Novel Suparto Brata’s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra Dan Nilai Pendidikan) KrisnaS441008011

(1)

commit to user

NOVEL SUPARTO BRATA’S OMNIBUS KARYA SUPARTO BRATA

(PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan

Bahasa dan Sastra Jawa

Oleh:

Krisna Pebryawan

S441008011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v SARIPATHI

Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Tesis Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Panaliten punika kanthi irah-irahan “Novel Suparto Brata‟s Omnibus” reriptanipun Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” ancasipun kagem nggambaraken kaliyan ngandharaken struktur, aspek sosia l

budaya, lan nilai-nilai pendidikan ingkang nyakup nilai pendidikan agama,

karakter,lan sosial budaya wonten ing novel punika.

Wujudipun panaliten inggih punika panaliten deskriptif kualitatif. Sumber data panaliten punika kapilah dados kalih, inggih punika dokumen lan informan.

Dokumen inggih punika Suparto Brata‟s Omnibus. Dene informan inggih punika

pangripta Suparto Brata‟s Omnibus. Adhedhasar sumber data panaliten, pramila

data panalitenipun inggih punika teks Suparto Brata‟s Omnibus ingkang ngemu

tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, aspek sosial buda ya, lan

nilai-nilai pendidikan.

Pendekatan ingkang dipunginakaken inggih punika pendekatan struktural

lan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dipunginakaken amargi

novel mujudaken karya sastra ingkang salebetipun ngemu unsur-unsur

pambangun kados dene tema, alur, penokohan, setting, lan sudut pandang.

Pendekatan sosiologi sa stra dipunginakaken kagem mbikak wontenipun aspek

sosial budaya wonten ing novel Suparto Brata‟s Omnibus. Salajengipun analisis

nilai-nilai pendidikan wonten ing novel punika wau.

Teknik pengumpulan data ingkang dipunginakaken wonten ing panaliten

inggih punika (1) analisis dokumen utawi metode dokumentasi. (2) wa wanca ra, inggih punika wa wancara terbuka lan pangripta novel Suparto Brata‟s Omnibus.

Asiling panaliten inggih punika: (1) unsur-unsur struktural wonten ing karya sastra ingkang nyakup tema, alur, setting, penokohan, lan sudut pandang

mujudkaken struktur pembangun karya sastra ingkang wigati. Wonten sesambetan ingkang jangkep lan terkait ing lebetipun. (2) aspek sosial buda ya

wonten ing Suparto Brata‟s Omnibus ingkang nyakup adat istiadat, pendidikan, pagaweyan, basa, lan agami nggadahi sesambetan ageng kagem para paraganipun kaliyan mujudkaken potret gesang masyarakat wekdal semanten. (3) wonten

nilai-nilai pendidikan ing novel punika ingkang nyakup nilai pendidikan agama,

karakter, lan sosial budaya ingkang wigati sanget kagem generasi jaman sakniki.

Nilai-nilai pendidikan punika wau dipunmangertosi kanthi pacelathon paraganipun lan lingkungan sosial budayanipun.


(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Tesis Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya dalam novel tersebut.

Bentuk penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini dapat dipilah menjadi dua, yaitu dokumen dan informan. Dokumennya adalah Suparto Brata‟s Omnibus tahun 2007. Informannya adalah pengarang Suparto Brata‟s omnibus. Berdasarkan sumber data penelitian, maka data penelitiannya adalah teks di dalam Suparto Brata‟s omnibus yang mengandung tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai pendidikan.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural diambil karena novel merupakan bentuk karya sastra yang di dalamnya mengandung unsur-unsur pembangun seperti tema, alur, penokohan, setting, dan sudut pandang. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk mengungkap adanya aspek sosial budaya dalam novel Suparto Brata‟s omnibus. Untuk selanjutnya adalah analisis nilai-nilai pendidikan di dalam novel tersebut.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) analisis dokumen atau metode dokumentasi. (2) wawancara, yaitu wawancara terbuka dengan pengarang novel Suparto Brata‟s Omnibus.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) unsur-unsur struktural dalam karya sastra yang meliputi tema, alur, setting, penokohan, dan sudut pandang merupakan struktur pembangun karya sastra yang penting. Terdapat hubungan yang utuh dan terkait di dalamnya. (2) aspek sosial budaya dalam Suparto Brata‟s Omnibus yang meliputi adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, bahasa dan agama berperan terhadap kehidupan para tokohnya dan merupakan potret kehidupan masyarakat pada waktu itu. (3) terdapat nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya yang penting bagi generasi masa kini. Nilai-nilai pendidikan tersebut diketahui melalui percakapan para tokoh dan lingkungan sosial budaya yang membentuknya.


(7)

commit to user

vii ABSTRACT

Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus masterpiece of Suparto Brata (Literature review of Sociology and Educational Value).” Supervising Commission I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Supervising II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Education thesis Indonesian, Main Interest in Javanese Language and Literature Education, Post-Graduate, University of Surakarta March Eleven.

The study is titled “Novel Suparto Brata‟s Omnibus masterpiece of Suparto Brata (Literature review of Sociology and Educational Value)”. Which aims to describe the structure, know the socio-cultural aspect, and the values of education, which includes the value of religious education, character, cultural, and social education in the novel.

This research is a form of qualitative descriptive study. The source data of this study can be divided into two, namely documents and informants. Document is Suparto Brata's Omnibus in 2007. Informant is the author Suparto Brata's Omnibus. Based on research data sources, the research data is the text Suparto Brata's Omnibus that containing the theme, plot, characterization, setting, point of view, socio-cultural, and educational values in the novel.

The approach taken is a structural approach and the sociological approach to literature. Structural approach is taken because the novel is a literary form in which the building containing elements such as theme, plot, characterization, setting, and point a view. Sosiological approach to literature is used to reveal the exsistence of socio-cultural aspects of the novel Suparto Brata‟s omnibus. To further the analysis of educational values in the novel.

Data collection techniques are performed in this study were (1) analysis of the document or documentation method. (2) interviews with the author of the novel Suparto Brata‟s Omnibus.

Analysis of the results of this study can be concluded that (1) structural elements in a literary work that includes the theme, plot, setting, characterization, and the structure of the builders point a view of the literature that is important. There is a whole relationship and its associated. (2) socio-cultural aspects in Suparto Brata's Omnibus which include customs, education, employment, language and religion contribute to the lives of the characters and a portrait of community life at that time. (3) there is educational value in Suparto Brata's omnibus which includes the value of religious education, character, social and cultural significance for the present generation. Educational values are known through the conversations of the characters and cultures that shape the social environment.


(8)

commit to user

viii MOTTO

1. Karena Hikmat lebih berharga dari pada permata, apa pun yang diinginkan orang tidak dapat menyamainya (Amsal 8: 11).


(9)

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

1. Untuk Ayah dan Ibu yang selalu percaya bahwa talenta itu ada.

2. Untuk Bapak Suparto Brata dengan tulisannya yang menggoda; “orang


(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Novel Suparto Brata‟s

Omnibus Karya Suparto Brata (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)”

dengan lancar. Penyusunan tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat Magister di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang telah turut membantu, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana yang telah memberikan arahan dan persetujuan serta pengesahan penyusunan tesis ini.

3. Dr. Andayani, M. Pd., selaku sekretaris Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan persetujuan serta pengesahan penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

5. Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum., selaku Pembimbing II yang penuh kesabaran memberikan arahan dan semangat sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar.


(11)

commit to user

xi

6. Kedua orang tuaku atas motivasinya yang membakar diriku untuk mencintai ilmu pengetahuan dan mencapai cita-cita setinggi-tingginya.

7. Suparto Brata selaku pengarang SBO atas kesediaannya dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan tesis ini.

8. Saudaraku Djoko Sulaksono M.Pd untuk semua bantuannya baik moral maupun moril sehingga tesis ini dapat selesai.

9. Teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana angkatan 2010 yang saling membagi semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan tesis bersama-sama.

10.Kepada staf Perpustakaan Program Pascasarjana dan staf Perpustakaan Pusat atas semua keramahtamahannya dan penyediaan buku-buku referensi dalam menunjang terselesainya tesis ini.

11.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangatnya.

Peneliti menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, termasuk di dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu peneliti berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga penyusunan tesis ini dapat bermanfaat. Bermanfaat bagi dunia kesastraan dan pendidikan.

Surakarta, 23 Pebruari 2012

Penulis


(12)

commit to user

xii

DAFTAR ISI

JUDUL... i

PERSETUJUAN... ii

PENGESAHAN... ... iii

PERNYATAAN... iv

ABSTRAK... v

MOTTO... viii

PERSEMBAHAN... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR SINGKATAN... xv

DAFTAR BAGAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 5

BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR…... 8

A. Landasan Teori………....…... 8

1.Hakikat Karya Sastra... 8

2.Novel...…….….……….………... 9

3.Pendekatan Struktural... 11

a. Tema... ... 16

b. Plot / Alur... ... 18

c. Penokohan... 20

d. Latar / Setting... 22

e. Sudut Pandang... 24

4.Pendekatan Sosiologi Sastra …………...…... 26

5.Sosial Budaya dan Sastra..………..………... 31


(13)

commit to user

xiii

7.Hakikat Nilai Pendidikan... 35

a. Nilai Pendidikan Agama.………... 36

b. Nilai Pendidikan Karakter... 37

c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya... 40

B. Penelitian yang Relevan..………....…... 41

C. Kerangka Berpikir ………..…... 46

BAB III METODE PENELITIAN…………... ... 48

A. Bentuk dan Strategi Penelitian…... 48

B. Sumber Data………...……... 49

C. Teknik Pengumpulan Data……….…... 49

D. Validitas Data... 50

E. Teknik Analisis Data………..…... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 54

A. Hasil Penelitian... 54

1. Kajian Struktural... 54

a. Novel Astirin Mbalela... 54

1)Tema... 54

2)Alur... 55

3)Latar... 59

4)Tokoh... 74

5)Sudut Pandang... 88

a. Novel Clemang-clemong... 91

1)Tema... 91

2)Alur... 91

3)Latar... 94

4)Tokoh... 109

5)Sudut Pandang... 122

a. Novel Bekasi Remeng-remeng... 125

1)Tema... 125

2)Alur... 126

3)Latar... 129


(14)

commit to user

xiv

5)Sudut Pandang... 150

2.Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO... 153

a. Novel Astirin Mbalela... 153

b. Novel Clemang-clemong... 158

c. Novel Bekasi Remeng-remeng... 162

3.Nilai-nilai Pendidikan dalam SBO... 167

a. Nilai Pendidikan Agama... 167

b. Nilai Pendidikan Karakter... 169

c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya... 180

B. Pembahasan... 183

1.Kajian Struktural... 183

2.Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO... 185

3.Nilai-nilai Pendidikan dalam SBO... 186

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN... ... 190

DAFTAR PUSTAKA... 194


(15)

commit to user

xv

DAFTAR SINGKATAN

AM : Astirin Mbalela

BRR : Bekasi Remeng-remeng

CC : Clemang-clemong

H : Halaman

K : Kalimat

P : Paragraf

SBO : Suparto Brata‟s Omnibus TKW : Tenaga Kerja Wanita


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR BAGAN

Gambar 1 Kerangka Berpikir... 54

Gambar 2 Analisis Interaktif... 59

Gambar 3 Bagan Cerita Astirin Mbalela... 172

Gambar 4 Bagan Cerita Clemang-Clemong... 206


(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra terutama karya sastra Jawa merupakan bagian dari kesusastraan Nusantara. Pada perkembangannya karya sastra Jawa mengalami masa-masa pasang surut dalam dunia kesusastraan bersamaan dengan sastra Indonesia. Semakin banyaknya peminat sekarang ini menunjukkan bahwa sastra Jawa layak dan bahkan cukup berharga untuk diteliti.

Karya sastra Jawa, bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi pengarang saja, namun karya sastra Jawa juga merupakan refleksi kehidupan yaitu pantulan respon pengarang dalam menanggapi problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui kreatifitas penulisnya. Tujuannya adalah untuk menghibur dan mendidik dengan cara menyajikan keindahan dan memberi makna terhadap kehidupan bagi masyarakat luas dan tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa.

Karya sastra mempunyai tiga komponen yang saling berhubungan atau terkait, yaitu pengarang, pembaca atau masyarakat penikmatnya, dan karya sastra itu sendiri. Pengarang mengungkapkan ide-ide, permasalahan dan amanat atau pesan-pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca atau masyarakatnya melalui karya sastra tersebut. Permasalahan– permasalahan atau konflik yang ada dalam karya sastra sering mengangkat permasalahan-permasalahan sosial yang terdapat dalam realitas kehidupan


(18)

commit to user

masyarakat. Permasalahan tersebut disajikan melalui jalan cerita dan tokoh-tokohnya dengan daya kreativitas dan imajinasi pengarang, meskipun tokoh dalam suatu cerita merupakan rekaan, namun bukan semata-mata rekaan, melainkan lebih sebagai replika dari sebuah kehidupan yang nyata. Di dalam sebuah karya sastra akan dapat tercermin pula ajaran-ajaran moral melalui amanat, gagasan pengarang maupun latar belakang sosial yang mendasari penciptaan karya tersebut.

Penelitian ini memfokuskan pada tinjauan sosiologi sastra dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif.

Novel Suparto Brata‟s Omnibus selanjutnya akan disingkat menjadi SBO. Penelitian terhadap SBO mengkaji tentang aspek sosial budaya, kemudian juga tentang nilai-nilai pendidikan dengan tinjauan sosiologi sastra. Omnibus diartikan sebagai montor tumpakan sing nduweni dheretan kursi akeh kanggo ngemot penumpange. Omnibus uga ateges kumpulan karangan sing ditulis dening sa wenehe pengarang la n

ngrembug, prekara karangane kuwi (Suparto Brata, 2007: 8). Dari

pengertian di atas jelas bahwa omnibus berarti sebuah kumpulan karangan yang ditulis oleh seorang pengarang dan berisi esai singkat tentang karangan tersebut. SBO tersebut terdiri atas 3 novel karya Suparto Brata yang berjudul Astirin Mbalela, Clemang-clemong, Bekasi


(19)

Remeng-commit to user

remeng. Dalam ketiga novel tersebut pembaca dapat melihat gambaran

mengenai problem-problem kehidupan yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentang masalah kehidupan juga tentang perempuan Jawa, geliatnya, pemberontakannya baik terselubung maupun terang-terangan terhadap tradisi Jawa yang sampai saat ini masih ditemukan di dalam masyarakat Jawa. Terkandung pula nilai-nilai pendidikan seperti pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya yang sangat diperlukan bagi generasi masa kini. SBO pada awalnya adalah 3 novel yang terbit di tahun berbeda,

Astirin Mbalela terbit pada tahun 1992, kemudian Clemang-clemong pada

tahun 1995, dan Bekasi Remeng-remeng pada tahun 2000.

Alasan lain yang menjadi dasar dipilihnya SBO sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, Suparto Brata adalah seorang pengarang yang sangat produktif. Usianya sudah 79 tahun, namun beliau masih aktif menulis dan banyak menghasilkan karya-karya yang berupa cerita cekak, cerita rakyat, cerbung, novel sampai roman yang karya-karyanya sering muncul dalam majalah seperti Panjebar Semangat dan

Jaya Baya. Karya novelnya antara lain adalah Donyane Wong Culika,

Dom Sumurup ing Banyu, dan Lara Lapane Kaum Republik, serta antologi

cerkak berjudul Trem. Prestasi yang telah diperoleh pengarang antara lain, (a) Juara Harapan I Sayembara Kumpulan Naskah-naskah sandiwara P dan K Yogyakarta pada tahun 1958 “Cinta dan Penghargaannya”, Juara 1 sayembara cerbung tahun 1958 dengan judul Kaum Republik yang kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1966 dengan judul La ra Lapane


(20)

commit to user

tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2005. (c) Mendapat hadiah dari Gubernur Jawa Timur (Sularso) 1993 sebagai seniman pengarang tradisional. (d) Pada tahun 2007 mendapat hadiah dari Pusat Bahasa sebagai salah seorang dari tiga sastrawan Indonesia yang ditunjuk sebagai penerima The SEA Write Award di Bangkok.

Alasan yang kedua yaitu SBO sungguh sangat menarik. Di setiap novelnya memiliki kekhasan masing-masing. Seperti halnya dalam novel

clemang-clemong, terdapat beberapa kata yang bagi sebagian orang

dianggap tabu. Dalam novel Astirin Mbalela kita bisa melihat keberanian Astirin dalam menentang tradisi kawin paksa dan petualangannya saat pergi ke Surabaya. Selanjutnya Suparto Brata menyajikan adegan menegangkan dengan gaya khas detektif dalam novel Bekasi

Remeng-remeng. Semuanya dikemas dengan tangan dingin Suparto Brata. Pembaca

juga disuguhkan dengan alur cerita yang menawan. Tidak mudah ditebak! Pembaca akan terus dibuat penasaran dan bertanya-tanya tentang peristiwa selanjutnya. Istilah seperti suspense dan surprise juga dihadirkan dalam cerita Astirin Mbalela. Suspense yang membuat pembaca penasaran dan ingin terus membacanya, sedangkan surprise adalah hal yang memberi kejutan bagi pembaca dalam cerita tersebut.

Penelitian ini mengambil judul Novel Suparto Brata‟s Omnibus karya Suparto Brata (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai-nilai Pendidikan). Penelitian ini dimulai dengan sebuah kajian struktural yang menganalisis tentang tema, alur, penokohan, setting, dan sudut pandang


(21)

commit to user

dilanjutkan dengan kajian sosiologi sastra, dan nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter dan sosial budaya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah unsur-unsur struktural yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang yang terdapat dalam SBO?

2. Bagaimanakah aspek sosial dan budaya yang terdapat dalam SBO? 3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan dalam SBO?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur struktural yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang yang terdapat dalam SBO.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial dan budaya yang terdapat dalam SBO.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam SBO.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap SBO ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian terhadap SBO ini diharapkan secara teoretis dapat menambah wawasan mengenai isi, pengetahuan tentang sastra Jawa,


(22)

commit to user

terutama dalam struktur dan perspektif sosiologi sastra serta pengungkapan nilai-nilai pendidikan melalui SBO tersebut.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian terhadap SBO ini diharapkan secara praktis dapat: (1) Dimanfaatkan oleh para pendidik dalam pengajaran nilai-nilai pendidikan bagi peserta didik. (2) Memberi kemudahan para pendidik dan penikmat karya sastra dalam mengapresiasi SBO. (3) memberi kemudahan peserta didik dalam belajar karya sastra khususnya novel.


(23)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,

KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori 1. Hakikat Karya Sastra

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās

-yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Lionel Trilling (dalam Graham A., Chris W., dan Susan W., 1995: vi) mengartikan sastra sebagai berikut: “lirerature is the human activity that takes the fullest and most precise

account of variousness, possibility, complexity, and difficulty.” Yang artinya

sastra merupakan aktivitas total manusia dan sangat tepat yang memuat keragaman, kemungkinan, kompleksitas, dan kesukaran. Singkatnya Lionel Trilling mencoba menjelaskan bahwa sastra itu ruwet dan rumit.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Edgar V. Robert (2003: 1) yang mendefinisikan sastra: “We use the word literature, in a broad sense, to mean

composition that tell stories, dramatize situations, express emotions, and

analyze and advocate ideas”. Bahwa kata sastra mempunyai pengertian yang

luas untuk mengartikan komposisi yang menceritakan kisah, mendramatisir situasi, mengungkapkan ekspresi, dan menganalisis serta menyokong ide. Dibandingkan dengan Lionel Trilling, Edgar V. Robert mendefinisikan sastra


(24)

commit to user

sebagai suatu hasil pemikiran atau ide yang berbentuk cerita yang penuh ekspresi.

Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang panjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan.

Atar Semi (1989: 39) sastra adalah karya seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni lain, seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka jalan menuju kebenaran. Yang membedakannya dengan seni yang lain adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan hakikat karya sastra adalah seni yang dikemas dalam sentuhan imajinasi yang berisi tentang nilai-nilai kehidupan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Melalui karya sastra, seorang menyampaikan pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, mengapresiasi karya sastra berarti kita berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan dalam karya sastra tersebut.


(25)

commit to user

2. Novel

Novel berasal dari bahasa Itali novella (dalam bahasa Jerman novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian

diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟ (Abram dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 9). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia “novelet”, karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi (Burhan Nurgiantoro, 1995: 9).

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 9), mengungkapkan pandangnya terhadap novel yaitu lebih dititikberatkan pada unsur fisik sebuah novel, yaitu barang baru yang kecil, yang berisi karangan prosa yang panjangnya cukup, jadi tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Kemudian Burhan Nurgiyantoro (1995: 9) lebih setuju dengan mengganggap novel bersinonim dengan fiksi. Hal ini cukup beralasan bagaimana perkembangan cerita yang terjadi dalam suatu novel. Semua hal yang terjadi di dalam novel tidak sama persis dengan apa yang ada di dalam masyarakat. Akan tetapi pendapat Burhan Nurgiyantoro itu juga tidak sepenuhnya benar, karena bagaimanapun juga novel itu merupakan hasil karya pengarang yang notabene adalah anggota masyarakat dan hasil pemikirannya yang telah dituangkan ke dalam bentuk novel tersebut merupakan potret kehidupan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Jadi menurut penulis novel itu tidak sepenuhnya fiksi, semuanya tergantung kepada pengarang untuk menciptakan novel tersebut.


(26)

commit to user

Atar Semi (1993: 32) berpendapat bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas. Sementara itu Dhanu Priyo Prabowo (2007: 187) mendefinisikan novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang. Dalam suatu novel terkandung nilai kehidupan yang diolah dengan teknik narasi/kisahan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sekarang istilah roman sama dengan penyebutan istilah novel.

Menurut Riris K. Toha-Sarumpaet (2002:40) sebagai genre karya sastra, novel bukanlah “sekumpulan rumus” yang berharga bagi perkembangan intelektualitas. Akan tetapi, ia lebih merupakan karya kreatif yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, yang semuanya itu bisa saja mendorong kemampuan pikiran seseorang untuk berkontemplasi, merenung, berimajinasi, membawa pikiran ke segala macam situasi.

Riris K. Toha-Sarumpaet memaknai pengertian novel secara lebih luas, hingga menggunakan istilah “tidak hanya sekumpulan rumus”. Lebih jauh, mereka mengemukaan tentang karya kreatif yang memberikan dampak terhadap pemikiran, moral, sosial dan psikologis para pembacanya sehingga dapat melambungkan imajinasi pembaca.

Novel mempunyai struktur yang sama dengan cerita pendek ataupun roman, yaitu memiliki tema, amanat, penokohan, alur dan latar dalam cerita. Novel diciptakanpengarang berdasarkan pengalaman hidup atau fenomena


(27)

commit to user

yang terjadi dalam masyarakat yang disertai dengan sentuhan imajinasi pengarang dalam mengembangkan suatu cerita dan melalui karya sastra pengarang dapat melukiskan dengan jelas peristiwa yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu.

Pendapat lain dikemukakan oleh Taufik Abdulah (1983: 231) yang mendefinisikan novel sebagai berikut: novel, as work of art, is a wa y to

reflect a concern and to comunicate with the society.”. Novel sebagai suatu karya seni yang baik, merupakan jalan/cara untuk mencerminkan suatu perhatian dan berkomunikasi dengan berbagai masyarakat luas. Jika Riris K. Toha-Sarumpaet menggangap novel sebagai suatu karya kreatif, maka taufik Abdulah lebih suka menyebut novel sebagai hasil seni. Namun di sini penulis menyadari bahwa keduanya bermaksud menggambarkan pengertian novel sebagai hasil karya manusia yang kreatif dan memiliki nilai seni.

3. Pendekatan Struktural

Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat yang saling berjalin, dan usaha untuk memahami struktur sebagai suatu kesatuan yang utuh (tidak terpisah), seseorang harus mengetahui unsur-unsur pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain. (Rahmat Djoko Pradopo, 2005: 108).

Teori struktural juga diartikan sebagai suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara unsur yang satu dengan lainnya (Sangidu, 2004: 16).


(28)

commit to user

Dari kedua teori tersebut, dapat dilihat bahwa keduanya merumuskan pengertian struktur dengan pengertian yang hampir sama. Rahmat Djoko Pradopo berpendapat struktur adalah sebagai struktur otonom yang utuh dan usaha untuk memahami struktur sebagai sesuatu yang utuh tersebut, maka seseorang harus mengetahui unsur-unsur pembentuknya. Bandingkan dengan pengertian Sangidu. Secara praktis, dapat kita simpulkan bahwa kedua pendapat tersebut merumuskan pengertian struktural yang sama.

Analisis struktural merupakan tahap awal dalam suatu penelitian terhadap karya sastra. Tahap ini sulit dihindari, sebab analisis struktural merupakan pintu gerbang yang paling utama untuk mengetahui unsur-unsur yang membangunnya. Kita akan mengetahui kedalaman suatu karya sastra dengan cara kita menguak permukaannya lebih dahulu.

Teeuw (1984: 135) mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti dan sedetail serta sedalam mungkin keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Selanjutnya Teeuw (1984:135-136) mengatakan analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan makna atas terkaitan dan keterjalinannya antar unsur.

Dari pendapat Teeuw tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk dapat memahami dan mengerti sebuah karya sastra, kita harus melewati tahap analisis struktural terlebih dahulu. Dengan pemaknaan yang mendalam


(29)

commit to user

terhadap unsur strukutralnya, diharapkan kita dapat dengan mudah memahami seluruh isi dan maksud dari sebuah karya sastra.

Sementara itu Stanton dalam bukunya yang berjudul: Teori Fiksi

(2007), mengemukakan adanya tiga tataran yang harus dilihat dalam menganalisis struktur sebuah karya sastra (fiksi). Tiga tataran itu adalah; pertama, tataran fakta-fakta cerita. Yang dimaksud dengan fakta-fakta cerita yaitu meliputi unsur-unsur plot, penokohan dan latar. Unsur-unsur ini terjalin secara erat dan membentuk struktur faktual. Tataran kedua, yaitu tataran makna sentralatau yang lebih dikenal dengan istilah tema. Tampilnya makna sentral atau tema didukung oleh tataran yang pertama, yakni struktur faktual cerita yang di dalamnya terdapat plot, penokohan dan latar. Tataran ketiga, yaitu tataran sarana kesastraan. Yang dimaksud dengan sarana kesastraan adalah cara-cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyeleksi dan menyusun detil-detil sebuah cerita sehingga membentuk pola-pola yang bermakna. Adapun tujuannya agar memungkinkan bagi para pembaca untuk dapat melihat fakta-fakta (cerita) itu, dan untuk sarana melihat pengalaman yang diimajinasikan oleh pengarang itu (Stanton, 2007: 22).

Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Jika relevansi hal-hal tersebut dengan alur dapat dikenali, keseluruhan cerita akan terbentang gamblang.


(30)

commit to user

Menurut Stanton (2007: 44), selama menganalisis, kita hendaknya berpegang teguh pada apa yang telah diniatkan sejak awal (menemukan tema yang sesuai dengan cerita). Tema tersebut hendaknya memberi makna dan disugestikan pada dan oleh tiap bagian cerita secara simultan. Lebih mengerucut lagi, tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut. 1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai

detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang terpenting. Kesalahan terbesar suatu analisis adalah terpaku pada tema yang mengabaikan/ melupakan/ tidak merangkum beberapa kejadian yang tampak jelas.

2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detil cerita yang saling berkontradiksi. Pada intinya, pengarang ingin menyampaikan sesuatu. Adalah tidak mungkin bagi pengarang untuk melawan maksudnya sendiri. Seorang pembaca hendaknya bersikap layaknya seorang ilmuwan. Ia harus selalu siap menerima berbagai bukti yang saling berkontradiksi. Ia harus selalu siap untuk mengubah interpretasinya, kapanpun bila diperlukan.

3. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit). 4. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas

oleh cerita bersangkutan. Contohnya, bila kita yakin bahwa sebuah cerita bertema keberanian, kita juga harus dapat menemukan ungkapan eksplisit dalam cerita yang menyebut atau mengacu pada keberanian itu. Kita ibaratkan ada seorang pembaca yang baru saja membaca sebuah sajak


(31)

commit to user

menggambarkan perjalanan waktu dari sejak terbitnya matahari hingga tenggelamnya. Ia langsung mengira bahwa sajak itu menyimbolkan kehidupan seorang manusia dari lahir sampai mati. Jika benar hal tersebut yang dimaksudkan pengarang, mengapa ia sama sekali tidak mengaitkan terbit dan tenggelamnya matahari itu dengan kehidupan manusia, bahkan lewat sebuah metafora atau secarik judul yang relevan? Oleh karena itu perlu diingat, proses mencari tema sama saja dengan bertanya pada diri kita sendiri, “mengapa pengarang menulis cerita ini? Mengapa cerita tersebut dituliskan?” kemampuan menelisik tema ke dalam setiap detail cerita (bagaimana tema member fokus dan kedalaman makna hidup pada pengalaman yang diutarakan) adalah keuntungan yang akan kita dapat nantinya.

Awalnya buku „teori fiksi‟karya Stanton ini berjudul „An introduction

to fiction‟ yang diterbitkan pada tahun 1965, untuk kemudian diterjemahkan oleh Sugihastuti ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan untuk memudahkan peneliti sastra di Indonesia dalam melakukan analisis sebuah karya sastra. Stanton secara lebih mendalam berani mengelompokkan struktural menjadi tiga tataran utama sebagai unsur pembentuk struktur karya sastra. selanjutnya pendapat ini berkembang dan meluas dan banyak digunakan sebagai acuan bagi para peneliti sastra termasuk juga di Indonesia.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan struktural merupakan langkah awal untuk mendapatkan makna karya sastra secara otonom sebagai satu kesatuan yang utuh (tak terpisahkan).


(32)

commit to user

Dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pengelompokan unsur-unsur berdasarkan teori dari Stanton yang mengelompokkan unsur struktural menjadi 3 tataran. Sedangkan untuk teori dari Rahmat Djoko Pradopo dan Sangidu merupakan teori penunjang dan pendukung dalam usaha memahami pengertian dan batasan-batasan dalam struktural. Untuk kemudian akan dijelaskan tentang pengertian tiga tataran tersebut yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan sudut pandang yang perlu dianalisis untuk menelaah struktur sebuah karya sastra. Unsur-unsur struktural dalam karya sastra yaitu:

a. Tema

Tema adalah merupakan unsur pembangun karya sastra yang pertama, setelah membaca sebuah karya sastra, seseorang biasanya tidak hanya bertujuan untuk mencari dan menikmati kehebatan sebuah cerita, tetapi biasanya akan mencari apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh pengarang lewat karyanya itu. Makna apa yang terkandung dalam karya tersebut. Penggalian tema menurut Atar Semi (1993: 68), harus dikaitkan dengan dasar pemikiran, falsafah yang terkandung di dalamnya, tentang nilai luhur. Seringkali tema tersembunyi dibalik bungkusan bentuk, menyebabkan peneliti mesti membacanya secara kritis dan berulang-ulang. Dengan pengertian tersebut, tema dapat diartikan pula sebagai ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.

Tema menjadi dasar pengembangan cerita dan bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Setiap karya sastra tentunya mempunyai tema yang


(33)

commit to user

mendasari cerita tersebut. Namun keberadaan isi tema sebuah karya sastra tidak mudah ditunjukkan. Karya sastra tersebut harus dibaca berulang kali untuk dapat dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data pendukung lainnya. Usaha untuk mendefinisikan tema tidaklah mudah, khususnya definisi yang mewakili bagian dari sesuatu yang didefinisikan itu. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan sebuah karya fiksi (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan di dalam penelitian ini bahwa tema adalah inti pokok dari suatu cerita di dalam suatu karya sastra, dalam hal ini adalah karya sastra Jawa. Atar Semi berpendapat bahwa tema adalah merupakan langkah awal dalam struktural yang harus dipahami betul sebelum menganalisis karya sastra lebih mendalam.

Atar Semi berpendapat tema berperan vital karena mengandung falsafah, ide dan pemikiran pengarangnya yang hendak disampaikan kepada pembaca. Untuk itu diperlukan membaca berulang-ulang untuk memahami tema dalam sebuah karya sastra. selanjutnya Burhan

Nurgiantoro dalam bukunya “teori pengkajian fiksi‟ menambahkan

tentang peran penting sebuah tema dalam analisis struktur karya sastra, bahwa tema yang jelas akan sangat membantu dalam usaha penafsiran dan pendeskripsian sebuah karya sastra. jika dibandingkan tentu saja, pendapat Burhan Nurgiantoro ini lebih ramping dan singkat akan tetapi


(34)

commit to user

dari segi kejelasan teori Atar Semi lebih mampu mendefinisikan secara gamblang tentang pengertian tema dan kegunaannya.

b. Plot / Alur

Plot merupakan bagian yang penting dari cerita fiksi. Tinjauan

struktural terhadap karya sastra pun sering menekankan pada alur/plot.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 8) plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan. Hal tersebut cukup beralasan sebab kejelasan alur/plot akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang ditampilkan. Dari pengertian tersebut, Herman J Waluyo berusaha memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian alur yaitu jalinan cerita dari awal sampai akhir. Tentu saja jalinan cerita yang dimaksud memuat semua peristiwa dari awal cerita, berkembangnya, sampai dengan akhir cerita. Kemudian dalam jalinan cerita tersebut berisi jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan. Biasanya dibedakan antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis.

Pengertian plot menurut Jan van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westseijn (1986: 149, diterjemahkan oleh Dick Hartoko) ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pembaca mengambil peran penting dalam penjelasan suatu alur. Dapat dipahami bagaimana penilaian dan sudut pandang orang yang


(35)

commit to user

berbeda-beda terhadap detil suatu alur, meski secara keseluruhan tetap sama. Hal ini tentu saja berhubungan dengan persepsi pembaca.

Senada dengan Herman J Waluyo, Plot/alur menurut Stanton (2007: 26) merupakan suatu rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya suatu peristiwa yang lain.

Dalam pengertian yang luas, pendapat Stanton ini melengkapi pendapat Herman J Waluyo, bahwa alur selain terdiri dari jalinan peristiwa dari awal sampai akhir dan jalinan konflik antar dua tokoh yang berbeda, namun juga di dalamnya terdapat suatu hubungan sebab-akibat atau kausalitas. Yaitu peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkab peristiwa yang lain.

Plot/alur menurut Panuti Sudjiman (1984) yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Dalam pengertian ini, alur merupakan rentetan peristiwa yang memperlihatkan gerakan peristiwa dari yang satu ke yang lain. Panuti Sudjiman memberikan detil lagi mengenai pengertian Alur yaitu dengan menyertakan istilah klimaks dan penyelesaian. Keduanya merupakan unsur dalam alur yang memberikan roh sehingga suatu cerita itu pantas untuk dibaca.

Dalam perbincangan alur harus diwaspadai kemungkinan adanya karya sastra yang tidak mengindahkan masalah kronologis, atau rentetan


(36)

commit to user

peristiwa yang terputus-putus yang sukar dijajaki. Tetapi hal itu tidak berarti alurnya tidak ada (Atar Semi, 1993: 68). Menurut Atar Semi ada beberapa karya sastra yang memang menampilkan keistimewaan seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra dan keistimewaan itu diperlihatkan dalam pengolahan alur yang mendetail dan rumit. Seperti contohnya adalah alur campuran. Terjadi peristiwa yang maju-mundur maju-mundur setiap kali dalam suatu adegan atau peristiwa hingga cerita itu usai. Hal ini merupakan jebakan bagi pembaca, apabila kurang cermat maka akan kesulitan dalam memahami alurnya.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita, saling berkaitan dan dialami oleh pelaku atau tokoh. Struktur alur terdiri dari (1) Situation

(pengarang mulai melukiskan suatu keadaan); (2) Generating Circumtance

(peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak); (3) Rising Action (keadaan mulai memuncak); (4) Climax (peristiwa-periwtiwa mencapai puncaknya);

(5) Denounement (pemecahan persoalan-persoalan dari semua peristiwa,

dalam Sugihastuti, 2002: 37). Sugihastuti mengklasifikasikan alur menjadi lima tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Dimulai dari awal cerita tau pelukisan keadaan awal berlanjut hingga mencapai klimaks dan kemudian denoument atau pemecahan persoalan dari semua peristiwa. c. Penokohan

Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165) menyatakan, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Orang-orang yang ditampilkan dalam


(37)

commit to user

cerita disebut tokoh cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Dalam karya prosa, pelukisan pelaku dengan cara sebagai berikut:

1) Phisical description; pengarang menggambarkan watak pelaku cerita

melalui pemerian (deskripsi) bentuk lahir atau temperamen pelaku.

2) Portra yal of thought Stream or of Conscious Thought; pengarang

melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas di dalam pikiran pelaku.

3) Reaction to Event; pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku

terhadap peristiwa tertentu.

4) Direct Author Analysis; pengarang secara langsung menganalisis atau

melukiskan watak pelaku.

5) Discussion of environment; pengarang melukiskan keadaan sekitar

pelaku, sehingga pembaca dapat menyimpulkan watak pelaku tersebut.

6) Reaction of Other to Character; pengarang melukiskan

pandangan-pandangan tokoh atau pelaku lain (tokoh bawahan) dalam suatu cerita tentang pelaku utama.


(38)

commit to user

7) Conversation of Other to character; pengarang melukiskan watak

pelaku utama melalui perbincangan atau dialog dengan para pelaku lainnya (Herman J. Waluyo, 2002: 19-20).

Pelukisan watak pelaku menurut Herman J Waluyo yang terdiri dari tujuh tersebut di atas selain melalui pemerian watak pelaku secara langsung, juga melalui percakapan, cara pelaku menanggapi suatu peristiwa dan beberapa teknik lain sesuai dengan yang disebutkan di atas. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah gambaran tentang sifat atau perwatakan tokoh-tokoh atau para pelaku dalam sebuah karya sastra.

d. Latar atau Setting

Panuti Sudjiman (1984: 46) mengemukakan latar atau setting

adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Termasuk dalam unsur latar ini adalah hari, tahun, musim atau periode sejarah. Senada dengan pendapat tersebut, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 216) menyatakan bahwa latar/setting yang disebut landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Dari kedua pendapat tersebut, dapat diidentifikasi bahwa latar berhubungan dengan waktu, tempat dan keadaan sosial dalam suatu periode dalam cerita tersebut. Panuti Sudjiman menyatakan latar sebagai periode sejarah yang berhubungan dengan hari, tahun dan musim yang berhubungan dengan waktu, ruang dan suasana. Kemudian oleh Abrams,


(39)

commit to user

latar diidentifikasikan sebagai landas tumpu yang mengacu pada pengertian tempat, waktu dan keadaan sosial masyarakat. Jadi kesimpulannya kedua teori tersebut hampir sama dan hanya berbeda pada penggunaan kata-katanya.

Hal yang sama juga dilkemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (1995: 227) menyatakan, unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain.

(1). Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan tempat lain. (2). Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tidak dapat digantikan dengan waktu lain. Latar waktu sangat koheren dengan unsur cerita lain.


(40)

commit to user

(3). Latar sosial

Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial-masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau

setting adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana di

dalam sebuah karya sastra. e. Sudut Pandang (Point of View)

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 248) sudut pandang/point of view merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Berbeda dari pendapat Abrams, Janet Burroway (2003: 49) merumuskan pengertian Sudut pandang sebagai berikut. “Point of View a s a literary technique is a complex and specific concept, dealing with

vantage point and addressing the question..” yang artinya adalah “Sudut pandang sebagai sebuah teknik penulisan sastra adalah satu konsep yg kompleks dan spesifik, searah dengan tempat yang menguntungkan dan merujuk pada pertanyaan..”


(41)

commit to user

Dari kedua pendapat tersebut mengenai pengertian sudut pandang, penulis menyimpulkan bahwa pendapat keduanya adalah saling melengkapi. Konsep yang dikemukakan oleh Janet Burroway melengkapi toeri Abrams mengenai pengertian sudut pandang.

Tzvetan Todorov (1985: 31), mengemukakan bahwa hal yang dapat menjadi ciri penghubung antara wacana dan fiksi adalah sudut pandang: peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif tidak dikemukakan kepada kita sebagaimana aslinya, tetapi menurut sudut pandang tertentu. Tzvetan Todorov menegaskan bahwa sudut pandang dalam sastra tidak ada hubungannya dengan pandangan riil si pembaca, yang tetap bisa berlain-lainan dan tergantung dari faktor-faktor di luar karya, melainkan suatu pandangan yang dikemukakan di dalam karya, yaitu cara yang khas dalam memandang peristiwa.

Teori yang lebih sederhana dan mudah dipahami yaitu pengertian sudut pandang menurut Sangidu. Teorinya mengatakan bahwa sudut pandang (titik pandang, pusat pengisahan) merupakan posisi pencerita (narator) dalam sebuah cerita. Ada kalanya pencerita bertindak sebagai orang pertama atau sebagai orang ketiga (Sangidu, 2004: 142). Dari penjelasan keempat ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa sudut pandang adalah posisi pencerita dalam sebuah cerita.


(42)

commit to user

4. Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah suatu telaah obyektif dan ilmu tentang manusia dalam masyarakat dan proses sosialnya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 17). Sosiologi sastra membahas tentang fenomena (gejala-gejala) dalam masyarakat dan sastra merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Sastra begitu dekat hubungannya dengan masyarakat, hal ini disebabkan karena: (1). karya sastra dihasilkan oleh pengarang. (2). pengarang itu sendiri anggota masyarakat. (3). pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (4). karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Nyoman Kutha Ratna, 2004: 60).

Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa sosiologi sastra merupakan suatu telaah yang obyektif dan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia dalam bermasyarakat serta psoses sosial manusia dalam berinteraksi dengan sesama. Selanjutnya Nyoman Kutha Ratna menambahkan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Hal itu dikarenakan sastra itu adalah hasil karya pengarang, pengarang sendiri adalah anggota masyarakat. Dalam proses kreatifnya pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat sehingga terciptalah karya sastra tersebut. Selanjutnya sastra itu kembali dimanfaatkan oleh pembaca yang termasuk anggota masyarakat.

Menurut Yudiono KS (2003: 3) sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan yang memperhitungkan nilai penting hubungan antara sastra dan masyarakat. Dari pendapat Yudiyono tersebut sosiologi sastra ditekankan tentang nilai penting antara sastra dan masyarakat. Hubungan yang terjalin


(43)

commit to user

diantara keduanya. Yudiono menganggap sastra adalah bagian yang tak terpisahkan. Hal ini memang benar karena bagaimanapun juga sastra itu berasal dari masyarakat dan digunakan kembali oleh masyarakat.

Senada dengan hal itu, Atar Semi (1993: 73) berpendapat pendekatan sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai suatu karya sastra yang hidup disuatu jaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota dari masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang telah dan sudah diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.

Penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra memperlihatkan kekuatan yakni: sastra dipandang sebagai sesuatu hasil budaya yang amat diperlukan masyarakat. Karya sastra dibuat untuk mendidik masyarakat. Sastra merupakan media komunikasi yang mampu merekam gejolak hidup masyarakat dan sastra mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat (Atar Semi, 1993: 76).

Menurut Suwardi Endraswara (2006: 77) sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya


(44)

commit to user

karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.

Suatu pendekatan sosiologi sastra mencakup tiga komponen pokok menurut pendapat Warren dan Wellek dalam Djoko Damono (1979: 3) ketiganya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.

b) Sosiologi karya sastra, yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan yang menjadi pokok masalah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

c) Sosiologi sastra, yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Hubungan antara ketiga komponen di atas sangat erat karena pengarang merupakan bagian dari masyarakat. Pengarang dengan masyarakat selalu berhubungan, karena pengarang juga merupakan anggota masyarakat. Sehingga wajar saja bila pengarang sebagai pencipta karya sastra menampilkan bentuk budaya pada jamannya, bahkan ide juga merekam gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Bagan tersebut hampir sama dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dalam Atar Semi (1989: 54) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat. Oleh karena itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan mencakup tiga hal:

1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di


(45)

commit to user

dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. 2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh

mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial, seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

Dari skema atau klasifikasi di atas diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra, yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan mempunyai cakupan yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta pembacanya.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 283-284), masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam sebagai berikut:

a. masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya sastra. b. masyarakat yang terkandung dalam karya sastra.

c. masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.

Penelitian demikian mendasarkan asumsi bahwa pengarang merupakan

a silent being, mahkluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan

empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada pada jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki


(46)

commit to user

keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi berusaha mencari pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensi.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra tidak hanya diartikan sebagai copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyatan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Itulah sebabnya cukup beralasan jika Hall (1979: 32) menyatakan bahwa “the concept of literature a social referent is, however, perfectly viable since it takes into account the

writer‟s active concern to understand hid society.” (dalam Suwardi Endraswara, 2006: 78). Terjemahan dalam bahasa Indonesia berarti “dalam konsep kesusastraan, pendekatan sosiologi sastra adalah bagaimana seorang pengarang mampu dengan sempurna memahami gejala yang tersembunyi dalam masyarakat untuk dituangkan dalam sebuah tulisan.”

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap karya sastra dengan pertimbangan pengarang sebagai pencipta karya sastra dan faktor-faktor lain di luar karya sastra yang menyebabkan terciptanya karya tersebut.


(47)

commit to user

5. Sosial Budaya dan Sastra

Berbicara mengenai sosial budaya, maka tidak terlepas dari pengertian kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (menurut P.J. Zoetmulder dalam Koentjaraningrat, 1974: 19), sedangkan menurut Koentjaraningrat, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

Dari penjelasan para ahli di atas, dapat kita lihat bahwa kesemuanya mempunyai definisi dan pengertian masing-masing sesuai dengan apa yang para ahli pahami. Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kebudayan terdapat unsur manusia beserta cipta, rasa dan karsanya. Seperti halnya P.J Zoetmulder dan Koentjaraningrat dengan definisi khas mereka mengenai pengertian kebudayaan.

Selanjutnya dari berbagai pendapat tersebut dapat dirumuskan pengertian sosial budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan manusia yang meliputi cipta, rasa dan karsa yang berhubungan erat


(48)

commit to user

dengan manusia lainnya dalam suatu hubungan sosial yaitu lingkungan yang membentuknya. Jadi sosial budaya berkaitan sekali dengan eksistensinya sebagai manusia dalam bermasyarakat dan berbudaya, segala aspek-aspek kehidupan sosial dan bahkan juga gejala-gejala yang timbul dalam suatu lingkungan masyarakat.

Sastra merupakan bagian daripada kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri menurut antropolog, adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan, di mana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian dari kebudayaan (Atar Semi, 1989: 54-55). Selanjutnya Atar semi mengklasifikasikan kebudayaan menjadi tiga unsur, yaitu:

a. Unsur Sistem Sosial

Sistem sosial ini terdiri daripada: sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, dan sistem undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap sistem ini yang dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat.


(49)

commit to user

Sistem nilai dan ide merupakan sistem yang memberi makna kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari yang lain; sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat dalam sebuah masyarakat.

c. Peralatan Budaya

Peralatan budaya yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.

Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan pula ketiga unsur kebudayaan seperti yang dikemukakan di atas.

1. Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. 2. Kesusastraan mencerminkan sistem ide dan sistem nilai, menggambarkan

tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak; bahkan karya sastra itu sendiri menjadi objek penilaian yang dilakukan anggota masyarakat. Orang dapat mengatakan novel ini lebih baik dari novel itu dan seterusnya.

3. Bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang digunakan dalam mengembangkan sastra.

Pada hakikatnya fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, etik, kepercayaan dan lain-lain. Sastra


(50)

commit to user

sebagai eskpresi kebudayaan akan mencerminkan pula adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat, akan mengenal adanya kesinambungan antara yang satu dengan yang lain, akan mengenal adanya pewarisan antara yang lama kepada yang baru, baik disadari maupun tidak.

Dari beberapa pendapat dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosial masyarakat, budaya dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat antara satu dengan yang lainnya yang saling memberi pengaruh, saling membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

6. Hakikat Nilai

Atar Semi (1984: 54) Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain Lebih lanjut atar semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk menetukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki dan apa yang di tolak.

Nilai menurut Papper dan Perry (dalam Munandar Soelaeman, 1987: 19) adalah segala sesuatu tentang baik atau buruk. Nilai merupakan segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku.

Atar Semi lebih cenderung memandang nilai sebagai sesuatu yang berharga dan berguna, sedangkan Papper dan Perry memandang nilai sebagai segala sesuatu yang menarik bagi manusia baik maupun buruk. Berdasarkan


(51)

commit to user

pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang diinginkan manusia karena berharga, penting, dan berguna bagi kemanusiaan. 7. Hakikat Nilai Pendidikan

Nilai mampu memengaruhi cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik. Hal ini ditegaskan oleh Bloom (dalam Munandar Soelaeman, 1987: 44) bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotor dan kognitif, tetapi juga untuk perealisasinya dengan penuh kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang afektif. Makna nilai yang diacu dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam karya sastra yang bermakna bagi kehidupan seseorang.

Novel selain indah dan bernilai sastra tinggi, di sisi lain juga mengandung nilai-nilai pendidikan yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut bisa ditampilkan secara tersurat maupun tersirat. Hal ini tergantung gaya pengarang dalam membuat novelnya. Apabila disebutkan secara tersirat adalah menjadi tugas bagi pembaca untuk menafsirkan sendiri tentang nilai-nilai pendidikan tersebut.

Suyitno (1986: 3) menyatakan bahwa mengenai nilai pendidikan atau nilai didik dalam karya sastra, maka tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri, karya sastra sebgai hasil olahan sastrawan, yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pengetahuan yang lain.


(52)

commit to user

Herman J. Waluyo (2009:27) menyatakan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana). Nilai final (yang dikejar seseorang), nilai cultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Dari pendapat tersebut, peneliti menyimpulkan ada tiga macam nilai yang terdapat dalam Suparto Brata‟s Omnibus. Nilai-nilai pendidikan yang dimaksud yaitu nilai pendidikan agama, pendidikan karakter, dan pendidikan sosial budaya.

a. Nilai Pendidikan Agama

Nilai pendidikan agama adalah merupakan salah satu aspek yang sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Sikap. Perkatan dan perbuatan. Agama menurut Jappy Pellokila (2011) dalam artikelnya yang berjudul

Pengertian Agama, agama diartikan sebagai upaya manusia untuk mengenal

dan menyembah Ilahi (yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia); upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus (secara pribadi dan bersama) yang ditujukan kepada Ilahi. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa manusia merasakan adanya kekuasaan tertinggi. Adanya kekuatan di luar kemampuan mereka. Sesuatu yang memberikan ketenangan apabila mereka bisa mendekat pada-Nya. Di dalam pengertiannya agama juga merupakan pedoman hidup yang kekal. Sehingga manusia yang bisa berpegang pada agama, sudah pasti hidupnya akan damai dan bahagia.

Dewasa ini nilai pendidikan agama mulai luntur mengingat banyaknya kasus penurunan sifat kebaikan manusia. Terjadinya tindak asusila, kejahatan, pelecehan dan perkosaan merupakan salah satu contoh tentang kurangnya


(53)

commit to user

pengertian terhadap agama. Padahal agama merupakan salah satu elemen penting dalam mengatur tingkah laku manusia. Mengingat betapa pentingnya nilai pendidikan agama, maka peneliti menyertakan nilai-nilai pendidikan agama sebagai salah satu analisis dalam sebuah karya sastra. Mengingat di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan agama yang bisa dijadikan pedoman dan pembelajaran bagi manusia pada umumnya.

b. Pendidikan Karakter

Menurut K. Bertens (dalam Amril Mansur dengan jurnalnya yang berjudul “Menumbuh kembangkan Nilai-nilai Moral” dalam Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006. Mengungkapkan bahwa moral (karakter) itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Makna yang hampir sama untuk kata moral juga ditampilkan oleh Lorens Bagus juga (dalam Amril Mansur), mengungkapkan antara lain, menyangkut kegiatan- kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.

Dari definisi di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku tersebut. Adanya norma-norma atau nilai-nilai di dalam makna moral seperti diungkap di atas merupakan sesuatu yang mutlak. Hal ini dikarenakan norma-norma atau nilai-nilai ini di dalam moral selain sebagai standar ukur norma-normatif


(54)

commit to user

bagi perilaku, sekaligus sebagai perintah bagi seseorang atau kelompok untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tersebut.

Pendidikan menurut Kamus Besa r Bahasa Indonesia (2007: 263) diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan moral diartikan sebagai ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya seperti ahklak; budi pekerti; susila (2007:754). Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral adalah suatu proses pengubahan sikap dari yang buruk ke yang baik atau suatu pengajaran tentang bersikap yang baik dan benar (ahklak, budi pekerti, susila) sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di dalam masyarakat.

Menurut Sylvie (2006) dalam artikelnya yang berjudul “Pendidika n

Moral Manusia” mengatakan pendidikan moral sangatlah perlu bagi manusia, karena melalui pendidikan, perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik, serasi dan sesuai dengan norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri.

Di Indonesia pendidikan moral telah ada dalam setiap jenjang pendidikan. Di Sekolah Dasar perkembangan pendidikan moral tak pernah beranjak dari nilai-nilai luhur yang ada dalam tatanan moral bangsa Indonesia yang termaktub jelas dalam Pancasila sebagai dasar Negara. Pendidikan Moral Pancasila, yang sejak dari pendidikan dasar telah diajarkan tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, tiada lain untuk membentuk anak negeri


(55)

commit to user

sebagai individu yang beragama, memiliki rasa kemanusiaan, tenggang rasa demi persatuan, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah untuk kerakyatan serta berkeadilan hakiki.

Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan yaitu :

1) Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.

2) Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral manusia maka perlu di ketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam penididkan moral tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik

3) Guru Sebagai fasilitator, maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu.

Dengan memperhatikan tiga hal di atas maka proses perkembangan moral manusia yang berjalan dalam jalur pendidikan tentu akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan moral pada tiap diri manusia.


(56)

commit to user

c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya

Nilai pendidikan sosial budaya lebih cenderung kepada nilai-nilai yang terkandung dalam adat budaya suatu masyarakat. Kebiasaan yang berlaku di dalamnya. Peraturan-peraturan yang sering kita kenal dengan norma. Tentang cara bertingkah laku. Berbicara dan bersikap kepada orang yang lebih tua atau cara menghormati orang lain. Atau lebih tepatnya adalah cara menjalani kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk ini.

Nilai-nilai pendidikan sosial budaya tersebut diharapkan mampu menjadi penuntun atau pedoman hidup manusia di dalam lingkungan masyarakat sehingga bisa tercapai adanya kedamaian dan kerukunan hidup diantara anggota masyarakatnya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, sosial diartikan sebagai sebuah hubungan/ interaksi dengan sesama anggota masyarakat, sedangkan mengenai asal dari kata “kebudayaan” bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (menurut P.J. Zoetmulder dalam Koentjaraningrat, 1974: 19), menurut Koentjaraningrat sendiri, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Jadi nilai pendidikan sosial budaya dapat diartikan sebagai suatu pedoman atau aturan-aturan menjalani kehidupan di tengah masyarkat agar tercipta ketenangan, ketentraman dan kedamaian yang tidak hanya mencakup diri sendiri namun juga orang lain.


(1)

commit to user DAFTAR PERTANYAAN 1. Kapan novel SBO ini dibuat?

Merupakan kumpulan dari tiga novel dan ketiganya sudah pernah diterbitkan semuanya. Yang pertama Astirin Mbalela pernah dimuat dalam majalah Djoko

Lodang, kemudian Clemang-clemong dimuat dalam majalah Jaya Baya dan

Bekasi Remeng-remeng dalam majalah Panjeba r Semangat. Mulai dijadikan

satu buku pada tahun 2006. Mengapa saya jadikan buku? Karena jika saya jadikan buku itu sama halnya dengan fosil. Meski kejadiannya sudah lama bahkan ratusan tahun yang lalu tapi masih dapat dicari dan dipelajari. Kemudian buku ini diterbitkan melalui Narasi Yogyakarta.

2. Latar belakang SBO itu apa? Kenapa dari banyaknya hasil karya anda, anda memilih tiga novel tersebut untuk dijadikan satu buku?

Karena tiga novel itu berurutan. Karenanya saya ingin menjadikannya buku agar terdokumentasi. Kenapa saya namakan Omnibus, karena dalam dunia karya sastra satu pengarang mengumpulkan banyak karangannya kemudian di dalamnya ada kritikusnya. Nah, hal seperti itu di eropa dan amerika sudah banyak tulisannya. Nah itu yang saya tiru, kenapa saya menirunya? Karena pada waktu saya membaca karya sastra eropa banyak yang seperti itu. Dan menurut saya itu bagus. Menurut saya mas, karya sastra tanpa kritik itu mati. Jadi jika memakai kritik, itu tandanya dibaca orang. Jadi karya sastra tidak akan mati.

3. Apakah tema dari ketiga novel tersebut?

Begini ya mas, novel seperti Astirin Mbalela itu sebenarnya kan menceritakan tentang adanya TKI, tetapi jaman dahulu belum disebut TKI. Tenaga kerja


(2)

commit to user

semacam itu sudah ada dan dikirm ke luar negeri bekerja sebagai pelayan bar dan sebagainya, itu sebenarnya sudah ada, tetapi aku mau mengantisipasi bagaimana? Lalu saya memilih menyalurkan pikiran saya lewat tulisan ini. Selain itu terus terang saja, karena pada waktu itu saya selalu ikut Ibu, kemudian aku menikah dengan seorang perempuan yaitu Ariyanti. Dia menjadi sosok seorang istri yang bisa mendampingiku dan menuntun anak-anakku menjadi seperti sekarang ini. Yang ketiga, mertuaku itu juga sebenarnya seorang enterprenuer. Dahulu kan pernah menjadi istri kompeni, tetapi tidak hanya menjadi seorang istri saja, akan tetapi berdagang apa saja. Waktu pulang ke desa, dia juga mengolah sawah. Pada intinya dia adalah seorang perempuan pekerja keras. Jadi seperti halnya ibuku, dengan kehidupan yang pas-pasan bisa memberi aku makan itu adalah sesuatu yang hebat sekali dan saya mengaguminya. Jadi aku itu ketularan oleh tiga perempuan ini mas. Jadi ibuku, istriku dan mertuaku. Sampai-sampai ada seorang wanita yang bernama Widhati yang mengatakan bahwa saya ini adalah seorang pengagum perempuan. Memang apabila dilihat dari karya-karya saya kebanyakan memang bercerita tentang kehebatan perempuan, seperti dalam Astirin Mbalela dan Bekasi Remeng-remeng. Untuk

Clemang-clemong juga sama yaitu berbicara mengenai perempuan melalui tokoh

seorang anak kecil.

4. Amanat yang ingin bapak sampaikan dari ketiga novel tersebut?

Salah satunya perempuan itu tidak bisa dipaksakan harus seperti lelaki. Misalnya sebagai seorang kepala rumah tangga suaminya menarik becak,


(3)

commit to user

maka istrinya juga tidak harus menarik becak. Ada bagian-bagiannya sendiri. Peran yang saling melengkapi.

5. Dalam penulisan beberapa novel karya bapak menggunakan banyak bahasa asing. Seperti dalam Astirin Mbalela, apakah bapak mempelajari bahasa itu atau bagaimana?

Itu sebenarnya saya kurang begitu fasih mas, akan tetapi saya menggunakan bahasa asing tersebut karena bercita-cita agar kurikulum pendidikan di Indonesia itu diperbaharui yaitu mengajarkan banyak bahasa mulai dari tingkat pendidikan yang paling bawah. Saya prihatin karena mulai tahun 1975 kurikulum pendidikan Indonesia itu hanya mengajarkan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Ini yang membuat bangsa kita bodoh. Hanya menguasai satu bahasa saja. Bahasa Jawa tidak bisa, inggris apa lagi. Keinginan saya itu kembali lagi seperti jaman Belanda, dimana para murid diajari membaca buku dan menulis buku dengan banyak bahasa. Karena menurut saya itu gunanya sekolah.

6. Berkaitan dengan judul novel anda, kenapa anda mengambil judul Astirin

Mbalela, lalu Clemang-clemong dan Bekasi Remeng-remeng?

Memang saya mencari mudahnya mas. Karena memberi judul itu tidak mudah lho mas. Karena saya banyak membaca, maka saya juga punya taktik untuk menarik pembaca. Dengan cerita yang biasa tetapi bercerita dengan tidak biasa atau membuat cerita yang biasa tetapi dengan cara-cara yang tidak biasa. 7. Kemudian tentang latar belakang kehidupan sosial novel Astirin Mbalela itu


(4)

commit to user

Ya Astirin Mbalela itu bercerita pada masa orde baru mas. Nah pada masa

orde baru itu seperti kasus TKW itu sudah ada sebenarnya, namun belum bernama TKW mas. Pada waktu itu perempuan banyak diculik untuk dipekerjakan diluar negeri. Saya melihat kenapa seolah tidak ada yang mengkhawatirkan tentang hal itu, tidak ada yang menulis. Saya mengkhawatirkan. Makanya saya menulisnya menjadi sebuah buku.

8. Dalam novel Clemang-clemong ada suatu peristiwa yakni Sunar dan Jujur yang berhubungan badan meskipun keduanya bukan suami istri, dan anehnya hubungan itu diketahui serta atas seijin istrinya Worontinah. Nah, apabila dilihat dari sudut pandang moral, menurut anda apakah hal itu benar atau salah bapak?

Dewasa ini banyak terjadi kasus perselingkuhan mas, bahkan juga dikalangan pejabat. Namun dalam novel tersebut dilakukan atas sepengetahuan istrinya. Hal ini dilakukan oleh Worontinah karena didasari kerelaan, merasa tidak bisa melayani kebutuhan biologis suaminya sehingga merelakan suaminya untuk berhubungan dengan wanita lain.

9. Dalam novel Bekasi Remeng-remeng, anda menceritakan tentang tokoh Pandhu Dewanata yang membeli ijasah atau membuat ijasah palsu. Nah, menurut anda itu merupakan tindak kecurangan atau bagaimana?

Tidak mas. Jika saya menilai sekarang ini kan banyak orang susah mencari pekerjaan karena ijasahnya tidak cocok. Seperti halnya guru, sudah bekerja puluhan tahun kok tidak diangkat-angkat atau tidak mendapat sertifikat. Ada juga yang dengan ijasah palsu malah segera mendapat sertifikat. Nah hal seperti ini kan harus ada solusinya mas. Ya di dalam novel ini memang


(5)

commit to user

solusinya jelek, Pandhu menjadi pengedar narkoba. Dia kehilangan pekerjaan padahal masih harus menghidupi keluarganya. Saya ingin mengungkap fenomena-fenomena seperti itu. Supaya ditanggapi.

10.Menurut saya pendidikan intelektual di Indonesia sebenarnya sudah bagus, namun apabila dilihat dari pendidikan moral, saya melihat moral bangsa Indonesia itu masih rendah. Terbukti banyak kerusuhan-kerusuhan, korupsi, kekerasan dan sebagainya. Nah, menurut bapak itu bagaimana? Lalu solusinya seperti apa?

Sebenarnya ya itu tadi lho mas, ya orang seluruh dunia yang pandai itu pasti membaca buku. Orang Indonesia itu terlalu banyak mendengar, akibatnya dapat diselewengkan. Seperti contohnya dalam pemahaman agama. Mereka hanya mendengar dan tidak membaca sendiri akibatnya sering dapat diselewengkan mengarah ke hal yang negatif. Budaya pendidikan yang paling menonjol di negara kita ini adalah menonton tv, bukan membaca buku. Hal seperti itu anak umur tiga tahun juga bisa. Padahal dengan membaca buku maka pengetahuan kita bertambah. Sehingga dengan pengetahuan itu bisa kita gunakan sebagai bekal untuk hidup.

11.Apakah SBO ini pernah diteliti oleh mahasiswa atau orang lain? Belum pernah mas. Sepengetahuan saya belum pernah.


(6)

commit to user

FOTO DENGAN SUPARTO BRATA

Keterangan: Ruangan kerja Suparto Brata. Tempat dia menuangkan buah pikirannya menjadi bentuk tulisan. Berisi buku-buku bacaan dan koleksi karyanya dari dahulu hingga sekarang.