Campur Kode Pada Tuturan Sehari-hari Di Desa Tanjung Langkat

(1)

CAMPUR KODE PADA TUTURAN SEHARI-HARI DI DESA

TANJUNG LANGKAT

SKRIPSI

OLEH

RAMAWATI

090701001

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

2014


(2)

CAMPUR KODE PADA TUTURAN SEHARI-HARI Di DESA

TANJUNG LANGKAT

Oleh

Ramawati

NIM 090701001

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ida Basaria, M.HUM. Drs. Hariadi Susilo, M.Si. NIP 19621111 198702 002 NIP 19580505 197803 1 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 108903 1017

     


(3)

PERYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak ada terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga juga tidak ada karya atau pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Januari 2014

Hormat Saya,


(4)

CAMPUR KODE PADA TUTURAN SEHARI-HARI DI DESA TANJUNG LANGKAT

OLEH RAMAWATI

ABSTRAK

Penelitian ini membahas bentuk-bentuk dan faktor penyebab terjadinya campur kode dalam tuturan sehari-hari masyarakat di desa Tanjung Langkat. Masalah yang diteliti yaitu bagaimanakah bentuk-bentuk dari campur kode pada tuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat dan apakah faktor penyebab terjadinya campur kode pada tuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat. Penelitian ini menggunakan metode simak libat cakap dan metode padan, kemudian teknik yang digunakan adalah teknik libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. pendekatan teori yang digunakan adalah dalam penelitian ini adalah Sosiolinguistik, Bilingualisme, dan Campur kode. Hasil analisis penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk campur kode adanya berbentuk penyisipan kata, penyisipan frase, penyisipan klausa, dan penyisipan pengulangan kata. Sedangkan faktor penyebab terjadinya campur kode dalam peristiwa tuturan masyarakat ada tiga macam, yaitu ingin menjelaskan sesuatu dengan maksud tertentu, karena situasi, dan ingin menjalin keakraban.


(5)

PRAKATA

Assalammualaikum Warohmatullahi Wabarakatu Alhamdulillahi Robbil Alamin

Bismillahirohmannirohim

Segala puji bagi Allah Swt penguasa seklian alam yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis berupa kesehatan, kesempatan dan kemurahan rezeki sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala bimbingan dan berkah-Nya telah menuntun dan menguatkan penulis dalam menghadapi segala masalah dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar sarjana di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU. Adapun judul skripsi ini adalah ”Campur Kode pada Tuturan Sehari-hari di desa Tanjung Langkat”.

Penyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemukan kesulitan tetapi penulis juga banyak mendapat bantuan berupa dukungan, nasihat, perhatian, bimbingan dan juga doa. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU. 2. Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.Si. Sebagai Ketua Departemen

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia.


(6)

3. Drs. Haris Sultan Lubis, M.SP. sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya USU sekaligus Dosen penulis yang telahmemberikan banyak masukan selama menjadi mahasiswa di Departemen Sastra Indinesia.

4. Dr. Ida Basaria,M.HUM. sebagai Dosen pembimbing I yang banyak memberikan dukungan dan masukan kepada penulis serta selalu sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Hariadi Susilo,M.Si. sebagai Dosen pembimbing II penulis yang senantiasa membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Dra. Dardanila, M.Hum. sebagai dosen penguji yang senantiasa memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Drs. Asrul Siregar, M.Hum. sebagai dosen penguji yang senantiasa

memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Bapak dan Ibu pengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya USU yang senantiasa dengan tulus memberikan bmbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

9. Serta orang yang paling istimewa dalam hidup penulis sekaligus penulis banggakan dalam hidup, yaitu Ayahanda dan Ibunda tercinta Rusman dan Seneng dengan penuh cinta dan kasih sayang mereka telah membesarkan, melindungi, dan membimbing penulis, serta senantiasa memberikan doa yang tulus.


(7)

Akhir kata, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun agar lebih baik lagi pada masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang Campur Kode pada Tuturan Sehari-hari di Desa Tanjung Langkat.

Hormat Saya,


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

ABSTAK...ii

PRAKATA...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang... 1

1.2Rumusan Masalah... 6

1.3Batasan Masalah... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian... 7

1.4.2 Manfaat Penelitian... 8

1.4.2.1Manfaat Teoritis... 8

1.4.2.2Manfaat Praktis... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep... 9

2.2 Campur Kode... 9

2.3 Peristiwa Tutur...10


(9)

2.5 Landasan Teori... 11

2.5.1 Sosiolinguistik... 11

2.5.2 Bilingualisme... 12

2.5.3 Alih Kode... 13

2.5.4 Campur Kode... 14

2.5.5 Interferensi... 17

2.5.6 Integrasi...18

2.6 Tinjauan Pustaka...20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 23

3.1.1 Lokasi Penelitian... 23

3.1.2 Waktu Penelitian... 23

3.2 Sumber Data...23

3.3 Metode Penelitian... 24

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 24


(10)

BAB IV CAMPUR KODE DALAM TUTURAN MASYRAKAT DI DESA TANJUNG LANGKAT

4.1 Bentuk-bentuk dari Campur Kode...26

4.1.2 Bentuk Campur Kode berupa Penyisipan Kata...27

4.1.3 Bentuk Campur Kode berupa Penyisipan Frase...43

4.1.4 Bentuk Campur Kode berupa Penyisipan Klausa...50

4.1.5 Bentuk Campur Kode berupa Penyisipan Pengulangan Kata...52

4.2 Faktor-faktor penyebab terjadinya Campur Kode dalam Peristiwa Tuturan antara masyarakat...58

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan...65

5.2 Saran...66 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

       


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia pada umumnya memiliki keterampilan menggunakan dua bahasa atau lebih (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah (BD) sebagai bahasa ibu. BI digunakan untuk berkomunikasi dengan penutur etnik lain seperti di kantor, di pasar, di sekolah, di tempat-tempat umum lainnya dan bahasa daerah digunakan ketika berkomunikasi dengan penutur sesama etnik.

Seseorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat-akibat dari kedwibahasawan adalah adanya tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau digunakannya unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan bahasa yang lain. Peristiwa kontak bahasa masyarakat bilingual seringkali terdapat peristiwa-peristiwa kebahasaan yang merupakan objek kajian sosiolinguistik, yaitu campur kode (code-mixing). Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi unsur bahasa lainnya, Permasalahan dalam campur kode bahasa ini memang semakin kelihatan, di mana semakin berkembangnya zaman dan semakin rendahnya keingintahuan masyarakat terhadap bahasa daerah yang asli.


(12)

Campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa).

Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa campur kode adalah peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain dalam suatu tuturan. Misalnya seseorang sedang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia, namun bahasa Indonesia yang digunakannya dicampur dengan bahasa jawa atau bahasa lain. Peristiwa campur kode lebih menekankan pada suasana yang santai atau informal. (Nababan, 1986:7)

Campur kode dapat terjadi karena perbedaan karakteristik penutur yang terikat konteks. Dalam sebuah tuturan, setiap penutur mempunyai latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang berbeda. Biasanya campur kode terjadi karena keterbatasan bahasa yang dimiliki penutur sehingga penutur menggabungkan bahasa yang digunakannya dengan bahasa lain yang mudah dipahami.


(13)

Kajian mengenai bahasa menjadi kajian yang tak pernah habis untuk di bicarakan karena bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahasa adalah alat komunikasi manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, atau perasaan kepada orang lain. Hubungan antara bahasa dengan sistem sosial dan sistem komunikasi sangat erat. Sebagai sistem sosial pemakaian bahasa dipengaruhi fakto-faktor sosial seperti: usia, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, dan profesi. Sedangkan sebagai sistem komunikasi, pemakaian bahasa dipengaruhi faktor situasional meliputi siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa, dalam situasi bagaimana dengan tujuan apa, jalur apa, dan ragam yang bagaimana. (Nababan, 1986:7)

Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara internal artinya, pengkajian itu dilakukan hanya tehadap struktur intern bahasa itu saja, seperti stuktur fonologinya, struktur morfologinya, dan struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan menghasilkan perian-perian bahasa itu saja tanpa ada kaitannya dengan masalah lain di luar bahasa. Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja. Sedangkan kajian secara eksternal merupakan kajian bahasa yang dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah yang berkaitan dengan kegunaan dan


(14)

penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di masyarakat seperti yang diungkapkan Chaer (1995:1).

Seorang penutur yang menyampaikan perasaan dan pikiran lewat tuturannya terlebih dahulu telah menyeleksi bentuk-bentuk kata yang akan disampaikannya kepada lawan tuturnya. Hal ini dilakukan secara sadar dan tidak sadar. Sadar artinya seorang penutur dengan sengaja memilih bentuk kata tertentu karena mempunyai maksud-maksud tertentu. Membicarakan suatu bahasa yang tak terlepas membicarakan katagori kebahasaan yaitu variasi bahasa. Bahasa adalah suatu kebulatan yang terdiri atas beberapa unsur yang disebut varian. Tiap-tiap varian bahasa inilah yang disebut kode. Kode merupakan bagian dari bahasa. Hal ini menunjukkan semacam adanya hierarki kebhasaan yang dimulai dari bahasa sebagai level yang paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian-varian dan ragam-ragam. Bahsa dan kode mempunyai hubungan timbal-balik, artinya bahasa adalah kode dapat saja berupa bahasa. (Weinrich dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:87)

Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang ada di dalam sosiolinguistik disebut bilingualisme. Dalam masyarakat bilingual, sering terjadi peristiwa alih kode dan campur kode. Alih kode yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (bahasa atau ragam bahasa lain). Sedangkan campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara konsisten.


(15)

Campur kode sering dilakukan masyarakat Indonesia dalam bentuk lisan maupun tulisan. Campur kode terjadi karena identifikasi peranan sosial, registral dan edukasional. Identipikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang dipakai oleh penutur yang dianggap akan yang menempatkannya dalam situasi sosial tertentu. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan akan memperlihatkan sikap dan hubungan penutur dengan orang lain atau sebaliknya.

Bentuk tuturan pada bahasa sehari-hari di daerah Tanjung Langkat sanagatlah beragam di dalam proses komunikasi yang sebenarnya. Setiap masyarakan tidak pernah setia dengan satu ragam atau dialek tertentu. Beragam dialek tentunya akan ditemui pada masyarakat yang sedang berbica pada lawan bicaranya agar dapat dipahami oleh lawan bicaranya namun dalam pembicaraan atau tuturan tersebut terjadi campur kode di dalamnya pada saat tuturan itu berlangsung tapi hal itu wajar terjadi karena lawan bicaranya pun berbeda etnis kebudayaan. Masyarakat tutur menggunakan bahasa yang hidup dimasyarakat dan terkait oleh peraturan yang berbeda-beda yang ada dimasyarakat, namun tetap dapat saling memahami, sehingga masyarakat tutur dan keadaan pribadinya yang berbeda-beda tersebut yang memungkinkan munculnya beragam tuturan. Sebagai masyarakat dwibahasa dan multibahasa, masyarakat tutur di desa Tanjung Langkat tentunya juga memiliki bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara masyarakat yang satu dan yang lain.

Sebagian besar dari mereka menguasai bahasanya masing-masing yaitu antara bahasa Jawa dan bahasa Karo. Karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang pertama kali dikuasai (bahasa ibu). Bahasa Indonesia yang dipakai oleh


(16)

masyarakat untuk berkomunikasi merupakan bentuk-bentuk tuturan untuk menghormati lawan tuturnya, karena dilihat dari status sosial atau dari segi penampilan.

Sebagai masyarakat tutur, masyarakat pendatang dengan masyarakat tetap yang ada di desa tanjung langkat memiliki karakteristik kebahasaan yang menarik untuk dikaji. Desa tanjung langkat seringkali dikunjungi oleh pendatang dari daerah lain yang menghasilkan bentuk-bentuk tuturan. Di dalam proses komunikasi yang sebenarnya setiap penutur tidak pernah setia pada satu ragam bahasa atau dialek tertentu saja. Ragam bahasa pada satu dialek kedialek sering disebut dengan dialek switching atau kode switching (alihkode).

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimanakah bentuk-bentuk dari campur kode dan pada tuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat?

2) Apakah faktor penyebab terjadinya campur kode pada tuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat?

1.3 Batasan Masalah

Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar penelitian tersebut terarah dan tidak terlalu luas sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan campur kode dan alih kode pada penuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat karena penelitian ini sudah banyak bahasa yang telah bercampur kode dan beralih kode . Peneliti membatasi objek penelitian ini hanya tentang bentuk dari campur kode yaitu tentang penyisipan


(17)

kata, frase, dan klusa, bahasa juga terdapat di dalamnya faktor penyebab terjadinya campur kode.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui bentuk dari campur kode pada tuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat!

2) Untuk mengetahui faktor penyebab terjadi campur kode pada tuturan sehari-hari di desa Tanjung Langkat!

1.4.2 Manfaat Penelitian

1.4.2.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dalam penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut:

1) Menambah pengetahuan dan wawasan penelitian tentang campur kode bahasa. Menjadi sumber masukan bagi penelitian lain mengkaji lebih lanjut mengenai campur kode dan alih kode bahasa lainnya.

2) Memperkaya pengetahuan penutur masyarakat khususnya yang berhubungan dengan campur kode bahasa dalam kajian sosiolinguistik.


(18)

1.4.2.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut:

1) Memperkenalkan campur kode bahasa yang dapat merusak atau mengubah bahasa kebudayaan.

2) Sebagai informasi bagi pemerintah mengenai hasil penelitian yang baru tentang campur kode bahasa.


(19)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep

Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2007:588).

2.2Campur Kode

Campur kode adalah bila mana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa (P.W.J. Nababan, 1993:32). Campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur. Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Misalnya, seorang penutur berbahasa Indonesia banyak meyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya atau bahasa asing, dikatakan telah melakukan campur kode. Dan juga menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Kata bilangan di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa bahasa ke klausa bahasa lain, maka yang terjadi adalah peristiwa alih kode. Tetapi apabila di dalam sebuah peristiwa tutur, kalusa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.


(20)

2.3 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur (Inggris:speechevent) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi interaksi yang terjadi antara seorang penjual dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer, 2004:47). Dell Hymes (1972), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wardhaugh, 1990) melalui Chaer, 2004:48.

2.4 Masyrakat Tutur

Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Kemudian untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan bahasa yang sama (Djokokoentjono melalui Chaer,

2004:36).

Fishman (1976:28) melalui Chaer (2004:36) “Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-setidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya Kata

masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif dapat menyangkut Masyarakat yang sangat luas dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil


(21)

orang. Setiap kali orang yang karena tempat, atau daerahnya, profesinya, hobinya dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang sama serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin membentuk suatu masyarakat tutur.

Suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integra sisimbolis dengan tetap mengakui kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi bahasa yang digunakan. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya variasi bahasa didalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan sikap para penuutur dimana variasi itu berada (Chaer dan Leoni Agustina, 2004:38).

2.5Landasan Teori

Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,yang didukung oleh data dan argumentasi sebagai bahan pembahasan hasil dari penelitian(Alwi, 2005:1177).

2.5.1 Sosolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor – faktor sosial didalam suatu masyarakat tutur atau ilmu yang mempelajari ciri dan variasi bahasa atau fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kriladaksana 19978 : 94).


(22)

Abdul Chaer mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan lunguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai hubungan yang sangat erat. Sosioligi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menetapkan diri kepada tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang pempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objeknya. Namun dengan demikian bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dengan kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

2.5.2 Bilingualisme

Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penguna dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey, 1962:12, Fishman, 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai dua bahasa itu. Pertama bahasa ibunya sendiri atau bahas pertamanya (disingkat BI), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahas keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut orang yang bilingual, dalam bahasa Indonesia disebut dwikebahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Namun bilingualisme bukanlah gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara bergantian. Bilingual


(23)

juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresip atau pengungkapan seorang penutur.

2.5.3 Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.

Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982:7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode


(24)

menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

2.5.4 Campur Kode

Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).

Kridalaksana (1982:32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan (1989:32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik (Holmes, 2001:42).


(25)

Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).

Suwito (1985:75) aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual ialah terjadinya gejala campur kode (code-maxing). Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jika seorang penutur dalam tuturannya bercampur kode, maka harus dipertannyakan terlebih dahulu siapa dia. Dalam hal ini sifat-sifat khusus si penutur (misalnya : latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan dan sebagainya). Sifat-sifat khusus penutur akan mewarnai campur kodenya.

Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic konvergence) yag unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya


(26)

unsur-unsur demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (a) yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya dan (b) bersumber dari bahasa asing. Contoh:

a. penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata : sarkus aur numayis yaha phel hai

sirkus dan pameran di sini gagal adalah

*Di sini sirkus dan pameran tidak (pernah) berhasil* b. penyisipan unsur-unsur yang berujud frase

vipaksh drava vak aut

beroposisi dengan berjalan keluar

*Beroposisidengan meninggalkan sidang*

c. penyisipan unsur-unsur yang berujud bentuk baster: banyak klap malam yang harus ditutup

hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali

d. penyisipan unsur-unsur yang berujud pengulangan kata: petrol vetrol bhar liya hai

bensin dan sejenisnya sudah mengisi adalah *Bensin dan sejenisnya telah diisikan*

e. penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom:

yah apa boleh buat, better laat dan noil (lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali)


(27)

f. penyisipan unsur-unsur yang berwujud kalusa:

parhne me sima ki bahut ruci hai vah kahri hai

belajar bagi sima dari banyak perhatian adalah ia berkata adalah edukation is necessary for life

pendidikan adalah perlu untuk hidup

*sima sangat menaruh perhatian pada belajar. Ia berkata, ‘pendidikan sangat diperlukan dalam kehidupan’*.

2.5.5 Interferensi

Interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian yaitu antara bahasa Ibu (BI) bahasa lain (B2). Kemampuan terhadap BI dan sangat bervariasi. Dan bertentangan dengan itu untuk mengemukakan interferensi yang terdapat dalam perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonelogi, morfologi, maupun sistem lainnya. Dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Tapanuli. Fonem // pada kata seperti <dengan> dan <rembes> dilafalkan menjadi [dngan] dan [rmbs]. Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homogen di depan kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, /j/. Misalnya pada kata [mBandung], dan [nDepok] (Chaer dan Leoni Agustina, 2004:120).


(28)

Interferensi dalam bidang morfologi terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Misalnya dalam bahasa Belanda dan Inggris mempunyai sifiks-isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia yang menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti neonisasi, tendanisasi, turinisasi. Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistem morfologi bahasa Indonesia, sebab untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia dan konfiks pe-an. Jadi, seharusnya penurian dan penendaan. Contoh lain dalam bahasa Arab sufikswi- dan –ni untuk membentuk abjektif. Seperti kata manisiawi, dan surgawi. Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti ketabrak, dan kejebak dalam bahasa Indonesia baku juga termasik interferensi, sebab imbuhan yang digunakan dalam bahasa Jawa dan dialek Jakarta. Bentuk bakunya adalah tertabrak, dan terjebak. 2.5.6 Integrasi

Mackey dalam (Chaer dan Leoni Agustina, 1995:128) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dianggap sudah menjadi warga bahsa tersebut, tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampaai manjadi berstatus integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada mulanya seseorang penutur bahasa menggunakan bahasa lain dalam tuturannya sebagai bahasa pinjaman karena terasa diperlukan. Misalnya, karena dalam BInya unsur tersebut belum ada padanannya (sudah ada namun tidak mengetahuinya).


(29)

Apabila kemudian unsur asingitu bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, maka unsur tersebut merupakan unsur yang sudah berintegrasi.

Misalnya, kata anticipated pada tahun 60-an sampai tahun 70-an merupakan unsur yang belum berintegrasi. Ucapan dan ejaannya masih menurut bahasa aslinya, tetapi ucapan dan ejaannya mengalami penyesuaian sehingga ditulis antisipasi. Maka, sejak itu kata antisipasi tidak dianggap lagi sebagai unsur peminjam, melainnkan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia, atau kosakata bahasa Inggris yang sudah berintegrasi ke dalam bahasa Indonesia. Proses penerimaan unsur bahasa asing khususnya kosakata, di dalam bahasa Indonesia dilakukan secara audial dan visual. Audial artinya mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal yang dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang telah didengar maka itulah yang diujarkan pada tulisan. Oleh karena itu, kosakata yang diterima secara audial seringkali memperlihatkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.

Contoh:

- Pikir berasal dari kata fikr

- Dongkrak berasal dari kata demmekrach

- Bengkel berasal dari kata winkel

Visual artinya penyerapan itu dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa lainnya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang terdapat dalam bentuk kebahasaan.


(30)

- Marathon menjadi maraton - Energy menjadi energi

Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi banyak juga dilakukan dengan cara penerjemah konsep. Penerjemah langsung artinya kosakata itu dicarikan padanannya pada bahasa Indonesia. Misalnya:

- Absorb ‘serap’

- In vitro ‘di dalam tabung’

2.6Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relevanuntuk di tinjau dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut.

Dalam penelitian tentang campur kode sudah pernah diteliti sebelumnya, seperti Hill dan Hill 1980 (dalam Chaer, 1995) mengatakan tidak ada harapan untuk membedakan antara ahli kode dan campur kode. Namun yang jelas, kalau dalam ahli kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing. Dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja atas sebab-sebab tertentu, sedangkan di dalam sebuah campur kode ada sebuah kode


(31)

utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi, sedangkan kode lain yang terlibat dalm peristiwa tutur itu hanya berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi sebagai sebuah kode.

Andrea (2006) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode dalam Novel Edensor Karya, Penelitian ini merupakan kajian tentang campur kode bahasa yang terdapat dalam novel Edensor karya Andrea Hirata. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk campur kode sekaligus untuk mengetahui frekuensi tiap bentuk campur kode.

Rosliana (1998) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode Pada Penutur Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa alih kode dan campur kode adalah merupakan peristiwa yang lazim terjadi pada masyarakat yang bilingual dan mempunyai kesamaan yang besar, sehingga sering kali sukar dibedakan.

Mayerni (2003) dalam skripsi yang berjudul Campur Kode dalam Majalah Aneka Yees, mengatakan bahawa Campur kode sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia. pengaruh yang ditimbulkan oleh campur kode ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Bersifat positif disebut integrasi dan bersifat negatif disebut interferensi. Integrasi dikatakan bersifat positif karena dapat menambah perbendaharaan kosakata dalam bahasa Indonesia dan interferensi dikatakan bersifat negatif karena dapat merusak perkembangan bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, baik integrasi maupun interferensi tidak


(32)

banyak terdapat dalam majalah Aneka Yess!. Penelitian ini dikhususkan dibidang kosakata.

Azizah (2006) dalam skripsi yang berjudul Campur Kode dan Alih Kode Tuturran Penjualan dan Pembelian di pasar Johar Semarang, mengatakan bahwa Wujud alih kode tuturan penjual dan pembeli di Pasar Johar Semarang adalah berupa alih bahasa yang meliputi: alih bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa, alih bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan alih bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing. Alih bahasa Jawa berupa: peralihan antar tingkat tutur yaitu karma, madya dan ngoko.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (Alwi, 2005:680). Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah perpustakaan dan penelitian lapangan di desa Tanjung Langkat, Kabupaten Langkat.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung (Alwi, 2005:1267). Penelitian ini dilakukan pada awal bulan juni sampai dengan bulan september 2013.

3.2 Sumber Data

Data adalah kenyataan yang ada, yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun suatu pendapat; keterangan atau bahan yang di pakai untuk penalaran atau penyelidikan (Alwi, 2005:319). Data penelitian ini bersumber dari tuturan pada masyarakat di desa Tanjung Langkat.

Sumber data pada penelitian ini adalah masyarakat tutur yaitu dalam perkawinan percampuran, penjual dan pembeli di Pasar atau di warung desa tanjung Langkat, dan ditempat dimana ibu-ibu sedang berkumpul (ngerumpi). Yang di dalam terdapat atau adanaya Campur kode dan alih Kode.


(34)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Medode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak adalah penyediaan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133).

Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam dan teknik catat. Teknik simak bebas libat cakap adalah peneliti sebagai pemerhati yang dengan penuh minat tekun mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang hanyut dalam proses berdialog. Teknik rekam yaitu memperoleh data dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan. Yaitu peneliti tanpa sepengetahuan para keluarga atau dalam rumah tangga seseorang, penjual dan pembeli, dan ibu-ibu yang sedang berkumpul merekam peristiwa tuturan yang terjadi campur kode dan alih kode yang terdapat pada masyarakat desa Tanjung Langkat. Hal itu dilakukan agar tuturan yang terjadi antara masyarkat bisa bersifat alami, murni dan tidak sengaja dibuat-buat. Teknik catat yaitu pencatatan pada kartu data yang segera dilakukan dengan klasifikasi

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul dan diklasifikasikan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan. Metode padan adalah yang alat penentunya diluar bahasa terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13).


(35)

Di dalam alih kode dan campur kode yang menjadi objek penelitiannya adalah isi tuturan manusia yang berupa dialog, maka alat penentunya menggunakan referensi bahasa, untuk teknik dasarnya disesuaikan dengan alat penentunya yaitu dengan menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP (Sudaryanto, 1993:2122).

Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki penelitinya, yaitu sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi menjadi berbagai unsur itu. jadi, yang akan digunakan untuk mendeskripsikan alih kode dan campur kode adalah dengan daya pilah referensi. Untuk membagi satuanlingual alih kode menjadi berbagai jenis, maka perbedaan referensi atau sosok teracu yang ditunjuk oleh alih kode dan campur kode itu harus diketahui terlebih dahulu, dan untuk mengetahui perbedaan referen itu, daya pilah yang dimiliki oleh setiap penelitian haruslah digunakan. Daya pilah itu dapat dipandang sebagai tekniknya, yang dalam hal ini disebut teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP.


(36)

BAB IV

CAMPUR KODE DALAM TUTURAN MASYARAKAT DI

DESA TANJUNG LANGKAT

Hasil penelitian yang dikemukakan dalam bab IV ini meliputi pemberian bentuk tuturan masyarakat di desa Tanjung Langkat yang menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode dan alih kode di desa Tanjung Langkat. Penelitian dalam tulisan ini dilakukan pada bulan Juni 2013 di pasar, di dalam keluarga, dan dalam masyarakat yang ada di desa Tanjung Langkat.

Pemberian bentuk campur kode dalam tuturan penjual dan pembeli di pasar, di dalam perkawinan yang campuran, dan tempat masyarakat setempat bersosialisasi adalah berupa: 1) penyisipan unsur-unsur yang berbentuk kata, 2) berbentuk frase, 3) berbentuk klausa, 4) berbentuk kata ualng, dan 5) idiom/ungkapan.

4.1 Bentuk-bentuk dari Campur Kode

Penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat tutur para penjual dan pembeli, sering bercampur kode ke dalam bahasa Jawa mau pun bahasa asing atau pun sebaliknya. Hal itu disebabkan karena adanya status sosial yang berbeda-beda atau minimnya ilmu pengetahuan tentang bahasa yang dipelajari. Oleh sebab itu dalam transaksi yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dalam menawarkan barang dagangnya sudah terjadi percampuran bahasa yaitu yang disebut campur kode dan antar masyarakat juga dalam berbicara juga sering mencampurkan bahasa ke bahasa lain seperti bahasa Indonesia lalu bercampur dengan bahasa Jawa atau


(37)

bahasa daerah lain. Peristiwa campur kode, erat hubungannya dengan peminjaman leksikal. Campur kode itu sendiri dapat berbentuk penyisipan kata ,idiom, frase, klasua, dan pengulangan kata. Peristiwa campur kode yang diucapkan oleh penjual dan pembeli dalam transaksi jual beli di pasar desa Tanjung Langkat, antar suami dan istri, dan juga antar tetangga setempat yaitu berupa: 1) penyisipan unsur-unsur yang berbentuk kata, 2) berbentuk frase, 3) berbentuk klausa, dan 4) berbentuk kata ulang.

4.1.2 Bentuk Campur Kode berupa Penyisipan Kata Data I

Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang berbentuk kata pada tuturan antar keluarga yang berbeda etnis yaitu suami dan istri, dapat dilihat pada peristiwa tutur antar suami (Karo) dan Istri (Jawa) dibawah ini:

Konteks : Seorang suami yang bertanya kepada istrinya

Suami : Anak-anak di mana mak? Belum ada satu pun yang di rumah? (sambil meletakkan tas di atas kursi)

Istri (1) : Orong bali pak dari tadi. ‘Belum pulang pak dari tadi’.

Suami : Jam segini belum pulng? Sudah kau telepon mak? Istri : Sudah, Rio katanya ada les tambahan di sekolah. Suami (2) : edik, si Ria kemana lagi?


(38)

Pada kalimat (1) di atas terjadi campur kode dimana orong bali ‘belum pulang’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (2) di atas menggunakan campur kode dimana edik ‘aduh’ berasal dari bahasa Karo menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat 1 dan 2 di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat-kalimat di atas menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Karo yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Data 2

Konteks : Peristiwa tutur di pasar desa Tanjung Langkat pada saat pembeliaan jilbab yaitu:

Penjual : Masuk dek mau beli apa? Pembeli : Ini mau beli jilbab bu! Penjual (1) : Arek leng endi kamu dek?

‘mau yang mana kamu dek?’ Pembeli : Mau yang sebelah sana buk.. Penjual (2) : Yang iki dek?

‘Yang ini dek?’

Pembeli : Bukan buk, itu yang warna merah. Penjual : Oh yang ini toh

Pembeli (3) : Piro buk satu?

‘berapa buk satu?’ Penjual : Sepuluh aja dek.


(39)

Pada kalimat (1) di atas adanya campur kode yang telah menyisip dalam kalimat dimana arek leng endi ‘mau yang mana’ berasal dari bahasa jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (2) di atas terjadi campur kode dimana iki ‘ini’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (3) di atas menggunakan campur kode dimana kata piro

‘berapa’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Dari contoh kalimat 1,2, dan 3 di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat di atas menggunakan bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Data 3

Konteks : Perkumpulan antar masyarakat (Ibu-ibu) setempat yang sedang bercerita (begosip)

Ibu I : Hei dengarlah dulu sini! Ibu 2 : Iya ada apa buk?

Ibu 1 (1) : Itu anak e sipolan wingi molehe bengi-bengi lo

‘Itu anaknya si anu kemarin pulangnya malam-malam lah’ Ibu 2 (2) : Em kok ibuk iso tahu sih?

‘em kenapa ibu bisa tahu sih’ Ibu 3 (3) : Iya ibuk ne tahu dari mana?

‘iya ibunya tahu dari mana’ Ibu 1 (4) : Itu semalem aku ketok dewe!


(40)

‘Itu semalan saya lihat sendiri’

Ibu 3 (5) : Ah mosok sih tapi koyoke gak mungkin lah. ‘ah masak sih tapi kayaknya gak mungkin lah’

Dari kalimat (1) di atas terjadi campur kode dimana wingi molehe bengi-bengi ‘kemarin pulangnya malam-malam’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (2) di atas yang menggunakan campur kode dimana kok ibuk iso ‘kenapa ibu bisa’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Dari kalimat (3) di atas terjadi campur kode yang mana ibuk ne ‘Ibunya’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (4) di atas menggunakan campur kode dalam kalimat yang disebabkan dengan aku ketok dewe ‘saya lihat sendiri’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Dari kalimat (5) di atas terjadi campur kode dimana mosok sih ‘masa si’ berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat 1,2,3,4, dan 5 di atas, menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam tiap-tiap kalimat itu menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode.


(41)

Data 4

Konteks : Tuturan antara tukang cuci dan tukang kebun yang saling menyapa.

Tukang kebun : Dari mana kamu Nia? Tukang cuci (1) : Teko omah mau ke sungai

‘Dari rumah mau ke sungai’ Tukang kebun (2) : oh aku kira arek nandi?

‘oh aku kira mau kemana’ Tukang cuci (3) : Iya pak arek nyuceke pakaian

‘Iya pak mau mencucikan pakaian’ Tukang kebun (4) : Jadi kau nyuci bajune sopo sak iki?

‘Jadi kau nyuci pakaian sapa sekarang?’ Tukang cuci (5) : Iki nyuceke pakaian mak Lia

‘ini mencucikan pakaian mak Lia ’ Tukang kebun (6) : Jadi sakiki kue nyuci di situ

Tukang cuci : Iya pak.

Pada kalimat (1) di atas menggunakan campur kode dimana teko omah

‘dari rumah’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (2) di atas mengungkapkan terjadinya campur kode dimana

arek nandi ‘mau kemana’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.


(42)

Pada kalimat (3) di atas yang menggunakan campur kode dimana arek nyucekke ‘mau mencucikan’ berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (4) di atas terjadi campur kode pada kalimat tersebut sebab

bajune sopo sak iki ‘pakaian sapa sekarang’ berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (5) di atas yang menggunakan campur kode dimana iki nyucekke ‘ini mencucikan’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (6) di atas terjadi campur kode dimana sak iki kue ‘sekarang kamu’ mencucikan’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (6) di atas.

Dari kalimat (1,2,3,4,5, dan 6) di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena kalimat di atas menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode pada kalimat-kalimat tersebut.

Data 5

Konteks : tuturan antara Bapak Sukri dengan tetangganya Pak Joko yang sedang santai dirumah mereka Bapak Sukri (1) : enak yo pak duduk santai nang omah?

‘enak ya pak duduk santai di rumah’ Bapak Joko (2) : Iyo iki apalagi kalau sore gini


(43)

Bapak Sukri (3) : Iyo memang enak apa lagi sambil ngeteh

‘Iya memang enak apa lagi sambil minum teh ’ Bapak Joko (4) : Iya lah kan nakisuk sibuk kerjo sampai siang

‘iya lah kan kalau pagi sibuk kerja sampai siang ’ Bapak Sukri (5) : Oh memang iyo yo pak jok

Dari Kalimat (1) di atas menggunakan campur kode sebab enak yo ‘enak ya’ yang berasal dari bahasa Jawa dengan menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (2) di atas terjadi campur kode dimana iyo iki ‘iya ini’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (2) di atas.

Dari Kalimat (3) di atas menggunakan campur kode dimana iyo ngeteh

‘iya minum teh’ yang berasal dari bahasa Jawa dengan menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (4) di atas menggunakan campur kode dimana nak isuk

sibuk kerjo ‘kalau pagi sibuk kerja’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (5) di atas terjadi campur kode dimana iyo yo ‘iya ya’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (5) di atas.

Pada kalimat 1,2,3,4, dan 5 di atas, menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam tiap-tiap kalimat telah memasukkan bahasa


(44)

Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode.

Data 6

Konteks : ibu-ibu yang sedang bercerita dengan teman-temannya Ibu 1 (1) : hari ini kenapa hujan wae yo yuk?

‘hari ini kenapa hujan terus ya kak’ Ibu 2 (2) : iyo iki bu hujan saja dari semalam ‘iya ini bu hujan saja dari semalam’

Ibu 1 (3) : kalau begini terus gak deres-deres pohon karetlah aku iki?

‘kalau begini terus gak deres-deres pohon karetlah aku ini’ Ibu 2 (4) : oh iya ya buk rambunge teles wae ya buk?

‘oh iya ya bu pohonnya basah terus ya bu’ Ibu 1 : Iya bu

Pada kalimat (1) di atas yang menggunakan campur kode dimana wae yo yuk ‘terus ya kak’ berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (2) di atas terjadi campur kode pada kalimat tersebut sebab

iyo iki ‘iya ini’ berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (3) di atas yang menggunakan campur kode dimana iki ‘ini’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.


(45)

Pada kalimat (4) di atas terjadi campur kode dimana rambunge teles wae

‘pohonnya basah terus’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (4) di atas.

Dari kalimat (1,2,3, dan 4) di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena kalimat di atas menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode pada kalimat-kalimat tersebut.

Data 7

Konteks : seorang ayah yang sedang berbicara dengan anaknya Ayah (1) : Tadi di sekolah kau dapet ponten berapa?

‘tadi di sekolah kamu dapat nilai berapa’? Anak (2) : saya dapat ponten sembilan pak!

‘saya dapat nilai sembilan pak’!

Ayah (3) : memangnya pelajaran opo iku leng dapat nilai sembilan? ‘memangnyapelajaran apa itu yang dapat nilai sembilan’? Anak (4) : pelajaran sejarah pak!, gampang kali lah pak pelajarannya.

‘pelajaran sejarah pak, mudah sekalilah pak pelajarannya’. Ayah : oh bagus kalau begitu.

Anak : iya pak

Dari kalimat (1) di atas terjadi campur kode dimana kau dapet ponten

‘kamu dapat nilai’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (1) di atas.


(46)

Dari Kalimat (2) di atas menggunakan campur kode dimana ponten ‘nilai’ yang berasal dari bahasa Jawa dengan menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (3) di atas menggunakan campur kode dimana opo iku leng

‘apa itu yang’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (4) di atas terjadi campur kode dimana gampang kali ‘mudah sekali’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (4) di atas.

Pada kalimat 1,2,3, dan 4 di atas, menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam tiap-tiap kalimat tersebut memasukkan unsur bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode.

Data 8

Konteks : pak budi yang sedang menegur tetangganya marni. Pak (1) : Dari mana kau marni?

‘dari mana kamu marni’? Marni (2) : Oh ini teko sekolah pak

‘oh ini datang sekolah pak’ Pak (3) : Ngopo ke sekolah?

‘ngapain ke sekolah’?

Marni (4) : Itu uang sekolah ne Rudi orong di bayarke, jadi orang tuanya di suruh datang.


(47)

‘itu uang sekolahnya Rudi belum di bayarnya, jadi orang tuanya di suruh datang’.

Pak (5) : memang orong di bayarke apa? ‘memang belum di bayarkan apa’?

Marni (6) : iya, omonge orong, rupane salah gurunya pak ‘iya katanya belum, rupanya salah gurunya pak’ Pak : lo kok bisa salah?

Marni (7) : Iya kiro e rudi anakku rupanya rudi anak kampung sebelah pak ‘iya kirain Rudi anakku rupanya Rudi anak kampung sebelah pak’ Pak (8) : Oh ngono ya mar

‘oh begitu ya mar’ Marni : iya pak

Pada kalimat (1) di atas menggunakan campur kode dimana kau ‘kamu’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (2) di atas mengungkapkan bahwa terjadi campur kode dimana teko ‘datang’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (3) di atas yang menggunakan campur kode dimana ngopo

‘ngapain’ berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (4) di atas terjadi campur kode pada kalimat tersebut dimana

ne Rudi orong di bayarke ‘nya Rudi belum di bayarnya’ berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.


(48)

Pada kalimat (5) di atas yang menggunakan campur kode dimana orong di bayarke ‘belum di bayarkan’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (6) di atas terjadi campur kode dimana orong di bayarke

‘belum di bayarkan’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (6) di atas.

Dari Kalimat (7) di atas menggunakan campur kode dimana kiro e rudi

‘kiranya Rudi’ yang berasal dari bahasa Jawa dengan menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (8) di atas menggunakan campur kode dimana ngono

‘begitu’berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (1,2,3,4,5,6,7, dan 8) di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena kalimat di atas menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode pada kalimat-kalimat tersebut.


(49)

Data 9

Konteks : kumpulan ibu-ibu yang sedang menceritakan tentang anak tetangga.

Ibu Rika (1) : anaknya si anu kok gak sekolah-sekolah ya bu? ‘anaknya si ibu itu kok tidak sekolah-sekolah ya bu’? Ibu Rima (2) : ya akukerungu katanya sudah berhenti.

‘ya saya dengar katanya sudah berhenti’.

Ibu Rika (3) : iya tapikan sayang tenan uwes kelas 3 kok berhenti! ‘iya tapikan sayang sekali sudah kelas 3 kenapa berhenti’! Ibu Rima (4) : iya katanya wong tua ne sudah gak sanggup

menyekolahkan anaknya.

‘iya katanya orang tuanya sudah tidak sanggup menyekolahkan anaknya’.

Ibu Rika (5) : jadi anak e iku nang omah sajalah buk ‘jadi anaknya itu di rumah sajalah bu’ Ibu Rima : iya bu.

Dari Kalimat (1) di atas menggunakan campur kode sebab si anu kok gak

‘si ibu itu kok tidak’ yang berasal dari bahasa Jawa dengan menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (2) di atas terjadi campur kode dimana aku kerungu ‘saya dengar’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (2) di atas.


(50)

Dari Kalimat (3) di atas menggunakan campur kode dimana tenan uwes

‘sekali sudah’ yang berasl dari bahasa Jawa dengan menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (4) di atas menggunakan campur kode dimana wong tua ne

‘orang tuanya’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (5) di atas terjadi campur kode dimana anak e iku nang omah

‘anaknya itu di rumah’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut sehingga terjadi campur kode pada kalimat (5) di atas.

Pada kalimat 1,2,3,4, dan 5 di atas, menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam tiap-tiap kalimat itu memasukkan unsur bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode.

Data 10

Konteks : suami dan istri saling berbicara. Suami (1) : bu entar siang kita pergi ya bu

‘bu nanti siang kita pergi ya bu’ Istri (2) : emang mau kemana pak?

‘memang mau kemana pak’? Suami (3) : iya pergi kondangan ke tempat temen

‘iya pergi pesta tempat temen’ Istri (4) : temen leng endi pak?


(51)

Suami (5) : itu bu konco SMA bapak dulu ‘itu bu temen SMA bapak dulu’ Istri : oh ya sudah pak.

Dari kalimat (1) di atas terjadi campur kode dimana entar siang ‘nanti siang’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (2) di atas yang menggunakan campur kode dimana emang

‘memang’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Dari kalimat (3) di atas terjadi campur kode yang mana kondangan ‘pesta’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia di atas.

Dari kalimat (4) di atas menggunakan campur kode dalam kalimat yang disebabkan dengan leng endi ‘yang mana’ berasal dari bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Dari kalimat (5) di atas terjadi campur kode dimana konco ‘teman’ berasal dari bahasa Jawa menyisip pada kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat 1,2,3,4, dan 5 di atas, menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam tiap-tiap kalimat tersebut menyisipkan bahasa Jawa ke dalam kalimat bahasa Indonesia.


(52)

4.1.2 Bentuk Campur Kode penyisipan berupa Frase

Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1995:151). Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase pada tuturan penjual dan pembeli dipasar desa Tanjung Langkat, dapat dilihat pada peristiwa tuturan dibawah ini:

Data I

Berikut peristiwa campur kode antara penjual dan pembeli yang berbentuk frase yang telah peneliti temukan pada pasar di desa Tanjung Langkat.

Konteks : Peristiwa Tuturan dalam Transaksi Jual Beli Celana pendek oleh Penjual dan Pembeli

Pembeli : Buk yang ini berapa? Penjual : Dua puluh ribu Pembeli (1) : larang tenan, Bu ini.

‘mahal sekali, Bu ini’ Penjual (2) : Itu kainnya lengalus, bu.

‘Itu kainnya yang halus, bu’ Pembeli (3) : ya sudah buk jadi pase piro?

‘ya sudah jadi pasnya berapa?’ Penjual (4) : .ya pasnya sakmono buk

‘Ya pasnya segitu bu’ Pembeli (5) : biar jekok loro aku bu.


(53)

Penjual : Oh ya sudah kalau gitu bu.

Data (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase larang tenan

‘mahal sekali’ (berasal dari bahasa Jawa) menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat tersebut adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

Pada kalimat (2) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase leng alus

‘yang halus’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat (2) bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode (2) di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat tersebut terdapat bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.

Pada kalimat (3) di atas terjadinya campur kode dalam bentuk frase pase piro ‘tepatnya berapa’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode ini disebut dengan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat data (3) tersebut penyisipan yang digunakan bahasa Jawa dan menyatu dengan kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Pada kalimat (4) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase sakmono buk ‘segitu bu’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat tersebut adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

Pada kalimat (5) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase jekok loro ‘ambil dua’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa


(54)

Indonesia di atas. Campur kode ini menggunakan jenis campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kaimat tersebut meggunakan bahasa Jawa menyisip pada bahasa Indonesia tersebut.

Jadi pada kalimat 1,2,3,4, dan 5 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk frase.

Data 2

Konteks : peristiwa tuturan dalam jual beli bunga mawar Pembeli (1) : Berapa satu pot kembang mawar bu?

‘Berapa satu pot bunga mawar bu? ’ Penjual : Oh satu pot tiga puluh ribu bu

Pembeli (2) : Larang tenan kalau dua puluh ribu gak dapat bu ‘Mahal sekali kalau dua puluh ribu gak dapat bu’ Penjual (3) : Ora iso modalnya pun tidak segitu bu

‘tidak bisa modalnya pun tidak segitu bu’ Pembeli : Iya kenapa bu biar jadi

Penjual (4) : Ya sudah gawe penglaris ‘ya sudah buat pelarisan’

Pada kalimat (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase Ora iso

‘tidak bisa’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat (1) di atas. Jenis campur kode (1) di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat terdapat bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.


(55)

Dalam kalimat (2) di atas terdapat campur kode dalam bentuk frase

Larang tenan ‘mahal sekali’ berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode di atas menggunakan jenis campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga terjadi campur kode pada kalimat (2) bahasa Indonesia di atas.

Pada kalimat (3) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase Ora iso

‘tidak bisa’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat (2) bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode (3) di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat terdapat bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.

Dalam kalimat (4) di atas terdapat campur kode dalam bentu frase Larang tenan ‘mahal sekali’ berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode di atas menggunakan jenis campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga terjadi campur kode pada kalimat (4) bahasa Indonesia di atas.

Jadi pada kalimat 1,2,3, dan 4 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk frase.

Data 3


(56)

P1 : Dari mana Yan?

P2 (1) : Teko belonjo di pasar tadi pak! ‘dari belanja di pasar tadi pak!’ P1 (2) : Isuk tenan kau belanjanya?

‘pagi kali kau belanjanya?’

P2 (3) : Iya takut rame tenan kalau nanti pak ‘Iya takut ramai sekali kalau nanti pak’ P1 : Oh iya memeng Yan.

Data (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase Teko belonjo

‘dari belanja’yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Campur kode ini menggunakan jenis campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kaimat tersebut meggunakan bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa menyisip pada bahasa Indonesia tersebut.

Data (2) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase Isuk tenan ‘pagi sekali’ (berasal dari bahasa Jawa) menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat tersebut adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

Pada kalimat (3) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase Larang tenan ‘mahal sekali’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat (3) di atas. Jenis campur kode (3) di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat terdapat bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.


(57)

Jadi pada kalimat 1,2, dan 3 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk frase.

Data 4

Konteks : Tuturan antara Ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di depan rumah Ibu 1 (1) : Ibu-ibu tahu tidak kalau wingi bengi ada yang ke malingan bu

‘Ibu-ibu tahu tidak kalau kemarin malam ada yang ke malingan bu’ Ibu 2 (2) : omah sopo yang ke maliangan bu?

‘rumah siapa yang ke malingan bu?’ Ibu 1 : Itu rumahnya Bu Sari

Ibu 2 (3) : Bu Sari yang wes rondo itu kan? ‘Bu Sari yang sudah janda itu kan?’

Ibu 1 (4) : Iya buk tapi dia sendiri pun rondo koyo jadi panteslah kalau incar maling

Ibu 2 : Iya tapi kan kasian juga buk kalau gitu bu

Pada Kalimat (1) di atas terdapat campur kode dalam bentuk frase dimana

wingi bengi ‘kemarin malam’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab campur kode yang digunakan adalah campur kode bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

Pada Kalimat (2) di atas merupakan campur kode dalam bentuk frase

omah sopo ‘rumah siapa’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Jenis campur kode di atas adalah campur kode ke


(58)

dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.

Pada Kalimat (3) di atas merupakan campur kode dalam bentuk frase wes rondo ‘sudah janda’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Jenis campur kode di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.

Data (4) di atas terjadi campur kode dalam bentuk frase rondo koyo ‘janda kaya’ berasal dari bahasa Jawa menyisip dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat tersebut adanya bahasa daerah yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Jadi pada kalimat 1,2,3, dan 4 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk frase.


(59)

Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari Subjek dan Predikat baik disertai Objek, Pelengkap, dan Keterangan ataupun tidak (Ramlan, 1995:89). Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang berbetuk klausa pada tuturan tersebut.

Data I

Konteks : Tuturan antara ibu dan anak yang sedang asik merawat taman agar bisa menjadi taman yang indah.

Ibu : Yan ayok kita bersihin taman? Anak : Iya buk.

Ibu (1) : sekarang ibuk dan koe arek nandor kembang di taman kita ini agar terlihat cantik ya rik!

‘sekarang Ibu dan kamu mau menanam bunga di taman kita ini agar terlihat indah ya rik!’

Anak (2) : Iya buk, aku bantonin ibuk nandor kembang biar tamannya menjadi indah

‘Iya buk, saya membantu ibu menanam bunga biar taman menjadi indah’.

Pada Kalimat (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk klausa ibuk dan koe arek nandor kembang ‘Ibu dan kamu mau menanam bunga’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode data (1) di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena adanya bahasa daerah yaitu bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.


(60)

Pada Kalimat (2) di atas terjadi campur kode dalam bentuk klausa aku bantonin ibuk nandor kembang ‘saya membantu ibu menanam bunga’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat (2) di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab kalimat di atas mengunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kaliamat bahasa Indonesia.

Jadi pada kalimat 1, dan 2 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk klausa.

Data 2

Konteks : tuturan antar tetangga mengenai pertandingan Ibu : Besok ada pertandingan bola

Riki : dimana bu?

Ibu (1) : di lapangan ki, kue gak arek ekot pertandingan besok? ‘Di lapangan ki, kamu tidak mau ikut perandingan besok?’ Riki : mau bu tapi saya mau pergi ke sawah!

Ibu : apa sudah mau panen padinya yang di sawah? Riki (2) : iya jadi aku ora iso ekot tandeng besok bu!

‘Iya jadi saya tidak bisa ikut tandeng besok bu’ Ibu : Oh ya sudah kalau begitu.

Pada Kalimat (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk klausa kue gak arek ekot ‘kamu tidak mau ikut’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia (1) di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab kalimat di atas mengunakan bahasa


(61)

bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kaliamat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode dalam bentuk klausa.

Dari kalimat (3) di atas menggunakan campur kode dalam bentuk klausa

aku ora iso ekot tandeng ‘saya tidak bisa ikut tandeng’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode data (3) di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Jadi pada kalimat 1,2 dan 3 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk klausa.

Data 3

Konteks : Saling tegur sapa antar warga Ratna : Lagi santai ya pak

Pak Sugeng(1) : Iya Bapak nak sore santai sambel ngeteh iki, karena baru pulang dari ladang

‘Iya Bapak kalau sore santai sambil minum teh ini, karena baru pulang dari ladang’

Ratna : Oh begitu ya pak.

Pak Sugeng(2) : Lah, jadi koe dewe teko endi wes sore baru muleh? sebab sejak tadi Ibumu mencari kamu Rat!

‘lah, jadi kamu sendiri dari mana sudah sore baru pulang? Sebab sejak tadi Ibumu mencari kamu Rat! ’


(62)

Dari Kalimat (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk klausa aku nak sore santai sambel ngeteh iki ‘Bapak kalau sore santai sambil minum teh ini’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena adanya bahasa bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Dari kalimat (2) di atas menggunakan campur kode dalam bentuk klausa

koe dewe teko endi wes sore baru muleh? ‘kamu sendiri dari mana sudah sore baru pulang?’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode data (2) di atas menggunakan campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Jadi pada kalimat 1,2 dan 3 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk klausa.

4.1.4 Bentuk Campur Kode Penyisipan berupa Pengulangan Kata

Campur kode yang berupa penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata ulang pada tuturan antara Ibu yang sedang bertannya kepada ria

Data I

Konteks : Peristiwa tutur pada ibu yang bertannya tentang anaknya kepada Ria anak tetangganya

Ibu (1) : Ria kau nampak kemana bocah-bocah ibu pergi? ‘Ria kau lihat kemana anak-anak ibu pergi’


(63)

Ria (2) : mungkin sudah pergi maen-maen bu ‘mungkin sudah pergi main-main bu’

Ibu (3) : Iya mungkin lah bandel-bandel sekali orang itu ‘iya mungkinlah nakal-nakal sekali orang itu’ Ria : Ya jenenge juga bocah-bocah bu

‘Ya namanya juga anak-anak bu’ Ibu : Em ya sudah ya Ria makasih

Pada kalimat (1) di atas merupakan campur kode dalam bentuk pengulangan kata bocah-bocah ‘anak-anak’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat di atas lalu menyatu dengan kalimat yang disisipinya. Campur kode data (1) adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab kalimat di atas mengunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kaliamat bahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode pengulangan kata dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut.

Data (2) di atas terjadi campur kode dalam bentuk pengulangan kata dimana maen-maen ‘main-main’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. campur kode data (2) adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat tersebut menggunakan bahasa Jawa bercampur dengan kalimat bahasa Indonesia sehingga di kalimat (2) terdapat campur kode pengulangan kata.

Data (3) di atas merupakan campur kode dalam bentuk pengulangan kata sebab bandel-bandel ‘nakal-nakal’ menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia


(64)

di atas. Jenis campur kode ini adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat adanya bahasa daerah Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Jadi pada kalimat 1,2, dan 3 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk pengulangan kata.

Data 2

Konteks : pak tarjo yang bertannya dengan anak tetangganya Pak Tarjo (1) : Dari mana kamu Rin kok mondar-mandir dari tadi?

‘dari mana kamu rin kok bolak-balik dari tadi’

Rini : iya pak lagi ambil barang yang ketinggalan di rumah! Pak Tarjo : oh bapak kira ngapain

Data (1) di atas terjadi campur kode dalam bentuk pengulangan kata dimana mondar-mandir ‘bolak-balik’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat di atas.

Pada kalimat (1) di atas merupakan campur kode data (1) adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat di atas menggunakan bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Data 3

Konteks : seorang ibu yang bertanya pada anaknya Ibu (1) : mau kemana Di kok cepet-cepet sekali?

‘mau kemana Di kok buru-buru sekali’ Andi (2) : mau maen-maen buk di depan


(65)

Ibu (3) : memang sama siapa pergi dolan-dolan nya Andi? ‘memang sama siapa pergi main-mainnya Andi’ Andi (4) : sama kawan-kawan sekolah bu

‘sama teman-teman sekolah bu’

Ibu (5) : oh ya sudah kalau begitu ati-ati di jalan ya ‘oh ya sudah kalau begitu hati-hati di jalan ya’ Andi : iya bu

Dalam kalimat (1) di atas terdapat campur kode dalam bentuk pengulangan kata cepet-cepet ‘buu-burur’ (berasal dari bahasa daerah) menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab campur kode yang dugunakan adalah campur kode bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam kalimat (2) di atas merupakan campur kode dalam bentuk pengulangan kata maen-maen ‘main-main’ (berasal dari bahasa daerah) menyisip ke dalam kalimat ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab kalimat di atas mengunakan bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kaliamat bahasa Indonesia.

Dalam kalimat (3) di atas terjadi campur kode dalam bentuk pengulangan kata dolan-dolan ‘main-main’ (berasal dari bahasa daerah) menyisip pada kalimat ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode ini adalah campur


(66)

kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Dalam kalimat (4) di atas telah menggunakan campur kode dalam bentuk pangulangan kata dimana kawan-kawan ‘teman-teman’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode yang digunakan adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab campur kode yang digunakan adalah campur kode bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

Dari data (5) di atas terdapat campur kode dalam bentuk pangulangan kata

ati-ati ‘hati-hati’ (berasal dari bahasa daerah) menyisip pada kalimat ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Jenis campur kode ini adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), karena dalam kalimat adanya bahasa Jawa yang menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

Jadi pada kalimat 1,2,3,4 dan 5 telah terjadi penyisipan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat di atas dalam bentuk pengulangan kata.

Data 4

Konteks : seorang warga yang saling bertegur sapa Ibu1 (1) : Dari mana buk kok mondar-mandir aja bu?

‘dari mana bu kok bolak-balik saja bu?’

Ibu2 (2) : iya buk dari tadi sudah keleleng-keleleng saya bu ‘ iya bu dari tadi sidah keliling-keling saya bu’ Ibu1 (3) : memang golek-golek siapa?


(67)

Ibu2 (4) : ini mencari bocah-bocah kok tidak ada di rumah ‘ini mencari anak-anak kok tidak ada di rumah’ Ibu1 (5) : apa mungkin dolan-dolan di bukit sana bu

‘apa mungkit main-main di bukit sana bu’ Ibu2 (6) : buket-buket mana bu?

‘bukit-bukit mana bu’

Ibu1 (7) : itu dalan-dalan bukit di sebelah sana bu ‘itu jalan-jalan bukit di sebelah sana bu’ Ibu2 : oh iya ya bu kalau begitu makasih ya bu Ibu1 (8) : iya sami-sami

‘iya sama-sama’

Pada Kalimat (1) di atas terdapat campur kode dalam bentuk pengulangan kata mondar-mandir ‘bolak-balik’ yang berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia di atas. Jenis campur kode (1) di atas adalah campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kalimat tersebut terdapat bahasa Jawa yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi satu kalimat yang utuh.

Dari data (2) di atas merupakan campur kode dalam bentuk pengulangan kata keleleng-keleleng ‘keliling-keliling’ berasal dari bahasa Jawa menyisip ke dalam kalimat bahasa Indonesia tersebut. Campur kode ini menggunakan jenis campur kode ke dalam (inner code-mixing), sebab dalam kaimat tersebut meggunakan bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa menyisip pada bahasa Indonesia tersebut.


(1)

Data 2

Konteks : peristiwa tuturan dalam jual beli bunga mawar Pembeli (1) : Berapa satu pot kembang mawar bu?

‘Berapa satu pot bunga mawar bu? ’ Penjual : Oh satu pot tiga puluh ribu bu

Pembeli (2) : Larang tenan kalau dua puluh ribu gak dapat bu ‘Mahal sekali kalau dua puluh ribu gak dapat bu’ Penjual (3) : Ora iso modalnya pun tidak segitu bu

‘tidak bisa modalnya pun tidak segitu bu’ Pembeli : Iya kenapa bu biar jadi

Penjual (4) : Ya sudah gawe penglaris ‘ya sudah buat pelarisan’ Data 3

Konteks : Peristiwa tutur masyarakat yang saling menyapa P1 : Dari mana Yan?

P2 (1) : Teko belonjo di pasar tadi pak! ‘dari belanja di pasar tadi pak!’ P1 (2) : Isuk tenan kau belanjanya?

‘pagi kali kau belanjanya?’

P2 (3) : Iya takut rame tenan kalau nanti pak ‘Iya takut ramai sekali kalau nanti pak’ P1 : Oh iya memeng Yan.


(2)

Data 4

Konteks : Tuturan antara Ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di depan rumah Ibu 1 (1) : Ibu-ibu tahu tidak kalau wingi bengi ada yang ke malingan bu

‘Ibu-ibu tahu tidak kalau kemarin malam ada yang ke malingan bu’ Ibu 2 (2) : omah sopo yang ke maliangan bu?

‘rumah siapa yang ke malingan bu?’ Ibu 1 : Itu rumahnya Bu Sari

Ibu 2 (3) : Bu Sari yang wes rondo itu kan? ‘Bu Sari yang sudah janda itu kan?’

Ibu 1 (4) : Iya buk tapi dia sendiri pun rondo koyo jadi panteslah kalau incar maling

Ibu 2 : Iya tapi kan kasian juga buk kalau gitu bu 4.1.3 Bentuk Campur Kode Penyisipan berupa Klausa Data I

Konteks : Tuturan antara ibu dan anak yang sedang asik merawat taman agar bisa menjadi taman yang indah.

Ibu : Yan ayok kita bersihin taman? Anak : Iya buk.

Ibu (1) : sekarang ibuk dan koe arek nandor kembang di taman kita ini agar terlihat cantik ya rik!

‘sekarang Ibu dan kamu mau menanam bunga di taman kita ini agar terlihat indah ya rik!’


(3)

Anak (2) : Iya buk, aku bantonin ibuk nandor kembang biar tamannya menjadi indah

‘Iya buk, saya membantu ibu menanam bunga biar taman menjadi indah’. Data 2

Konteks : tuturan antar tetangga mengenai pertandingan Ibu : Besok ada pertandingan bola

Riki : dimana bu?

Ibu (1) : di lapangan ki, kue gak arek ekot pertandingan besok? ‘Di lapangan ki, kamu tidak mau ikut perandingan besok?’ Riki : mau bu tapi saya mau pergi ke sawah!

Ibu : apa sudah mau panen padinya yang di sawah? Riki (2) : iya jadi aku ora iso ekot tandeng besok bu!

‘Iya jadi saya tidak bisa ikut tandeng besok bu’ Ibu : Oh ya sudah kalau begitu.

Data 3

Konteks : Saling tegur sapa antar warga Ratna : Lagi santai ya pak

Pak Sugeng(1) : Iya Bapak nak sore santai sambel ngeteh iki, karena baru pulang dari ladang

‘Iya Bapak kalau sore santai sambil minum teh ini, karena baru pulang dari ladang’


(4)

Pak Sugeng(2) : Lah, jadi koe dewe teko endi wes sore baru muleh? sebab sejak tadi Ibumu mencari kamu Rat!

‘lah, jadi kamu sendiri dari mana sudah sore baru pulang? Sebab sejak tadi Ibumu mencari kamu Rat! ’

Ratna : Iya pak baru dari tempat kawan.

Bentuk Campur Kode berupa Penyisipan Pengulangan Kata Data I

Konteks : Peristiwa tutur pada ibu yang bertannya tentang anaknya kepada Ria anak tetannganya

Ibu (1) : Ria kau nampak kemana bocah-bocah aku pergi? ‘Ria kau lihat kemana anak-anak aku pergi’ Ria (2) : mungkin sudah pergi maen-maen bu

‘mungkin sudah pergi main-main bu’

Ibu (3) : Iya mungkin lah bandel-bandel sekali orang itu ‘iya mungkinlah nakal-nakal sekali orang itu’ Ria : Ya jenenge juga bocah-bocah bu

‘Ya namanya juga anak-anak bu’ Ibu : Em ya sudah ya Ria makasih Ria (4) : ya sami-sami bu

‘ya sama-sama bu’ Data 2


(5)

Pak Tarjo (1) : Dari mana kamu Rin kok mondar-mandir dari tadi? ‘dari mana kamu rin kok bolak-balik dari tadi’

Rini : iya pak lagi ambil barang yang ketinggalan di rumah! Pak Tarjo : oh bapak kira ngapain

Data 3

Konteks : seorang ibu yang bertanya pada anaknya Ibu (1) : mau kemana Di kok cepet-cepet sekali?

‘mau kemana Di kok buru-buru sekali’ Andi (2) : mau maen-maen buk di depan

‘mau main-main buk di depan’

Ibu (3) : memang sama siapa pergi dolan-dolan nya Andi? ‘memang sama siapa pergi main-mainnya Andi’ Andi (4) : sama kawan-kawan sekolah bu

‘sama teman-teman sekolah bu’

Ibu (5) : oh ya sudah kalau begitu ati-ati di jalan ya ‘oh ya sudah kalau begitu hati-hati di jalan ya’ Andi : iya bu

Data 4

Konteks : seorang warga yang saling bertegur sapa Ibu1 (1) : Dari mana buk kok mondar-mandir aja bu?

‘dari mana bu kok bolak-balik saja bu?’

Ibu2 (2) : iya buk dari tadi sudah keleleng-keleleng saya bu ‘ iya bu dari tadi sidah keliling-keling saya bu’


(6)

Ibu1 (3) : memang golek-golek siapa? ‘memang cari-cari siapa?’

Ibu2 (4) : ini mencari bocah-bocah kok tidak ada di rumah ‘ini mencari anak-anak kok tidak ada di rumah’ Ibu1 (5) : apa mungkin dolan-dolan di bukit sana bu

‘apa mungkit main-main di bukit sana bu’ Ibu2 (6) : buket-buket mana bu?

‘bukit-bukit mana bu’

Ibu1 (7) : itu dalan-dalan bukit di sebelah sana bu ‘itu jalan-jalan bukit di sebelah sana bu’ Ibu2 : oh iya ya bu kalau begitu makasih ya bu Ibu1 (8) : iya sami-sami