berkemampuan untuk berjualan dan pandai berhitung, dan Susanti yang merupakan pindahan dari Jakarta, Indonesia.
Dalam penelitian pengembangan menggunakan tokoh dalam serial animasi Upin dan Ipin sebagai gambar dalam kartu. Peneliti menggunakan gambar dalam
animasi Upin dan Ipin dikarenakan siswa dengan ADHD tertarik dengan serial animasi tersebut. Tokoh yang digunakan di antaranya Mei Mei, Upin, Ehsan, dan
Mail.
4.1.1.4 Matematika
1. Pengertian Matematika
Matematika berasal dari kata mathea yang artinya pengetahuan dan mathein yang artinya berpikir atau belajar. Menurut Letner dan Reys dkk dalam
Runtukahu dan Kandou 2014:28 mengatakan jika matematika tidak dapat disamakan
dengan berhitung
atau aritmatika.
Aritmatika atau
berhitung merupakan pengetahuan tentang bilangan dan merupakan bagian dari matematika.
Menguasai matematika tidak hanya siswa mampu untuk berhitung, akan tetapi juga terampil dalam menyelesaikan masalah dengan tahapan-tahapan tertentu.
Hamzah dan Muhlisrarini mengatakan jika dalam menyelesaikan masalah, paling sederhana siswa dapat menguraikan langkah-langkah menyelesaikan masalah
sekurang-kurangnya tiga langkah penyelesaian soal 2014:49. Dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan matematika adalah ilmu tentang bilangan hubungan
antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan Hamzah dan Muhlisrarini, 2014:48. Reys dkk
dalam Runtukahu dan Kandou, 2014:28 mengatakan bahwa matematika adalah
studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir dengan strategi, analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk memecahkan masalah-masalah abstrak dan
praktis. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu
yang berkaitan dengan bilangan yang terkait dengan strategi, analisis, sintesis, seni bahasa dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian
masalah. Tujuan dari pendidikan matematika adalah siswa mampu berhitung dan juga mampu menyelesaikan masalah dengan tahap-tahapan penyelesaian. Guru
Sekolah Dasar akan dikatakan berhasil dalam mengajar matematika jika siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menguraikan paling sedikit tiga langkah
penyelesaian soal sesuai prosedur operasional. 2.
Pembelajaran Matematika di SD
Pada dasarnya pembelajaran matematika di SD berpusat pada keterampilan berhitung. Keterampilan berhitung pada matematika SD mencakup penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan dan desimal. Melihat teori Piaget, anak Sekolah Dasar pada usia 7 sampai 11 kelas masuk dalam tahap operasional
konkret. Pada tahap operasional konkret anak sudah mampu membuat operasi logika dengan materi konkret. Piaget mendefinisikan operasi logika sebagai
kegiatan-kegiatan mental, di mana kegiatan-kegiatan dapat dikembalikan pada kegiatan awal dan dapat diintegrasikan dengan kegiatan-kegiatan lain yang juga
memiliki sifat kebalikan Runtukahu dan Kandou, 2014:79. Operasi bilangan merupakan keterampilan dasar berhitung yang dibutuhkan
untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Operasi bilangan
diantaranya ada penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Ketika masuk SD anak akan mulai diajarkan penjumlahan dan pengurangan pada kelas I
berupa penjumlahan sederhana. Pada kelas II akan dilanjutkan penjumlahan dan pengurangan sampai dengan angka ratusan. Penjumlahan dan pengurangan
merupakan dasar yang harus dikuasai siswa sebelum mempelajari operasi bilangan selanjutnya yaitu operasi perkalian dan pembagian. Siswa yang belum
menguasai konsep penjumlahan akan kesulitan untuk belajar dalam perkalian. Hal ini karena seperti yang kita ketahui jika perkalian merupakan penjumlahan
berulang. Menurut Runtukahu dan Kandou 2014:105 konsep penjumlahan harus dikembangkan
dari pengalaman
nyata. Dengan
cara ini
mereka akan
memanipulasi objek-objek dan menggunakan bahasanya yang akan diasosiasikan dengan simbol penjumlahan. Runtukahu dan Kandou juga menjelaskan setelah
anak-anak berpengalaman dengan objek-objek konkret menyangkut kegiatan bahasa tidak formal maka simbol penjumlahan formal + dapat diperkenalkan.
Runtukahu dan Kandou 2014:111 menyebutkan bahwa seperti pada operasi penjumlahan, operasi pengurangan harus diperkenalkan dengan pengalaman
konkret, model kegiatan yang menggunakan objek-objek yang dapat dimanipulasi dan penggunaan bahasa informal baru beralih pada bahasa formal. Pengenalan
operasi pengurangan dimulai dari pengalaman konkret sampai pada simbol matematika.
Booker dkk. dalam Runtukahu dan Kandou, 2014:111 menganjurkan pengajaran konsep pengurangan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan tiga
model berikut ini:
1. Model “memisahkan”
Model ini
memperkenalkan pengurangan
dengan mengangkat
masalah konkret yang diketahui anak, kemudian berdasarkan bahasa formal digantikan dengan bahasa matematika.
2. Model penjumlahan “dengan suku yang tidak diketahui”
Masalah konkret: “Siti hendak berlibur. Ia menyediakan 3 baju. Jika ia hendak membawa 5
baju. Berapa baju lagi yang diperlukan siti” Respon verbal:
“Ada tiga baju, berapa baju lagi harus ditambahkan sehingga menjadi 5 baju?” atau “3 ditambah berapa menjadi 5?”
3. Model “membandingkan”
Masalah konkret: “Budi mempunyai 5 kelereng dan Anton mempunyai 3 kelereng. Budi
mempunyai berapa kelereng lebih dari Anton?” Respon verbal:
“lima diambil tinggal berapa?” atau “tiga ditambah berapa menjadi 5?” Representasi simbolik:
5 – 3 = ....
3 + ... = 5 Dalam penelitian ini, pengembangan alat peraga matematika untuk
penjumlahan dan pengurangan angka disimbolkan dengan menggunakan gambar dan dengan menyangkut bahasa tidak formal, kemudian direpresentasikan
kedalam bahasa simbolik matematika. Pada operasi pengurangan, media ini mengembangkan model Bruner yaitu model “memisahkan”. Pada papan
penjumlahan dan pengurangan ketika menghitung pengurangan untuk mengetahui hasil pengurangannya yaitu dengan mengambil sejumlah gambar yang ada pada
papan. Gambar yang tersisah pada papan merupakan hasil dari pengurangan. Operasi ini kemudian direpresentasikan simbolik di papan bagian kanan yaitu
dengan menuliskan soal dengan dengan bahasa simbolik matematika dan
jawabannya berupa angka. 3.
Materi Penjumlahan dan Pengurangan di Kelas II
Menurut kurikulum KTSP 2006, matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari Sekolah Dasar untuk membekali peserta didik
dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Di salam Standar Isi KTSP tahun 2006 dituliskan ada 5
tujuan pembelajaran matematika salah satu diantaranya adalah bertujuan agar peserta didik memiliki sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan Sekolah Dasar dan
sederajat meliputi aspek-aspek bilangan, geometri dan pengukuran, dan
pengolahan data. Penelitian ini berkaitan dengan penjumlahan dan pengurangan sampai 500 pada kelas II semester ganjil yang dalam aspek matematika masuk
dalam aspek bilangan. Materi tersebut terdapat dalam Standar Kompetensi 1 “Melakukan pejumlahan dan pengurangan sampai 500” dan Kompetensi Dasar
1.4 “melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai 500”. Sebelum
belajar penjumlahan dan pengurangan, anak harus terlebih dahulu memahami nilai tempat satuan, puluhan, dan ratusan. Meskipun di kelas II penjumlahan dan
pengurangan sampai 500, akan tetapi karena siswa dengan ADHD yang menjadi subjek dalam penelitian ini belum bisa berhitung sama sekali maka dalam
penelitian ini, siswa tersebut dapat berhitung penjumlahan dan pengurangan sampai 50.
Meskipun demikian, peneliti dalam mengembangkan alat peraga papan penjumlahan dan pengurangan hanya sebatas dapat digunakan untuk menghitung
penjumlahan dan
pengurangan sampai
50 saja. Namun peneliti dalam mengembangkan alat peraga ini menambah lingkup materi yang lebih luas yaitu
dapat digunakan untuk penjumlahan dan pengurangan sampai ribuan 4.1.1.5
Teori Perkembangan Anak
Perkembangan dimulai dari lahir sampai dewasa. Ada tiga teori atau pendekatan mengenai perkembangan, yaitu pendekatan perkembangan kognitif,
belajar dan lingkungan, dan etologis. Yusuf 2009:4 mengungkapkan bahwa pendekatan perkembangan kognitif didasarkan pada asumsi atau keyakinan bahwa
kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Teori kognitif yang sering digunakan saat ini adalah teori
kognitif Piaget. Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau periode-periode yang terus bertambah kompleks Desmita,
2007:46. Piaget membedakan empat tahap perkembangan kognitif pada anak Suparno, 2001:5. Empat tahapan tersebut adalah: 1 tahap sensori-motor yang
terjadi sejak anak lahir sampai berumur 2 tahun, 2 tahap praoperasional pada
umur 2 sampai 7 tahun, 3 tahap operasional konkret pada umur 7 sampai 11 tahun, dan 4 tahap operasional formal setelah 11 tahun ke atas.
1. Tahap sensori-motor