Pengungkapan Sosial dan Lingkungan

commit to user 15 perusahaan dalam praktik sosial dan lingkungan. Madhani 2007 menyatakan bahwa manfaat pengungkapan sukarela yang paling utama adalah dalam peningkatan kredibilitas perusahaan. Pada saat perusahaan mempunyai kredibilitas, pemegang pemegang saham dapat mendukung kebijakannya, bahkan saat kebijakan tersebut menyebabkan berkurangnya laba perusahaan dalam jangka pendek. Pengungkapan sosial dan lingkungan, sebagai salah satu bentuk pengungkapan yang dapat membuat perusahaan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan terkait dengan kinerja sosial dan lingkungan. Self-assesment melalui pengungkapan sosial dan lingkungan merupakan alat pembelajaran organisasi yang dapat menyebabkan perubahan dinamis yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan kinerja perusahaan Utama, 2007.

2. Pengungkapan Sosial dan Lingkungan

Keluasan pengungkapan sosial dan lingkungan dapat digunakan untuk memperoleh value added bagi perusahaan, meningkatkan kredibilitas perusahaan, serta mampu meraih kepercayaan stakeholders Rahayu, 2008; Madhani, 2007. Keluasan pengungkapan sosial dan lingkungan berhubungan dengan kredibilitas perusahaan dan kepercayaan stakeholders karena tujuan pengungkapan tersebut adalah untuk membantu stakeholders dalam memperoleh gambaran umum serta dapat mengevaluasi kinerja perusahaan terkait dengan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial Utama, 2007. commit to user 16 Mathews 1997:483 mendefinisikan pengungkapan sosial dan lingkungan sebagai berikut: “Voluntary disclosures of information, both qualitative and quantitative made by organizations to inform or influence a range of audiences. The quantitative disclosures may be in financial or non-financial terms.” Berdasarkan definisi tersebut, pengungkapan sosial dan lingkungan merupakan pengungkapan informasi sukarela, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang dibuat oleh organisasi untuk menginformasikan aktivitasnya Nurdin dan Cahyandito, 2006. Global Reporting Initiative 2006 pun menyebutkan bahwa sebaiknya laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya mengungkapkan praktik sosial dan lingkungan perusahaan secara kualitatif tetapi juga berusaha mengkuantifikasi secara keseluruhan atas dampak sosial dan lingkungan atas kegiatan perusahaan. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah bahwa sistem akuntansi perusahaan sebaiknya tidak hanya mencatat pendapatan dan biaya perusahaan semata, tetapi juga mengestimasi manfaat sosial social benefit dan biaya sosial social cost dari berbagai kegiatan perusahaan, termasuk yang terkait dengan praktik sosial dan lingkungan perusahaan Utama, 2007. Chambers 2008 mengidentifikasi pengungkapan sosial dan lingkungan meliputi keterlibatan komunitas dan lingkungan, proses produksi dan hubungan yang bertanggungjawab sosial terhadap karyawan. Pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan dapat dijelaskan sebagai bagian dari informasi financial dan non-financial yang berhubungan dengan interaksi perusahaan dengan lingkungan, yang dituangkan commit to user 17 ke dalam laporan tahunan atau di dalam laporan sosial dan lingkungan yang terpisah Hackston dan Milne, 1996. Menurut Gray, Owen, dan Adams 1996, pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan dapat diungkapkan melalui bermacam-macam media laporan tahunan, iklan, booklets, brosur, dan press releases, namun laporan tahunan tetap menjadi yang sering digunakan dalam penelitian untuk menganalisis pengungkapan sosial dan lingkungan seperti yang disebutkan oleh Kuasirikun 2004:635: “…annual reports remain the most extensively used document in the analysis of corporate social reporting due arguably to their credibility, usefulness to various stakeholders, regularity, accessibility and completeness in terms of the company’s communication on social issues.” Pengungkapan disclosure sosial dan lingkungan merupakan sebuah wujud dari pertanggungjawaban sosial perusahaan Hadi, 2006, sedangkan definisikan pertanggungjawaban sosial atau corporate social responsibility CSR itu sendiri menurut Robins 2005 adalah: “CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and stakeholder relations on a voluntary basis; it is about managing companies in a socially responsible manner.” Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial adalah konsep yang tindakan etis perusahaan yang mengintegrasi perhatian sosial dan lingkungan secara sukarela ke dalam operasi bisnis perusahaan dan memperhatikan kepentingan stakeholders dengan harapan memberikan manfaat atau kesejahteraan bagi masyarakat Said, Zainuddin, dan Haron, 2009. commit to user 18 Badan Usaha Milik Negara BUMN mempunyai peraturan yang mewajibkan tanggung jawab sosial yang berbentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PKBL yang diatur dalam Undang-undang UU nomor 19 Tahun 2003, dimana pasal 2 ayat 1 huruf e, menyebutkan bahwa: “Salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.” Pasal 88 ayat 1 menyebutkan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil atau koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. UU tersebut mewajibkan semua BUMN untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dalam bentuk PKBL. Peraturan Menteri Permen Negara BUMN No. Per-05MBU2007 merupakan peraturan praktik sosial dan lingkungan yang lebih terperinci dan merupakan penjabaran dari UU No. 19 Tahun 2003, karena mengatur besaran dana pasal 9, tatacara pelaksanaan praktik sosial dan lingkungan BUMN, dan laporan pelaksanaan PKBL Pasal 21. Melalui UU No. 19 Tahun 2003 dan Permen Negara BUMN No. Per- 05MBU2007, mewajibkan BUMN untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PKBL serta mewajibkan menyampaikan laporan praktik tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut. Di berbagai perdebatan tentang Ke-CSR-an PKBL yang dilakukan oleh BUMN, Lingkar Studi CSR 2007 menganggap bahwa PKBL bukanlah CSR, karena commit to user 19 CSR haruslah berada di luar regulasi. Menurut pandangan Suharto 2008, kalau CSR bersifat wajib, singkatannya harus diubah menjadi Corporate Social Obligation CSO, karena kata “responsibility” merupakan tindakan yang bersifat sukarela. Dahlsrud 2006 menyatakan bahwa berbagai definisi CSR secara konsisten menunjukkan unsur sukarela voluntary, yang berarti sebuah perusahaan menjalankan terlebih dahulu seluruh ketentuan dalam peraturan legal, kemudian menambahkan dengan hal yang melampaui apa yang diatur beyond compliance. Tabel 2.1 Perbandingan PKBL dengan CSR PKBL CSR Sifat Wajib Sukarela Sasaran Pemangku kepentingan eksternal saja: pengusaha kecil dalam Kemitraan dan masyarakat setempat dalam Bina Lingkungan Pemangku kepentingan internal pemegang saham, karyawan dan keluarganya, dan lain-lain; eksternal masyarakat, media massa, pemerintah, organisasi masyarakat, dan lain-lain Sumber dana After profit Before profit Pelaksanaan Tidak diwajibkan melakukan minimalisasi dampak negatif terlebih dahulu Mengupayakan terlebih dahulu minimalisasi dampak negatif, kemudian baru melakukan maksimalisasi dampak positif Sumber: Lingkar Studi CSR 2007 Berdasarkan Tabel 2.1 terdapat perbedaan yang membuktikan bahwa PKBL milik BUMN masih belum bisa dianggap sebagai CSR yang sesungguhnya. PKBL tidak mewajibkan perusahaan untuk terlebih dahulu meminimumkan dampak negatifnya, PKBL tidak mengurus para pemangku kepentingan internalnya, PKBL tidak mengandung voluntarisme untuk melampaui regulasi, dan PKBL juga commit to user 20 merupakan pengeluaran yang disandarkan atas keuntungan dan bukan dipandang sebagai investasi oleh perusahaan Lingkar Studi CSR, 2007. Tabel 2.2 Indikator GRI 2006 dan Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia Indikator GRI Regulasi di Indonesia Indikator Lingkungan 1. UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 2. UU RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 3. UU RI No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 4. UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan 5. PP RI No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 6. PP RI No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Indikator Sosial Aspek Tanggung Jawab Produk UU RI No. 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen Aspek Praktik Tenaga Kerja dan Pekerjaan yang Layak UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Aspek Hak Asasi Manusia 1. UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia HAM 2. UU RI No. 11 Tahun 2005 tentang Kovenan ECOSOC Aspek Masyarakat UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sumber: GRI 2006 dan www.csrindonesia.com 2010. Di Indonesia, ketentuan mengenai kewajiban praktik tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat ditemukan dalam Undang-undang UU maupun Peraturan Pemerintah PP yang kemudian dalam penelitian ini dibandingkan dengan indikator commit to user 21 sosial dan lingkungan dari GRI 2006. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2. Berdasarkan Tabel 2.2, aspek sosial dan lingkungan dari GRI sejalan dengan peraturan di Indonesia, yaitu: 1. Aspek lingkungan 2. Aspek sosial: tanggung jawab produk, praktik tenaga kerja dan pekerjaan yang layak, hak asasi manusia, dan masyarakat. Aspek sosial dan lingkungan yang dipakai mengacu pada Sustainability Reporting Guidelines tahun 2006 G3 yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative GRI. Guidelines dari GRI dipilih karena semakin banyak perusahaan di dunia yang menggunakan GRI Ballou, Heitger, dan Landes, 2006 dan per 15 Desember 2010 jumlahnya mencapai hampir 2537 perusahaan di lebih dari 60 negara GRI Report List, 2010. Di Indonesia terdapat enam BUMN yang sudah menerapkan G3, yaitu PT Antam Tbk, PT TB Bukit Asam Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT PGN Tbk, PT Telkom Tbk, dan PT Timah Tbk. Pemilihan tahun sampel tahun 2007-2009 bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan pada BUMN sejak dikeluarkannya edisi terbaru guidelines untuk sustainability reporting dari GRI pada tahun 2006. Peraturan Menteri Negara BUMN No. Kep-5MBU2007 merupakan landasan utama yang mengatur pelaksanaan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi BUMN di Indonesia. Kementerian Negara BUMN merupakan lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi BUMN di Indonesia, oleh karena itu setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara BUMN harus commit to user 22 dipatuhi dan dilaksanakan oleh BUMN di Indonesia. Bagi BUMN yang berbentuk PT harus mematuhi dan melaksanakan UU RI No. 40 Tahun 2007 yang mengatur kewajiban perseroan untuk melaporkan tanggung jawab sosial perusahaan. Terdapat pula Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. Kep-13BL2006 yang mengatur kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi BUMN yang sudah go public di Bursa Efek Indonesia. Peraturan tersebut memuat ketentuan mengenai pengungkapan praktik dan biaya yang dikeluarkan perusahaan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan di dalam laporan tahunan. Di Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan SAK belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi lingkungan hidup Suhardjanto, 2008. SAK merupakan standar yang mengatur pelaporan keuangan, namun belum ada standar yang mengatur pelaporan yang sifatnya non-keuangan Hasyir, 2009. Tidak adanya standar mengenai item kinerja apa saja yang digunakan sebagai dasar pengukuran tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan dikarenakan belum adanya regulasi yang baku mengenai aspek sosial dan lingkungan apa saja yang harus diungkapkan oleh perusahaan di Indonesia Utama, 2007. Dalam peraturan yang ada tidak dijelaskan secara spesifik mengenai item apa saja yang harus diungkapkan. Hal tersebut menjadikan penafsiran yang berbeda antar satu BUMN dengan BUMN lainnya mengenai item apa saja yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan. Berdasarkan hal tersebut, item pengungkapan sosial dan lingkungan dalam penelitian ini menggunakan item Sustainability Reporting Guidelines dari GRI yang dikeluarkan pada tahun 2006. commit to user 23 Supaya pengungkapan sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan mencukupi kebutuhan informasi para stakeholders dan sesuai dengan peraturan yang ada, diperlukan adanya perbaikan praktik corporate governance. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Cooper dan Owen 2007 yang menyatakan bahwa pengungkapan saja tidaklah cukup untuk tercapainya akuntabilitas, pengungkapan tersebut perlu didukung oleh governance yang dapat mendorong perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkan praktik sosial dan lingkungan perusahaan secara obyektif.

3. Sustainability Reporting Guidelines