commit to user
program pemerintah. Sumber dana dalam bidang partisipasi anak berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD
B. Kendala Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota
Layak Anak KLA
Dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak, kendala yang dihadapi pemerintah berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah.
a. Kendala internal Sumber daya manusia Pemerintah Kota Surakarta kurang mengerti akan
pentingnya perlindungan anak. Mereka tidak mengerti sepenuhnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikologis anak. Padahal, dalam melaksanakan
perlindungan anak, pemerintah harus mengerti dan memahami permasalahan anak. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja N10 :
“...Satpol PP dalam menggaruk anak jalanan kurang memperhatikan aspek psikologis anak. Mereka asal menggaruk saja. Padahal, kadang anak trauma akan
hal itu. Kami juga yang bertugas mendampingi mereka...” Wawancara tanggal 6 Februari 2009
Dana merupakan hal vital penentu untuk keberhasilan pencapaian tujuan. Bagi pemerintah Kota Surakarta dalam program perlindungan anak, ketersediaan dana
merupakan suatu kendala. Untuk menangani masalah anak jalanan dan terlantar APBD yang tersedia sangat terbatas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf
Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER TRANS N4 : “…kendala yang kami hadapi adalah dana mbak, dana APBD juga terbatas.
Anak jalanan dan anak terlantar sudah kami bekali ketrampilan, dan diharapkan mereka tidak kembali ke jalan…” Wawancara tanggal 25
Februari 2009
commit to user
Dalam penanganan permasalahan anak, walaupun setiap tahun anggaran meningkat tetapi jumlah kasussasaran lebih tinggi peningkatannya sehingga
alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Hal yang sama juga terjadi dalam alokasi anggaran bagi anak putus sekolah.
Selain kendala di atas, ego sektoral juga menjadi kendala dalam melaksanakan perlindungan anak. Koordinasi antar institusi belum berjalan
dengan baik. Hal ini tergamabar pada belum adanya sinergitas dalam pelaksanaan Rencana Aksi Kota. Masing-masing stakeholder selaku anggota gugus tugas
masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sekretaris P3G UNS N11 :
“…para stakeholder terkesan berjalan sendiri-sendiri mbak, mereka bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan terkesan bekerja sendiri tanpa
berkoordinasi dengan yang lain…” Wawancara tanggal 17 Maret 2009 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan kendala internal yang
dihadapi pemerintah, antara lain: sumber daya manusia Pemerintah Kota Surakarta yang kurang mengerti akan pentingnya perlindungan anak, keterbatasan
dana, dan ego sektoral. b. Kendala Eksternal
Kendala lain yang dialami pemerintah adalah pengaruh lingkungan. Lingkungan anak jalanan, anak terlantar dan pekerja anak menjadi faktor yang
sangat mempengaruhi mereka. Mengapa tidak, anak-anak masih sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar karena mereka masih labil. Jika lingkungan
mereka memberi efek negatif bagi anak-anak, sangat besar kemungkinannya
commit to user
anak-anak terpengaruh. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER TRANS N4 :
“…mereka masih saja kembali ke jalan karena pengaruh lingkungan yang tidak baik dan kurangnya perhatian dari orang tua mereka. Hasil monitoring
kami, masih banyak anak jalan yang mencari uang entah itu dari ngamen atau ngemis, uang itu selain buat makan, ya buat beli minuman keras…”
Wawancara tanggal 25 Februari 2009
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua PPAP Seroja dan Staf Yayasan Kakak:
Ketua PPAP Seroja N10: “…lingkungan anak jalanan sangat memprihatinkan, minuman keras dan sex
bebas ada di sana. Tingkat pendidikannya juga sangat rendah. Kami yang mendampingi mereka berusaha memberikan pengarahan agar anak-anak
yang belum terjerumus, mau bersekolah...” Wawancara 14 Maret 2009
Staf Yayasan Kakak N8: “...faktor ekonomi juga menjadi masalah untuk anak. Anak itu masih labil
dan mudah sekali termakan omongan orang yang tidak bertanggung jawab...” Wawancara tanggal 14 Maret 2009
Bisa tidaknya anak bersekolah dipengaruhi oleh karakteristik anak dan situasi yang mempengaruhi mereka. Tingginya bujukan untuk mendapatkan uang,
dapat menyebabkan anak meninggalkan rumah dan pindah ke kota besar daripada harus bersekolah. Anak-anak ini beresiko dieksploitasi karena terpisah oleh
keluarga, masyarakat, dan sekolah. Terdapat anak jalanan yang mencari uang seharian dan pulang di malam hari. Anak ini tidak melihat pentingnya nilai
pendidikan dan tidak tertarik dengan sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bagian Pendidikan Non Formal DISDIKPORA N6 :
”...anak-anak tidak ada hasrat untuk sekolah maka tidak maksimal untuk bersekolah. Mereka lebih suka kembali ke jalan, karena di jalan bisa dapat
uang...” Wawancara tanggal 5 Maret 2009
commit to user
Keluarga dan masyarakat sebaiknya menjadi pelindung dan memiliki kepedulian kepada anak. Akan tetapi, kemiskinan sering mempengaruhi anak
untuk bersekolah. Karena masalah ekonomi, orang tua sering terpaksa memenuhi kebutuhan primer hidup keluarga saja. Dengan demikian, anak harus menolong
keluarganya untuk mencari nafkah dengan mengorbankan pendidikan dan masa depannya. Oleh karenanya, orang tua menganggap memanfaatkan anak untuk
bekerja lebih bernilai daripada belajar di sekolah. Hal ini sebagaimana disampaikan Staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan Anak Usia Dini
DISDIKPORA N13 : ”...anak-anak seringkali turun ke jalan, alasannya membantu orang tua. Hal
ini bikin program pemerintah tidak berhasil. Orang tua juga kurang mendukung anaknya. Anak putus sekolah ini sering bertambah karena
banyak anak pendatang, jadi mereka dari luar Solo. Nah ini juga menjadi permasalahan bagi pemerintah...” Wawancara tanggal 3 Maret 2009
Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa depan
menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak. Biasanya, orang tua tidak mempedulikan pendidikan anaknya karena dalam pemikiran
mereka, untuk mencukupi hidupnya saja sulit, apalagi untuk membiayai anak sekolah. Biasanya mereka membiarkan anak-anaknya mencari uang di jalan. Kalau
orang tua sudah mempunyai pemikiran seperti ini, biasanya anak-anak juga ikut- ikutan tidak memikirkan masa depannya.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER TRANS N4 :
“…kurangnya perhatian dari orang tua mereka kadang membuat anak tidak punya kesadaran untuk memikirkan masa depan...” Wawancara tanggal 25
Februari 2009
commit to user
Hal senada juga disampaikan oleh Staf Yayasan Kakak N8 : “…kesadaran dari anak dan orang tua yang minim ini menjadi kendala bagi
pemrintah untuk mengatasinya. Hal yang kami temui di lapangan, keadaan ini bias menjadi faktor anak terjerumus pada ESKA. Jadi semua sangat
berkaitan.,,” Wawancara tanggal 16 Maret 2009
Anak belum memiliki filter yang cukup kuat untuk memilih dan memilah apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang seharusnya tidak dilakukan. Anak
cenderung masih labil sehingga dapat dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif
dari lingkungannya.
Kondisi ini
diperparah dengan
semakin bermunculannya mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang menyebabkan perubahan
gaya hidup masyarakat kota Surakarta. Menjamurnya mall di kota Surakarta secara tidak langsung mendukung berkembangnya budaya konsumerisme masyarakat.
Budaya konsumerisme mendorong munculnya persaingan untuk mendapatkan penghargaanpujian terhadap kepemilikan suatu barang. Keinginan yang sangat
besar dalam memiliki suatu barang tidak ditunjang oleh kondisi ekonomi keluarga, sehingga hal tersebut semakin mendorong seseorang untuk mendapatkan uang
dengan jalan pintas, walaupun cara tersebut tidak sesuai dengan nilai–nilai yang berlaku di masyarakat. Kondisi anak yang labil dan tingginya budaya
konsumerisme menyebabkan banyak anak dengan latar belakang ekonomi lemah lebih mudah terjerumus ke dunia prostitusi.
Staf Yayasan Kakak mengatakan bahwa masalah ESKA ini sudah menjadi suatu mata rantai yang susah untuk diputus N9 :
“…kondisi ini sangat dilematis. Di lain sisi masyarakat juga butuh uang untuk memenuhi hidupnya. Padahal peran masyarakat sekitar sangat
commit to user
dibutuhkan untuk
menghentikan maraknya
ESKA…” http:j4rionline.wordpress.com
Pernyataan ini dipertegas pula oleh Ketua Peneliti ESKA UNS N12 : “...sebenarnya seksualitas adalah budaya yang paling lama ada, kalau di
Solo, ESKA sudah mulai tampak ketika para orang tua dari Wonogiri memberikan anak gadis mereka kepada raja-raja di Solo. Apalagi saat ini
prostitusi anak justru menjadi bisnis yang sangat menggiurkan...” Faktor pemikiran orang tua yang tidak mementingkan pendidikan anak
terutama anak perempuan secara tidak langsung menempatkan anak perempuan dalam kondisi yang tersubordinasi. Bentuk konkritnya adalah masih banyak
keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah lebih memprioritaskan pendidikan untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. Asumsinya adalah setinggi apapun
tingkat pendidikan anak perempuan pada akhirnya hanya akan berkutat pada masalah domestik. Kondisi seperti ini mengakibatkan sebagian besar anak
perempuan berpendidikan rendah, cenderung memiliki keterbatasan keterampilan. Keterbatasan keterampilan tersebut menyebabkan akses pekerjaan mereka rendah.
Implikasinya mereka rentan terhadap dunia prostitusi. Faktor yang juga bisa meningkatkan jumlah ESKA adalah kondisi keluarga
yang tidak harmonis. Secara psikologis anak belum cukup matang untuk menghadapi beban yang berat, ketidaksiapan mental mereka mendorong mereka
mencari pelarian. Pada awalnya mereka hanya sekedar keluar malam, dan nongkrong di suatu tempat untuk melepaskan diri dari kesuntukan. Di tempat itu
mereka bertemu dengan teman yang menghadapi masalah yang sama sehingga menimbulkan kedekatan di antara mereka. Karakter rmereka yang masih labil
commit to user
menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk terjun ke dunia pelacuran. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua PPAP Seroja N10 :
”...kondisi keluarga anak yang tidak harmonis bisa menjadi faktor anak-anak terjerumus pada prostitusi. Itu merupakan faktor intern yang kadang menjadi
bomerang...” wawancara tanggal 14 Maret 2009
Culture of silence budaya menyembunyikan pada masyarakat. Masyarakat sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA adalah hal
yang tabu dan merupakan aib keluarga. Hal ini sangat merugikan masa depan anak sendiri karena kasus mereka tidak diketahui oleh pemerintah dan pihak-pihak yang
peduli akan kasus ESKA. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Staf Yayasan Kakak N8 :
“…kalo dari korban kekerasan terhadap anak untuk yang di ESKA dari pertengahan 2005 sampai pertengahan 2008 kita berhasil menjangkau ada
sekitar 111 anak korban ESKA, ini sekupnya X Karisidenan Surakarta, tapi kebanyakan mereka datang dari luar Kota Surakarta lalu datang ke
Surakarta. Kalo dulu, kasus kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual pada anak ini tidak diungkap karena merupakan hal yang tabu merupakan
aib bagi keluarga. Jadi banyak kasus yang disembunyikan. Nah ini perlu kita ubah pemikiran masyarakat semacam ini. Karena ini bukan aib tapi ini
tindak kejahatan agar pelaku ada efek jera...” Wawancara tanggal 16 Maret 2009
Oleh karena itu, culture of silence ini menjadi kendala bagi pemerintah dan
pihak terkait untuk penanganan secara dini mewujudkan perlindungan anak.
C. Upaya Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota