menjaga kondisi fisik
Gambaran mengenai kematian
Informan memiliki
kesiapan dan
memahami risiko terburuk dari kondisi yang dihadapi
Gambaran mengenai kematian (Kesiapan: kematian itu pasti ada, lebih takut Tuhan dan orangtua)
Informan memiliki kesiapan dan memahami bahwa risiko kematian pada akhirnya akan dihadapi semua orang
Keoptimisan menjalani hidup
Melihat realita
yang ada,
informan memiliki
pandangan yang optimis terhadap harapan
hidupnya Ikatan emosional
dengan ibu Gambaran mengenai kematian
Informan merasakan adanya ikatan emosional yang kuat dengan orang terkasih(kekhawatiran bila ia harus pergi) serta adanya penerimaan informan atas kemungkinan
Gambaran mengenai kematian (kekhawitiran orang terkasih yang
ditinggalkan)
Informan mendapatkan kasih sayang yang besar dari keluarga,
terutama ibu. Ikatan emosional ini membuat informan
(4)
283 terburuk dari kondisi
sakit
khawatir bila harus
meninggalkan mereka lebih dulu.
28.
Kalau aku Aladin dan aku
bisa mengabulkan
tiga permintaanmu,
selain permintaan akan
kesembuhan penyakit (karena
mungkin di Negeri Aladin juga belum bisa menyembuhkan),
hal apa yang akan kamu minta
terkait penyakit mu atau proses
pengobatan
Harapan atas adanya obat yang menyembuhkan & ketiadaan penyakit
Harapan yang dimiliki informan berkaitan dengan keinginan terjadinya perubahan atas kondisi sakit (tidak adanyanya penyakit thalassaemia
& adanya obat yang menyembuhkan) yang juga terikat secara emosional dengan lingkungan sosialnya (permintaan atas kesembuhan semua penderita dan tidak ada lagi orang lain yang menderita karena
thalassaemia)
Harapan
(Keinginan untuk menjalani
pengobatan secara teratur tanpa rasa malas)
Informan mengharapkan
adanya perubahan sikapnya atas proses terapi medis dan adanya perubahan persepsi orangtua terkait kondisi sakit sebagai harapan yang ingin dikabulkan informan
Harapan akan adanya inovasi atas terapi oral
Informan mengharapkan adanya inovasi pada terapi oral (ada varian rasa pada obat) untuk meningkatkan semangat berobat
Harapan atas penyakit & proses terapi (kesembuhan semua penderita
thalassaemia)
Keterikatan emosional dengan lingkungan sosial (teman senasib)
Kepulihan dan harapan atas berkurangnya kuantitas terapi (tranfusi dan dosis terapi oral)
Selain kepulihan atas penyakit, informan
berharap akan berkurangnya kuantitas tranfusi dan obat
(5)
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Setiawati Tjandra
ABSTRAK
Thalassaemia mayor sebagai penyakit kronis yang diturunkan secara genetis menempatkan proses terapi sebagai satu-satunya cara untuk terus bertahan di sepanjang kehidupan. Hanya saja, proses terapi yang terus dijalani menghadirkan gelombang naik dan turun di dalam perjuangan para remaja thalassaemia mayor. Keputusan untuk terus berjuang atau menyerah menjalani proses terapi menjadi bentuk krisis di masa ini. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang remaja thalassaemia mayor menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan metode analisis IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). IPA membantu peneliti untuk melakukan interpretasi atas makna personal informan terkait proses terapi serta merangkai pengalaman ini secara komprehensif. Penelitian ini menemukan bahwa sikap membohongi diri sendiri dan rasa malas akibat kejenuhan serta pengalaman negatif selama proses terapi menjadi alasan utama remaja thalassaemia mayor enggan berobat. Sebaliknya, ikatan emosional dengan ibu, kehadiran pasangan, dukungan keluarga dan sahabat menjadi hal yang mendorong remaja thalassaemia mayor untuk semangat berobat. Penemuan yang perlu digarisbawahi, demi mendorong remaja thalassaemia mayor untuk terus berobat, tujuan personal merupakan hal yang penting. Dukungan dari orang tua pada remaja thalassaemia mayor dengan menghadirkan kebebasan atas pilihan hidup dan kesempatan menghidupi minat mereka menjadi penting sebagai kekuatan mereka untuk terus berjuang mempertahankan hidup.
(6)
HEAR THEIR STORIES : THE EXPERIENCE OF THALASSAEMIA MAJOR ADOLESCENT THROUGH MEDICAL TREATMENT PROCESS
Setiawati Tjandra
ABSTRACT
In terms of medical treatment, adolescent with thalassaemia major would faced ebb and flow in the ongoing therapy. Repeated exposure to medical regiment enact crisis which also convey the weighty decision about the path to their future life to their hands. In this study, the author explore the psychological experiences during palliative care on adolescent with thalassemia major. The semi-structured interviews are conducted with three adolescent with thalassemia major. Interpretative phenomenological analysis was used as primary analysis. The result shows repeated measure to medical regiment give rise to non-compliance with medication that have roots in three major things: the act of self-denial, boredom as the impact of fed up with therapy, and the negative experience during medical treatment. To the contrary, emotional relationship with mother, the presence of romantic relationship, along with family and peers suppport became the encouragement. Furthermore, the result also shows that the presence of personal purpose in life occupied an important place. As a way to corroborate this finding, the presence of opportunity from parents to choose freely the way of their life and to live in freedom to grab their interest became basic reason for their struggle to keep going with life.