UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pasien nomor 27 mengalami peningkatan kadar gula darah sewaktu dan didiagnosa mengalami nefropati diabetikum tetapi selama dirawat pasien tidak
menerima obat antidiabetes, sedangkan dari hasil tes kadar gula darah menunjukkan kadar gula darah sewaktu pasien meningkat hingga 199 mgdL pada
hari terakhir dirawat sehingga dibutuhkan obat antidiabetes untuk menurunkan kadar gula darah pasien. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan
keparahan fungsi ginjal pada pasien PGK. Jenis obat antidiabetes yang dapat diberikan kepada pasien, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
4.1.3.4 DRPs Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi adalah pemberian obat yang tidak sesuai dengan indikasi atau diagnosa pada pasien. Pasien dapat didiagnosa menderita PGK yang
disebabkan berbagai faktor, diantaranya faktor kerentanan, faktor inisiasi, dan faktor progresi. Penilaian untuk mendiagnosa pasien menderita PGK dapat
melakukan tes fungsi ginjal dengan mengukur kadar serum kreatinin SCr di dalam darah, lalu mendapatkan nilai estimasi laju filtrasi glomerulus eLFG yang
digunakan sebagai acuan tingkat keparahan kerusakan ginjal. Kemudian dapat didukung dengan melakukan tes laboratorium terkait kandungan darah dan urin.
Penyakit penyerta yang diderita pasien juga harus dipertimbangkan, seperti hipertensi dan diabetes melitus yang merupakan penyakit penyerta yang dapat
memperburuk keadaan ginjal jika tidak dikontrol. Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat adanya DRPs obat
tanpa indikasi yang dialami pasien. Semua pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan indikasi atau diagnosa pasien.
4.1.3.5 DRPs Interaksi Obat
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa terdapat 40 pasien 90,91 dengan 285 kasus 81,9 yang mengalami kejadian DRPs interaksi obat pada
pasien rawat inap PGK dengan penyakit penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo. Interaksi obat yang terjadi merupakan semua interaksi obat yang mungkin atau
potensial terjadi pada terapi obat yang diberikan kepada 44 pasien, baik interaksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
obat yang dapat dihindari ataupun interaksi obat yang tidak dapat dihindari. Kejadian DRPs interaksi obat dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.10 Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat
Keparahan dan Tipe Mekanisme Interaksi Obat
Potensi Interaksi Kategori
Jumlah Presentase
Mekanisme Interaksi Farmakokinetik
84 29,47
Farmakodinamik 97
34,04 Tidak diketahui
104 36,49
Total 285
100 Tingkat Keparahan
Ringan minor 67
23,51 Sedang moderat
214 75,09
Berat mayor 4
1,40 Total
285 100
Hasil analisa DRPs terhadap 44 pasien, diperoleh bahwa terdapat interaksi obat pada 40 pasien 90,91 dan sebanyak 4 pasien 9,09 tidak
mengalami interaksi obat. Berdasarkan hasil analisa terhadap 40 pasien yang berinteraksi tabel 4.10, diperoleh hasil bahwa terdapat total kejadian interaksi
obat sebanyak 285 kejadian yang terdiri dari interaksi obat yang tidak diketahui sebanyak 104 kejadian 36,49, dimana mekanisme interaksi obat jenis ini
belum diketahui secara jelas mekanismenya yakni tidak termasuk kedalam mekanisme farmakodinamik maupun farmakokinetik.
Mekanisme interaksi obat terbanyak kedua adalah interaksi secara farmakodinamik sebanyak 97 kejadian 34,04. Hal tersebut menunjukkan
bahwa obat-obat yang diberikan saling berinteraksi pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologi yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergis
saling memperkuat dan antagonis saling meniadakan. Beberapa alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan
memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat, pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika
kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis Fradgley, 2003.
Mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik terjadi sebanyak 84 kejadian 29,47. Hal tersebut menunjukkan bahwa salah satu obat mempengaruhi
absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas obat tersebut Fradgley, 2003.
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah pada interaksi obat secara moderat, yaitu sebanyak
214 kejadian 75,09. Interaksi obat secara moderat ini termasuk jenis interaksi obat yang diutamakan untuk dicegah dan diatasi jika interaksi obat yang
dihasilkan lebih berbahaya dibandingkan manfaatnya, sebaiknya menggunakan alternatif lain jika ada. Selanjutnya interaksi obat terbanyak kedua adalah dengan
tingkat keparahan minor, yaitu 67 kejadian 23,51, interaksi obat ini mungkin mengganggu atau tidak disadari interaksi obat diduga terjadi tetapi tidak
mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor adalah interaksi obat yang paling sedikit,
terdapat 4 kejadian 1,40. Interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor diutamakan untuk dicegah dan diatasi karena efek potensial membahayakan jiwa
atau menyebabkan kerusakan permanen. Jenis obat yang mengalami interaksi mayor dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.11 Jenis Obat yang Mengalami Interaksi Mayor
Jenis Obat Interaksi Obat
Efek Interaksi
Spironolakton – Kalium
klorida Keduanya meningkatkan
kadar kalium. Hiperkalemia.
Kontraindikasi digunakan
bersama, kecuali manfaatnya lebih
besar. Diltiazem
– Bisoprolol Keduanya
saling meningkatkan toksisitas
satu sama lain. Meningkatkan
resiko bradikardia.
Amlodipin – Simvastatin Amlodipin meningkatkan
kadar Simvastatin. Beresiko
terjadi miopatirabdomiolisis
Klonidin – Bisoprolol
Keduanya saling
meningkatkan toksisitas satu sama lain.
Meningkatkan resiko
bradikardia. Sumber: Zhou, Yi-Ting, et al., 2013.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh jumlah penyakit penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh jumlah penggunaan obat
terhadap jumlah DRPs pada pasien PGK. Hasil analisa bivariat dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.1 Hasil Uji Kai-kuadrat Pengaruh Jumlah Penyakit Penyerta terhadap
Jumlah DRPs Hasil analisa pada gambar 4.1 menunjukkan pengaruh antara jumlah
penyakit penyerta dengan jumlah DRPs dengan metode kai-kuadrat, diketahui tidak lebih dari 14 sel atau sebanyak 77,8 yang mempunyai nilai harapan kurang
dari 5, yang berarti terdapat lebih 20 sel mempunyai nilai harapan lebih kecil dari 5 sehingga hasil uji kai-kuadrat ini dinyatakan tidak sahih. Untuk
memperoleh hasil yang sahih, maka dilakukan uji koefisien kontingensi. Berikut ini hasil uji koefisien kontingensi:
Gambar 4.2
Hasil Uji Koefisien Kontingensi Pengaruh Jumlah Penyakit Penyerta terhadap Jumlah DRPs
Berdasarkan hasil dari gambar 4.2, diketahui nilai probabilitas yang diperoleh = 0,493. Hal ini menunjukkan bahwa P 0,05, maka H
diterima yang berarti tidak ada pengaruh bermakna antara jumlah penyakit penyerta dengan
jumlah DRPs. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manley, H. J., et al 2003a, yang menunjukkan bahwa DRPs
berkorelasi positif dengan jumlah penyakit penyerta pasien P 0.001. Jumlah