Kekurangan dalam Jaminan Pendapatan untuk Anak-anak
4.3.3. Kekurangan dalam Jaminan Pendapatan untuk Anak-anak
4.3.3.1. Kekurangan dari sisi jangkauan
Banyak program masih menghadapi masalah keterbatasan jangkauan, baik dalam hal jumlah penerima manfaat maupun dalam hal jangkauan wilayah. Di antaranya yang dialami oleh Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), yang menyasar anak-anak dengan permasalahan sosial. Meskipun program ini terus berkembang, saat ini jumlah penerima manfaat masih jauh di bawah perkiraan jumlah anak yang membutuhkan (lihat paragraf mengenai
PKSA di bagian 4.2.2.2 ). Dalam program PKH, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan di sebagian wilayah—khususnya wilayah timur Indonesia, menjadi penghambat perluasan program ini. Program makanan tambahan anak sekolah (PMTAS), meskipun ditargetkan kepada seluruh siswa TK dan SD di wilayah yang dituju, di beberapa wilayah masih belum menjangkau seluruhnya. Di salah satu Kabupaten (TTS di NTT), pada tahun 2010 tidak semua sekolah menerima bantuan, dan di sekolah yang menerima, anggarannya lebih rendah dari jumlah total siswa. Pada tahun 2011 program tersebut sudah menjangkau seluruh sekolah, tetapi jumlah siswa yang dianggarkan lebih rendah dari jumlah siswa yang ada (untuk SD dianggarkan 64.725 siswa dibandingkan dengan 81.774 total jumlah siswa SD berdasarkan data BOS).
4.3.3.2. Perlunya perbaikan data dan mekanisme penetapan target
Keterbatasan jangkauan seringkali diperparah oleh ketiadaan data yang dapat diandalkan dan mekanisme penetapan target yang efi sien. Beberapa program seperti PKSA tidak memiliki data dasar yang lengkap mengenai kelompok target yang dimaksud. Akibatnya, identifi kasi penerima bantuan tidak dapat dilakukan dengan sistematis. Anak
39 yang masuk dalam program umumnya diidentifi kasi dan didaftarkan oleh LSM/lembaga sosial.
4.3.3.3. Kebutuhan akan koordinasi dan sinkronisasi program
Kurangnya koordinasi menyebabkan kurang sinkronnya pelaksanaan antar program untuk anak-anak. Di tingkat nasional, ada persetujuan bahwa BSM harus memprioritaskan siswa dari keluarga penerima PKH, namun di tingkat daerah hal ini sering tidak terjadi. Hal ini antara lain disebabkan penetapan target dilakukan secara terpisah: PKH berdasarkan data nasional, sementara pemilihan penerima BSM dilakukan oleh sekolah berdasarkan rekomendasi komite sekolah dan komunitas. Seringkali sekolah maupun dinas pendidikan setempat memiliki pertimbangan lain, misalnya pemerataan kepada siswa yang belum menerima bantuan program. Untuk itu, kedua program tersebut perlu diharmonisasi demi penyelenggaraan yang lebih efektif.
4.3.3.4. Permasalahan dalam manajemen dan penyaluran manfaat
Salah satu permasalahan dalam implementasi program adalah keterlambatan penyaluran bantuan dan manajemen yang kurang efi sien. PMTAS mengalami keterlambatan penyaluran dana, sehingga dana terebut tidak dapat terserap secara maksimal karena jumlah hari pemberian makanan menjadi sangat terbatas. Berdasarkan wawancara dan konsultasi dengan pihak dinas pendidikan di salah satu Kabupaten di NTT, didapatkan informasi bahwa dana
ia es
PMTAS 2011 baru didistribusikan di bulan Agustus sehingga tidak dapat digunakan semuanya dan pada akhir
d on
tahun dana yang tidak digunakan harus dikembalikan.
ia l In os
Raskin juga menghadapi permasalahan dalam ketepatan sasaran dan efi siensi program. Warga tidak tahu mengenai an g berapa banyak beras yang menjadi hak mereka maupun mengenai jadwal penyaluran. Selain itu, manajemen
d program mahal, monitoring dan evaluasi tidak efektif, dan mekanisme pengaduan tidak efektif (Hastuti et al,
4.3.4. Kekurangan dalam Jaminan Sosial untuk Penduduk Usia Kerja
u ju ia :: Men
4.3.4.1. Program ketenagakerjaan kurang dikaitkan dengan program jaminan sosial
es d on
In i
d Agar tercapai hasil yang optimal, perlu adanya kaitan yang erat antara program ketenagakerjaan dengan program al jaminan sosial. Program bantuan perlu dihubungkan dengan upaya meningkatkan kemampuan memperoleh
on si
pekerjaan (employability) melalui pelatihan dan fasilitasi lain yang membantu mereka mendapat pekerjaan,
Na log
penciptaan lapangan kerja maupun return to employment apabila mereka tidak lagi bekerja (misalnya karena PHK
ia
n D atau karena disabilitas dan lain-lain) sehingga peserta dapat meningkat ke pekerjaan yang lebih layak, dan dengan
ka ar
demikian mampu menjadi peserta jaminan sosial dan membayar iuran.
d as ia l B er
Program yang mempekerjakan warga juga perlu memprioritaskan jaminan sosial bagi pekerjanya. Sebagai contoh,
PNPM belum memiliki informasi apakah pekerja maupun kontraktornya menjadi peserta program jaminan sosial,
os
S an
dan tidak ada mekanisme untuk memeriksa atau mewajibkan mereka. Program ketenagakerjaan dan program
perlindungan sosial harus sejalan-seiring. Di samping itu, program-program pekerjaan umum atau yang sifatnya
lin er
padat karya juga perlu dikaitkan dengan pelatihan kerja, sehingga dampaknya lebih berkesinambungan.
P an as d
an ia n L
4.3.4.2. Program pelatihan seringkali dilaksanakan secara parsial
ila en P
Berbagai pelatihan yang behubungan dengan kegiatan produktif dilaksanakan oleh beberapa dinas kementerian (misalnya dinas pertanian dan perkebunan, peternakan, perikanan, pemberdayaan perempuan dan lain-lain). Namun
40 pelatihan-pelatihan tersebut seringkali diselenggarakan secara parsial dan kurang berkesinambungan. Selain itu, kualitas pendampingan, pelatihan dan monitoring untuk memastikan bahwa keterampilan yang didapatkan terus berkembang dan bermanfaat juga masih banyak yang belum memadai.
4.3.4.3. Pesangon memberi perlindungan yang lebih rendah dibandingkan asuransi pengangguran (unemployment insurance)
Pesangon yang diterima sekaligus saat terjadi PHK memberi perlindungan yang lebih rendah bagi pekerja, dan membuat biaya rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja menjadi lebih mahal untuk pengusaha. Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi asuransi pengangguran (unemployment insurance) agar pengeluaran bagi pengusaha dapat lebih diperkirakan dan perlindungan bagi pekerja lebih lama.
4.3.4.4. Tantangan yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan dalam memperluas jangkauan
Sebagaimana halnya BPJS Kesehatan, salah satu tantangan BPJS Ketenagakerjaan adalah untuk memperluas jangkauan jaminan sosial ke pekerja di sektor informal. PT Jamsostek, yang akan ditransfomasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, saat ini hanya memfokuskan pelayanan mereka kepada pekerja swasta formal. Transformasi tersebut mengharuskan Jamsostek meningkatkan kapasitasnya agar dapat menjangkau seluruh pekrja di semua wilayah Indonesia, terutama pekerja informal yang saat ini belum tercakup. Hal ini juga berarti harus ada skema yang efektif dan sesuai dengan karakteristik para pekerja informal tersebut.