3. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove

Mangrove 0,451 4 2,9776 4,56 12 7,990 2 Terumbu karang Fringing reef Patch reef Shoal 1,212 7 0,456 8 0,217 3 3,0422 - 0,3845 16,4 108 - 3,63 29 20,66 57 0,456 8 4,234 7 Sumber: Tim CRITC, Studi Baseline Ekologi Tapanuli Tenga. Jakarta : LIPI, 2006

4. 3. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove

Saat ini kondisi mangrove di kawasan pesisir desa Sijago-jago belum memprihatinkan, karensa konversi lahan untuk budidaya dan pemukiman belum dieksploitasi secara besar-besaran yang dapat mempengerauhi luasan vegetasi mangrove di sepanjang wilayah pesisir pantai si Jago-jago hingga kampong Sawah. Kondisi buruk yang ditimbulkan penurunan luas vegetasi mangrove seacara teoritis dapat menyebabkan : a. Penurunan kualitas air b. Penurunan hasil tangkapan terutama kepiting, kerang dan udang c. Erosi pantai meluas Universitas Sumatera Utara Penghijauan hutan mangrove yang telah gundul merupakan salah satu upaya yang bertujuan bukan hanya untuk mengembalikan nilai estetika, tetapi yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologisnya. Sementara itu, dalam konteks pelestarian hutan mangrove, sebagian masyarakat tidak melakukan penanaman kembali mangrove dengan alasan: tidak mengetahui cara menanam mangrove; lokasi hutan mangrove yang jauh dari pemukiman; tidak mempunyai bibit mangrove; dan masyarakat lebih senang menanam tanaman pangan daripada menanam mangrove Suwignyo, 2011 Berkaitan dengan konservasi, peraturan yang paling relevan nampaknya adalah Kepres No. 32 Tahun 1990 mengenai areal lindung, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. UU yang terakhi ini memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove. Menurut Sianipar 2001, partisipasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, dimana tujuan dimaksud adalah dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik dalam menentukan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini partisipasi datang dari pola pandang masyarakat yang berada di desa penelitian, dengan tujuan pelestarian hutan mangrove. Bila dilihat secara umum kata partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan mengambil peran tertentu dalam kegiatan pelestarian kawasan mangrove. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat adalah kelompok penduduk yang dapat dikategorikan menjadi masyarakat lokal, masyarakat swasta, dan masyarakat umum yang ada di desa penelitian Sianipar, 2001 . Universitas Sumatera Utara Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan masyarakat yang berada di desa itu dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat yang mendukung kegiatan pelestarian hutan mangrove. Adapun asas partisipasi masyarakat yang dipakai adalah kebebasan berpendapat mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan secara rasional, efisien, tepat guna dan tepat sasaran. Sedangkan tujuan dari partisipasi itu adalah meningkatkan kualitas dan keefektifan kebijakan yang dirumuskan dan ditetapkan dalam membangun pemerintahan yang demokratis dan partisipatif. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan makna penting peran dan tanggung jawab bersama dalam menentukan masa depan kehidupannya khususnya pelestarian hutan mangrove, sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal maupun kebijakan nasional. Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove sebaiknya ada keterlibatan aktif masyarakat secara sukarela dalam seluruh tahapan proses pembangunan bukan melalui para wakilnya. Dikatakan bahwa pengertian tersebut mengandung substansi pokok yaitu : 1 Partisipasi dalam perencanaan kegiatan; 2 Partisipasi dalam pelaksanaan keg iatan; 3 Partisipasi dalam penerimanmanfaat ; 4 Partisipasi dalam pemantuan dan evaluasi; 5 Partisipasi dalam menerima resiko Mishra, 1984. Partisipasi masyarakat juga dapat berupa suatu perwujudan dari proses intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat dengan pemberian bantuan bantuan yang bersifat stimulanperangsang Awang, 2002. Partisipasi secara kelompok ditunjukkan dengan wujud perpanjangan tangan pemerintah ke tingkat Universitas Sumatera Utara masyarakat desa dengan memanfaatkan pihak-pihak yang telah menjadi kekuatan informal di desa itu . Berkaitan dengan perekonomian, partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi sekarang bukan lagi merupakan mau tidaknya masyarakat di desa itu ikut berpartisipasi, tapi sejauh mana masyarakat memperoleh manfaat dari program partisipasi itu Soetrisno, 1995. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan palestarian hutan mangrove, terdiri dari tiga hal, yaitu : 1 Keadaan sosial masyarakat meliputi; pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan, dan kedudukan sosial dalam sistem sosial, 2 Kegiatan program pembangunan meliputi; kegiatan pelestarian mangrove yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah dalam waktu yang telah dijadwalkan. Hal ini dapat mengikutsertakan organisasi masyarakat, dan 3 Keadaan alam sekitar meliputi; faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat Amba, 1998. Adapun kerusakan pada kawasan mangrove sering ditimbulkan oleh kepentingan pribadi oleh masyarakat sekitar hutan mangrove itu sendiri. Baik tujuannya pembuatan tambak, penebangan kayu bakau untuk dijual, maupun pendirian pelabuhan dan lain-lain. Kerusakan hutan mangrove di Tapanuli tengah dapat dikatakan tidak terlalu parah seperti ditempat-tempat lainnya. Namun bukan berarti kondisi mangrove di daerah tersebut lebih bagus. Ada beberapa titik yang dilakukan konversi lahan menjadi tambak, panglon tempat pemotongan kayu dan lain-lain. Dengan observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan mangrover, baik dalam perencanaan, sosialisasi, pengasan, maupun evaluasi masih sangat rendah. Universitas Sumatera Utara Partisipasi masyarakat disekitar hutan mangrove sangat diperlukan untuk mensukseskan kegiatan pelestarian hutan mangrove. Oleh sebab itu sangat diperlukan masyarakat yang memiliki jiwa partisipasi yang tinggi. Namun tingkat partisipasi tiap-tiap masyarakat berbeda. Hal ini disebabkan oleh karakteristik individu tiap masyarakat tersebut berbeda-beda. Adapun karakteristik individu masyarakat itu adalah umur, jumlah anggota keluarga, lama masa bermukim, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dinilai dari tindakan- tindakan masyarakat dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove yang berkelanjutan di desa penelitian. Tindakan pelestarian itu dapat berupa kegiatan penanaman bibit baik dari lembaga desa maupun individu masyarakat, kegiatan pemeliharaan hutan mangrove, pengawasan terhadap hutan mangrove, hingga pemanfaatan yang bersifat lestari. Hasil yang diharapkan dari adanya partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove adalah terciptanya kawasan hutan mangrove yang lestari. Keadaan ini juga akan memberikan pengaruh kepada lingkungan di sekitar hutan mangrove, dapat berupa manfaat ekologi lingkungan, manfaat biologi, hingga manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan itu. Namun pada kenyataannya ada beberapa kendala yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove. Kendala ini dapat menghambat partisipasi masyarakat untuk ikut dalam kegiatan pelestarian kawasan mangrove . Untuk memahami pola pelestarian mangrove, maka pengetahuan masyarakat mengenai fungsi mangrove hutan bakau yang disebutkan dengan nama lokal yaitu bakko 1 1 Sebutan lokal lain tentang mangrove diantaranya: daun subang-subang, rawa-rawa bako, sibutak-butak. Jenis bakau yang dikenal dengan sebutan nama lokal diantaranya: baho simarapi-api, , Universitas Sumatera Utara ternyata sangat beragam, diantaranya kategori manfaat langsung sebagai sumber kayu arang, kayu bakar, bahan papan, fondasi bangunan panggung, pagar rumah. Namun yang paling banyak umum berhubungan dengan fungsi ekologis diantaranya sebagai tameng perlindungan pantai dari abrasi dan erosi dan tsunami, sebagai pelindung pantai karena dapat memecah ombak dan mengurangi dampak langsung badai laut, tempat ikan berkembang biak, penyejuk iklim, dan tempat perlindungan berbagai jenis binatang yang memiliki habitat di pesisir pantai. Hal ini sejalan dengan pendapat informan RH 47 tahun yang bertemapat tinggal di Sitardas yang pernah menjadi salah seorang pelestari terumbu karang dan mangrove: “ Saya sudah mengikuti studi banding hingga ke Filipina dalam hal pelestarian mangrove dan terumbu karang ini, dimana saya salah satu perwakilan dari Sumatera Utara yang termasuk dalam proyek COREMAP II , sehingga manfaat dan fungsi mangrove sudah saya paparkan dalam berbagai pertemuan yang sifatnya formal maupun informal dengan masyarakat Sijago- jago ini yang termasuk sebagai nelayan ataupun penduduk lainnya yang tinggal ditepi pantai, sehingga pengetahuan masyarakat di sekitar sini mengenai fungsi mangrove sebenarnya sudah memadai”. Timgkat pengetahuan masyarakat tentang fungsi mangrove memiliki kaitan dengan tatacarara dan perlakuan masyarakat terhadap lingkungan pesisir khususnya wilayah yang ditumbuhi oleh mangrove. Hasil pengamatan mendapatkan kecenderungan untuk masyarakat Sijago_jago yang tinggal di perbukitan maka cenderung merusak lingkungannya karena ini belum adanya ada aturan atau kebiasaan yang dibuat oleh masyarakat sendiri mengenai tatacara mengelola langade, Bakko Langadei, Bakko tunjang, Bakko Meranti, kayu bakar, katunjang, kayu baderik dan kayu ripah Universitas Sumatera Utara lingkungan, termasuk membuang berbagai jenis limbah cair dan padat hasil kebutuhan rumah tangga maupun kegiatan ekonomi. Berdasarkan penelitian ini juga diperoleh informasi bahwa masyarakat yang berada di lokasi penelitian belum pernah menghasilkan aturan dan berbagai pola pemeliharaan lingkungan yang termasuk adaptif untuk perlindungan lingkungannya. Keadaan ini banyak berhubungan dengan sudah semakin melemahnya sosialisasi yang ditransformasikan oleh generasi tua kepada anak dan cucunya, sehingga kondisi ini menjadi salah satu penyebab kurang perduli dan rendahnya komitmen masyarakat yang berada di wilayah penelitian ini untuk mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Meskipun demikian, ternyata menurut salah satu informan yaitu MS 51 tahun yang sehari-hari berprofesi sebagai toke dan “pamuge” pedangang pengumpul ikan: “Prilaku pemeliharaan lingkungan dalam membuang limbah lebih didasarkan pada kesadaran kami masyarakat disini akan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga sampah rumah tangga maupun limbah ikan harus dibuang pada tempat tertentu yang sudah disediakan misalnya tong sampah, dan tidak membuangnya langsung ke laut”. Perlakukan terhadap lingkungan khususnya pantai memiliki dampak positif dan negatif. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada umumnya karena masyarakat belum memahami secara utuh dampak negatif dari berbagai tindakan yang memanfaatkan secara berlebih sumber daya ekosistem pesisir dan lingkungan pantai, maka ada temuan tindakan penimbunan pantai reklamasi, penggunaan alat tangkap ikan modern yang menimbulkan resiko negatif berupa percepatan kerusakan Universitas Sumatera Utara lingkungan pantai dan sumber daya laut. Dalam penelitian ini, informan RH 47 tahun berujar: ” Bagi sebagian besar masyarakat terutama yang dapat menerima atas resiko dampak negatif dengan anggapan bahwa tidak mungkin kegiatan pemanfaatan lingkungan tanpa merusak dan merubah fungsi serta konidisinya, karena aktivitas manusia selalu bergantung pada potensi sumber daya alam, termasuk masyarakat pantai yang sangat mengandalkan sumberdaya perikanan dan ekosietem pesisir bagi keberlanjutan hidupnya” Temuan penelitian ini dalam hal pelestarian mangrove, ternyata memiliki kemiripan dengan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daliyo Ngadi 2007, bahwa isu-isu yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang di desa Jago-jago Kecamatan Badiri diantaranya: 1. Kerusakan terumbu karang karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bahan peledak, pukat harimau, air mas selama 20 tahun terkahir, 2. Penambangan batukarang 3. Pencemaraan dari limbah rumah tangga dan industri daun nipah. Fakta sosial masyarakat pantai yang bermukim di lokasi penelitian ini juga memprihatinkan dari sisi penegakan sanksihukum bagi para perusak ekosistem pesisir. Dalam konteks ini, mayoritas tidak mengetahui adanya undang-undang dan peraturan yang telah diberlakukan sebagai dasar hukum perlindungan ekosistem pesisir. Bahkan nilai dan norma kearifan lokal dalam perlindungan ekosistem pesisir kurang diketahui, sehingga masyarakat tidak memiliki rujukan dalam pemberian Universitas Sumatera Utara sanksi terhadap para perusak lingkungan karena belum terbakukan dalam kelembagaan masyarakat. Dalam kaitan penegakan hukum ini, menurut Daliyo Ngadi 2007, bahwa pemberian sanksi kepada pelanggar dan perusak terumbu karang diantaranya penggunan bahamn peledak, air mas, pukat harimau di perairan Tapian Nauli masih belum efektif, karena : a belum adanya peraturan yang melarang perlaku pencemaran terumbu karang, b masih terbatasnya jumlah dan kualitas aparat penegak hokum di laut, c kurangnya kesadaran dan kepdulian aparat terhadap kelestarian sumber daya laut, dan d banyak kasus yang ditangani yang tidak tuntas sehingga tidak memiliki efek jera. Dalam melakukan konservasi ekosistem pesisir maka untuk mangrove ternyata belum ada perhatian khusus pemerintah yang berbeda dengan perlindungan terumbu karang, dimana telah didanai oleh Bank Dunia melalui program COREMAP sebagai kegiatan yang berorientasi pada perlindungan terumbu karang. Termasuk pula lokasi proyeknya dikembangkan di Kabupaten Tapanuli Tengah berada di Stardas, Pulau Mursala dan Sijago-jago. Strategi yang dikembangkan pemerintah melalui proyek COREMAP ini adalah mengurangi jumlah nelayan yang bergantung pada kekayaan sumber daya ikan yang ditangkap dari ekosistem terumbu karang dengan mendidik ketrampilan nelayan dan keluarganya dalam kegiatan mata pencaharian alternatif MPA, diantaranya beternak lele, budidaya rumput laut, budidaya berbagai jenis ikan demersal yang dapat dipelihara di tepi pantai. Terkait dengan efektifitas program Coremap diatas, hasil wawancara mendalam dengan informan kunci yaitu salah satu tokoh masyarakat yang memiliki Universitas Sumatera Utara pengetahuan lebih mengenai karakteristik ekosistem pesisir khususnya terumbu karang yang berada di perairan Sitardas, yaitu Rahusin Pasaribu 47 tahun, laki-laki penduduk Kampung Sawah desa Sitardas, yang telah pernah mengikuti seminar internasional penyelamatan terumbu karang di Filipina dan Thailand, menegaskan: “Metode pemuliaan terumbu karang yang dikembangkan melalui program Coremap hanya bermanfaat manakala para nelayan sudah memiliki kesadaran bahwa konservasi terumbu karang dirasakan langsung meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus merusak kualitas dan keanekaragaman jenis terumbu karang yang tersebar di perairan Sitardas. Karena selama ini, warga kampung yang tinggal di tepi pantai selalu menangkap ikan hias dengan menggunakan racun potasium atau jenis bius lainnya yang dilarang dan memiliki efek secara akumulatif yang merusak dan membunuh terumbu karang. Kalau tidak demikian maka program yang melibatkan partisipasi masyarakat tersebut hanya isapan jempol saja, karena para nelayan mudah sekali berubah prinsip manakala mengalami kekecewaan karena interaksinya dengan pemerintah tidak membawa kemakmuran”. Efektifitas perlindungan ekosistem pesisir khususnya mangrove sangat terkait dengan dengan fungsi kelembagaan pemerintah, yang dapat ditelusuri dari instensifitas melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan peraturan lingkungan. Berdasarkan penelitian ini, ternyata berbagai tindakan aparat pemerintah dalam perlindungan ekositem pesisir memiliki motivasi tertentu. Salah satu iinforman yaitu MS 72 tahun menyatakan bahwa: “Masyarakat sebenarnya akan patuh dan takut merusak terumbu karang atau menebang kayu bakko, manakala pemerintah konsisten dan adil dalam menegakkan sanksi. Apalagi pemerintah mampu memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan yang memadai, maka masyarakat di seluruh desa Pasar Tarandam dan Kinali tidak akan ada yang menebang kayu bakko dan menyelam mengambil tripang dan ikan hias dengan menggunakan air mas” Meskipun dalam prakteknya, masyarakat yang berada di wilayah penelitian masih belum memiliki standarisasi prilaku yang ramah terhadap lingkungan, karena masih dijumpai masyarakat yang membuang sampah dan polutan lainnya seperti oli, Universitas Sumatera Utara minyak kotor langsung ke laut. Sehingga keadaan ini memprihatinkan, dan memerlukan gerakan yang diprakarsai oleh masyarakat sendiri yang dirancang sebagai model integratif pengelolaan sampah rumah tangga dan polutan lainnya khususnya dalam rangka perlindungan ekosistem mangrove. Kalau ada motivator dan kemauan naik kelembagaan pemerintah dalam pelestarian mangrove sebenarnya direspon secara positif oleh masyarakat Sijago-jago, seperti tanggapan dari informan BG laki-laki 35 tahun sebagai berikiut: “ Kami sebenarnya mau saja langsung aktif dengan konservasi ekosistem pesisir, dan lebih berperan dalam kalau hasilnya memang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan pendapatan nelayan, dengan harapan para nelayan tidak menggunakan alat tangkap ikan yang destruktif terhadap mangrove dan terumbu karang, mengurangi praktek masyarakat yang melalukan penebangan secara liar kayu bakau yang dipergunakan untuk kayu baker atau dijual sebagai sumber pandapatan, tetapi harus jelas bahwa untuk aktif harus ditindaklanjuti dengan beagai program dan kegiatan yang melekatkan kesadaran masyarakat bahwa konservasi lingkungan termasuk ekosistem pesisir adalah bagian dari nilai-nilai gaya hidup yang terlembaga” Karena itu, salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalah membangun kelembagaan yang partisipatif dalam konservasi ekosistem pesisir, sehingga sangat diperlukan kapabilitas organisasi sosial yang diharapkan sebagai bagian dari pembangkitan modal sosial masyarakat pantai yang efektif dalam perlindungan ekosistem pesisir. Tingkat partisipasi masyarakat dalam perlindungan ekosistem mangrove dapat terpengaruh oleh rendahnya penaatan dan penegakan hukum tidak terlepas dari rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia baik di kalangan masyarakat maupun Universitas Sumatera Utara aparat penegak hukum yang berada di wilayah pesisir. Penaatan dan penegakan hukum yang masih rendah khususnya yang berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyebab utama rendahnya Penaatan dan Penegakan Hukum adalah : a. Rendahnya pengetahuan masyarakat nelayan tentang hukum b. Rendahnya transparansi pembuatan produk hukum c. Terbatasnya sarana dan prasarana petugas penegak hukum d. Pelaksanaan sosialisasi produk hukum belum mencapai sasarannya Akibat yang timbulkan a. Menurunnya keamanan laut b. Meningkatnya pengeboman dan penggunaan trawl c. Terjadinya konfilik kepentingan antar pengguna SDA wilayah pesisir Hal ini merupakan kondisi yang memungkinkan sehubungan dengan masih ditemukannya aktivitas dari sebagian kecil masyarakat desa Sijago_jago yang melakukan penebangan bakau untuk berbagai kepenetingan kayu bakar, pondasi rumah dan trendahnya kesadaran untuk penghijauannya, seeperti yang dipaparkan oleh BT 32 tahun yang pernah menjadi penyuluh dalam program MPA dari proyek COREMAP, sebagai berikut: “ Masih ditemukan sekelompok kecil masyarakat yang menebang bako dengan alas an mahalnya minyak tanah untuk digunakan sebagai kayu bakar dan juga ada yang menebang untuk fundasi pembakaran ataupun perancah penjemuran ikan” Universitas Sumatera Utara Penyebab belum terintegrasinya kegiatan pelestarian lingkungan pesisir khusunya wilayah tegakan mangrove di desa Sijago-jago ada kaitannya dengan belum adanya kebijakan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dalam Penataan ruang Wilayah Pesisir secara terpadu. Penyusunan rencana tata ruang yang telah dilakukan selama ini belum mengintegrasikan wilayah pesisir. Dalam kenyataannya pelaksanaan pemanfataan ruang di wilayah pesisir telah banyak terjadi pelanggaran, misalnya pendirian bangunan dan penguasaan tambak di sempadan pantai yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di jalur hijau. Pembuatan tambak yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan tingkat keberlanjutan menjadi salah satu penyebab tambak rentan terhadap hama penyakit. Timbulnya berbagai penyakit yang mematikan dan harga udang yang semakin merosot mengakibatkan banyaknya tambak yang tidak lagi dimanfaatkanmenganggur tambak idle. Di sisi lain pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir yang ada saat ini kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan, pada akhirnya akan menurunkan daya dukung sumber daya wilayah pesisir. Penaatan ruang merupakan salah satu usaha menekan terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada saat ini aktifitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan Sumber Daya wilayah pesisir semakin hari semakin meningkat, sedangkan sumber daya wilayah pesisir tetap atau cenderung berkurang. Penyebab utama belum adanya penataan ruang wilayah pesisir adalah belum adanya peraturan yang tegas tentang ruang pesisir, baik pedoman pelaksanaannya maupun peraturan penunjang lainnya. Universitas Sumatera Utara Akibat yang ditimbulkan oleh belum adanya renacana tata ruang wilayah pesisir secara terpadu khusunya di desa Sijago-jago diantaranya: a. Konflik kewenangan dalam pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan kegiatan yang tumpang tindih b. Pelanggaran hukum dan pengguna Sumber Daya semakin luas, misalnya perusakan hutan mangrove di jalur hijau, rusaknya terumbu karang atau menggunakan coral reef karena penangkapan ikan dengan cara yang merusak atau dengan menggunakan bahan kimia beracun. c. Pemanfaatan wilayah pesisir tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya seperti estetika pantai, pola pembangunan yang membelakangi pantai, sehingga kawasan pantai menjadi eksklusif. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan