juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresip atau pengungkapan seorang penutur.
2.5.3 Alih Kode
Alih kode code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan
bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa language dependency dalam masyarakat
multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih
cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Nababan 1991: 31 menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya
ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil bahasa jawa ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana
1982:7 mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau adanya partisipasi lain
disebut alih kode. Holmes 2001:35 menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas
interaksi para penutur. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan
gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode
menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
2.5.4 Campur Kode
Campur kode code-mixing terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur
bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan
linguistic convergence. Kridalaksana 1982:32 memberikan batasan campur kode atau
interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya
pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan 1989:32 menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang
mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut
campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik Holmes, 2001:42.
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena
keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain bahasa
asing. Suwito 1985:75 aspek lain dari saling ketergantungan bahasa language
dependency dalam masyarakat multilingual ialah terjadinya gejala campur kode code-maxing. Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi
merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang
menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jika seorang penutur dalam tuturannya
bercampur kode, maka harus dipertannyakan terlebih dahulu siapa dia. Dalam hal ini sifat-sifat khusus si penutur misalnya : latar belakang sosial, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan dan sebagainya. Sifat-sifat khusus penutur akan mewarnai campur kodenya.
Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang
maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan linguistic konvergence yag unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-
masing menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya
unsur-unsur demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: a yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya dan b bersumber
dari bahasa asing. Contoh: a.
penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata : sarkus aur numayis yaha phel hai
sirkus dan pameran di sini gagal adalah Di sini sirkus dan pameran tidak pernah berhasil
b. penyisipan unsur-unsur yang berujud frase vipaksh drava vak aut
beroposisi dengan berjalan keluar Beroposisidengan meninggalkan sidang
c. penyisipan unsur-unsur yang berujud bentuk baster: banyak klap malam yang harus ditutup
hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali d. penyisipan unsur-unsur yang berujud pengulangan kata:
petrol vetrol bhar liya hai bensin dan sejenisnya sudah mengisi adalah
Bensin dan sejenisnya telah diisikan
e. penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom: yah apa boleh buat, better laat dan noil lebih baik terlambat dari pada
tidak sama sekali
f. penyisipan unsur-unsur yang berwujud kalusa: parhne me sima ki bahut ruci hai vah kahri hai
belajar bagi sima dari banyak perhatian adalah ia berkata adalah edukation is necessary for life
pendidikan adalah perlu untuk hidup sima sangat menaruh perhatian pada belajar. Ia berkata, ‘pendidikan
sangat diperlukan dalam kehidupan’.
2.5.5 Interferensi