KAJIAN PUSTAKA Pola Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. 1. Konsep Partisipasi

Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat diperlukan dalam kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur mengelola barang-barang sumberdaya publik. Di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuasaan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara Negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being. Partisipasi dalam governance cenderung merujuk pada keterlibatan dan interaksi organisasi dan institusi yang mempunyai tanggung jawab terhadap atau berhubungan dengan tindakan kolektif di bidang publik. Hubungan horizontal antara actor atau stakeholders dalam jaringan kerja merupakan cirri khas governance, dan dinyatakan bahwa partisipasi dalam governance itu dipengaruhi oleh kebijakan Schmitter, 2002. Banyak organisasi ‘sektor ketiga’ organisasi komunitas dan sukarela – memperoleh tanggung jawab dalam governance Stoker, 1998: 21. Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengan gagasan mengenai kepentingan dan organisasi publik dan swasta yang mempunyai risiko dalam sebuah keputusan dilibatkan dalam persiapannya. Ia dimaksudkan menciptakan dukungan Universitas Sumatera Utara bagi usulan kebijakan, memperbaiki kualitas keputusan dengan mengerahkan keahlian dan pengetahuan eksternal, dan meningkatkan legitimasi keputusan demokratis Klijn dan Koppenjan,2000. Dari sudut pandang Negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi hanya menabur pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat . Dalam konteks governance, partisipasi hendak menempatkan masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Pertama, masyarakat bukanlah sebagai hamba client melainkan sebagai warga citizen. Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, kalau konsep warga menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Warga dan kewargaan secara jelas merupakan bangun politik, yang menggambarkan sifat hubungan yang dimiliki individu dengan institusi Negara dan masyarakat sipil. Warga dapat dipandang sebagai anggota masyarakat yang mempertahankan beberapa gagasan kepentingan umum, dan gagasan kewargaan diikat dengan gagasan demokrasi. Warga dibedakan dari nasabah customers, klien dan consumer. Terutama menarik ilham dari sektor swasta, nasabah dan consumer yang berhubungan dengan organisasi sebagai pembeli yang memilih barang dan pelayanan klien bergantung pada dan sebagian besar tunduk Universitas Sumatera Utara pada, keahlian professional; warga mempunyai kesadaran yang jauh melebihi bidang mereka sendiri dan berkepentingan untuk “mempengaruhi keputusan public yang mempengaruhi kualitas kehidpuan lokal”, mungkin dengan mengorbankan kepentingan perorangan mereka sendiri Burns et al., 1994; Gyford, 1991. Kedua, masyarakat bukan dalam posisi yang diperintahakan tetapi sebagai teman sejajar partner pemerintah dalam memengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga, partisipsi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat. Keempat, warga bukan sekedar objek subjek pasif pemerima manfaat kebujakan pemerintah, tatapi sebagai aktor at u subjek yang aktif menentukan kebijakan. Warga yang aktif didefinisikan sebagai agen demokrasi, yang memberdayakan diri mereka sendiri melalui tantangan mereka terhadap aktivitas institusi dan organisasi yang membentuk kehidupan sehari-hari mereka. Kewarganegaraan adalah tentang kontribusi, atau input, dari individu kepada hubungan kolektif, dan hubungan antara individu dan hubungan mereka yang lebih luas dengan masyarakat. Warga diharapkan terlibat dalam urusan public dan memberikan kontribusi terhadap isu-isu dalam urusan publik Raco dan Imri, 2000. Pembangunan pengelolaan sumber daya alam sangat terkait pula dengan lingkungan hidup. Maka peran serta masyarakat dalam pembangunan sumber daya alam akan memberikan pengaruh pula terhadap kualitas lingkungan hidup. Dalam pasal 70 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan Universitas Sumatera Utara dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta hak dan kewajiban masyarakat ini diperjelas dalam ayat 3 bahwa peran masyarakat tersebut dilakukan untuk: 1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. 3. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. 4. Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial. 5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Ketentuan diatas menunjukkan peran serta masyarakat dapat berperan sebagai bagian dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan bagian subyek pemanfaat hasil dari lingkungan hidup. Tjokroamidjojo 1986 mengemukakan 3 tiga bentuk partisipasi masyarakat, yaitu: a Partisipasi dalam perencanaan; b Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan c Partisipasi dalam pemanfaatan hasil. Salah satu aspek yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya pengelolaan yang dilakukan selama ini karena tidak melibatkan masyarakat lokal dalam mata rantai pengambilan keputusan yang semestinya pembangunan lingkungan tetap mendayagunakan potensi masyarakat lokal Hadi, 2009 . Masyarakat lokal dapat dikatakan lebih memahami kondisi lingkungan sekitarnya, pengalaman masyarakat yang berkaitan langsung dengan alam sekitarnya menjadikan masyarakat mampu beradaptasi dan penyelarasan dengan alam. Masyarakat lokal dapat menjadi aset berharga ditemukannya tabir pencemaran. Sebagai sub-sistem, masyarakat lokal kaya Universitas Sumatera Utara akan informasi keseharian yang dipuji sebagai “Usable Knowledge” yang amat berguna bagi pengelolaan dan perencanaan pembangunan Hadi, 2009. Partisipasi masyarakat sangat menentukan hasil pola pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Kelembagaan Masyarakat, partisipasi masyarakat merupakan bentuk keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan pembangunan. Secara umum, partisipasi adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap terhadap interaksi antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Jadi, dalam partisipasi siapapun dapat memainkan peran secara aktif memiliki pengawasan terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan Syahyuti, 2006. Selanjutnya, dalam karakteristik tipologi partisipasi berturut-turut semakin dekat pada bentuk yang ideal adalah: 1. Partisipasi Pasif, merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. 2. Partisipasi Informatif, masyarakat menjawab pertanyaan dari pihak lain, namun masyarakat tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan kebijakan pihak lain. 3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat berpartisipasi berkonsultasi dengan pihak lain, pihak lain mendengarkan, menganalisis masalah dalam perencanaan. 4. Partisipasi Insentif, masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh upah, namun tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran. Universitas Sumatera Utara 5. Partisipasi Fungsional, masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek setelah ada keputusan yang disepakati. 6. Partisipasi Mandiri Self mobilization, masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas untuk merubah nasib atau nilai-nilai yang mereka junjung.

2.1.1 Praktika Partisipasi Masyarakat

Cara pandang baru menempatkan posisi masyarakat itu secara historis yang mempengaruhi haluan baru pembangunan dan mempengaruhi haluan baru pembangunan dan pemerintahan, meski secara empirik belum menjadi kenyataan. Kaum miskin, misalnya, sekarang ditempatkan sebagai pemangku kepentingan pembangunan. Partisipasi juga dipandang dengan tujuan, bukan hanya proses atau cara untuk mencapai tujuan, sehingga muncul agenda pemberdayaan yang menghubungkan partisipasi dengan demokrasi, kewargaan dan kesetaraan. Partisipasi dilihat sebagai kekuatan besar untuk transformasi relasi social, ekonomi dan politik yang telah lama membuat kemiskinan. Sekarang agenda penanggulangan kemiskinan mulai menempatkan kaum miskin dalam posisi yang terhormat, memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan. Literatur klasik selalu menunujukkan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program pembangunan. Tetapi apa makna substantive yang terkandung dalam sekuen-sekuen partisipasi itu? Universitas Sumatera Utara Partisiaspi adalah voice, akses dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri. Kedua, akses berarti kesempatan, ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Akses warga terhadap pelayanan public termasuk dalam rubrik ini. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan secara terbuka inclition dan keikutsertaan involvement. Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclution menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan lain-lain. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik, terutama pada kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib Universitas Sumatera Utara merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpihak pada kemitraan dan kepercayaan. Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenai kontrol internal self-control dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan pemantauan terhadap kebijakan implementasi dan risiko dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang ke bawah, sementara yang paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai penindasan sesame masyarakat, seraya hendak membangun tanggung jawab social, komitmen dan kompetensi warga terhadapat segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Partisipasi dan desentralisasi otonomi daerah tentu mempunyai hubungan simbiosis. Pada suatu pihak, desentralisasi yang berhasil memerlukan beberapa partisipasi lokal. Kedekatan pemerintah lokal dengan konstituen mereka akan memungkinkan mereka merespons secara lebih baik terhadap kebutuhan lokal dan menyesuaikan secara efisien pengeluaran publik dengan kebutuhan perorangan hanya jika informasi mengalir antar warga Negara dan pemerintah lokal. Pada pihak lain, proses desentralilasi sendiri dpaat meningkatkan kesempatan partisipasi dengan Universitas Sumatera Utara menempatkan lebih banyak kekuasaan dan sumberdaya pada tingkat pemerintah yang lebih dekat, lebih dikenal, dan lebih muda dipengaruhi. Dalam lingkungan dengan tradisi partisipasi warga Negara buruk, desentralisasi dapat merupakan langkah pertama yang penting dalam menciptakan kesempatan interasi rakyat-negara yang teratur,dapat diramalkan. Hubungan simbiosis antara desentralisasi dan partisipasi ini dapat mengarah pada garis pedoman kebijakan yang agak bertentangan. Mekanisme partisipasi warga Negara dapat dianggap sebuah prasyarat yang sangat berguna ketika mengevaluasi prospek desentralisasi harus memperhitungkan kesempatan dan keterbatasan yang ditentukan oleh saluran partisipasi lokal yang ada. Kekurangan mekanisme partisipatoris, bagaimanapun, dapat membantu menciptakan tuntutan lokal terhadap saluran partisipatoris yang lebih banyak untuk menyuarakan prefensi. Saluran partisipasi yang dilembagakan dan kemampuan orang untuk menggunakan saluran tersebut harus dipertimbangkan dalam desain desentralisasi. Pemilu lokal yang jujur dan teratur, semaraknya forum warga, dan tingkat modak social yang tinggi kesatuan komunitas dan sejarah kerja sama memungkinkan warga Negara untuk menandai prefensi mereka secara efisien dan menjalankan pemenuhan keinginan mereka oleh pemimpin. Penilaian seberapa banyak input warga mempengaruhi tindakan pemerintah lokal memberikan titik permulaan untuk mendesain kebijakan desentralisasi. Kondisi awal semacam itu membantu menentukan tingkat yang pada tingkat itu desentralisasi akan meningkatkan responvisitas pemerintah keseluruhan terhadap warga dan Universitas Sumatera Utara memberikan garis petunjuk bagi pelibatan tindakat peningkatan partisipasi dalam kebijakan desentralisasi. Pemilu teratur, referendum lokal, forum warga, dewan publik, dan struktur kelembagaan lainnya merupakan memperbaiki kemampuan pemerintah lokal untuk mengindentifikasi dan bertindak menurut preferensi warga Negara. Tingkat modal social, yang menentukan bagaimana sebaiknya warga Negara dapat memanfaatkan rencana institusional untuk berpartisipasi, lebih lambat berkembang dan lebih sulit untuk menentukannya. Desentralisasi mengandalkan pada partisipasi untuk memperbaiki alokasi pelayanan, tetapi ia tidak memerlukan jenis input warga Negara yang luas disebutkan di depan. Dalam kasus di mana pemerintah lokal tidak dipilih, di mana proses pemilihan mengistimewakan sekelompok kecil elit, atau di mana tingkat modal sosial yang rendah menghalangi pertukaran aktif, proses desentralisasi dapat didesain untuk membangun jenis partisipasi yang lebih terbatas. Mekanisme isu-khusus dan proyek khusus untuk meningkatkan arus informasi antara pemerintah dan warga Negara sering dapat dengan lebih cepat dan lebih mudah pada tingkat lokal daripada di pemerintah pusat. Partisipasi warga dapat dibenarkan dalam hubungannya dengan legitimasi berorientasi input dan output, dan ia dapat memberikan kontribusi terhadapat efektivitas system. Legitimasi berbasi input mengungkapkan nilai partisipasi luas dalam governance, yang memperlihatkan, yang memperlihatkan perlunya penentuan sendiri dan persetujuan rakyat, di mana nilai-nilai demokrasi sangat kuat. Partisipasi warga di luar pemilihan memberi saluran lebih lanjut bagi rakyat untuk Universitas Sumatera Utara mengungkapkan preferensi mereka, dan teori yang berhubungan dengan demokrasi partisipatoris memuat unsur-unsur yang berhubungan dengan legitimasi input. Pateman yang mengupas karya Rousseau, Mikk dan Cole, menunjuk pada tiga alasan mengapa partisipasi luas diperlukan sekali ia mendidik partisipan, ia memberi warga kontrol, dan ia menghasilkan identitas komunitas. Pemerintah demokratis, yang dipedomani oleh input partisipasi warga, hanya menghasilkan kebijakan, karena ia tidak akan mungkin setuju pada kegiatan-kegiatan yang tidak adil. Partisiapsi warga menyokon dan mendukung system partisipatoris, karena”kualitas yang diperlukan warga adalah kualitas proses partisipasi itu sendiri yang mengembangkan dan membantu perkembangan” Pateman, 1970:25. Partisipasi warga membantu mendidik raykat dalam seni partisipasi. Partisipasi warga juga dapat memberikan kontribusi terhadap legitimasi berbasis-output. Keterbilatan warga membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya akan membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya akan membantu pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Mereka yang terlibat dalam penyiapan kebijakan dan permusyawaratan kebijakan lebih mungkin untuk tunduk ketika kebijakan itu berlaku, khususnya jika mereka adalah dikalangan mereka dari mereka yang dipengaruhi dan mendapat dampak. Pembenaran ini adalah pembenaran yang timbul dari perdebatan terdahulu dan lebih belakangan ini. Pateman berargumen partisipasi “membantu penerimaan keputusan bersama”. Demikian pula, model-model keterlibatan misalnya debat publik, keterlibatan dari mereka yang dipengaruhi, atau keterlibatan para ahli dibenarkan secara fungsional dengan alasan Universitas Sumatera Utara bahwa mereka membantu meningkatkan penerimaan dan pemecahan persoalan atau membantu memfasilitasi pelaksanaan. Partisipasi ini dapat juga membantu pembuat kebijakan lebih tahu, dan karena para wakil dan kaum professional membuat keputusan yang didasarkan pada pengetahuan publik dan keahlian politik dan professional

2.1.2 Jebakan-jebakan Partisipasi

Pemahaman dan praktik selama ini diwarnai oleh sejumlah jebakan yang membuat partisipasi kurang bermakna, dan advokasi partisipasi menjadi tunggang langgang. Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi. Kalau butuh dukungan material dan fisik, pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini sebagai partisipasi. Di setiap sudut kota kita selalu melihat tulisan besar yang kental mobilisasi:”Partisipasi Masyarakat Membayar Pajak Merupakan Kunci Keberhasilan Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Tidak hanya lewat tulisan, para pejabat selalu menyerukan agar masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak. Dalam bahasa kasarnya, mobilisasi ini adalah pemaksaan dan eksploitasi, sebab akumulasi pajak rakyat diikuti dengan akumulasi korupsi pejabat. Mobilisasi sangat tampak terjadi di tingkat komunitas lokal, dengan kebiasan gotong-royong dan swadaya masyarakat. Gotong-royong dan swadaya masyarakat sebenarnya merupakan modal sosial yang telah lama tumbuh dalam masyarakat. Akan tetapi selama ini keduanya dimanipulasi dan dimobilisasi oleh pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pemerintah selalu mengucurkan dana Universitas Sumatera Utara terbatas sebagai stimulan untuk mendukung pembangunan di tingkat komunitas maupun Kepala DesaKepala LorongKetua RT melakukan mobilisasi besar-besaran terhadap swadaya dan gotong-royong masyarakat. Jika akumulasi gotong-royong dan swadaya yang diuangkan menjadi lebih besar ketimbang dana stimulant, maka pemerintah akan mengklaim bahwa dirinya berhasil. Demikian juga sebaliknya. Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Pemerintah maupun parlemen yakin betul bahwa mereka memegang kekuasaan jabatan karena memperoleh mandate dan kepercayaan dari masyarakat melalui proses pemilihan umum. Karena telah memperoleh mandat, maka menurut peratura perundang-undangan mereka mempunyai kewenangan dan kewajban membuat kebijakan maupun peraturan yang sedikit-banyak mengikat rakyat. Di tingkat daerah, BupatiWalikota dan DPRD mempunyai kewenangan dan kewajiban menyiapkan peraturan daerah Perda, termasuk perda yang menjadi justifikasi untuk member beban kepada masyarakat, misalnya tentang pajak dan retribusi daerah. Setelah menduduki jabatan, pemerintah dan parlemen itu membuat serangkaian rencana kebijakan mulai dari propenas,rencana strategis hingga RAPBD, yang mereka yakini untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Rancangan kebijakan yang indah tersebut kemudian disosialisasikan kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Dalam setiap pidatonya, para pejabat selalu mengatakan bahwa mereka dalam mengemban mandate rakyat tidak mungkin berhasil, kalau tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Karena itu, para pejabat selalu meminta dukungan partisipasi Universitas Sumatera Utara masyarakat. Dukungan berarti memberikan persetujuan terhadap rencana kebijakan pemerintah meski rencana itu disusun secara sepihak, mematuhi dan menjalankan kebijakan atau peraturan yang telah disiapkan, serta berkorban atas energy ymaupun materi agar kebijakan bisa berjalan. Sebagai contoh, dukungan yang paling konkret adalah membayar pungutan pajak dan retribusi yang telah ditetapkan dalam peraturan. Masyarakat yang tidak mau membayar pajak berarti sebagai warga Negara yang tidak baik yakni tidak mendukung, tidak sadar, dan tidak patuh pada peraturan. Dengan demikian, dukungan itu merupakan sesuatu yang dipaksakan oleh instrument kebijakan atau peraturan. Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktikkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks kebijakan, pemerintah merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, untuk memberi tahu sebelum kebijakan dilaksanakan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi yang terjadi adalah “Anda bertanya, saya menjawab”, atau semacam komunikasi yang monolog. Repotnya kalau kebijakan itu tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sekalipun ada sosialisasi pasti akan terjadi gejolak dan penolakan. Kejadian ini sering terulang, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan, kenapa tidak merubah pola sosialisasi menjadi konsultasi sejak awal. Pemahaman seperti ini sebenarnya juga dikonstruksi oleh para ilmuwan sosial yang berhaluan teknokratis. Menurut mereka, pembuatan kebijakan tidak bisa diserahkan pada rakyat banyak yang sebenarnya tidak mempunyai pemahaman yang memadai, melainkan Universitas Sumatera Utara harus disiapkan oleh pihak-pihak yang betul-betul ahli dan paham tentang masalah, yang dimulai dengan policy research yang memadai. Keempat, partisipasi diapahami dalam pengertian nominal yakni menjatuhkan pilihan vote, bukan dalam pengertian substantifm yakni menyampaikan suara voice. Sering muncul argument bahwa partisipasi secara langsung dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak bakal terjadi, sehingga membutguhkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum secara berkala. Partisipasi warga dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat itu dianggap sebagai bentuk penyerahan mandate dari warga untuk dikelola secara bertanggung jawab. Dalam praktiknya proses pemilihan umum itu hanya membuahkan lembaga-lembaga formal. Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Kalau sudah ada pemilihan dan lembaga perwakilan tampaknya dianggap sudah ada partisipasi. Kalau Perda sudah memberikan jaminan, kalau Musbangdes sampai Rakorbang digelar, kalau DPRD sudah melakukan dengar pendapat, dan sebagainya, dianggap sudah ada pelembagaan partisipasi. Pihak kabupaten sering menyampaikan klaim bahwa perencanaan pembangunan daerah berlangsung partisipatif karena Rakorbang yang digelar telah melibatkan berbagi stakeholders yang ada. Aktivis NGO juga sering terjebak dalam pola piker formal-prosedural ini. Dalam melakukan advokaso partisipasi, kalangan NGO hanya berpikir tentang siapa saja yang berpartisipasi dan bagaimana berpartisipasi. Mereka cenderung mengabaikan aspek apa yang akan dibawa dalam partisipasi. Karena tidak membawa apa substansi yang Universitas Sumatera Utara betul-betul dibangun secara partisipatif dengan konstituen, mereka biasa bersikap waton suloyo, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan politik “tolak” ketika merespons naskah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sering muncuknya kata “TOLAK” itu memperlihatkan bahwa kalangan NGO sebenarnya tunggang langgang, kedodoran atau tidak mampu menyiapkan naskah sanding yang betul-betul memadai untuk disandingkan dengan naskah kebijakan pemerintah. Keenam, jebakan tirani partisipasi, yang sering terjadi di sektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantic terhadap masyarakat mengatakan bahwa partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan. Apapun kata rakyat itulah yang terbaik, karena rakyat tidak berbuat salah. Semuanya harus ditentukan secara partisipatif, sehingga terkesan menihilkan otoritas pemerintah dan representasi wakil rakyat yang telah diberi “mandat” oleh rakyat. Kita sekarang sering mendengar jargon-jargon baru yang menyerukan partisipasi: participatory governance, participatory development, participatory budgeting, APBD partisipatif, dan seterusnya. Bagi pejuang masyarakat, partisipasi dianggap sebagai esensi dasar demokrasi dan pemberdayaan, yang memungkinkan penyelanggaraan pemerintahan lebih terkontrol dan akuntabel. Mereka begitu getol memperjuangkan partisipasi juga karena didasarkan pada ketidakpercayaan distrust pada pemerintah dan parlemen. Secara empiric pemerintah dan parlemen, yang telah memperoleh mandat dari rakyat, hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka responsif, dan tidak dapat dipercaya. Cara pandang tirani seperti itu cenderung mengedepankan Universitas Sumatera Utara pendekatan konfrontatif antara warga masyarakat dengan pemerintah, sehingga semakin menjauhkan proses pembelajaran dan trust building,

2.1.3 Advokasi Partisipasi

Partisipasi tentu tidak datang dengan sendirinya. Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat tidak serta merta terbangun secara demokratis dan partisipatif, sebab pemerintah dimanapun akan cenderung otoritarian dan sentralistik bila tidak dihadapkan pada pembatasan kekuasaan kekuasaan dan kontrol dari lar yang kuat. Di era otonomi daerah sekarang, munculnya wacana dan gerakan partisipasi bukan semata inisatif dari pemerintah, melainkan juga karena peran kekuatan-kekuatan intermediary dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Begitu banyak NGO di Indonesia yang terus-menerus memperjuangkan partisipasi masyarakat untuk membangkitkan sura rakyat dan menentang dominasi elite dalam proses politik dan pembangunan. Benarkah di era otonomi ini pembangunan di daerah sudah semakin demokratis dan benar-benar sesuai dengan kehendak atau kebutuhan rakyat? Pada hal lain, benarkah pembangunan di era otonomi ini sudah berpihak pada rakyat bawah, khusunya kepada warga masyarakat yang kebanyakan tinggal di pedesaan? Partisipasi warga dimaksudkan sebagai proses keterlibatan warga masyarakat dalam pembuatan keputusan bersama mengenai penggunaan sumberdaya publik dan pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya. Sebagai bentuk voice, akses dan kontrol rakyat, partisipasi merupakan prasyarat mutlak untuk mewujudkan Universitas Sumatera Utara program pembangunan. Tanpa partisipasi warga mustahil suatu pembanguan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan serta diorientasikan untuk meningkatkan derajat hidup rakyat banyak. Sebuah teori mengajarkan, demokrasi tanpa partisipasi semua pihak adalah utopia, alias omong kosong. Kebijakan politik atau pembangunan tidak akan punya makna tanpa diimbangi proses partisipasi rakyat yang sesungguhnya, karena legitimasi dan kepercayaan rakyat adalah paling esensi yang tidak mudah dikesampingkan oleh siapapun meskipin dia memiliki otoritas. Sebaliknya, peran serta yang sadar dari hati nurani rakyat dalam pembangunan justru semakin menambah tingkat kepercayaan rakyat karena dengan sendirinya setiap individu merasa memiliki dan terpanggil untuk terlibat dalam setiap agenda pembangunan. Partisipasi warga bukanlah suatu daur almiah yang muncul secara natural atau sebuah proses tanpa sengaja dan campur tangan manusia, namun ia butuh perencanaan yang matang bahkan diperlukan aturan main yang jelas atau landasan legal formal. Sejumlah rekomendasi untuk memperkuat partisipasi masyarakat ke depan. Pertama , kepada semua agen perubahan perlu memperhatikan percepatan transformasi sosial yaitu merubah tata nilai lama supaya masyarakat marjinal pada umumnya tidak terus berada pada kubangan nilai-nilai agraris-foedal, yang selalu tidak menguntungkan pada posisi mereka sebagai sub-ordinat dalam menentukan kepentingan bersama di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Titik pencerahan ini sangat penting bagi mereka untuk gilirannya sadar akan hak-hak dan berani Universitas Sumatera Utara menyuarakan sendiri kepentingan mereka dalam posisi kesederajatan seperti warga bangsa lainnya. Kedua, pada tahun praktik-empiris, upaya-upaya yang digagas di atas perlu diintegrasikan melalui program pendidikan kewarganegaraan civil education yang menekankan pada kesadaran massif akan hak-hak warga Negara yang berdaulat penuh supaya lebih diperhatikan oleh para pejabat Negara. Tanggung jawab ini terutama ditujukan kepada para aktivis organisasi politik maupun oraganisasi sosial- kemasyarakatan yang paling berkompeten di bidang ini. Ketiga, untuk mendorong kesadaran kritis warga masyarakat agar mau berpartisipasi dalam program pembangunan daerah maka perlu diback-up oleh regulasi yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah merupakan lokomotif utama yang harus mengambil inisiatif dan memprakarsai tindakan konkret di lapangan. Maka, jargon ‘mendorong partisipasi warga’ tidak sekedar kamulfrase dan penghias bibir belaka, tetapi merupakan suatu tindakan riil yang benar-benar membumi, yang pada gilirannya nanti muncul indikator-indikator yang jelas dan dapat dievaluasi demi kemajuan dan kebaikan bersama. Keempat, bahwa upaya konkret untuk menggalang partisipasi warga di daerah pedesaan perlu dukungan peningkatan alokasi dana anggaran yang signifikan bagi pembangunan di pedesaan. Paling tidak, dengan mekanisme perimbangan anggaran dana pembangunan sebesar 50 dari APBD, secara otomatis kegiatan Universitas Sumatera Utara diseluruh sektor kehidupan desa semakin terdorong, karena itu keterlibatan warga desa dalam program-program pembangunan dapat dimaksimalkan. 2. 2. Teori Antroposentrisme Secara etimologis Antroposentrisme tersusun dari dua kata bahasa Yunani yaitu antropos yang berarti manusia dan centrum yang berarti pusat. Antroposentrtisme dapat diartikan sebagai suatu meyakinkan bahwa manusia dan karya-karyanya adalah pusat dari alam sebagai realitas yang ada di luar manusia. Alam merupakan sesuatu yang asing bagi dirinya. Secara sempit antroposentrisme merupakan sebuah pemikiran dimana manusia diletakan di atas alam semesta, dalam arti manusia diciptakan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Lingkungan dianggap sebagai bahan-bahan pemuas kebutuhannya belaka. Kesalahan cara pandang dari etika antroposentrisme adalah pandangan akan manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri. Semua diukur atas asas kemanfaatan bagi manusia. Universitas Sumatera Utara Teori antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap paling memnentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yanglain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai onyek, alat dan sasaran bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. A. Sonny Keraf. 2002 Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab semata - mata demi memenuhi kepentingan sesame mausia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri. A. Sonny Keraf. 2002 Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrument talistik, dalam pengertian pola hubungna manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demin menjamin kebutuhan Universitas Sumatera Utara hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Teori semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan makhluk hidp lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekalai lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis demi kepentingan mansuia. A. Sonny Keraf. 2002. Sebenarnya paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia dengna lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang bisa idkatakan berlebihan. Hukum-hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah-ubah dengan sifat yang terbatas. Rachmad K Dwi Susilo, 2008. Secara ekologis, produk konsumtif telah menyebabkan sampah sebagai salah satu persoalan utama masyarakat daerah pesisir pantai. Saat ini banyak sekali daerah pesisir pantai yang membuang limbah rumah tangganya kelaut dan kesungai. Sehingga ekosistem laut dan ekosistem sungai pun tercemar karena. Memang tidak mudah untuk menyatakan siapa sebenarnya yang pertama-tama dan utama harus bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan yang sekarang ini bisa dinyatakan telah masuk ke area krisis. Rachmad K Dwi Susilo, 2008. Perilaku antroposenstrisme baik secara sadar ataupun tidak yang berinteraksi dengan komponen-komponen lain, seperti antroposentrisme yang berinteraksi dengan industrialism, konsumerisme, moodernisasi, dan perkembangan pesat teknologi, Universitas Sumatera Utara menjadi sebab kerusakan lingkungan akibatnya kita lihat, semua sisi lingkungan menjadi rusak, tidak peduli lingkungan fisik maupun lingkungan biologi, akibatnya dampak langsung yang diterima masyarakat adalah bencana alam yang dinyatakan oleh Ralph Metzner. Rachmad K Dwi Susilo, 2008. Antroposentrisme terlibat dalam memasukkan sikap, nilai-nilai, persepsi, dan pandangan dunia itu, rusaknya lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai kita, selain disebabkan oleh limbah rumah tangga, juga oleh adanya limbah-limbah pabrik yang tidak dikelola secara baik. Kasus di kawasan alut dan pantai Kampung Dapur 12 di Sumatera misalnya pencemaran berat disebabkan 7.000 ton minyak mentah ditumpahkan oleh Kapal Tanker Natuna Sea yang menabrak karang Rachmad K Dwi Susilo, 2008. Sementara itu, rusaknya tana-tanah tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis akibat penggundulan hutan yang tidak memperhatikan aturan Illegal Logging dan rusaknya kadar produktif tanah sebab dieksploitasi secara terus-menerus. Hutan yang menyangga sebagai system lingkungan hidup dunia telah mengalami kerusakan. Rachmad K Dwi Susilo, 2008. Murdi mengatakan bahwa yang menjadi masalahh bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat proper ends, ini dibenarkan secara moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada Universitas Sumatera Utara alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung darri keberadaan spesies lain lagi. A. Sonny Keraf. 2002. Menurut Darling, manusia mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies lain, sebagai “aristocrat biologis.” Sebagai aristocrat biologis, manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain. Manusia mempunyai posisi istimewa puncak piramida kehidupan. Menurut Darling, justru karena manusia adalah aristocrat biologis, ia harus melayani semua yang ada dibawah kekuasaannya secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga dan melindunginya. A. Sonny Keraf. 2002 Seperti paparan sebelumnya mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove. Hutan mangrove juga merupakan habitat spesies laut maupun darat. Dimana di daerah pesisir pantai hutan mangrove ini mengambil peran yang cukup besar dalam menjaga keseimbangan kehidupan, yang mampu memberikan kehidupan bagi makhluk hidup yang di sekitarnya. Jika hutan mangrove di babat habis demi ambisi membangun perumahan mewah, pusat industry dan pusat-pusat ekonomi. Akibatnya habitat-habitat yang seharusnya diperuntukkan bagi spesies biota laut semain sempit. Padahal, spesies-spesies yang hidup di udara dan darat amat bergantung pada keberadaan hutan mangrove ini. Akibatnya, spesies-spesies tersebut mencari habitat baru yang menambah persoalan manusia. Bukan hanya itu, hutan mangrove bisa berfungsi sebagai penahan ombak air laut, agar tidak mengenai secara langsung pemukiman-pemukiman penduduk. Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversional dan menumbulkan perdebatan seru di anatara banyak fulsuf hingga sekarang. Di satu Universitas Sumatera Utara pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hingga sekarang. Di pihak, lain antroposentrisme juga bela, pertama, karena validitas atgumennya sulit dibantah – dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme menawarkan etika lingkungan yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan. A. Sonny Keraf, 2002. Dalam kaitan dengan ektika lingkungan yang ditawarkanya, ada beberapa kelemahan yang perlu disinggung disini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungna yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai, laut, atau menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya sejauh dipandang menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia, maka akan diabaikan. Ini berbahaya, karena pertimbangan moral pun berubah-ubah sejalan dengan perubahan kepentingan manusia. Ketiga, yang menjadi perhatian antroposentrisme adlaah urusan kepentingan manusia jangka pendek, khususnya kepentingan ekonomi. Akibatnya, lingkungan hidup selalu dikorbankan demi kepentingan jangka pendek tersebut. Padahal dengan yang disebut kepentingan manusia, bahkan kepentingan ekonomi sekalipun, mempunyao perspektif jangka pangjang. A. Sonny Keraf. 2002. Universitas Sumatera Utara

2. 3. Budaya Pesisir dan Hutan Mangrove

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan Ginkel, 2007. Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan. Wilayah pesisir dan lautan merupakan potensi ekonomi Indonesia yang perlu dikembangkan. Hal ini disebabkan wilayah pesisir dan laut merupakan 63 dari wilayah teritorial indonesia. Didalamnya terkandung kekayaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, dan kawasan pariwisata Dahuri, 2001. Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan diproyeksikan dengan cara cara yang sesuai dengan pola pikir dan tradisi setempat, diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menja- ga keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bantuk pantangan, larangan, tabu, pepatah-petitih dan berbagai tradisi lainnya dapat mengungkapkan beberapa Universitas Sumatera Utara pesan yang memiliki makna sangat besar bagi pelestarian lingkungan khususnya sumberdaya pesisir. Masyarakat nelayan mengacu pada konteks pemikiran di atas, yaitu suatu konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok – kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan. Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau system kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya Keesing, 1989:68-69. Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial Kluckhon, 1984:85, 91. Pola-pola Eksploitasi Sumberdaya Universitas Sumatera Utara Dalam konteks hubungan eksploitasi sumber daya perikanan, masyarakat nelayan kita memerankan empat perilaku sebagai berikut: 1 mengeksploitasi terus- menerus sumber daya perikanan tanpa memahami batas-batasnya; 2 mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut; 3 mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang merusak destructive fishing, seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan, melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta 4 mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan Kusnadi, 2009. Perilaku pertama, kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kita sebagai konsekuensi dari persepsi yang kuat terhadap sumber daya perikanan atau sumber daya kelautan yang bersifat open access bagi siapa pun yang mau memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan masyarakat nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau komunitas local yang mengelola sumber daya perikanan untuk memperkuat kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial, dan kelangsungan hidup. Komunitas-komunitas adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Mereka menjaga dengan baik pranata-pranata pengelolaan sumber daya laut yang dimilikinya, seperti sasi di Maluku, ondoafi di PapuaBarat, bati di Ternate, rompong di Sulawesi Selatan, tonass di Sulawesi Utara, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, patenekan di Universitas Sumatera Utara Banten, atau gogolan di Tegal. Klaim pemilikan atas sumber daya komunal ini dilegitimasi oleh sejarah sosial dan unsur-unsur identitas etnisitas yang mereka miliki Kusnadi, 2009. Kepemimpinan Sosial Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut adalah sebagai berikut : 1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran. 2. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan. 3. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian. 4. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”. 5. Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau membantu sesama ketika menghadapi musibah. 6. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi. 7. Bergaya hidup “konsumtif “. 8. Demonstratif dalam harta-benda emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan rumah, dan sebagainya sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”. 9. ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi. 10. ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”. Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda di bawah ini Boelaars, 1984: Universitas Sumatera Utara Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah- naskah klasik kuno yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti Kitab Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di kalangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut Widayati, 2001: 1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan. 2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. 3. Dermawan kepada semua orang. 4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan kehidupan. 5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa. 6. Rendah hati tidak sombong, tetapi tidak rendah diri minder. 7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja. 8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu. 9. Sabar dan bijaksana. 10. Berusaha membahagiakan orang lain. Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya kemaritiman nasional. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN