Latar Belakang BAB I

1. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki dampak yang sangat merugikan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut “Soil Transmited Helmintes STH ”. STH sendiri masih dianggap tidak penting di masyarakat, karena dianggap tidak membahayakan atau menyebabkan kematian. Namun pada kenyataannya dampak dari infeksi STH dapat menyebabkan penurunan kesehatan bahkan kematian Depkes RI, 2010. Infeksi STH dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap kesehatan yang menyebabkan kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung STH dapat mempengaruhi pemasukan, penyerapan serta metabolisme makanan ke dalam tubuh. Secara kumulatif STH dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain kerugian pada penurunan zat gizi, STH dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan serta produktifitas kerja, dan dapat pula menurunkan ketahanan dan kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit dan infeksi lainya DikJen PPPL RI, 2012. Menurut Aditama 2010, satu ekor cacing dapat mengisap darah, protein, dan karbohidrat dari tubuh manusia. Cacing gelang dapat mengisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein, cacing cambuk mampu mengisap 0,005 mL darah, dan cacing tambang mampu mengisap 0,2 mL darah. Secara sekilas angka tersebut masih terlihat sangat rendah, namun jika diakumulasikan dengan jumlah penduduk, prevalensi rata-rata jumlah cacing 6 ekor per orang dan kemungkinan kerugian akibat kehilangan nutrisi berupa protein, karbohidrat dan darah, tentu akan memberikan efek yang sangat membahayakan. Menurut WHO 2015, lebih dari 1,5 miliar orang atau sekitar 24 dari penduduk dunia mengalami infeksi STH. Dimana lebih dari 270 juta anak usia pra-sekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah yang menderita infeksi STH dan membutuhkan perlakuan yang intensif. Infeksi STH tersebar luas pada daerah tropis maupun subtropis, termasuk Indonesia. Menurut Kemenkes RI tahun 2006, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Subdit diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 Provinsi menunjukkan prevalensi STH sekitar 2,2 - 96,3. Survei yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Bangsa YKB tahun 2006-2007, rata-rata angka prevalensi cacingan di daerah Jakarta Timur adalah sekitar 2,5 dan Jakarta Utara sebesar 7,8. Survei pada tahun 2009-2010 yang dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukan rata-rata prevalensi cacingan sebesar 27,28. Tahun 2011 data yang terkumpul melalui survei yang dilakukan di beberapa KabupatenKota, diperoleh beberapa angka yang bervariasi diantaranya, di Kabupaten Lebak dan Pandeglang memiliki rata-rata yang cukup tinggi yaitu 62 dan 43,78, selanjutnya di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensinya 21,78, di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram menunjukkan prevalensi berturut- turut 29,47 dan 24,53. Terakhir Kabupaten Sumba Barat menunjukkan prevalensi sebesar 29,56 DikJen PPPL RI, 2012. Berdasarkan data tersebut dapat diartikan bahwa di Indonesia merupakan daerah endemis STH. Di provinsi Bali sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan Laboratorium Parasitologi Universitas Udayana pada tahun 2000, menyatakan bahwa prevalensi STH pada penduduk pedesaan di Bali relatif tinggi, dimana 35 positif hork worm, 63 terinfeksi cacing cambuk, dan terinfeksi cacing gelang mencapai 74. Sedangkan penelitian yang dilakukan Kapti selama kurun waktu 2003 – 2007 di daerah Bali menujukkan prevalensi STH berkisar antara 40,94 - 92,4. Pada tahun 2004 penelitian lain yang dilakukan pada 13 SD di daerah Badung, Denpasar dan Gianyar yang menunjukkan rata-rata prevalensi infeksi cacing tularan tanah sekitar 58,3 - 96,8. Kabupaten Badung menrupakan salah satu Kabupaten di Bali yang dinyatakan endemis STH. Dilihat dari keadaan topografi, Kabupaten Badung terbagi menjadi dua karakteristik wilayah, yaitu bagian selatan merupakan daerah perkotaan dan pantai, serta bagian utara merupakan wilayah perbukitan yang lembab. Berdasarkan penelitian yang dilakukan kapti tahun 2003 – 2007 prevalensi STH di Desa Blahkiuh adalah sebesar 94, dimana angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pada daerah perkotaan yang hanya sebesar 15. Hal ini menunjukan bahwa prevalensi STH lebih tinggi di pedesaaan dibandingkan di perkotaan. Ini disebabkan karena karateristik penduduk desa yang dominan memiliki mata pencaharian sebagai petani yang cenderung kontak langsung dengan tanah sebagai media penularan STH. Pada umumnya infeksi STH cenderung menginfeksi anak-anak usia Sekolah Dasar karena daya tahan tubuh yang masih rendah serta perilaku yang lebih sering kontak dengan tanah sebagai media penularan. Secara epidemiologi, faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada anak diantaranya iklim tropis, kesadaran akan kebersihan yang masih rendah, sanitasi buruk, kondisi social ekonomi yang rendah, serta kepadatan penduduk Depkes, 2010. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fitri 2012 terdapat hubungan yang signifikan antara air bersih, jamban, SPAL, tempat sampah, kondisi halaman, kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan dengan infeksi kecacingan, dimana faktor kebiasaan cuci tangan adalah yang paling besar mempengaruhi terjadinya infeksi kecacingan. Desa Taman merupakan dataran rendah dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata yang dimiliki desa ini sekitar 19 o – 28 o C dimana suhu tersebut merupakan suhu yang baik untuk perkembangan telur cacing hingga menjadi infektif. Selain daripada itu studi awal yang dilakukan, peneliti melihat kebiasaan masyarakat yang masih memanfaatkan sungai sebagai tempat pemandian, mencuci serta membang air besar. Anak-anak di desa tersebut juga masih suka bermain ditanah dan tidak menggunakan alas kaki ketika bermain. Dari beberapa rumah warga masih terdapat rumah yang menyatu dengan kandang ternak serta lantai yang tidak berbahan yang layak. Faktor penularan cacing dapat berupa jenis tanah, suhu, kelembaban, perilaku manusia terkait dengan sanitasi dan hygiene misalnya kebiasaan mencuci tangan dengan air bersih sebelum makan, penggunaan alas kaki dan buang air besar disembarang tempat, tidak tersedianya pembuangan limbah kotoran manusia yang memadai serta kurangnya kepedulian terhadap pengobatan penyakit kecacingan Ridwigdo dalam Marlina, 2012. Melihat dari hal-hal tersebut diatas yang merupakan suatu perilaku dan kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi cacing, maka peneliti ingin melihat faktor risiko kejadian infeksi Soil Transmitted Helmints pada anak SD di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Perbandingan Status Nutrisi Antara Anak Dengan Dan Tanpa Infeksi Soil Transmitted Helminths

1 44 85

Perbandingan Status Nutrisi antara Anak dengan dan tanpa Infeksi Soil Transmitted Helminths

0 43 92

Hubungan Antara Higiene dengan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths pada Siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

0 38 78

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Kejadian Underweight pada Sekolah Dasar Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011

0 39 62

Pengaruh Infeksi Soil Transmitted Helminth Terhadap Kemampuan Kognitif Anak

1 35 64

Gambaran Kontaminasi Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Negeri 060891 Kecamatan Medan Baru tentang Infeksi Cacing Tahun 2010

0 32 55

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4 BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

5 116 77

Faktor Risiko Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Anak Sekolah Dasar Di Dataran Tinggi Dan Rendah Di Kabupaten Gianyar Tahun 2016.

1 3 45

IDENTIFIKASI TELUR NEMATODA USUS (Soil Transmitted Helmints) PADA ANAK DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) PUUWATU

0 0 6

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG KECACINGAN (INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS) DENGAN ANGKA KEJADIAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA MURID SD NEGERI 3 BAJUR, KECAMATAN LABUAPI, KABUPATEN LOMBOK BARAT - Repository UNRAM

0 0 18