Pengendalian Dengan Menggunakan Agensia Hayati Pseuodomonad fluoresen Pengendalian Dengan Menggunakan Actinomycetes

persen, sedangkan perlakuan antibiotik pyrrolnitrin menambah ketahanan 13-70 persen. Ini berarti bakteri Pseudomonad fluoresen berpotensi sebagai agen pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Tetapi tidak semua Pseudomonad fluoresen yang diisolasi dari risosfer tanaman bersifat antagonistik terhadap R. solanacearum Arwiyanto, 1997.

b. Pengendalian Dengan Menggunakan Agensia Hayati Pseuodomonad fluoresen

Penyakit layu bakteri pada tomat yang disebabkan oleh R. solanacearum dikendalikan secara hayati dengan organisme rizosfer yaitu Pseuodomonad fluoresen. Berdasarkan hasil penelitian Wuryandari 2006 menjelaskan dari 10 isolat Pseudomonad flouresen yang diuji daya hambatnya terhadap perkembangan penyaki layu R. solanacearum di rumah kaca, menunjukkan hasil yang bervariatif. Salah satunya adalah isolat Pseudomonad fluoresen strain Pf -122 yang mampu menghambat perkembangan penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yaitu sampai hari ke-30 indeks penyakitnya hanya 49,9 . Isolat Pf-122 menunjukkan kemampuan yang paling tinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu R. solanacearum terbukti dengan rendahnya laju infeksi atau rendahnya kecepatan perkembangan penyakit layu bakteri. Isolat yang kedua adalah Isolat Pf-142 yang dapat menekan mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum secara bakteriosida. Isolat Pseudomonad fluoresen yang di gunakan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum Adanya perbedaan kemampuan isolat-isolat Pseudomonad fluoresen dalam menghambat perkembangan penyakit layu mungkin disebabkan karena pseudomonad fluoresen mempunyai kemampuan mengeluarkan senyawa penghambat yang berbeda, selain itu juga memiliki kemampuan kompetisi nutrisi dengan R. solanacearum dan mokroorganisme lain dalam tanah lebih baik.

c. Pengendalian Dengan Menggunakan Actinomycetes

Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang umum dijumpai pada berbagai jenis tanah. Populasinya berada pada urutan kedua setelah bakteri, bahkan kadangkadang hampir sama Alexander, 1977; Elbeon, 2000. Actinomycetes hidup sebagai safrofit dan aktif mendekomposisi bahan organik, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah Nonomura dan Ohara, 1969a,b. Actinomycetes merupakan salah satu mikroorganisme yang mampu mendegradasi selulosa disamping bakteri, kapang, dan khamir Abe et al, 1979; Nakase et al, 1994; Xu et al, 1996. Actinomycetes adalah merupakan organisme gram positif yang merupakan peralihan antara jamur dan bakteri. Jenis Actinomycetes tergantung pada tipe tanah Davies dan Williams, 1970, karakteristrik fisik, kadar bahan organik, dan pH lingkungan Xu et al., 1996. Jumlah Actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami dekomposisi Nonomura dan Ohara, 1971. Pada umumnya Actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada keadaan lingkungan dengan pH di bawah 5,0 Jiang dan Xu, 1985; Jiang et al., 1988. Tanah yang tergenang air tidak cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes, sedangkan tanah gurun yang kering atau setengah kering dapat mempertahankan populasi dalam jumlah cukup besar, karena adanya spora Nonomura dan Ohara, 1971a,b,c,d; Alexander, 1961. Temperatur yang cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes adalah 25-30ºC, tetapi pada suhu 55-65ºC Actinomycetes masih dapat tumbuh dalam jumlah cukup besar, khususnya genus Thermoactinomyces dan Streptomyces Rao, 1994. Selama ini actinomycetes telah banyak diteliti dan dimanfaatkan orang dibidang kesehatan karena kemampuanya dalam menghasilkan antibiotik. Maka actinomycetes dapat digunakan untuk agensia hayati atau antagonis terhadap patogen tanaman. Namun demikian di bidang pertanian terutama di Indonesia penelitian dan pemanfaatan actinomycetes sebagai agen hayati jarang dilakukan, berbeda dengan bakteri, jamur dan virus yang telah dilakukan banyak orang. Di luar negeri, pemanfaatan Actinomycetes sebagai agen hayati telah cukup berkembang, bahkan ada yang mempormulasikan dan dikemas sebagai biokontrol yang dipasarkan. Baker dan Cook, 1974. Mujoko 2005, menjelaskan bahwa isolat Actinomycetes yang didapatkan dilapang sebanyak 22 isolat actinomycetes yaitu 6 isolat Wajak, 6 isolat Pare 3, 6 isolat Pare 8, dan 4 isolat Pare 5. Dari 22 isolat yang diteliti ternyata isolat dari Pare 8 dan Wajak sangat efektif dalam menekan pertumbuhan Fusarium sampai 100 dan menghasilkan berat buah terbesar. Penurunan populasi Fusarium diduga karena adanya antibiotik yang dikeluarkan oleh isolat actinomycetes yang merusak atau menghambat pertumbuhan Fusarium. Mekanisme antagonisme yang dilakukan actinomycetes meliputi: a. antibiosis yaitu dengan mengeluarkan berbagai macam antibiotik. b. Kompetisi, terutama terhadap penggunaan sumber karbon. c. Parasitisme yaitu mampu mengeluarkan enzim chitinase untuk merusak dinding sel jamur Robert, 2002.

d. Pengendalian Hayati Dengan Mengkombinasikan Dua Agensia Hayati