Anti Klimaks Gaya Bahasa Style

4.1.4.10 Alusio

Alusio adalah gaya bahasa yang dipergunakan oleh pengarang untuk memperkuat pernyataan atau maksud yang disampaikan secara berkias tetapi hanya sebagian saja, karena umum sudah dianggap mengetahui kelanjutan dan maksud yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. Dene Astirin saya mengkeret gulune. Nyekatet. Genah wadung kang mingis- mingis wis dibabitake bakal mapras pupus godhong sing arep subur Trubusan umure bakal kapangkas. Ledhung-ledhung mangsa nom-nomane bakal kapruthes Mati Genah yen Pakdhe –Mbokdhene ora bakal nulak dhuwit saambreg kaya ngono kuwi Genah yen ngrembaka dhara Astirin dibabat gepok, mati layu…halaman 14-15 Astirin sangat kecewa. Pasrah. Sudah tahu belum cukup umur malah akan dirampas hidupnya Nanti umurnya akan bertambah. Sayang jika masa mudanya dirampas Mati Sudah pasti jika pakdhe-budhenya tidak akan menolak uang sebanyak itu Sudah tahu dia masih perawan akan tetap dirampas, akan mati layu… Kutipan di atas merupakan gaya bahasa alusio. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kalimat dene Astirin saya mengkeret gulune. Nyekatet. Genah wadung kang mingis-mingis wis dibabitake bakal mapras pupus godhong sing arep subur Trubusan umure bakal kapangkas. Ledhung-ledhung mangsa nom-nomane bakal kapruthes, yang berarti Astirin sangat kecewa. Pasrah. Sudah tahu belum cukup umur malah akan dirampas hidupnya Nanti umurnya akan bertambah. Sayang jika masa mudanya dirampas. Dari semua kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa novel ini mempunyai sepuluh gaya bahasa, yaitu hiperbola, perumpamaan, personifikasi, klimaks, metonimia, pernyataan retoris, metafora, pleonasme, anti klimaks, dan alusio. Gaya bahasa yang paling menonjol dan sering digunakan oleh tokoh utama adalah gaya bahasa hiperbola, karena tokoh utama sering mengatakan sesuatu dengan melebih- lebihkan dari keadaan yang sebenarnya.

4.1.5 Tema

Untuk menentukan tema dalam sebuah novel ada berbagai cara, salah satunya dapat melalui judul. Setelah melihat judul dan membaca keseluruhan isi novel Astirin Mbalela, maka peneliti dapat menentukan permasalahan dan gagasan yang mendominasinya, yaitu ben, diarani mbalela Ora papa Sing pokok Astirin ngrasa tetep bebas. Dheweke sing arep ngatur uripe dhewe. Uwal saka pakdhe lan mbokdhe ya ora papa, pokok isih tetep nduweni hak urip dhewe, lan kuwi bakal luwih prayoga katimbang dadi bojone Buamin. Dadi kethiplake Buamin. Mongsok nerusake sekolah mung kari rong taun wae ora oleh Dalam novel ini, kutipan tersebut merupakan gagasan dari tema yaitu Astirin menentang konsep perjodohan dalam adat istiadat perjodohan di Jawa dengan cara mbalela dalam istilah Jawa. Dalam novel ini tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh pengarang, antara lain Astirin, Pakdhe Marbun, Budhe Tanik, Buamin, Samsihi, Yohan Nur atau Dulrozak, Pak Bas, Ibu Miraneni, Polisi, Solahudin, dan Hamdaru. Kehidupan yang berbeda derajat antara Astirin sing uripe sarwa kesrakat dan Buamin sing padha nggembol bandha. Hal inilah yang membuat Astirin menentang konsep perjodohan yang dilakukan orang tua angkatnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.