Pornomedia 1. Media Massa dan Pornomedia
II.4. Pornomedia II.4.1. Media Massa dan Pornomedia
Media massa adalah sarana komunikasi dan informasi yang berperan untuk melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses masyarakat secara massal
pula. Informasi massal adalah informasi yang ditujukan untuk masyarakat secara menyeluruh dan bukan hanya pribadi tertentu saja.
Berdasarkan fungsi-fungsi media massa yang ada, maka dapat dikatakan pula bahwa media massa memiliki peran di dalam menciptakan apa yang disebut dengan daya tarik
seks sex appeal. Mengenai hal ini dapat diasumsikan bahwa fungsi media massa sebagai salah satu sarana pembangkit gairah seks adalah fungsi yang paling dapat menjelaskan
mengapa media massa dipandang berperan di dalam menciptakan segala sesuatu yang berkaitan dengan seks, pornografi dan juga pornoaksi.
Sebagaimana terjadi pada produk hiburan umumnya, dalam sebuah film ada saja daya tarik tertentu yang ‘dipasang’ sebagai pemikat. Umpamanya lawakan, kekerasan,
kecantikan para artisnya, teknologi yang dipakai dalam pembuatan film, seks, dan lain sebagainya. Pemikat ini biasanya bukan menjadi tema utama film melainkan pendukung
sebuah produksi film itu sendiri agar mendapat perhatian dan memuaskan penontonnya, sedangkan kekuatan film itu sendiri tetap ada pada alur dan tema ceritanya. Pemikat dalam
film didasari pada pertimbangan pasar dan selera penonton, sehingga dua pertimbangan inilah yang mendominasi produk-produk film komersial. Namun, saat film tidak lagi memiliki
kekuatan pada alur dan tema ceritanya, maka untuk tetap laku, materi pemikat menjadi tumpuan utama. Hal ini dapat kita saksikan saat ini dimana para praktisi perfilman mulai
membungkus film-filmnya dengan komedi seksual bahkan film-film horor yang dikemas dengan adegan-adegan seronok para artisnya.
Universitas Sumatera Utara
Sejak dulu seks adalah tema-tema kehidupan yang tidak pernah habis dibicarakan serta menarik semua orang. Hal ini disebabkan karena seks selain menjadi kebutuhan semua
orang, seks, dan obyeknya cenderung tertutup oleh bingkai-bingkai agama, tradisi dan moral masyarakat itu sendiri. Selera-selera masyarakat seperti ini ditangkap oleh praktisi film sebagai
suatu peluang pasar. Hal ini bisa dilihat seperti yang dikutip oleh TEMPO edisi 25 Juni 1994. Dari 32 film nasional yang beredar pada tahun 1993, hanya tiga film yang bebas dari adegan-
adegan seks yaitu Plong karya Putu Wijaya, Ramadhan dan Ramona karya Chaerul Umam, dan Yang Muda Yang Bercinta karya Syumanjaya. Sisa film-film yang lainnya adalah film-
film yang bertemakan horor, silat, drama, komedi, yang sarat bermuatan seks. Menurut data PT.Perfin, film Plong yang bebas seks itu hanya ditonton oleh 8.400
orang. Sedangkan Gairah Malam yang bertemakan seks ditonton oleh hampir 265.000 orang. Begitu pula dengan Gadis Metropolis yang sarat dengan adegan seks, ditonton oleh 200.000
lebih penonton. Gambaran diatas menunjukkan bagaimana perfilman nasional telah menggunakan peluang minat pasar yang secara bisnis menguntungkan, namun dapat merusak
moral bangsa. Hal ini dikarenakan tema dan ide cerita film-film produksi nasional berputar- putar pada fokus cerita yang sama dengan dominasi masalah percintaan, sehingga otomatis
seks adalah pemikat utamanya. Perdebatan tentang pornografi dan erotika, muncul ke permukaan, tidak hanya
karena nilai-nilai seksual, akan tetapi kadang perdebatan muncul hanya untuk menentukan makna sebenarnya dari kata porno itu sendiri. Perdebatan-perdebatan latent-manifest tentang
pornografi selalu dijumpai dimana saja. Hal tersebut antara lain disebabkan karena subyektivitas obyek dan subyek pelaku selalu dipertentangkan. Sehingga akhirnya akan
merekonstruksi nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada subyektivitas masing-masing. Karya-karya seni visual seperti karya lukis, patung, relief maupun arca dan
semacamnya, walaupun mengekspose seks secara berlebihan serta bermakna melecehkan,
Universitas Sumatera Utara
selalu dapat diterima oleh masyarakat sebagai seni itu sendiri. Dan yang paling banyak mendapat kritik adalah karya-karya seks visual melalui film dan fotografi. Walaupun karya-
karya film dan fotografi hanya mengulang apa yang pernah dilakukan oleh pelukis dan pemahat dalam mengeksploitasi seks, akan tetapi hal ini tetap dipandang oleh mayoritas
masyarakat sebagai karya yang sarat dengan pesan-pesan porno. Perbedaan perilaku masyarakat terhadap seks seperti dalam karya seni diatas,
mungkin terletak pada obyek seks yang diperdebatkan itu sendiri. Semakin dekat perilaku itu pada makna seks yang sebenarnya maka hal itu semakin mendapat reaksi masyarakat. Pada
perilaku verbal, seks yang diperbincangkan jauh dari objek seks itu sendiri secara visual. Namun perilaku seks visual selalu menghadirkan obyek-obyek seks dalam bentuk-bentuk yang
sebenarnya. Dan juga karena sifat visual yang lebih ‘berkesan’ daripada verbal, maka visualisasi seksual ini lebih banyak dipandang sebagai pornografi. Film dan fotografi,
umpamanya selalu menyuguhkan obyek-obyek manusia sebagai sasaran langsung dalam karya-karya seni yang berhubungan dengan seks dan hal ini dipandang sebagai pornografi.
Pornografi dari bahasa Yunani ‘pornographia’-secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur; kadang kala juga disingkat menjadi ‘porn’, ‘pron’, atau ‘porno’
adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual. Pornografi dapat menggunakan berbagai media-teks
tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak animasi, dan suara seperti misalnya suara orang yang bernafas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar
yang bergerak, teks erotik yang diucapkan danatau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dengan teks tertulis. Novel dan cerita pendek
menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Akhirnya, berita dan gambar erotika serta film-film tersebut kadang menjadi rubrik-rubrik dan tontonan tetap di media massa cetak,
televisi, atau gedung-gedung bioskop pada umumnya. Bahkan tidak jarang, media massa
Universitas Sumatera Utara
tertentu menyuguhkan gambar-gambar tetap wanita dalam sajian sensual dan erotik, untuk menggaet lebih banyak keuntungan pasar. Bahkan tayangan untuk anak-anak pun sudah
diselipkan beberapa adegan pornografi, baik yang dilakukan oleh tokoh film kartun yang masih anak-anak maupun tokoh kartun orang dewasa.
Dalam wacana porno, ada beberapa variasi pemahaman porno yang
dikonseptualisasikan Bungin, 2003: 154-155, yaitu :