Landasan Teoritis TINJAUAN TEORITIS MENGENAI
belum bisa dibebani tanggung jawab, karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan dalam bertindak yaitu akal. Apabila akal
seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban. Sebaliknya jika akalnya telah sempurna ia wajib menunaikan beban tugas yang
dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas dan adapula yang sempurna.
16
Berdasarkan pengertian di bawah umur di atas, maka yang dimaksud perkawinan di bawah umur pernikahan dini adalah perkawinan yang
dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhui
syarat umur
yang ditentukan
oleh Undang-Undang
Nomormormor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan :
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun
.‟‟ Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 15 ayat 1 :
“ untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomormormer 1 tahun 1974, yaitu
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun
‟‟.
16
Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-3, h. 82
Apabila dihubungkan antara pasal 1 dengan pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Uundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam pasal 15 ayat 1 maka dapatlah diambil beberapa pemahaman yang diuraikan sebagai berikut :
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b.
Perkawinan adalah salah satu perbuatan mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan bernilai ibadah bagi yang melaksanakannya.
c. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang Sakinah,
Mawaddah dan Warahmah. d.
Perkawinan itu dapat dilangsungkan setelah umur 16 tahun bagi calon perempuan dan 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki.
e. Harus ada izin orang tua terhadap perkawinan yang belum sampai pada
batas maksimal usia perkawinan yaitu 21 tahun. f.
Apabila pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah batas minimal yang ditentukan undang-undang yaitu 16 tahun bagi calon mempelai
wanita dan 19 tahun bagi calon laki-laki, maka harus dapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain dalam hal ini pengadilan agama untuk
yang beragama Islam.
Dari uraian di atas, dapat diambil pengertian bahwa perkawinan di bawah umur pernikahan dini adalah perkawinan yang dilangsungkan salah
satu pihak atau kedua mempelai yang belum berumur 16 tahun bagi calon mempelai perempuan dan 19 tahun bagi calon mempelia pria, sehingga
diperlukan izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan dan dispensasi nikah dari pengadilan agama atau pejabat lain yang dirujuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal izin orang tua, K.wantjik Saleh menambahkan bahwa hal tersebut sebagai bukti dari adanya restu mereka
terhadap perkawinan yang dilangsungkan.
17
Hukum Islam, dalam hal ini Al-Q ur‟an dan hadist tidak menyebutkan
secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah balig, berakal sehat, mampu membedakan yang
baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.
Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa : Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon
mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada
penolakan yang tegas.
17
K. Wantjik Saleh , Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Graha Indonesia, 1987, Cet. Ke-8, h. 26
Sama halnya dengan hukum Islam, hukum adat Indonesia yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, hukum kebiasaan tak tertulis, juga
tidak mengenal pemberlakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase
atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya, dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.
Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam, tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama yaitu fisik. Hal ini
dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum taklif bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf dianggap mampu menanggung beban
hukum. Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda :
ح صلا ع : ثاث ع قلا عف لاق س ع ها ص لا ع ع ها ض ع ع لا ا ل ق ف ح ج لا ع ظق س ح ئا لا ع ا ح
Artinya: Ali ra meriwayatkan dari nabi saw, beliau bersabda : terangkat pertanggungjawaban seseorang dari tiga hal yaitu anak kecil
sampai ia bermimpi, orang tidur samapai ia terbangun dan orang gila hingga ia tersadar. HR. Abu daud dan at-Tirmidzi
Menurut isyarat hadits tersebut, kematangan seseorang dilihat pada gejala kematangan seksualitasnya, yaitu air mania tau sperma bagi laki-laki
dan mentruasi haid bagi perempuan. Dari segi umur, kematangan masing-
masing orang berbeda saat datangnya. Hal ini disebabkan oleh karena berbedanya dalam memahami nash Al-
Qur‟an dalam surat an-Nuur ayat 59 :
Artinya: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh maka hendklah
mereka meminta izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya dan Allah
maha mengtahui lagi lagi maha bijaksana An-Nur : 59
Memperhatikan kedua dalil di atas, dapat diambil pemahaman bahwa batas usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaan bagi anak laki-laki karena
biasanya pada usia tersebut anak laki-laki telah mengelurkan air maninya melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan 9 tahun untuk daerah seperti
madinah telah dianggap memiiki kedewasaan. Ini didasarkan kepada pengalaman aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah saw:
ا شع ا ث ب ا عس ب
ا ب ب س ب ها ل س ا ج ز
س Artinya: Rasullulah saw menikah dengan dia aisyah dalam usia 6 tahun,
dan beliau memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada waktu dia berusia 18 tahun H.R Muslim.
Atas dasar hadist tersebut, dalam kitab kasyifat al-saja dijelaskan ”
tanda-tanda dewasanya atau baligh seseorang itu ada tiga yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun, dan haid
menstruasi bagi wanita usia 9 tahun. Adanya dispensasi bagi calon mempelai yang kurang dari 9 tahun, atau
16 tahun bagi wanita, boleh jadi didasarkan kepada nash hadis di atas. Walaupun kebolehan tersebut harus dilampiri izin dari pejabat untuk itu. Ini
menunjukkan bahwa pemahaman konsep pembaharuan hukum Islam yang memang bersifat ijtihadi diperlukan waktu dan usaha terus menerus. Dalam
hal ini juga diperlukan pendekatan konsep maslahat mursalah dan hukum Islam di Indonesia memerlukan waktu agar masyarakat sebagai subyek
hukum dapat menerimanya dan menjalankannya dengan sukarela tanpa ada unsur pemaksaan.
Di samping itu pemahaman terhadap nash, utamanya yang dilakukan oleh Rasullulah SAW pada saat menikah dengan aisyah, menurut penulis juga
perlu dipahami seiring dengan tuntutan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting, karena tuntutan kemaslahatan yang ada waktu itu dibanding dengan
sekarang jelas sudah berbeda. Berbeda dengan batas usia perkawinan menurut hukum Islam, batas usia
pernikahan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.
Penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita pasal 7 ayat 2, begitu pula ketika Undang-undang yang sama menyebutkan bahwa
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orang tua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.
Pembatasan umur yang dilakukan oleh Undang-Undang di atas, di samping oleh karena pertimbangan kematangan kedua mempelai dalam
menjalani bahtera rumah tangga, namun juga oleh karena pertimbangan kependudukan, dimana hal tersebut dimaksudkan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Masalah penentuan umur dalam undang-undang perkawinan maupun
dalam kompilasi memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fikih yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi
s yar‟inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-
nisa ayat 9 yang berbunyi :
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka kwatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar An-Nisa: 9
Ayat tersebut bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda atau di bawah ketentuan
yang diatur UU N0 1 tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikawatirksn kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai
pihak rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan,yaitu terwujudnya ketentraman
dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan di atas akan sulit terwujud, apabila masing-masing mempelai
belum matang jiwa dan raganya. Kematangan dan intgritas pribadi yang stabil akan sangat berpengruh dalam menyelesaikan setiap ploblem yang
muncul dalam menghadapi liku-liku dan badai dalam rumah tangga. Banyak kasus menunjukan bahwa banyaknya perceraian cenderung didominasi karena
akibat kawin dalam usia muda.
18
Dalam hal ini UU perkawinan tidak konsisten di satu sisi, di sisi lain dalam pasal 7 ayat 1 menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Bedanya jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin
18
Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 78
orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin pengadilan dan ini juga dikuatkan dalam KHI pasal 15 ayat 2 yang berbunyi : Bagi calon mempelai
yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 2, 3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974. Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam KHI, yang disebarluaskan
melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan
sama seperti pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Dengan demikian, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur sehingga penyimpangan terhadapnya dapat
dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat atau yang berkompeten. Namun demikian, perkawinan di bawah umur dapat dicegah
dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami dan istri tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang- undangan.
Dalam hal pencegahan perkawinan, pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai, suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk
mengawasi perkawinan pasal 62, 63, dan 64 KHI. KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Para pihak yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah : 1 para keluarga dalam garis keturunan lulus keatas dan kebawah dari suami atau istri; 2 suami atau istri ;
3 pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; 4 para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Islam dan peraturan perundang- undangan pasal 73.
Terlepas dari persoalan status hukum mengenai pernikahan di bawah umur pernikahan dini di atas, berikut sebab-sebab terjadinya pernikahan dini
dan berbagai dampaknya. Pada umumnya yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan dibawah
adalah karena faktor budaya dan pendidikan, walaupun ada sebab lain yang mempengaruhi, tetapi hal itu lebih merupakan sebagai rangkaian yang
sifatnya sebagai pelengkap. Secara kuantitatif pernikahan usia muda relatif
lebih banyak ditemukan pada daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan.
19
Kenyataan ini dapat terjadi, Karena didaerah perkotaan dari segi infarmasi dan transformasi Pengetahuan dan budaya lebih cepat dan maju,
Sehingga dapat menggugah kesadaraan dan pentingnya hidup. Keadaan yang memaksa bagi komunitas kota untuk berfikir rasional dan bertindak realistis
dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, khususnya dalam perkawinan. Sedangkan pada masyarakat pedesaan, aspek rasionalistis lebih terabaikan
karena terhimpit oleh tradisi dan budaya yang menggejala di masyarakat. Dalam masyarakat yang tradisi keagamaannya sangat kuat, bagi orang
tua yang
memiiki anak
gadisnya umumnya
ingin cepat-cepat
mengawinkannya anaknya disebabkan ada rasa kekhawatiran yang dapat menyebabkan seorang anakterzebak perzinahan. Bila hal itu terjadi, maka
merupakan aib besar yang sangat memalukan rang tua. Pernikahan pada usia dini merupakan sebuah antisipasi dari orang tua untuk mencegah akibat-akibat
negative yang dapat mencemarkan dan merusak martabat orang tua dan keluarganya.
Dari sejumlah sebab yang melatar belakangi tingginya jumlah pernikahan pada usia muda faktor paling dominan adalah karena rendahnya
tingkat pendidikan. Bahkan pendidikanlah yang sebenarnya menjadi inti
19
Nani Suwondo, Hukum Perkawinan dan Kependidikan di Indonesia, Bandung : PT. Bina Cipta, 1989, Cet. Ke-1, h. 108
masalah ini, karena dengan pendidikan dapat menambah pola pikiran dan pandangan dari yang tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak rasinal
menjadi rasional dan realistis. Tetapi ini merupakan sebuah harapan ideal tanpa melihat kendala yang dihadapi.
Pada masyarakat pedesaan, masalah pendidikan merupakan suatu yang sangat sulit di jangkau. Kesulitan ini bisa terjadi karena alasan biaya, entah itu
tempat pendidikan yang sulit dijangkau, informasi dan transformasi yang sangat terbatas sehingga banyak anak-anak dipedesaan tidak dapat
melanjutkan pendidikan atau beajar akan tetapi putus ditengah jalan bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali.
Sebenarnya pernikahan dibawah umur dizaman kemajuan teknologi ini merupakan setbeck mundur kejaman lampau diwaktu pendidikan masih
belum demikian berkembang dan anak-anak gadis masih dalam pingitan. Di masa lampau, perkawinan dibawah umur disebabkan oleh:
a. Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat ngambil mantu
b. Karena ada lamaran dari orang-orang yang disegani dan orang tua
khawatir tidak dapat lagi calon sebaik itu c.
Karena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah besanan dengan orang kaya, mengharapkan anaknya dapat
tertolong
d. Dari yang bersangkutan sendiri ingin cepat menikah karena ingin lebih
bebas dan mengira hidup berumah tangga lebih nikmat Pendapat tersebut diatas secara realistis memang ada benarnya bila
dilihat dari kebutuhan jangka pendek, waaupun secara umum alasan demikian merupakan alasan yang kolot dan seolah-olah tidak punya harapan untuk lebih
maju dihari esok. Dari hasi penelitian fakultas syariah bahwa faktor adanya faktor adanya perkawinan pada usia dini adalah:
a. Faktor pendidikan yang rendah
b. Sosio kultural
c. Tidak mengetahui Undang-undang perkawinan
d. Pergaulan bebas
e. Tradisi daerahadat istiadat
f. Kondisi fisik yang cepat masak
g. Pengaruh ekonomi
Perkawinan di bawah umur tidak hanya terjadi di desa-desa, tetapi juga di kota-kota dengan sebab yang sama. Bahkan di kota-kota besar dewasa ini
sering terjadi perkawinan di bawah umur karena sebab menurut istilah sekarang
‘’kecelakaan’’ malu‟‟, kehidupan di kota-kota yang penuh oleh tantangan dan aneka macam kemesuman karena eksis-eksis pergaulan.
Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Dampak hukum
Adanya pelanggaran terhadap tiga Undang-Undang, antara lain : 1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”, dan pasal 6 ayat 2 yang berbunyi :
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua”
2 Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang PTPPO.
Patut ditengrai adanya penjualanpemindah tangan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari
perkawinan tersebut. Amanat Undang-undang tersebut bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk
hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut
harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Undang-Undang ini sesuai dengan 12 area kritis
dari Beijing Platform of Action tentang perlindungan terhadap anak.
b. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan
seks dengan lawan jenisnya., apalagi jika sampai hamil kemudian meahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang
luas dan infeksi yang akan membahayakan organ refroduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks
yang demikian atas dasar keetaraan dalam hal produksi antara istri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan penggagahan
terhadap seorang anak. c.
Dampak psiklogis Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang
hubungan seks,
sehingga akan
menimbulkan trauma
psikis berkepentingan dalam jiwa anak yang suit disembuhkan. Anak akan
murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan Wajar 9 tahun, hak bermain dan menikmati waktu
luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
2. Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kantor Urusan Agama KUA adalah unit kerja terdepan Depag yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang Agama Islam, di wilayah
Kecamatan KMA No.5172001 dan PMA No.112007. Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan
masyarakat. Karena itu wajar bila keberadaan KUA dinilai sangat urgen seiring keberadaan Depag.
Fakta sejarah juga menunjukkan kelahiran KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Depag, tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. Ini
sekali lagi, menunjukan peran KUA sangat strategis, bila dilihat dari keberadannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, terutama yang
memerlukan pelayanan bidang Urusan Agama Islam Urais. Konsekuensi dari peran itu, secara otomatis aparat KUA harus mampu mengurus rumah
tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan, administrasi surat-menyurat dan statistik serta dokumentasi yang mandiri.
20
Kantor urusan agama KUA mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia, baik berkenaan dengan kelembagaan maupun peran dan fungsinya.
Keberadaannya dapat dilacak sejak permulaan Islam masuk ke Indonesia, pertumbuhan
dan perkembangan
kerajaankesultanan Islam,
masa
20
Rahmat Fauzi,
Refleksi Peran
KUA Kecamatan,
dalam http:salimunazzam.blospot.comprefleksi-peran-kua-kecamatan. html
kolonialisme, hingga masa kemerdekaan, sepanjang itu, KUA mengalami dinamika dan transformasi kelembagaan, peran, dan fungsinya.
Masa sejarah KUA sebelumnya kepenghuluan di Indonesia terbagi menjadi 3 bagian, yaitu.
21
a. Masa sebelum kemerdekaan
Di masa ini kepenghuluan muncul dan terlihat di dalam adat meningkabau. Di daerah ini penghulu adalah pemimpin yang harus
bertanggungjawab kepada
masyarakat anak-kemenakan
yang dipimpinnya. Ia digambarkan sebagai sosok pemimpin yang
mempunyai 5 macam fungsi kepemimpinan yang melekat pada dirinya dan berbudi pekerti yang luhur. Salah satu tugas penghulu di sana
adalah menempuh jalan nan pasa, yaitu melaksanakan ketentuan yang telah berlaku dan berjalan baik dalam cara rumah tangga, bernegeri
jangan diubah dan jangan dilanggar. Demikian pula di kerajaan mataram, birokrasi keagamaan reh penghuluan sudah ada sejak abad ke-
17. Jabatan keagamaan ditingkat desa disebut kaum, amil, modin, kayim dan lebay.
22
Meskipun demikian sampai dengan abad ke-18, lembaga reh kepenghuluan begitu tertata dengan baik. Dan menjelang abad ke-19,
21
Nuhrison M nuh et.al. optimalisasi peran KUA melalui jabatan fungsional penghulu, jakarta:puslitbang kehidupan keagamaan, 2007,cet ke-1,h..23-29..
22
Daniel S Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta : Intermasa,1986, h.3
lembaga itu telah begitu kukuh dan mapan. Karena keterlibatan mereka dalam urusan-urusan negara, penghulu dan naib tergolong ke dalam
kalangan priyayi.
23
Menurut kuntowijoyo, tampak bahwa penghulu adalah juga santri, dan pada umumnya berasal dari kalngan priyayi.
24
Saat itu, Snouck hurgronje, seperti dikutip Karl Stenbrink, menyadari adanya jurang
pemisah, yang sesuai keadaan sekarang masih memisahkan penghulu dan kawan-kawannya. Penghulu adalah pejabat resmi dari pemerintahan
kolonial yang diangkat oleh gubernur jendral atau atas namanya, melalui pencalonan dari Bupati dengan persetujuan presiden.
Mereka itu umumnya berasal dari keluarga atau kenalan bupati dan wedana. Sebagai pegawai, mereka menerima gaji langsung dari
batavia. Di samping pemegang tugas keagamaan, seperti pengurus masjid atau pengadilan agama, mereka sering pula ditugaskan
menyelenggarakan suntikan wajib kepada penduduk untuk mencegah wabah penyakit.
Kiai pada saat itu digambarkan dalam sejarah sebagai kelompok dalam masyarakat, di luar pemerintahan atau keraton. Pengetahuan
mereka tentang agama dinilai lebih mendalam dan cara hidup mereka lebih dipercayai rakyat. Menurut Karl Steenbrink, politik belanda
23
Kuntawijaya, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991, h. 125-126
24
M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelgensia, Bandung: Mizan,1996, h.172
mempunyai tujuan untuk memisahkan dua golongan itu supaya para penghulu menjadi pegawai yang setia kepada pemerintah kolonial.
Tetapi sebaliknya, pada abad ke-19 pemerintah kolonial terpaksa melakukan pemisahan antara penghulu dan kiai, yaitu dengan
melakukan seleksi yang ketat terhadap calon penghulu di pemerintahan. Dampak dari pemisahan ini adalah meningkatnya kharisma penghulu di
depan publik dan menurunkan pengaruh kiai. Dengan munculnya dua jenis elit ini, mereka saling bersaing
memperebutkan kekuasaan. Huijbers, seperti yang dikutip kuntowijiyo, sebagai saksi atau yang menyaksikan persaingan ini selama dekade-
dekade terakhir kekuasaan belanda, mengatakan bahwa guru-guru agama mempunyai prestasi yang lebih besar dibandingkan penghulu.
Di masa pra kemerdekaan ini, kepenghuluan di tingkat kabupaten terdiri dari lima fungsi, yang diantaranya:
1 Sebagian mufti penasihat hukum Islam. Dalam hal ini penghulu
harus menghadiri sidang-sidang pengadilan negeri landraad, ia diangkat oleh pemerintah belanda dan memperoleh uang sidang.
2 Sebagai qadi atau hakim dalam pengadilan agama.
3 Sebagai imam masjid. Penghulu mengurus segala sesuatu yang
berhubungan dengan masjid raya ditempat kediamannya.
4 Sebagai wali hakim. Ia bertugas mengawinkan wanita yang tidak
mempunyai wali, dan pada perkawinan lain membantu demi keabsahan perkawinan.
5 Menurut adat, penghulu adalah satu-satunya yang berhak
mengumpulkan zakat yang tidak diperuntukkan bagi mustahiq.
25
Fungsi-fungsi di atas tidak selalu diperankan oleh satu orang, Walaupun pemerintah berusaha terus mengadakan kombinasi. Sejak
1918 kombinasi fungsi ini resmi diwajibkan. Khusus penghulu, sebelumnya ditemukan dua jabatan, yakni penghulu landraad 1,2 dan 5
dan penghulu hakim yang juga disebut penghulu kawin atau penghulu masjid untuk point 3 dan 4.
Sedangkan Djamil Latif menulis 6 fungsi penghulu masa kolonial belanda, yaitu :
1 Imam masjid kepala pegawai kemasjidan
2 Kepala pegawai pencatat nikah
3 Wali hakim
4 Penasihat pada pengadilan negeri
5 Penasihat bupati dalam masalah keagamaan
6 Ketua pengadilan agama.
26
25
Nuhrison M. Nuh, et.al., Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Fungsional Penghulu, Jakarta: Puslitbang Keagamaan,2007, Cet. Ke-1, h.28
26
M. Djalil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, h.23-24
b. Masa kemerdekaan
Begitu Indonesia merdeka, tugas-tugas dan fungsi penghulu yang pernah dilakukan pada masa pemerintah kesultanan dan kolonial
belanda dalam beberapa aspek tetap dilanjutkan. UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk menyatakan bahwa bagi orang
Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh pembantu pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk P3NTR.
Ketentuan ini berlaku untuk seluruh Indonesia sesuai Undang- Undang Nomor 32 tahun 1954 dan pasal 1 ayat 1 UU No.22 tahun
1946 yang maksudnya bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, posisi penghulu atau istilah
barunya P3NTR, tetap dipertahankan sebagai pegawai pemerintah tetapi tugasnya hanya mengawasi pernikahan. Ini berarti tugas dan fungsinya
mengalami penyempitan dibandingkan pada masa kolonial atau kesultanan.
27
Ketentuan mengenai tugas dan fungsi penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah semakin kuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974, meskipun informasi pasal-pasal yang berkenan dengan
27
Nuhrison M. Nuh, et.al., Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Penghulu, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007, Cet, ke-1, h.30.
“pencatatan perkawinan” sangat sedikit. Selengkapnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari undang-undang tersebut seperti halnya pasal 2 Peraturan Pemerintah :
1 Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 tahun 1954
tentang nikah, talak dan rujuk. 2
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain
agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang ada di kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai perkawinan. 3
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan
dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah.
28
c. Masa Reformasi
Zainal Arifin dalam makalah „Peran KUA Di Era Reformasi‟ menjelaskan bahwa pelayanan pencatatan perkawinan dan urusan
keagamaan merupakan tugas pokok KUA, karena pelayanan itu sangat
28
Nuhrison M. Nuh, et.al., Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Penghulu, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007, Cet, ke-1, h.31
besar pengaruhnya dalam membina kehidupan beragama, di situlah cikal bakal terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.
Dalam malaksanakan tugas ke-Urais-an ini, KUA tidak sekedar melakukan pengawasan dan pencatatan nikahrujuk saja, tetapi juga
melaksanakan tugas-tugas lainnya seperti mengurus dan membina tempat ibadah umat Islam masjid, langgarmushalla membina
pengamalan agama Islam, zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, pangan halal, kemitraan umat Islam, kependudukan serta pengembangan
keluarga sakinah sesuai kebijakan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berhubung KUA bersentuhan langsung dengan masyarakat yang
memiliki pengetahuan dan kemampuan serta pemahaman yang beraneka ragam di bidang Urais, termasuk masalah perhajian, maka sesuai hasil
Rakernas Penyelenggaran Haji tahun 2006 di Jakarta menyepakati KUA diikutsertakan sebagai pelayan haji kepada masyarakat dan calon
jemaah haji. Ini dimaksudkan agar KUA secara intensif mampu memberikan penyuluhan dan penyebarluasan informasi tentang
perhajian. Begitu penting dan strategisnya peran dan fungsi KUA, maka
tidaklah aneh bila sebagian masyarakat berharap KUA mampu
memberikan pelayanan prima terhadap peran dan fungsinya itu. Bahkan pemerintah sendiri berharap besar KUA dapat mengembangkan
perannya lebih dari sekadar peran-peran yang ada. Adapun peran KUA selama ini antara lain:
1 Pelayanan di bidang administrasi. Sebagai unit pelaksana
operasional Depag, mekanisme kegiatan perkantoraan ditandai aktifitas pelayanan administrasi dalam bentuk pelayanan dan
bimbingan agama pada masyarakat sebagai wujud koordinasi baik vertikal maupun horisontal, meliputi: administrasi NTCR,
keluarga sakinah dan lainnya. 2
Pelayanan di bidang kepenghuluan. KUA adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan
pernikahan di kalangan umat Islam. 3
Pelayanan di bidang perkawinan dan keluarga sakinah. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang akan berkembang
menjadi tatanan masyarakat yang lebih luas. Karena itu pembinaan keluarga sakinah sangat penting karena akan
mewujudkan masyarakat yang rukun, damai dan bahagia baik secara fisik maupun psikologi.
4 Pelayanan di bidang perwakafan. Tanah wakaf bukan semata-mata
aset ummat, tetapi juga aset bangsa. Untuk itu perlu pengelolaan
secara optimal dan profesional yang dilegitimasi dengan kekuatan hukum, sehingga tidak menimbulkan permasalahan seperti ;
pembatalan, pengalihan status, diperjualbelikan dan lainnya. 5
Pelayanan di bidang zakat dan ibadah sosial. Zakat dan ibadah sosial adalah modal dasar pembangunan kesejahteraan ummat dan
merupakan salah satu sumber dana untuk mengentaskan kemiskinan. Peran KUA sangat diperlukan guna menggerakkan
tokoh agama dan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran berzakat terutama kepada lembaga zakat yang diakui pemerintah
seperti Badan Amil Zakat BAZ, Lembaga Amil Zakat LAZ dan Unit Pengumpul Zakat UPZ.
6 Pelayanan di bidang kemasjidan dan kehidupan beragama.
Sebagai aparat Depag di tingkat kecamatan, KUA berkewajiban memberikan bimbingan dalam mewujudkan Idarah, Imarah dan
Ri’ayah masjid. 7
Layanan di bidang pangan halal dan kemitraan umat Islam. Untuk pelayanan di bidang pangan halal, peran KUA masih terlihat
samar dan abu-abu, hal ini disebabkan petunjuk teknis ke arah itu masih belum jelas. Untuk tugas dimaksud, biasanya KUA hanya
melaksanakannya sebatas sosialisasi dan itupun dilaksanakan bersama Kandepag KabupatenKota.
8 Penyuluhan dan sosialisasi Undang-Undang perkawinan. Di
masyarakat masih sering dijumpai perkawinan yang belum sesuai ketentuan agama dan perundang-undangan, terutama UU No.
11974 Tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah No: 91975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11974
seperti perkawinanpernikahan yang tanpa dihadiri petugas resmi, poligami tanpa izin dari pengadilan, perceraiantalak yang
dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama dll.
9 Pelayanan di bidang perhajian. Keberadan KUA di tengah-tengah
masyarakat sebagai pranata keagamaan memiliki sisi penting, mengingat KUA sebagai perpanjangan tangan Kandepag
KabupatenKota yang berbasis front terdepan, setiap saat dapat bersentuhan langsung dengan lapisan masyarakat di tingkat
bawah, khususnya calonjamaah haji yang pada umumnya berada di pedesaan.. Untuk itulah sehingga KUA harus secara langsung
terlibat dalam masalah perhajian. 10
Kegiatan lintas sektoral Banyak sekali kegiatan-kegiatan lintas sektoral yang memerlukan keterlibatan KUA secara langsung,
misalnya penyuksesan program pembangunan lainnya seperti Keluarga Berencana, penanggulangan penyalahgunaan narkoba
dll. Tentu saja kesemuanya disampaikan secara apik kepada masyarakat dengan menggunakan bahasa agama.
29
3. Peranan KUA dalam Menanggulangi Pernikahan Dini
Berbicara mengenai peran, dapat diartikan suatu tindakan, sedangkan peranan adalah bagian dari tindakan utama yang harus dilaksanakan
seseorang.
30
Kantor Urusan Agama sebagai unit kerja paling depan pada Departemen Agama Dahulu, memiliki tugas dan fungsi yang terkait
langsung dengan pemberiaan pelayananpembinaan masyarakat di bidang urusan agama Islam seperti yang diuraikan penulis sebelumnya.
Berkaitan dengan upaya penanggulangan pernikahan dini, Kantor Urusan Agama dapat menggunakan perannya sebagai berikut
31
: a.
Pelayanan di bidang administrasi termasuk pencatatan nikah, talak dan rujuk serta pencatatan lainnya yang terkait dengan tugas dan peran
KUA. Dalam hal ini pihak KUA kecamatan dapat membuat kebijakan yang bersifat teknis operasional mengenai prosedur pencatatan
perkawinan dan administrasinya yang tidak bertentangan dengan aturan dalam rangka menanggulangi pernikahan dini.
b. Penyuluhan dan Sosialisasi Undang-Undang Perkawinan
29
Rahmat Fauzi,
Refleksi Peran
KUA Kecamatan,
dalam http:salimunazzam.blospot.comprefleksi-peran-kua-kecamatan. html
30
Amran Y S Chaniago, Kamus Besar Indonesia, Jakarta, 1995.h.449
31
Rahmat Fauzi,
Refleksi Peran
KUA Kecamatan,
dalam http:salimunazzam.blospot.comprefleksi-peran-kua-kecamatan. html
Dalam hal ini, pihak KUA mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan kepada masyarakat melalui
berbagai media, khususnya pasal 7 ayat 1 mengenai batas umur seseorang boleh menikah, yakni umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16
tahun untuk wanita. Selain itu, pihak KUA mengadakan penyuluhan kepada masyarakat mengenai dampak negatif pernikahan dini dari aspek
hukum, psikologis, biologis dan aspek lainnya, sehingga masyarakat menyadari pentingnya menikah sesuai umur yang ditentukan oleh
Undang-Undang. c.
Pelayanan di bidang perkawinan dan keluarga sakinah. Dalam hal penanggulangan pernikahan dini, KUA dapat
mengoptimalkan peran BP4 dan perangkat KUA lainnya dalam memberikan nasehat-nasehat perkawinan dan pentingnya membangun
keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam hal ini, ditekankan pentingnya menikah sesuai batasan umur dalam Undang-Undang
sebagai faktor penting terbentuknya keluarga sakinah. KUA juga dapat melakukan pembinaan keluarga sakinah kepada masyarakat dan
memperketat prosedur serta administrasi pernikahan agar tidak terjadi manipulasi umur dalam rangka menanggulangi pernikahan dini.
d. Pelayanan di bidang kepenghuluan.
Dalam hal ini, KUA dapat mengoptimalkan para penghulu dan juga amil desa dalam mensosialisasikan pentingnya menikah sesuai
batasan umur yang telah ditentukan, baik melalui khutbah nikah atau ketika diundang dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Dalam hal perannya menanggulangi pernikahan dini, KUA dapat menggunakan berbagai media, baik cetak maupun elektronik, melalui
seminar, pengajian-pengajian, khutbah jumat dan lainnya, sehingga masyarakat mengetahui dan menyadari pentingnya menikah sesuai umur yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang. Agar lebih efektif, sebaiknya upaya penanggulangan pernikahan dini tersebut terprogram dengan baik dan
melibatkan berbagai elemen masyarakat.