Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan

(1)

GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PELAKSANAAN

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI

DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH

PEMPROVSU MEDAN

SKRIPSI

Oleh

YUNIARTY HARTATY BR.SEMBIRING 111121111

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar kesarjanaan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Wardiah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah menyediakan waktu serta dengan penuh keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat selama masa perkuliahan di fakultas keperawatan dan selama penyusunan proposal ini.

4. Ibu Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep, Ns, M. Nurs selaku dosen penguji I yang telah memberikan masukan, kritik dan saran bagi peneliti.

5. Bapak Ismayadi, S.kep, Ns selaku dosen penguji II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan yang bermanfaat bagi peneliti.


(4)

6. Pimpinan Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan yang telah memberikan izin kepada penulis agar dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan.

7. Teristimewa kepada kedua orang tua saya Bapak Arman Sembiring,SH dan Ibu Teria Br.Karo,AmKa yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil, doa, bimbingan, memotivasi dan bagi penulis, kepada kakak dan adikku yang sudah memberikan semangat, do’a dan bimbingan selama ini.

8. Seluruh mahasiswa Ekstensi pagi Fakultas Keperawatan stambuk 2011 Universitas Sumatera Utara, khususnya Hasnul, Agung, Endang, Anita, Merka, Meliza, Syahdam dan semua teman yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini dan seseorang yang kusayangi dan kucintai (Jendaita Supriadi Ginting) yang senantiasa menemani, memberikan semangat, motivasi, dukungan, penghiburan bagi penulis.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Februari 2013 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... viii

Daftar Tabel………....ix

Abstrak ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan masalah ... 4

1.3.Tujuan Penelitian ... 5

1.4.Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan ... 6

2.1.1. Pengertian pengetahuan ... 6

2.1.2. proses Adopsi Perilaku ... 6

2.1.3. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif ... 7

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan ... 9

2.2. Isolasi Sosial ... 12

2.2.1. Defenisi Isolasi Sosial ... 12


(6)

2.2.3. Rentang Respon Sosial ... 16

2.2.4. Etiologi Isolasi Sosial ... 18

2.2.5. Psikopatologi ... 20

2.2.6. Manifestasi Perilaku ... 20

2.3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) ... 22

2.3.1. Pengertian Kelompok ... 22

2.3.2. Komponen Kelompok ... 22

2.3.3. Pengertian TAK ... 25

2.3.4. Tujuan TAK ... .25

2.3.5. Karakteristik Pasien ... .26

2.3.6. Model TAK ... .26

2.3.7. Macam TAK ... .28

2.3.8. Tahap-tahap dalam TAK ... .32

2.3.9. Peran Perawat dalam TAK ... .34

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep ... 38

3.2. Variabel dan Defenisi Operasional ... 39

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ... 40

4.2. Tempat dan Waktu ... 40

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

4.4. Instrumen Penelitian ... 42


(7)

4.6.Pertimbangan Etik ... 45 4.7. Pengolahan Data... 46 4.8. Analisa Data ... 47

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian ... 49 5.2. Pembahasan ... 54

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 60 6.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 2. Instrumen Penelitian

3. Taksasi Dana

4. Jadwal Tentative Penelitian

5. Lembar Kegiatan Bimbingan Skripsi

6. Lembar Surat Pengambilan Data dari Fakultas Keperawatan

7. Lembar Surat Pemberian Izin Pengambilan Data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU

8. Lembar Pemberian Izin Selesai Penelitian dari Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU

9. Analisa Reliabilitas Instrumen 10. Analisa Data


(8)

DAFTAR SKEMA

Gambar1. Kerangka Penelitian Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada Pasien Isolasi Sosial di RSJ Daerah Provsu Medan ... 37


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel.1 Definisi Operasional ... .... 38 Tabel 5.1 Distribusi frekwensi berdasarkan karakteristik umur dan lama kerja....48 Tabel 5.2 Distribusi frekwensi berdasarkan karakteristik jenis kelamin, suku, agama,

dan pendidian………48 Tabel5.3 Distribusi frekwensi berdasarkan pengetahuan perawat tentang Terapi


(10)

Judul : Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

Peneliti : Yuniarty Hartaty Br.Sembiring

NIM : 111121111

Fakultas : Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Tahun Akademik : 2012/2013

Abstrak

Terapi aktivitas kelompok merupakan upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan

sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial. Terapi Aktivitas Kelompok

Sosialisasi (TAKS) merupakan terapi tambahan yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Dalam hal ini pengetahuan perawat sangat dibutuhkan untuk pelaksanan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Perawat berperan penting dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok antara lain sebagai mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok, leader dan co leader, fasilitator, observer dan mengatasi masalah yang

timbul pada saat pelaksanaan terapi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, populasi

yang dipakai perawat rawat inap yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, dengan sampel sebanyak 30 orang, teknik yang digunakan purposive sampling. Hasil penelitian ini tentang pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi pada pasien isolasi sosial didapat bahwa dari 28 responden memiliki pengetahuan baik (93,3%) dan 2 responden memiliki pengetahuan cukup (6,7%). Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam peningkatan pengetahuan perawat untuk membantu penyembuhan pasien dan meningkatkan keterampilan perawat dalam praktek keperawatan serta upaya peningkatan kualitas pelayanan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.


(11)

Judul : Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

Peneliti : Yuniarty Hartaty Br.Sembiring

NIM : 111121111

Fakultas : Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Tahun Akademik : 2012/2013

Abstrak

Terapi aktivitas kelompok merupakan upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan

sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial. Terapi Aktivitas Kelompok

Sosialisasi (TAKS) merupakan terapi tambahan yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Dalam hal ini pengetahuan perawat sangat dibutuhkan untuk pelaksanan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Perawat berperan penting dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok antara lain sebagai mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok, leader dan co leader, fasilitator, observer dan mengatasi masalah yang

timbul pada saat pelaksanaan terapi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, populasi

yang dipakai perawat rawat inap yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, dengan sampel sebanyak 30 orang, teknik yang digunakan purposive sampling. Hasil penelitian ini tentang pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi pada pasien isolasi sosial didapat bahwa dari 28 responden memiliki pengetahuan baik (93,3%) dan 2 responden memiliki pengetahuan cukup (6,7%). Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam peningkatan pengetahuan perawat untuk membantu penyembuhan pasien dan meningkatkan keterampilan perawat dalam praktek keperawatan serta upaya peningkatan kualitas pelayanan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Menurut Carson dan Butcher, (1992) dikutip dari Sutardjo, (2005) mengatakan bahwa gangguan kejiwaan atau skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, juga sering terlihat adanya perilaku menarik diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi.

Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia ialah menarik diri dari interaksi sosial. Menarik diri dari interaksi sosial tersebut terjadi apabila seseorang mengalami ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam menyesuaikan diri (maladaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut tidak mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang mengakibatkan timbulnya perilaku maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.

Menarik diri dari interaksi sosial yang dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan tidak sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2010).


(13)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, diketahui pasien yang mengalami gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan pada tahun 2009 berjumlah 12.377 pasien. Dan berdasarkan hasil survey awal peneliti di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pasien yang mengalami isolasi sosial sebanyak 54% dari seluruh pasien yang ada di ruangan tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kesehatan kejiwaan seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif. Upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial dapat dilakukan dengan berbagai terapi keperawatan jiwa, diantaranya dengan terapi aktivitas kelompok (TAK) yang merupakan salah satu terapi modalitas dalam bentuk terapi kelompok yang ditujukan untuk mengatasi klien dengan masalah yang sama. TAK merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat. TAK dibagi ke dalam empat jenis, yaitu TAK Sosialisasi, TAK Stimulasi Persepsi, TAK Stimulasi Sensoris dan TAK Orientasi Realitas. Jenis TAK yang paling tepat digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial adalah TAK Sosialisasi (Purwaningsih, 2009).

Pengaruh TAK pernah diteliti sebelumnya terhadap peningkatan harga diri, komunikasi maupun penurunan perilaku menarik diri, depresi dan halusinasi pada pasien. Hasil penelitian mengenai pengaruh TAK terhadap peningkatan harga diri pada pasien menarik diri di RS. Jiwa DR. Radjiman Wediodiningrat Lawang,


(14)

menunjukkan adanya penurunan tanda gejala harga diri rendah setelah dilakukan TAK (Widowati, dkk. 2010).

Penelitian mengenai TAKS (terapi aktifitas kelompok sosialisasi) oleh Purnomo (2008) dengan judul “ Pengaruh TAKS terhadap Perubahan Perilaku Pasien Menarik Diri di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta” menunjukkan adanya perubahan perilaku menarik diri klien. Penelitian Susilowati (2009) mengenai Pengaruh TAKS terhadap tingkat depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta menunjukkan adanya pengaruh TAKS terhadap penurunan tingkat depresi pada klien di Rumah Sakit tersebut. Pengaruh TAKS terhadap kemampuan komunikasi pasien isolasi sosial di RSJD Provsu Medan telah diteliti oleh Pasaribu (2008) dan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi pasien isolasi sosial setelah diberikan TAKS.

Walaupun penelitian mengenai TAK telah terbukti banyak memberikan manfaat dalam mengatasi berbagai masalah gangguan jiwa, namun TAK masih sangat jarang dilakukan di rumah sakit jiwa. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Keliat (1997) dikutip dari Keliat (2010) tentang pelaksanaan TAK, TAK masih jarang dilakukan karena pengetahuan perawat dalam menjalankan kegiatan TAK belum memadai, pedoman pelaksanaan dan perawatan yang mewajibkan pelaksanaan TAK di Rumah Sakit juga belum ada. Selain itu referensi yang menjelaskan model TAK, faktor-faktor yang mempengaruhi dan dampak TAK terhadap klien belum diketahui secara jelas di Indonesia.


(15)

Perawat berperan penting dalam kegiatan TAKS, yaitu untuk mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok, sebagai leader dan coleader, fasilitator, observer, mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi, dan dalam program antisipasi masalah. Dalam hal ini pengetahuan perawat sangat dibutuhkan untuk pelaksanan TAKS.

Menurut Globy, Kenneth Mark seperti yang dikutip Dalami (2010), mengidentifikasi tiga area yang perlu dipersiapkan untuk menjadi terapis atau pemimpin terapi kelompok, yaitu persiapan teoritis melalui pendidikan formal, literatur, bacaan, dan lokakarya; praktik yang di supervisi pada saat berperan sebagai pemimpin kelompok; pengalami mengikuti terapi kelompok. Perawat yang memimpin kelompok terapeutik dan kelompok tambahan (TAK), persyaratannya harus mempunyai pengetahuan tentang masalah klien dan mengetahui metode yang dipakai untuk kelompok khusus serta terampil berperan sebagai pemimpin.

Dari uraian di atas, maka peneliti memandang perlu untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan TAKS pada pasien isolasi sosial. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan TAKS pada pasien isolasi sosial

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka di dapat rumusan masalah sebagai berikut, “Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Pelaksanaan Terapi


(16)

Aktivitas Kelompok Sosialisasi pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan”.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini telah dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi perawat mengenai pentingnya manfaat terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan bagaimana memberikan terapi aktivitas kelompok yang tepat dan benar sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial dan mempercepat proses penyembuhan penyakit pasien.

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan, khususnya ilmu keperawatan jiwa, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan jiwa selanjutnya.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini telah dapat dijadikan masukan ataupun panduan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai TAKS pada pasien yang mengalami isolasi sosial.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan

2.1.1. Pengertian Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Menurut Setiawati (2008), pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecap. Pengetahuan akan memberikan penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan dalam berperilaku.

2.1.2. Proses Adopsi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dikutip dari Setiawati (2008) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni.

1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

stimulus (objek) terlebih dahulu.


(18)

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, orang telah mencoba perilaku baru.

5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif , maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tindakan berlangsung lama.

2.1.3. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.


(19)

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan.

3. Aplikasi

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cyclel). Di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, pengelompokan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.


(20)

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atauy penilaian terhadap materi atau suatu objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2003).

2.1.4.Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan yaitu :

1. Intelegensi

Intelegensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Orang berpikir menggunakan inteleknya atau pikirannya. Cepat atau tidaknya dan terpecahkan tidaknya suatu masalah tergantung kemampuan intelegensinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan pesan dalam komunikasi adalah taraf


(21)

intelegensi seseorang. Secara common sence dapat dikatakan bahwa orang-orang yang lebih intelegen akan lebih mudah menerima suatu pesan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang mempunyai taraf intelegensi tinggi akan mempunyai pengetahuan yang baik dan sebaliknya.

2. Pendidikan

Tugas dari pendidikan adalah memberikan atau meningkatkan pengetahuan, menimbulkan sifat positif, serta memberikan atau meningkatkan kemampuan masyarakat atau individu tentang aspek-aspek yang bersangkutan, sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang. Pendidikan formal dan non-formal. Sistem pendidikan yang berjenjang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan melalui pola tertentu. Jadi tingkat pengetahuan seseorang terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan.

3. Pengalaman

Menurut teori Determinan perilaku yang disampaikan WHO yang dikutip Notoatmodjo (2003), menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu salah satunya disebabkan karena adanya pemikiran dan perasaan dalam diri seseorang yang terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek tersebut, dimana seseorang mendapatkan pengetahuan baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain


(22)

4. Informasi

Teori depedensi mengenai efek komunikasi massa, disebutkan bahwa media massa dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik dalam tatanan masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial dimana media massa ini nantinya akan mempengaruhi fungsi kognitif diantaranya adalah berfungsi untuk menciptakan atau menghilangkam ambiguitas, pembentukan sikap, perluasan sistem, keyakinan masyarakat dan penegasan atau penjelasan nilai-nilai tertentu. Media dibagi menjadi tiga yaitu media cetak yang meliputi boolet, leaflet, rubrik yang terdapat pada surat kabar atau majalah dan poster. Kemudian media elektronik yang meliputi televisi, video, slide, dan film serta papan (billboard). 5. Kepercayaan

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang, mengenai apa yang berlaku bagi objek sikap, sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu.

6. Umur

Umur dapat mempengaruhi seseorang, semakin cukup umur tingkat kemampuan, kematangan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan menerima informasi.


(23)

7 . Sosial budaya

Sosial termasuk di dalamnya pandangan agama, kelompok etnis dapat mempengaruhi proses bpengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai keagamaan untuk memperkuat super egonya.

8 . Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Individu yang berasal dan keluarga yang berstatus sosial ekonominya baik dimungkinkan lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah (Ombar, 2012).

2.2. Isolasi Sosial

2.2.1. Pengertian Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2010)

Isolasi sosial adalah individu yang mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya secara wajar dalam khalayaknya sendiri yang tidak realistis (Dalami, 2005).

Gangguan hubungan sosial merupakan suatu gaangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan menganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial (Riyadi,dkk, 2009).


(24)

Isolasi sosial adalah keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain mengatakan sikap negatif atau mengancam.

Isolasi soaial merupakan proses pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fisik maupun psikis.

Isolasi sosial merupakan gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, 2002).

2.2.2. Perkembangan Hubungan Sosial

Kemampuan hubungan sosial berkembang sesuai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan individu milai bayi sampai usia lanjut. Untuk mengembangkan hubungan sosial yang positif, setiap tugas perkembangan diharapkan dapat dilalui. Tugas-tugas hubungan sosial menurut tahap perkembangan :

a. Bayi

Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Bayi menggunakan komunikasi yang sederhana untuk memenuhi kebutuhannya misalnya dengan menangis. Respon ibu atau pengasuh terhadap kebutuhan bayi, harus sesuai dengan harapannya agar bayi berkembang dengan rasa percaya diri terhadap lingkungan dan orang lain.

Haber, dkk, (1987) dikutip dari Riyadi (2009) kegagalan pemenuhan kebutuhan bayi tergantung pada orang lain akan mengakibatkan rasa tidak percaya terhadap diri sendiri, orang lain, dan menarik diri.


(25)

b. Pra Sekolah

Anak pra sekolah mulai memperluas hubungan sosialnya diluar lingkungan keluarga. Anak menggunakan kemampuan yang telah dimiliki untuk berhubungan dengan lingkungan diluar rumah. Dalam hal ini anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif. Hal ini merupakan dasar rasa otonomi anak yang berguna untuk mengembangkan kemampuan hubungan interpersonal.

Kegagalan anak dalam berhubungan dengan lingkungan disertai respon keluarga yang negatif akan menyebabkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri, pesimis dan takut perilakunya salah.

c. Anak Usia Sekolah

Anak mulai mengenal hubungan yang lebih luas khususnya lingkungan sekolah. Pada usia ini anak mulai mengenal bekerjasama, kompetisi, dan kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang tua karena pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten. Teman dengan orang dewasa di luar keluarga merupakan sumber penting pada anak.

Kegagalan dalam membina hubungan dengan teman sekolah, kurang dukungan guru dan pembatasan dari orang tua mengakibatkan frustasi terhadap kemampuannya, putus asa, merasa tidak mampu dan menarik diri.


(26)

d. Remaja

Pada usia ini anak mengembangkan hubungan intim dengan teman sebaya, lebih memperhatikan hubungan dengan lawan jenis. Hubungan dengan teman sangat tergantung, sedangkan hubungan orang tua mulai independen.

Kegagalan membina hubungan dengan teman dan kurangnya dukungan orang tua akan mengakibatkan keraguan akan identitas, ketidakmampuan mengidentifikasi karir dan rasa percaya diri yang kurang.

e. Dewasa Muda

Pada usia ini individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang tua dan teman sebaya. Individu belajar mengambil keputusan dengan memperhatikan saran dan pendapat orang lain, seperti : memilih pekerjaan, memilih karier, melangsungkan perkawinan.

Kegagalan individu dalam melanjutkan kuliah, pekerjaan, perkawinan akan mengakibatkan individu menghindari hubungan intim, menjauhi orang lain dan merasa putus asa.

f. Dewasa Tengah

Individu pada usia dewasa ini, mengalami penurunan ketergantungan pada orang tua, telah pisah tempat tinggal dengan orang tua, khususnya individu yang telah menikah. Jika ia telah menikah maka peran menjadi orang tua dan mempunyai hubungan antar orang dewasa merupakan situasi tempat menguji kemampuan hubungan interdependen.


(27)

Kegagalan dalam tugas perkembangan ini akan menyebabkan produktifitas dan kreativitas berkurang, individu hanya perhatian terhadap diri sendiri dan kurang perhatian terhadap orang lain.

g. Dewasa Lanjut

Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan fisik, kegiatan pekerjaan, pasangan hidup, anggota keluarga. Individu memerlukan dukungan orang lain dalam menghadapi kehilangan.

2.2.3. Rentang Respons Sosial

Stuart dan Sudden, 1995, dikutip dari Riyadi 2009 mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari membutuhkan orang lain dan lingkungan sosial. Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosial akan menimbulkan respon sosial pada individu. Rentang respon sosial tersebut digambarkan pada gambar berikut:

Rentang respon

Respon adaptif Respon maladaptif Solitude Kesepian Manipulasi Autonomy Penarikan diri Impulsivity Mutuality Tergantung Narcissism Interdependen

Gambar Rentang respons sosial :Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat respon ini meliputi:


(28)

1. Solitude atau menyendiri

Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.

2. Autonomy

Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial. Individu mampu menetapkan diri untuk interdependen dan pengaturan diri.

3. Mutuality

Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi dan menerima dalam hubungan interpersonal.

4. Interdependen

Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

Respon meladaftif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Respon maladaptif tersebut antara lain :

1. Manipulasi

Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian, orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan


(29)

sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain.

2. Impulsivity

Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan , tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.

3. Narcissism

Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.

4. Isolasi sosial

Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi denhgan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.

2.2.4. Etiologi

1. Faktor predisposisi

a. Faktor perkembangan

Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan sosial berkembang sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai dewasa lanjut untuk dapat mengembangkan hubungan social yang positif, diharapkan setiap tahapan


(30)

perkembangan dapat dilalui dengan sukses. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon sosial maladaptif.

b. Faktor biologis

Faktor genetika dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. c. Faktor sosialkultural

Isolasi sosial faktor utama dalam gangguan berhubungan. Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, tidak mempunyai anggota masyarakat yang kurang produktif seperti lanjut usia, orang cacat dan penderita penyakit kronis. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.

d. Faktor dalam keluarga

Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah. Adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan, mengakibatkan anak menjadi enggan berkomunikasi dengan orang lain.

2. Faktor prisipitasi

a. Stress sosialkultural

Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti, misalnya karena dirawat dirumah sakit.


(31)

b. Stress psikologis

Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.

2.2.5. Psikopatologi

Menurut Stuart and Sundeen (1998), salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bisa dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan ornag lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri.

Klien semakin tenggelam dalam perjalana dan tingkah laku primitif antara lain pembicaraan yang autistik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi.

2.2.6. Manifestasi perilaku

Menurut Gail W. Stuart (2006) yang dikutip Dalami (2010), manifestasi perilaku, sebagai berikut :


(32)

a. Tanda dan gejala

Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan ditemukan data objektif meliputi apatis, ekspresi wajah sedih, afek tumpul, menghindar dari orang lain, klien tampak memisahkan diri dari orang lain, komunikasi kurang, klien tampak tidak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat, tidak ada kontak mata atau kontak mata kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri di kamar. Menolak berhubungan dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, sedangkan untuk data subjektif sukar didapat, jika klien menolak komunikasi, beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat dengan kata-kata “tidak”, “ya” dan tidak tahu”.

b. Mekanisme koping

Individu yang mengalami respon sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik.

Gangguan Koping yang berhubungan dengan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang splitting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.

c. Sumber koping

Sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial mal-adaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan hewan


(33)

peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan.

2.3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) 2.3.1. Pengertian kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang sama. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai keadaannya seperti agresif, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaran dan menarik diri (Dalami, 2010).

Sedangkan kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, umpamanya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah perilaku destruktif menjadi konstruktif.

Setiap kelompok mempunyai stuktur dan identitas tersendiri. Kekuatan kelompok memberikan kontribusi pada anggota dan memberikan penjelasan untuk mengatasi masalah anggota kelompok. Dengan demikian kelompok dapat dijadikan sebagai wadah untuk praktek dan area untuk uji coba kemampuan berhubungan dan berperilaku terhadap orang lain.

2.3.2. Komponen Kelompok

Struart & Laraia, (2001) yang dikutip dari Dalami (2010) menyatakan bahwa kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagi berikut:


(34)

a. Struktur kelompok

Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok, struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpindan anggota, arah komunikasi dipadu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.

b. Besar kelompok

Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5 – 12 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.

c. Lamanya sesi

Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20 – 40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60 – 120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bregantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali, dua kali perminggu; atau dapat direncanakn sesuai dengan kebutuhan.

d. Komunikasi

Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberikan kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika


(35)

yang terjadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dari kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetisi, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta malaksanakan kegiatan yang dilaksanakan.

e. Peran kelompok

Pemimpin perlu mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja kelompok yaitu maintenance roles, task roles, dan individual role. Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok. Taks roles, yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual roles, yaitu self-centered dan distraksi pada kelompok.

f. Kekuatan kelompok

Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota kelompok dalam mempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.

g. Norma kelompok

Norma adalah standar perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan teradap perilaku kelompok pada masa yang akan dating berdasarkan pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok. Kesesuaian perilaku anggota kelompok dengan norma kelompok, penting dalam


(36)

menerima anggota kelompok. Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontak dan ditolak anggot kelompok lain.

h. Kekohesifan

Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok bekerjasama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan.

2.3.3. Pengertian Terapi Aktifitas Kelompok

Terapi aktifitas kelompok merupakan salah satu tipe intervensi dalam psikoterapi, yang dilakukan oleh terapis dan koterapis dengan sekelompok klien, yang lebih bersifat intensif dalam memberikan pertolongan psikologik, lebih menekankan perasaan dan hubungan antar anggota, serta menekankan pada pengalaman emosi terkendali (Wiwik, 2009).

Terapi aktifitas kelompok adalah suatu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota (Riyadi, 2009).

2.3.4. Tujuan terapi aktifitas kelompok

Tujuan terapi aktifitas kelompok dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Tujuan umum

Meningkatkan kemampuan uji realita melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain, melakukan sosialisasi, meningkatkan kesadaran


(37)

terhadap hubungan reaksi emosi dengan tindakan atau perilaku defensif dan meningkatkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif.

2. Tujuan khusus

Meningkatkan identitas diri, menyalurkan emosi secara konstruktif, meningkatkan keterampilanm hubungan interpersonal atau sosial.

3. Tujuan rehabilitas

Meningkatkan keterampilan ekspresi diri, sosial, meningkatakan kepercayaan diri, empati, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pemecahan

2.3.5. Karakteristik Pasien

Berdasarkan pengamatan dan kajian status klien maka karakteristik klien yang dilibatkan dalam terapi aktifitas kelompok ini adalah klien dengan masalah keperawatan seperti resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, perilaku kekerasan, defisit perawatan diri, isolasi sosial: menarik diri, dan perubahan persepsi sensori.

2.3.6. Model Terapi Aktifitas Kelompok

1. Focal conflic model

Dikembangkan berdasarkan konflik yang tidak disadari dan berfokus pada kelompok individu. Tugas leader adalah membantu kelompok memahami konflik dan membantu penyelesaian masalah. Misalnya : adanya perbedaan pendapat antar anggota, bagaimana masalah ditanggapi anggota dan leader mengarahkan alternatif penyelesaian masalah.


(38)

2. Model komunikasi

Dikembangkan berdasarkan teori dan prinsip komunikasi, bahwa tidak efektifnya komunikasi akan membawa kelompok menjadi tidak puas. Tujuan membantu meningkatkan keterampilan interpesonal dan sosial anggota kelompok. Tugas leader adalah memfasilitasi komunikasi yang efektif antar anggota dan mengajarkan pada kelompok bahwa perlu adanya komunikasi dalam kelompok, anggota bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan, komunikasi pada semua jenis: verbal, non verbal, terbuka dan tertutup, serta pesan yang disampaikan harus dipahami orang lain.

3. Model interpersonal

Tingkah laku (pikiran, perasaan dan tindakan) digambarkan melalui hubungan inetrpersonal dalam kelompok, pada model ini juga menggambarkan sebab akibat tingkah laku anggota, merupakan akibat dari tingkah laku anggota yang lain. Terapis bekerja dengan individu dan kelompok, anggota belajar dari interaksi antar anggota dan terapis. Melalui proses ini, tingkah laku atau kesalahan dapat dikoreksi dan dipelajari.

4. Model psikodarma

Dengan model ini dapat memotivasi anggota kelompok untuk berakting sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang lalu, sesuai peran yang diperagakan. Anggota diharapkan dapat memainkan peran sesuai peristiwa yang pernah dialami.


(39)

2.3.7. Macam terapi aktivitas kelompok

1. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif / persepsi

Klien dilatih mempersepsikan stimulasi yang disediakan atau stimulasi yang pernah dialami. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif / persepsi adalah terapi yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi proses berpikir dan afektif serta mengurangi perilaku mal-adaptif.

Tujuan :

a. Meningkatkan kemampuan orientasi realita

b. Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian c. Meningkatkan kemampuan intelektual

d. Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain e. Mengemukakan perasaan

Karakteristik :

a. Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilai-nilai b. Menarik diri dari realitas

c. Inisiasi atau ide-ide negative

Kondisi fisik yang sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan mau mengikuti kegiatan

2. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensorik

Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensasi klien, kemudian diobservasi reaksi sensori klien berupa ekspresi emosi atau perasaan


(40)

melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, ucapan, terapi aktifitas kelompok untuk menstimulasi sensori pada penderita yang mengalami kemunduran fungsi sensoris. Teknik yang digunakan meliputi fasilitasi penggunaan panca indera dan kemampuan mengekspresikan stimulus baik dari internal maupun eksternal.

Tujuan :

a. Meningkatkan kemampuan sensori

b. Meningkatkan upaya memusatkan perhatian c. Meningkatkan kesegaran jasmani

d. Mengekspresikan perasaan

3. Terapi aktivitas kelompok orientasi realitas

Klien berorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien yaitu diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang dekat dengan klien, lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan klien dan waktu saat ini dan yang lalu.

Terapi aktifitas kelompok orientasi realita adalah pendekatan untuk mengorientasikan klien terhadap situasi nyata (realitas). Umunya dilaksanakan pada kelompok yang mengalami gangguan orientasi terhadap orang, waktu dan tempat, teknik yang digunakan meliputi inspirasi represif, interaksi bebas maupun secara didaktik.

Tujuan :

a. Penderita mampu mengidentifikasi stimulasi internal (pikiran, perasaan, sensasi somatik) dan stimulasi eksternal (iklim, bunyi, situasi alam sekitar)


(41)

b. Penderita dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan c. Pembicaraan penderita sesuai realitas

d. Penderita mampu mengendalikan diri sendiri Karakteristik :

a. Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR); (halusinasi, ilusi, waham, dan depresonalisasi) yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain.

b. Penderita dengan GOR terhadap orang lain, waktu dan tempat yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain

c. Dapat berkomunikasi verbal dengan baik d. Kondisi fisik dalam keadaan sehat

4. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi

Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien.

Kegiatan sosial adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial. Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk:

a. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal b. Memberi tanggapan terhadap orang lain

c. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi


(42)

Tujuan umum :

Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekspresikan ide serta menerima stimulus eksternal.

Tujuan khusus :

a. Klien mampu memperkenalkan diri

b. Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok c. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok

d. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan

e. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain.

f. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok

g. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

5. Penyaluran energi

Penyaluran energi merupakan teknik untuk menyalurkan energi secara kontruktif dimana memungkinkan pengembangan pola-pola penyaluran energi seperti katarsis, peluapan marah dan rasa batin secara konstruktif dengan tanpa menimbulkan kerugian pada diri sendiri maupun lingkungan.

Tujuan :

a. Menyalurkan energi ; destruktif ke konstruktif b. Mengekspresikan perasaan


(43)

c. Meningkatkan hubungan interpersonal

2.3.8. Tahap-tahap dalam terapi aktivitas kelompok

Menurut Yalom yang dikutip oleh Stuart dan Sudeen, (1995), fase-fase dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai berikut :

1. Pre kelompok

Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan, siapa yang menjadi leader, anggota, dimana, kapan kegiatan kelompok tersebut dilaksanakan, proses evaluasi pada anggota dan kelompok, menjelaskan sumber-sumber yang diperlukan kelompok seperti proyektor dan jika memungkinkan biaya dan keuangan.

2. Fase awal

Pada fase ini terdapat 3 kemungkinan tahapan yang terjadi yaitu orientasi, konflik atau kebersamaan.

Orientasi

Anggota mulai mengembangkan sistem sosial masing-masing, dan leader mulai menunjukkan rencana terapi dan mengambil kontrak dengan anggota.

Konflik

Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana peran anggota, tugasnya dan saling ketergantungan yang akan terjadi.

Kebersamaan

Anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi masalah, anggota mulai menentukan siapa dirinya.


(44)

3. Fase kerja

Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim ;

a. Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin dan anggotanya.

b. Perasaan positif dan negatif dapat dikoreksi dengan hubungan saling percaya yang telah terbina.

c. Semua anggota bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.

d. Tanggung jawab merata, kecemasan menurun, kelompok lebih stabil dan realitas. e. Kelompok mulai mengeksplorasi lebih jauh sesuai dengan tujuan dan tugas

kelompok dalam menyelesaikan tugasnya.

f. Fase ini ditandai dengan penyelesaian masalah yang kreatif. Petunjuk untuk leader pada fase ini :

a. Intervensi leader didasari pada kerja teoritis, pangalaman, personality dan kebutuhan kelompok serta anggotanya.

b. Membantu perkembangan keutuhan kelompok dan mempertahankan batasannya, mendorong kelompok bekerja pada tugasnya.

c. Intervensi langsung ditujukan untuk menolong kelompok mengatasi masalah khusus.

4. Fase terminasi

Ada dua jenis terminasi (akhir dan sementara). Anggota kelompok mungkin mengalami terminasi premature, tidak sukses atau sukses.


(45)

2.3.9. Peran perawat dalam terapi aktivitas kelompok

1. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok

Sebelum program melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu membuat proposal . proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi: deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.

2. Sebagai leader dan co leader

Sebagai role model, menyusun rencana, mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan, memotivasi anggota, mengatur jalannya kegiatan, menjelaskan aturan kegiatan dan memimpin jalannya kegiatan.

3. Sebagai fasilitator

Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.

4. Sebagai observer

Mengobservasi respons tiap klien dan mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku klien. Tugas seorang observer meliputi: mencacat serta mengamati respon penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta / anggota kelompok yang drop out.


(46)

5. Mengatasi masalah yang timbul pada saat pelaksanaan terapi

Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut 6. Program antisipasi masalah

Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.

Kualifikasi Therapis

Menurut Globy, Kenneth Mark seperti yang dikutip Purwaningsih (2009), menyatakan bahwa persyaratan dan kualifikasi perawat untuk terapi aktivitas kelompok yaitu :

a. Pengetahuan pokok perawat tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologis dalam budaya setempat.

b. Memiliki konsep teoritis yang padat dan logis yang cukup sesuai untuk mempergunakan dalam memahami pikiran-pikiran dan tingkah laku yang normal maupun patologis.

c. Memiliki teknis yang bersifat terapeutik yang menyatu dengan konsep-konsep yang dimiliki melalui pengalaman klinis dengan pasien.


(47)

d. Memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan pasien dibelakang kata-katanya.

e. Memiliki harapan-harapan sendiri, kecemasan dan mekanisme pertahanan yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap teknik terapeutiknya.

f. Harus mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Rawlins, Williams, dan beck (1993) dikutip dari Dalami (2010) mengidentifikasi tiga area yang perlu dipersiapkan untuk menjadi terapis atau pemimpin terapi kelompok, yaitu persiapan teoritis melalui pendidikan formal, literatur, bacaan, dan lokakarya; praktik yang di supervisi pada saat berperan sebagai pemimpin kelompok; pengalami mengikuti terapi kelompok.

Perawat diperkenankan memimpin terapi kelompok jika telah dipersiapkan secara profesional. American Nurses' Association (ANA) menetapkan pada pratik keperawatan psikiatri dan klinikal spesialis dapat berfungsi sebagai terapis kelompok. Sertifikat dari ANA sebagai spesialis klinik dan keperawatan psikiatri-kesehatan jiwa menjamin perawat mahir dan kompeten sebagai terapis kelompok. The American

Group Psyhcotherapy Assocation (AGPA) sebagai badan akreditasi terapis kelompok

menetapkan anggotanya minimal berpendidikan master.

Perawat yang memimpin kelompok terapeutik dan kelompok tambahan (TAK), persyaratannya harus mempunyai pengetahuan tentang masalah klien dan


(48)

mengetahui metode yang dipakai untuk kelompok khusus serta terampil berperan sebagai pemimpin.


(49)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada Pasien Isoloasi Sosial di RS Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan kepustakaan yang telah diuraikan sebelumnya maka kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut:

Baik

Cukup

Kurang

Skema 1 : Kerangka konseptual penelitian Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada Pasien

Isolasi Sosial di RS Jiwa Daerah Provsu Medan Pengetahuan perawat tentang pelaksanaan

TAKS :

 Mempersiapkan program TAKS  Sebagai leader dan coleader  Sebagai fasilitator

 Sebagai observer

 Mengatasi masalah pada saat TAK  Sebagai antisipasi masalah


(50)

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

3.2. Tabel variabel dan definisi operasional

NO. Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala 1. Pengetahuan Apa-apa yang diketahui

dan dimiliki oleh perawat dalam proses pelaksanaan TAKS pada pasien isolasi sosial mulai dari:

mempersiapkan

program TAKS, sebagai leader dan coleader, sebagai fasilitator, sebagai observer, dan mengatasi masalah pada saat TAKS serta sebagai antisipasi masalah.

Kuesioner Pengetahuan:  Baik  Cukup  Kurang Pengetahuan baik, jika nilai 14 – 20 Pengetahuan cukup, jika nilai 7 – 13 Pengetahuan kurang jika nilai 0 – 6


(51)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1.Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan perawat tentang pelaksanaan terapi aktifitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial di RS Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah. Pemilihan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan merupakan pusat pelayanan gangguan jiwa yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan juga merupakan rumah sakit jiwa pendidikan yang merupakan lahan praktek tenaga kesehatan karena diperkirakan lokasi ini memiliki jumlah sampel yang memadai untuk dilakukan penelitian dan mudah di jangkau sehingga efisien waktu dan biaya karena dilakukan pada masa studi. Penelitian ini dilakukan pada bulan November s/d Desember 2012.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek/objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu serta memiliki sifat-sifat yang sama


(52)

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan, Sugiyono (2003). Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di RS Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara sebanyak 146 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi penelitian yang dipilih sebagai wakil representatif dari keseluruhan untuk diteliti, Arikunto (2010). Sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di RS Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Menurut Arikunto (2002), untuk pengambilan sampel jika subjeknya lebih dari 100, dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Jadi besar sampel yang diambil 20% dari populasi 126 yaitu 30 sampel.

Sampel merupakan sebagian dari jumlah atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2010). Pada penelitian ini sampel diambil dengan metode

purposive sampling. Purporsive sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel

dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel dapat mewakili karakteristik populasi (Nursalam, 2009). Sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

Subjek yang dijadikan sampel karena memenuhi kriteria / persyaratan menjadi sampel. Kriteria / persyaratan menjadi sampel antara lain :

1. Perawat yang bekerja di perawat yang bekerja di RS Jiwa Daerah Provsu Medan dan berkompetensi melakukan terapi aktivitas kelompok.


(53)

2. Perawat yang sudah mempunyai pengalaman kerja selama 5 tahun perawat yang bekerja di RS Jiwa Daerah Provsu Medan.

3. Perawat yang berada di tempat pada saat pengumpulan data.

4.4. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Pada bagian pertama instrumen penelitian berisi data domegrafi yang meliputi Inisiatif subjek, umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, lama bekerja. Dimana responden hanya memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda ceklist ( √ ) terhadap alternatif jawaban.

Bagian kedua instrumen dibuat berdasarkan tinjauan pustaka. Bagian instumen ini berisi pernyataan untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan terapi aktivitas kelompok (TAKS) pada pasien isolasi sosial. Bagian ini terdiri dari 20 pertanyaan yang menggunakan bentuk pertanyaan tertutup (closed ended) yang terdiri dari pertanyaan positif dan pertanyaan negatif. Dalam pertanyaan ini hanya disediakan dua jawaban/alternatif yaitu benar atau salah

(dichotomous choice), dan responden hanya memilih satu diantaranya. Dimana

responden tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda ceklist ( √ ) terhadap alternatif jawaban yang dipilih benar atau salah.

Bobot nilai yang diberikan bagi pertanyaan positif (pertanyaan nomor 1,2,3,4,5,6,7,8,9,12,13,14,16,17,18,19,20) untuk jawaban benar = 1, dan salah = 0, sedangkan bagi pertanyaan negatif (pertanyaan nomor 10,11,15) untuk jawaban benar = 0, dan salah = 1. Total skor adalah 0 – 20. Semakin tinggi jumlah skor maka


(54)

gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan TAKS pada pasien isolasi sosial akan semakin baik.

4.5.Uji Validitas dan Reliabilitas 4.5.1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu pengukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2009; Arikunto, 2002). Suatu instrumen dapat dikatakan valid apabila dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud (Arikunto, 2010). Instrumen dikatakan valid jika instrumen itu mampu mengukur yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa instrumen dianggap valid jika instrumen itu dapat dijadikan alat untuk mengukur yang akan diukur (Danim, 2003).

Uji validitas dilakukan untuk menilai apakah kuesioner tersebut dapat mengukur yang hendak diukur, maka dapat diuji dengan melakukan uji instrumen telah dikonsulkan validitas oleh orang yang ahli dibidang komunitas keperawatan jiwa. Berdasarkan uji validitas tersebut, kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih efektif dan dengan item-item pertanyaan yang akan mengukur sasaran


(55)

yang ingin diukur sesuai dengan teori atau konsep. Setelah dilakukan uji validitas maka didapatkan hasil bahwa instrument penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

4.5.2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas merujuk pada konsisiensi skor yang dicapai oleh orang yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, atau pada kondisi pengujian yang berbeda (Ellya, 2010)

Reliabilitas (keandalan) adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur memperlihatkan hasil yang relatif sama dalam beberapa kali pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama. Hasil yang relatif sama menunjukkan bahwa ada toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran tersebut (Nursalam, 2009).

Apabila dari waktu kewaktu perbedaan sangat besar, maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan alat ukur tidak reliable. Realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Perhitungan realibilitas dilakukan hanya pada pernyataan-pernyataan yang sudah memiliki validitas. Dengan demikian harus


(56)

menghitung validitas terlebih dahulu sebelum menghitung reliabilitas (Notoadmojo, 2010). Uji reliabilitas instrumen ini menggunakan rumus Crobach’s Alpha.

Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan terhadap responden yang memenuhi kriteria sampel penelitian dan dilakukan dengan mengumpulkan data kepada 10 subjek, (Notoatmojo, 2010) yaitu 10 perawat yang bekerja di RSJ Daerah Medan. Pemilihan sampel yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sebagai sampel pada uji reliabel karena memiliki jumlah sampel yang memadai dan sesuai dengan kriteria sampel dalam penelitian.

Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan bantuan komputerisasi. Berdasarkan hasil perhitungan kuesioner pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) adalah 0,79. Suatu instrumen dikatakan reliabel bila koefisiennya 0,70 atau lebih maka instrument dinyatakan reliable (Polit & Hungler, 1999). Jadi dapat disimpulkan bahwa kuesioner pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

4.6.Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dan rekomendasi dari program studi ilmu keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan permintaan izin kepada Direktur RS Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Dalam melakukan penelitian ini, ada beberapa pertimbangan etik yang harus diperhatikan


(57)

yaitu hak kebebasan dan kerahasiaan menjadi responden, serta bebas dari rasa sakit baik secara fisik maupun tekanan psikologis.

Pada pelaksanaan penelitian, calon responden diberikan penjelasan tentang informasi esensial dari penelitian yang akan dilakukan, antara lain tujuan, manfaat, kegiatan dalam penelitian serta hak-hak responden dalam penelitian ini. Jika responden bersedia untuk diteliti maka responden terlebih dahulu menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya akan diberi nomor kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti.

4.7. Pengolahan data

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing

Dilakukan pengecekan kelengkapan pada data-data yang telah terkumpul dan memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk .

b. Coding

Pengolahan data dengan cara data yang sesuai diberi kode (koding) untuk memudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data.

c. Tabulating


(58)

d. Entry

Data kemudian dimasukkan kedalam komputer dan melakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik komputerisasi (Danim, 2003). Analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) yang sudah diolah dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentase.

4.8.Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka, kemudian peneliti akan memastikan bahwa semua jawaban telah diisi. Dilanjutkan dengan analisa data melalui beberapa tahap yang dimulai dengan editing untuk memeriksa kelengkapan data, kemudian data yang sesuai diberikan kode (coding) untuk memudahkan dalam tabulasi. Selanjutnya memasukkan data entry ke dalam komputer dan diolah dengan menggunakan program komputer.

Untuk penelitian gambaran pengetahuan perawat, dalam penelitian akan dikatagorikan menjadi baik, cukup, kurang. Menurut Sudjana (2002) untuk menghitung jumlah skor total digunakan rumus statistik.

Rumus : Rentang


(59)

Banyak kelas

Dimana P merupakan panjang kelas dengan rentang nilai tertinggi dikurangi nilai terendah. Sehingga didapat nilai rentang kelas sebesar 20 dan banyak kelas adalah 3 untuk kategori baik, cukup, dan kurang. Dengan menggunakan P = 6 dan nilai terendah 0 sebagai batas bawah interval pertama.

Data pengetahuan perawat tentang pelaksanaan TAKS pada pasien isolasi sosial dikategorikan atas kelas interval sebagai berikut :

14 – 20 : Baik 7 – 13 : Cukup 0 – 6 : Kurang

Hasil analisa data, gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan TAKS pada pasien isolasi sosial akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentasi.


(60)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi(TAKS) pada pasien isolasi sosial yang dilaksanakan pada bulan November s/d Desember 2012 di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan dengan jumlah responden 30 orang. Penyajian data meliputi karakteristik responden dan gambaran pengetahuan perawat tentang pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

5.1.1. Deskripsi Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan karakteristik responden yaitu rata-rata responden berusia 40 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, di dapat lebih dari setengah responden perempuan yaitu sebanyak 21 responden (70%). Berdasarkan suku, di dapat sebagian besar responden bersuku Batak yaitu sebanyak 22 responden (73,3%). Berdasarkan agama, di dapat lebih dari setengah responden beragama Islam yaitu sebanyak 16 responden (53,3%). Berdasarkan pendidikan, di dapatkan lebih dari setengah responden berpendidikan S1 yaitu sebanyak 20 responden (66,7%). Dan berdasarkan lama bekerja, di dapatkan rata-rata responden


(61)

sudah berkerja 13 tahun. Hasil penelitian tentang karakteristik responden secara singkat dapat dilihat pada tabel 5.1 dan tabel 5.2.

Tabel 5.1

Distribusi frekwensi berdasarkan karakteristik umur dan lama kerja responden (n = 30)

Karakteristik Mean Median Standart Deviasi

Umur 39.83 38.5 7.598

Lama kerja 12.9 11.5 4.88

Tabel 5.2

Distribusi frekwensi berdasarkan karakteristik jenis kelamin, suku, agama, dan pendidikan

responden (n = 30)

Karakteristik Frekwensi Persentasi (%)

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 21 9 70% 30% Suku Batak Melayu Jawa 22 3 5 73,3% 10,0% 16,7% Agama Islam Kristen 16 14 53,3% 46,7% Pendidikan D3 S1 S2 10 20 0 33,3% 66,7% 0%


(62)

Hasil penelitian yang dilakukan melalui kuisioner yang berisi pernyataan-pernyataan mengenai pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial digolongkan pada 3 kategori tingkat pengetahuan yaitu baik, cukup, dan kurang. Hampir semua responden mempunyai pengetahuan baik yaitu sebanyak 28 responden (93,3%) dan terdapat 2 responden (6,7%) mempunyai tingkat pengetahuan cukup. Hasil penelitian tentang pengetahuan perawat secara singkat dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3

Distribusi frekwensi berdasarkan pengetahuan perawat tentang Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) (n = 30)

Pengetahuan Perawat Jumlah Jumlah

F %

Baik Cukup Kurang

28 2 0

93,3 6,7

0

Hasil data di dapat dari distribusi frekwensi gambaran pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial, dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4.

Distribusi frekwensi gambaran pengetahuan berdasarkan pernyataan-pernyataan pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi


(63)

Pernyataan-pernyataan Tentang Pengetahuan Perawat Benar n(%) Salah n(%)

1. Perawat harus memiliki pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologi dalam budaya setempat pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)

2. Perawat harus mampu menerima klien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan dan kelebihannya pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

3. Perawat membagi kelompok dengan jumlah 5 – 12 orang dalam satu kelompok terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

4. Perawat memberikan waktu optimal untuk satu sesi adalah 60 – 120 menit pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

5. Perawat membantu klien isolasi sosial untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitar klien pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)

6. Perawat memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

7. Perawat harus membuat proposal yang akan dijadikan panduan pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

8. Perawat membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi leader, anggota, tempat dan waktu kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) yang akan dilaksanakan.

9. Perawat membuat proses lengkap dengan media yang akan digunakan beserta dana yang dibutuhkan.

10.Perawat menyangkal perasaan cemas, regresi, kecewa klien dan tidak mengadakan diskusi secara tuntas pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

11.Perawat tidak harus memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan klien dibelakang kata-katanya pada saat

30 100% 28 93,3% 29 96,7% 26 86,7% 28 93,3% 29 96,7% 26 86,7% 29 96,7% 27 90,0% 22 73,3% 20 66,7% 0 0 2 6,7% 1 3,3% 4 13,3% 2 6,7% 1 3,3% 4 13,3% 1 3,3% 3 10,0% 8 26,7% 10 33,3%


(64)

kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

12.Perawat sebagai leader dan coleader menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

13.Perawat membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

14.Perawat mampu dan mengetahui cara yang efektif untuk menciptakan inisiatif klien isolasi sosial dalam mengikuti kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).

15.Perawat tidak ikut serta dalam kegiatan kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.

16.Perawat mencatat serta mengamati respon klien, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani klien isolasi sosial yang drop out.

17.Perawat mampu dan mengetahui cara mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.

18.Perawat mengevaluasi hasil dari kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.

19.Perawat harus mampu membuat klien mengekspresikan ide dan tukar persepsi dan menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.

20.Perawat tahu mengevaluasi keefektifan jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.

29 96,7% 30 100% 29 96,7% 8 26,7% 28 93,3% 30 100% 28 93,3% 30 100% 30 100% 1 3,3% 0 0 1 3,3% 22 73,3% 2 6,7% 0 0 2 6,7% 0 0 0 0


(65)

Tabel 5.4 menunjukkan hasil penelitian tentang pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial, dimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan perawat harus memiliki pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologi dalam budaya setempat pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) sebanyak 100%. Perawat membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) sebanyak 100%. Perawat mampu dan mengetahui cara mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial sebanyak 100%. Perawat harus mampu membuat klien mengekspresikan ide dan tukar persepsi dan menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial sebanyak 100%. Perawat tahu mengevaluasi keefektifan jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial sebanyak 100%. Dan Perawat tidak harus memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan klien dibelakang kata-katanya pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) sebanyak 66,7 %.


(66)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang gambaran pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

5.2.1. Karakteristik Responden

Berdasarkan data yang didapat, diketahui bahwa rata-rata responden berusia 40 tahun. Umur dapat mempengaruhi seseorang, semakin cukup umur tingkat kemampuan, kematangan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan menerima informasi (Notoatmodjo, 2003). Hal ini juga dikarenakan karakteristik responden yang harus sudah bekerja minimal 5 tahun di rumah sakit Jiwa Pemprovsu Medan

Berdasarkan data jenis kelamin, diketahui bahwa mayoritas jenis kelamin perawat adalah perempuan sebesar 70% (21 orang) dan laki-laki yang sebesar 30% (9 orang), hal ini karena dalam Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan tidak banyak perawat laki-laki yang memenuhi syarat menjadi responden. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dalam menerapkan komunikasi terapeutik dan menunjukkan bahwa jenis kelamin pria dan wanita tidak ada perbedaan yang hakiki dalam hak dan kewajiban (Liyana, 2008).

Berdasarkan hasil data suku perawat, diketahui bahwa hampir semua perawat bersuku Batak yaitu sebesar 73,3% (22 orang), perawat bersuku Jawa yaitu sebesar


(67)

16,7% (5 orang), dan perawat bersuku Melayu yaitu sebesar 10% (3 orang) di RSJ Pemprovsu Medan.

Berdasarkan hasil data agama perawat, diketahui bahwa lebih dari setengah perawat beragama Islam yaitu sebesar 53,3% (16 orang) dibandingkan dengan perawat yang beragama Kristen yaitu sebesar 46,7% (14 orang), perawat yang bekerja di RSJ Pemprovsu Medan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sosial. Dalam hal ini sosial termasuk di dalamnya pandangan agama, kelompok etnis dapat mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai keagamaan untuk memperkuat super egonya (Notoatmodjo, 2003).

Berdasarkan hasil data pendidikan perawat, diketahui bahwa lebih dari setengah perawat berpendidikan S1 sebesar 66,7% (20 orang), perawat yang berpendidikan DIII yaitu sebesar 33,3% (10 orang). Tugas dari pendidikan adalah memberikan atau meningkatkan pengetahuan, menimbulkan sifat positif, serta memberikan atau meningkatkan kemampuan masyarakat atau individu tentang aspek-aspek yang bersangkutan, sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang. Pendidikan formal dan non-formal. Sistem pendidikan yang berjenjang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan melalui pola tertentu (Notoatmodjo, 2003). Dalam hal ini berarti perawat di RSJ Pemprovsu selalu meningkatkan skill dan pengetahuan melalui jenjang pendidikan.

Berdasarkan hasil data mengenai masa kerja perawat, diketahui bahwa rata-rata responden sudah bekerja 13 tahun, hal ini karena syarat menjadi reponden harus


(68)

sudah bekerja minimal 5 tahun, karena pengalaman tentunya sangat berpengaruh pada kwalitas kinerja terutama pada perawat, dengan pengalaman minimal 5 tahun, perawat dapat lebih mengetahui tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Hal ini sesuai dengan teori Determinan perilaku yang disampaikan WHO, menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu salah satunya disebabkan karena adanya pemikiran dan perasaan dalam diri seseorang yang terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek tersebut, dimana seseorang mendapatkan pengetahuan baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2003).

5.2.2. Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada Pasien Isolasi Sosial

Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) merupakan terapi tambahan yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial (Purwaningsih, 2009). Kegiatan sosial adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial.

Perawat diperkenankan memimpin terapi kelompok jika telah dipersiapkan secara profesional. American Nurses' Association (ANA) menetapkan pada pratek


(69)

keperawatan psikiatri dan klinikal spesialis dapat berfungsi sebagai terapis kelompok. Sertifikat dari ANA sebagai spesialis klinik dan keperawatan psikiatri-kesehatan jiwa menjamin perawat mahir dan kompeten sebagai terapis kelompok. Untuk dapat melaksanakan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial ini perawat harus memiliki tiga area yang perlu dipersiapkan untuk menjadi terapis atau pemimpin terapi kelompok, yaitu persiapan teoritis melalui pendidikan formal, literatur, bacaan, dan lokakarya; praktik yang di supervisi pada saat berperan sebagai pemimpin kelompok; pengalami mengikuti terapi kelompok.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hampir semua 93,3% (28 orang) perawat mempunyai pengetahuan yang baik tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) , dan 6,7% (2 orang) perawat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) yang dikhususkan pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat. Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi yaitu umur, pendidikan dan pengalaman. Hal ini sesuai dengan teori menurut Notoatmodjo (2003) yang menyebutkan bahwa ada beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan, diantaranya yaitu umur, pendidikan dan pengalaman.

Beradasarkan tabel 5.4 yang berisi tentang pernyataan-pernyataan terkait pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) didapat bahwa semua responden yaitu sebanyak 30 responden (100%) menjawab benar pada


(70)

pernyataan perawat harus memiliki pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologi dalam budaya setempat pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Hal ini sesuai dengan teori menurut Globy, Kenneth Mark yang dikutip dari Dalami (2010) menyatakan bahwa persyaratan dan kualifikasi perawat untuk terapi aktivitas kelompok yaitu pengetahuan pokok perawat tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologis dalam budaya setempat.

Semua responden yaitu sebanyak 30 responden (100%) menjawab benar pada pernyataan perawat membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Semua responden yaitu sebanyak 30 responden (100%) menjawab benar pada pernyataan perawat mampu dan mengetahui cara mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.

Semua responden yaitu sebanyak 30 responden (100%) menjawab benar pada pernyataan perawat harus mampu membuat klien mengekspresikan ide dan tukar persepsi dan menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial. Semua responden yaitu sebanyak 30 responden (100%) menjawab benar pada pernyataan perawat tahu mengevaluasi keefektifan jalannya kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada klien isolasi sosial.


(71)

Dan lebih dari setengah yaitu sebanyak 20 responden (66,7%) menjawab benar pada pernyataan perawat tidak harus memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan klien dibelakang kata-katanya pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Dalam pernyataan ini berarti responden tidak menganggap perlu bagi perawat memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan klien dibelakang kata-katanya pada saat kegiatan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Hal ini tidak sesuai dengan teori Menurut Globy, Kenneth Mark yang menyatakan bahwa persyaratan dan kualifikasi perawat untuk terapi aktivitas kelompok yaitu memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksud dan dirasakan pasien dibelakang kata-katanya.


(72)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Dari hasil peneliti dengan judul gambaran pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) pada pasien isolasi sosial di RS Jiwa Daerah Pemprovsu Medan menunjukkan bahwa rata-rata responden berusia 40 tahun dengan lebih dari setengah berjenis kelamin perempuan, bersuku Batak, beragama Islam dan berpendidikan S1, serta rata-rata responden sudah bekerja 13 tahun.

Berdasarkan pada pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) hampir semua dikategorikan baik yaitu sebesar 93,3% (28 orang), dan tingkat pengetahuan dengan kategori cukup 6,7% (2 orang).

6.2. SARAN

6.2.1. Saran terhadap penelitian

Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini belum sepenuhnya mewakili tingkat pengetahuan perawat tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi, maka sebaiknya peneliti terlebih dahulu melakukan uji validitas kuisioner dan uji reabilitas kuisioner.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 11

CURRICULUM VITAE

Nama : Yuniarty Hartaty Br. Sembiring

Tempat/Tanggal Lahir: Medan, 14 Juni 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Flamboyan Raya gg. Flamboyan XI No.21, Tj.Selamat

Medan

Pendidikan :

1. SD Negeri 067246 Medan Tahun 1996-2002

2. SMP Negeri 30 Medan Tahun 2002-2005

3. SMA YP Sultan Iskandar Muda Tahun 2005-2008

4. D3 Kesdam I/Bukit Barisan Tahun 2008-2011