Kemampuan mengenali kebutuhan anak

commit to user anak. Selain itu, akan dibahas kendala dan upaya pemerintah dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak.

1. Kemampuan mengenali kebutuhan anak

Mengemban predikat Kota Layak Anak menjadi kebanggaan sekaligus tantangan bagi Kota Solo. Pada kenyataannya mewujudkan perlindungan anak bukan merupakan hal yang mudah. Dalam hal kemampuan mengenali kebutuhan anak, Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak. Tetapi, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk memperoleh data. Di bidang perlindungan anak, situasi kasus ESKA di Surakarta diketahui melalui pemetaan PPK UNS pada tahun 2004. PPK UNS memetakan ada 117 korban, sedangkan pada tahun 2008 memetakan ada 164 anak korban prostitusi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Selain itu, Yayasan Kakak pada periode 2005- 2008 menjangkau 110 anak korban ESKA. Anak korban ESKA disebabkab beberapa faktor, yaitu sifat anak yang labil sehingga mencoba segala hal, pergaulan, permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh staf Yayasan Kakak N9: “...kami sering bertanya pada anak-anak korban ESKA yang kami tangani, kebanyakan mereka menjadi korban ESKA karena masih labil, pergaulan, masalah keluarga, dan masalah ekonomi...” Wawancara tanggal 18 Maret 2009 Permasalahan yang sering dialami anak korban ESKA ini adalah sering mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Untuk anak korban ESKA yang mangkal di pinggir jalan, mereka sering mengalami garukan bahkan bisa enam kali dalam seminggu. Dalam garukan ini antara anak dan dewasa ditempatkan dan diberlakukan sama. Selain itu, mereka juga sering mengalami kesehatan reproduksinya. commit to user Mereka tidak tahu harus kemana bercerita dan periksa. Bahkan kebanyakan anak-anak ini tidak tahu informasi berkaitan dengan HIVAIDS, mereka hanya tahu kalau dia harus disuntik KB agar tidak hamil. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua PPAP Seroja N10: “...anak-anak yang digaruk diperlakukan sama, selain itu anak-anak yang menjadi korban ESKA tidak tahu bahayanya HIVAIDS, taunya cuma suntik KB...” Wawancata tanggal 17 Maret 2009 Berdasarkan wawancara dengan staf Yayasan Kakak dan Ketua PPAP Seroja, anak-anak korban ESKA membutuhkan perlindungan khusus dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli akan permasalahan anak, antara lain : · Perlu adanya tempat rehabilitasi untuk anak korban ESKA. · Tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka. · Perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi karena anak-anak yang berada di lingkungan prostitusi tidak tahu tentang HIVAIDS. Di bidang kesehatan, permasalahan anak gizi buruk juga harus mendapat perhatian. Pada tahun 2005 anak gizi buruk sebesar 496 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 659. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak N8 : “Anak gizi buruk pada tahun 2005 496 dan meningkat 659 di tahun 2006. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Surakarta.” Wawancara tanggal 6 April 2009 Masalah gizi dijumpai akibat kekurangan berbagai jenis zat makanan. Kasus gizi buruk banyak dijumpai pada anak-anak, khususnya anak balita. Karena pada masa ini adalah masa yang paling rawan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rendahnya status gizi masyarakat dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Status gizi commit to user balita dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan ibu tentang gizi, sehingga keaktifan ibu untuk datang ke Posyandu rendah. Orang tua yang kurang kooperatif beralasan tidak bisa menunggui anaknya ke rumah sakit juga bisa menjadi penyebab gizi buruk. Berdasarkan adanya kasus anak gizi buruk, menurut Yayasan Kakak anak-anak membutuhkan adanya makanan tambahan untuk anak gizi buruk serta adanya program- program yang menunjang untuk mengatasi anak gizi buruk. Bidang pendidikan. Pendidikan merupakan adalah salah satu hak dasar yang mesti diperoleh anak dan merupakan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Konvensi Hak Anak memberikan hak kepada setiap anak untuk memperoleh pendidikan dan mewajibkan Negara untuk menyediakan pendidikan dasar yang wajib gratis bagi semua anak Pasal 28. Dengan demikian asumsinya adalah tidak ada lagi anak putus sekolah serta peningkatan sumber daya manusia. Namun, permasalahan mengenai anak putus sekolah merupakan keluhan yang tiada henti dihadapi oleh Kota Solo. Khususnya Kecamatan Jebres dimana wilayah ini memiliki angka putus sekolah tertinggi dari lima kecamatan yang ada di Kota Solo. Jumlah putus sekolah usia antara 7-12 tahun sebanyak 1546 terdiri laki-laki 5516 anak dan perempuan 6030 anak. Jumlah tersebut cukup besar untuk satu kecamatan. Salah satu alasan yang dikemukakan, terutama bagi anak putus sekolah adalah karena dipaksa memasuki dunia kerja guna membantu orang tua. www.kr.com. Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja, sebagai berikut N10 : commit to user “…anak putus sekolah di Surakarta masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah karena agar tercipta Kota yang Layak Anak…” Wawancara tanggal 6 Mei 2009 Berdasarkan kasus anak putus sekolah, PPAP Seroja mengatakan bahwa anak- anak sangat membutuhkan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan anak, antara lain : · Adanya sekolah gratisterjangkau untuk anak-anak kurang mampu agar orang tua mereka tidak merasa terbebani. · Perlu adanya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak agar orang tua, anak, dan masyarakat menyadari pentingnya pendidikan. Bidang partisipasi anak. Melibatan dan mendengarkan suara anak dalam proses pengambilan keputusan disegala tingkatan pada dasarnya adalah indikasi pemberian penghargaan orang dewasa, masyarakat, maupun negara terhadap anak. Ketersediaan dan aksesbilitas fasilitas pada anak juga merupakan permasalahan yang menjadi agenda bagi pemerintah Kota Solo. Memang dalam upaya pengebangan kota sudah ada berbagai fasilitas misalnya Taman Cerdas yang dibangun di beberapa kecamatan. Namun, fasilitas tersebut kurang bisa diakses khususnya oleh anak kurang mampu dan difabel. Hal ini dikarenakan susahnya memberikan sosialisasi kepada anak-anak tersebut. Mereka lebih suka turun ke jalan daripada mendengarkan sosialisasi dari pemerintah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS N11 : “…fasilitas anak untuk anak yang marginalanak kurang mampu itu belum bisa menyentuh. Yang ada taman cerdas yang megah, tetapi belum menyentuh anak- anak marginal dan difabel. Wawancara tanggal 7 April 2009 Berdasarkan kasus di atas, kebutuhan anak terkait partisipasi anak antara lain : commit to user · Perlu ada wadah untuk menampung aspirasi anak. · Perlu ada dana untuk memfasilitasi partisipasi anak. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara kepada Kepala P3G UNS, dinyatakan bahwa upaya mewujudkan Kota Layak Anak KLA dilakukan Pemerintah Kota Surakarta melalui penandatanganan MOU tentang KLA antara Pemerintah Kota Surakarta dengan lembaga di luar pemerintah seperti lembaga pusat studi wanitapusat studi gender, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kepala P3G UNS bahwa penandatanganan MOU tersebut merupakan tonggak kemitraan bersama untuk mendukung terwujudnya KLA sesuai tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga yang memiliki kemitraan terhadap perlindungan anak. Wawancara tanggal 16 Maret 2009

2. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan