Migrasi Orang Madura PROSES MIGRASI

pertanian. Hal ini memaksa buruh-buruh tani pindah ketempat atau pekerjaan lain; b. Adanya perubahan pasar; c. Faktor agama dan politik; d. Faktor pribadi personal factor, yang buat segolongan orang perpindahan ini merupakan suatu social habit. 2 Hubungan antara suku bangsa Madura dengan daerah sekitarnya terutama dengan Jawa Timur yang secara geografis letaknya lebih dekat dengan Madura. Dari data sejarah dapat diketahui bahwa hubungan antar suku bangsa Madura dengan Jawa Timur meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Proses perpindahan penduduk migrasi suku bangsa Madura ke Jawa Timur berlangsung sejak masa lampau. Bahkan pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan-karesidenan Jawa, seperti: 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan. 3 Dalam proses migrasinya orang-orang Madura ke Jawa Timur, dibagi menjadi tiga periode waktu. Periode pertama bisa ditelusuri setelah terjadinya peperangan antara Mataram dan VOC Vereenigde Oostindische Compagnie sekitar permulaan abad ke kedelapan belas. Peperangan ini berlangsung lama sekali sehingga benar-benar membutuhkan dana besar serta amat melelahkan. Akibatnya, VOC tidak lagi bias memberikan banyak perhatian kepada anak-anak 2 Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharatara, 1965, hlm. 24. 3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 75. Surapati yang menjadi bupati di Lumajang dan Malang. Bahkan setelah VOC menerima laporan bahwa British East Indian Company 4 melakukan perdagangan candu di kedua sisi Selat Bali, mereka memutuskan untuk mengambil sesuatu tindakan. Kegiatan perdagangan Inggris di kedua sisi Selat Bali oleh VOC dipandang merusak monopoli perdagangannya sebagaimana tercantum dalam perjanjian dengan Mataram. Pada tahun 1757 VOC melancarkan serangan ke ujung timur pulau Jawa untuk membersihkan daerah perdagangan Inggris. Daerah Blambangan diduduki, kemudian serangan dilanjutkan ke Lumajang dan Malang. Setelah kedua daerah ini diduduki oleh VOC serta dengan perginya orang-orang Bali dan Inggris, maka didatangkanlah orang-orang Madura untuk mencegah kembalinya orang-orang Bali. Gelombang migrasi orang-orang Madura berikutnya terjadi pada bagian kedua abad kesembilan belas. Pada tahun 1870 pemerintah Hindia Beanda mengeluarkan undang-undang Agraria sebagai akibat politik liberal pemerintah di negeri Belanda. Dengan adanya undang-undang ini, yang memberi lebih banyak kesempatan kepada pihak swasta dalam bidang ekonomi, di bagian pojok timur pulau Jawa mulai banyak dibuka perkebunan. Perkebunan-perkebunan ini, terutama tembakau dan tebu, sangat banyak membutuhkan tenaga kerja manusia. Kebanyakan tenaga kerja murah didatangkan dari pulau Madura, baik sebagai tenaga kerja tetap maupun musiman. Setiap tahun ribuan orang Madura berdatangan ke Jawa Timur. Di samping sebagai pekerja perkebunan banyak di antara mereka yang bekerja sebagai petani kecil. Gelombang migrasi ini terus 4 Sebuah Kongsi Dagang milik Inggris yang beroprasi di Hindia bagian Timur berlangsung sampai terjadi krisis ekonomi internasional pada tahun 1929. Sebagai akibat merosotnya pasaran hasil perkebunan di dunia internasional banyak tenaga kerja musiman yang tidak diperlukan lagi. Akibatnya banyak dari mereka yang menetap di sekitar perkebunan dan bekerja apa saja. Periode ketiga perpindahan orang-orang Madura ke daerah Lumajang yang biasa diamati mulai terjadi sesudah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada saat itu, berbeda dengan situsai Perang Dunia II, kebanyakan kaum migran di Indonesia mencari dan memperoleh pekerjaan di sektor informal. Produktifitas perkebunan tidak lagi mencapai tingkatan yang sama dengan masa-masa sebelumnya sehingga permintaan akan tenaga kerja manusia tidak meningkat, bahkan mulai stabil. Di kota-kota besar, sebaliknya, dimana penduduk meningkat secara drastis, kesempatan kerja semakin banyak khususnya yang berkaitan dengan sector informal. Meskipun kebanyakan kaum migran berdiam di kota-kota besar, seperti Surabaya, sebagian lainnya berdiam pula di kota kecil seperti Lumajang. Dibandingkan dengan migrasi yang terjadi sebelumnya, kedatangan kaum migran asal Madura pada waktu itu lebih kecil. Dari ketiga periode waktu ini, periode kedualah yang menjadi kajian dalam tulisan ini. Keadaan fisik Pulau Madura sangat tidak menguntungkan untuk usaha pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur serta iklim yang buruk. Faktor ini semakin menegaskan masyarakat Madura untuk pindah dari pulau itu, demi kehidupan yang lebih baik. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura denga kota-kota di pantai Utara Jawa Timur telah ada sejak jaman dahulu. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa Timur di antaranya Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki. Melalui kontak dengan pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadi perdagangan beras yang sangat dibutuhkan oleh daratan Madura. Dengan majunya perdagangan ini banyak sekali orang Madura yang masuk ke Jawa Timur melalui pelabuhan Pasuruan. Sebenarnya sebagian besar penduduk Madura bermata pencaharian sebagai petani. Karena keadaan alamnya yang kurang menguntungkan untuk usaha pertanian ini menyebabkan banyakan di antara orang Madura ini berpindah mata pencaharian, misalnya berdagang, mencari ikan dan sebagainya. Yang mendorong mereka untuk keluar dari daerahnya hingga akhirnya sampai ke Jawa. Dari perantau- perantau ini banyak yang menetap di daerah yang baru dan berintegrasi dengan penduduk setempat. Sebagai catatan, sebab utama “dorongan” untuk migrasi tentu saja disebabkan oleh tanah pertanian yang kurang menguntungkan dan susahnya pasokan makanan di Madura. Dibandingkan dengan tanah pertanian, kepadatan penduduk Madura termasuk tinggi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pada awal abad XIX kepadatan penduduk Jawa dan Madura hampir sama, tetapi kemudian Madura tertinggal oleh Jawa, sampai abad itu berakhir. Kualitas tanah pertanian tidak menjanjikan rasio 5 populasi tinggi. Tabel 17 menunjukkan kepadatan penduduk dari tahun 1815 sampai tahun 1863. Faktor migrasi lain seperti perlakuan atau peraturan dari penguasa-penguasa setempat juga patut di perhitungkan. 5 Hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip; perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan dua angka. Tabel 18 Perbandingan Kepadatan Penduduk Wilayah Areal Geografis dalam mil persegi 1815 1814 1860 1863 Madura Jawa 115,6 2.329,0 1.891 1.892 2.558 3.977 4.401 5.242 4.434 5.638 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 83. Dalam hal ini banyak terjadi apabila penguasa setempat membuat suatu peraturan tetapi mereka tidakkurang bisa menerima, misalnya menghindari diri dari kewajiban masuk tentara, baik untuk keperluan Belanda ataupun birokrasi Madura sendiri. Selain itu mereka menghindarkan diri dari penindasan, pemerasan, tekanan serta perlakuan tidak adil dari penguasa setempat. Kepadatan penduduk di pulau Madura juga menjadi faktor pendorong terjadinya migrasi. Wilayah yang terlampau padat serta lowongan pekerjaan yang minim dan bayaran yang tidak seberapa menjadi penyebabnya. Tabel 19 Kepadatan Penduduk Tahun 1867 Wilayah Ukuran Dalam persegi Populasi Kepadatan Dalam persegi Mil Pal Mil Pal Pamekasan Sampang Bangkalan Sumenep 9,66 14,48 28,97 68,50 253 351 704 1.096 103.117 68.832 212.774 210.218 10.674 4.753 7.343 3.068 442 196 302 193 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 84. Dari sebab-sebab kesemuanya tersebut di atas, banyak penduduk Madura meninggalkan daerahnya untuk berpindah ke daerah lain, seperti Jawa, khususnya Jawa Timur. Sifat dari perpindahan penduduk ini sendiri bermacam-macam, ada yang sifatnya sementara, ada yang menetap dengan tidak kembali lagi ketempat asalnya. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri. Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura dan kira-kira sepertiga dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura. Sama seperti di Madura penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup dari usaha pertanian dan perikanan. Sampai pada awal abad ini adalah lebih mudah menyebrang ke Jawa dari pada melakukan perjalanan keliling di pulau. Hubungan melalui laut telah berkembang lebih baik dari pada hubungan di darat. Perahu-perahu niaga berlayar dari tempat-tempat di pantai ke berbagai tujuan di seberang laut. Armada niaga di pualu itu berjumlah beberapa ribu perahu layar. Perahu-perahu angkutan muatan Madura memiliki saham penting dalam lalu lintas pelayaran antarpulau. Para pelaut Madura, seperti halnya dengan seni navigasi dan keberanian mereka. Kapal-kapal yang lebih besar, termasuk sekunar-sekunar Bugis dengan daya muat lebih dari seratus ton dan 15 sampai 20 awak kapal, terutama ikut serta dalam lalu lintas pelayaran yang tak teratur. Perahu-perahu layar ini mengangkut orang maupun barang. Biasanya muatan itu adalah milik para pedagang yang ikut berlayar sebagai penumpang. Terutama pengangkutan orang antara Madura dan Jawa adalah penting sekali artinya. Bila pekerjaan di perkebunan dan pertanian rakyat meningkat, ruang kapal pun penuh dengan migran. Para penduduk yang berangkat ke Jawa, biasanya mengenal lebih baik jalan di seberang daripada di Madura. Kebanyakan penduduk di pulau itu sendiri hanya mengadakan perjalanan di daerah sekitar tempat kediaman mereka atau ke desa pantai yang terdekat. Pelayaran pantai dan pengangkutan barang melalui darat yang sedang jaraknya atau yang jauh, kurang begitu berarti dengan lalu lintas niaga lewat laut. Migrasi ke Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan- karesidenan Jawa; 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Proboliggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan. Pada tahun 1846, populasi orang Madura di pojok timur Jawa diperkirakan berjumlah 498.273, dan di Surabaya, Gersik, serta Sedayu sekitar 240.000. Adapun jumlah total etnis Madura di Jawa-Madura adalah 1.055.915. Pola migrasi seterusnya tak banyak diketahui. Laporan dari Sumenep pada tahun 1857 mencatat bahwa 20.000 orang minta izin meninggalkan pulau, jumlah itu tidak termasuk orang-orang yang pergi tanpa meminta izin. Tidak semuanya menyebrangi selat dan mencari makan di Jawa, tetapi bila dihitung rata- rata pertumbuhan populasinya, migrasi orang Madura tertinggi adalah di kabupaten-kabupaten di Jawa Timur sebelah timur. Di Karesidenan Probolinggo, umpamanya, pertumbuhan yang besar terjadi pada tahun 1855. Populasi di Probolinggo adalah 270.734 pada tahun 1854 dan menjadi 281.294, bertambah 10.560 atau 3,9 persen. Laporan resmi menambahkan bahwa pemukiman- pemukiman baru orang Madura di Probolinggo berjumlah 13.974 atau 5,19 persen. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Migrasi temporer mempengaruhi pertumbuhan penduduk di Madura sendiri. Penurunan jumlah kelahiran terjadi pada tahun-tahun 1868. 1869, dan 1870. Penurunan total populasi juga terjadi, misalnya dari 1.532.764 pada tahun 1891 menjadi 1.530.220 pada tahun 1892. Satu-satunya yang dapat menjelaskan masalah penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa. Penurunan tajam terjadi dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dari 1.750.511 menjadi 1.738.926. Penduduk Kota Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan turun tajam sekali dalam dasawarsa antara tahun 1920 hingga 1930. Pada tahun 1892 diperkirakan perpindahan tiap-tiap tahun dari semua penduduk Madura ke Jawa berjumlah 40.000, dengan perincian 10.000 dari Sumenep, 3.000 dari Pamekasan, 18.000 dari Sampang, dan 9.000 dari Bangkalan. Selama musim kemarau, ketika air sangat jarang, pekerja-pekerja migran meninggalkan pulau dan kembali lagi setelah masa panen, atau pada akhir bulan Ramadhan, untuk berpesta bersama keluarga mereka. Mereka biasanya tinggal di Jawa selama tiga sampai enam bulan atau dua minggi sampai satu bulan. Para pedagang biasanya tinggal lebih lama, enam bulan atau lebih. Kesempatan menyeberangi selat sangat menguntungkan karena ongkos transportasi relatif murah. Ongkos berlayar hanya 25 sen, atau setara dengan upah buruh sehari. Rendahnya ongkos perjalanan mendorong mereka pergi hanya untuk sementara di Jawa, kira-kira bagi 20.000 sampai 30.000 orang membantu panen di Jawa Timur dan daerah-daerah pantai; Surabaya, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, dan Besuki. Mereka juga menyediakan jasa menjadi buruh-buru upah upahan, kuli, tukang angkut air, tukang angkut barang, dengan mendapat imbalan 24 sampai 30 sen sehari. Ada juga yang pergi jauh ke pedalaman untuk bekerja di perkebunan tebu atau perkebunan kopi dengan upah lebih tinggi; 30, 35 atau 40 sen. Jumlah penduduk Madura yang sangat besar namun diwaktu yang sama dapat berkurang dengan sangat pesat. Hal seperti ini hanya bisa dijelaskan sebagai akibat dari adanya migrasi. Kepergian para suami ke Jawa tampak berpengaruh terhadap rata- rata fertilitas. Ketidakhadiran laki-laki dewasa di lingkungan keluarganya, dicatat dengan baik selama kampanye melawan wabah demam tahun 1906. Pada dasarnya emigrasi permanen jarang terlihat. Semua yang menyebrangi selat biasanya kembali lagi ke Madura. Komisi kesejahteraan pada tahun 1911 melaporkan bahwa karakteristik pekerja-pekerja migran temporer, yang dari Bangkalan, adalah laki-laki yang belum menikah, tidak memiliki tanah pertanian atau anak-anak, sedangkan yang dari Sumenep juga laki-laki yang sudah menikah. Laporan-laporan mengenai para penumpang yang menggunakan perahu atau MSM memberikan beberapa keterangan mengenai sifat dan jumlah pekerja-pekerja migran. Para penumpang yang menggunakan perahu antara Madura-Jawa, berdasarkan catatan resmi tahun 1917 berjumlah 255.734berangkat dan 261.728 datang. Tabel 20 Jumlah Penumpang Madoera Stoomtram Maatschappij Tahun Jurusan Kamal -Surabaya P.P. Jurusan Kalianget -Panarukan P.P Per Tahun Per Hari Per Tahun: Semua Kelas Pribumi: Kelas DuaKelas Tiga 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 263.158 269.960 290.395 407.113 278.701 401.166 469.685 475.329 626.027 701.497 516.644 702.853 656.843 663.378 774.601 942.012 1.090.723 927.930 779.476 712.840 705.256 646.322 710.247 838.457 942.948 781.712 721 739 796 1.117 1.037 1.099 1.273 1.298 1.714 1.925 1.415 1.925 1.799 1.817 2.122 2.574 2.988 2.545 2.135 1.948 1.932 1.771 1.946 2.291 2.577 2.141 51.583 53.175 54.534 59.053 63.672 66.290 75.003 68.314 59.490 61.620 61.559 73.040 75.714 63.661 81.274 76.249 59.712 46.224 43.196 50.296 53.030 61.219 82.736 79.659 83.081 71.086 51.376 52.890 54.140 58.710 63.354 65.955 74.555 67.985 58.920 60.730 60.492 71.950 74.210 61.008 78.649 73.370 55.961 43.604 40.990 47.737 51.376 59.976 79.928 77.617 80.963 69.633 Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 614. Berdasarkan laporan penumpang-penumpang perahu, laporan penumpang MSM Madoera Stoomtram Maatschappij tahun 1917, dan laporan populasi untuk tahun yang sama, proporsi penduduk yang bergerak pergi dan pulang ke Madura pada tahun 1917 adalah separuh dari keseluruhan penumpang dibagi jumlah penduduk. Jumlah para pekerja migran temporer yang tinggal d Jawa jelas sekali menunjukkan bahwa angka keberangkatan dan kedatangannya tidak jauh berbeda. Laporan jasa angkutan kapal uap MSM menerangkan jumlah penumpang, tetapi tidak memerinci antara yang datang dan yang berangkat. Selain migran-migran temporer, sampai tahun 1930 pemukim-pemukim baru orang Madura banyak yang datang dan menetap di Jawa Timur. Tabel 21 Jumlah Emigrasi dari Madura Tahun 1930 Wilayah Jumlah Persentase dari Tujuan Emigrasi Total populasi Lokal Jawa Timur Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan 92.357 63.057 59.525 65.773 17,66 17,81 12,66 13,09 8,34 12,21 12,95 11,56 91,66 87,79 87,45 88,44 Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 81. Tabel 19 menunjukkan jumlah dari pemukiman-pemukiman baru orang Madura di karesidenan-karesidenan di Jawa Timur dan di Kota Surabaya. Tahun 1930, separuh lebih dari etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian timur. Sensus penduduk pada tahun itu memperlihatkan bahwa orang Madura yang tinggal di Jawa Timur berjumlah 4.287.276. Sejumlah 1.940.567 atau 45 persen orang Madura bertempat tinggal di Madura, sedangkan 2.346.707 atau 55 persen menyebrangi selat dan menetap di Jawa. Di wilayah pojok timur Jawa orang Madura merupakan kelompok mayoritas kecuali di Banyuwangi mereka hanya berjumlah 17,6 persen. Di Karesidenan Panarukan, Bondowoso, dan Kraksaan hampir seluruh penduduknya adalah orang Madura; populasi terbesar terdapat di Krakasan sebanyak 88,3 persen. Di Probolinggo orang Madura berjumlah 72 persen, di Jember 61 persen, di Pasuruan 45 persen, di Lumajang 45,6 persen, di Malang 12 persen, dan di Bangil 12,7 persen dari total populasi.

B. Identifikasi Kelompok Migrasi

Sejak tahun 1846 Karesidenan Bojonegoro-Tuban, Karesidenan Gersik, Karesidenan Surabaya, Karesidenan Pasuruan, Karesidenan Besuki, Karesidenan Bondowoso, telah dipenuhi orang-orang Madura yang bermigrasi ke Jawa Timur. Mereka memiliki berbagai macam profesi di daerah-daerah tersebut. Namun sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai buruh dan petani. Seperti halnya di Jember, populasi orang Madura disana hampir 61 pada tahun 1930. Yang tersebar di Bondowoso, Kalisat dan Majang, karena di Jember saat itu banyak perusahaan yang membutuhkan buruh. Hal inilah yang membuat Jember menjadi tujuan utama masyarakat Madura yang bermigrasi ke Jawa Timur, seperti yang ditunjukkan pada tabel 20. Sedangkan di kabupaten Pasuruan, Lumajang, Malang dan Bangil, orang Madura tidak lagi menjadi mayoritas. Ini adalah persentase terkecil orang-orang Madura di Jawa Timur. Orang-orang yang bekerja sebagai buruh di Jawa Timur ini, sebagian besar datang secara musiman. Mereka menjadi buruh penuai padi dan tanaman-tanaman pertanian lainnya pada musim panen. Pada masa pemerintahan kolonial orang Madura yang bekerja di perkebunan milik onderneming-onderneming pemerintahan maupun milik Tabel 22 Jumlah Emigran Madura di Jawa Timur Tahun 1930 Tempat- tempat Tempat-tempat kelahiran di Madura Kediaman baru Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan Banyuwangi Jember Panarukan Bondowoso Probolinggo Krakasan Lumajang Malang Pasuruan Bangil Sidoarjo Mojokerto Jombang Blitar Tulungagung Gersik Kota Surabaya 29.147 28.918 1.464 7.300 238 1.093 1.015 369 75 82 54 23 14 14 2 42 537 9.477 30.958 4.028 1.628 1.252 3.415 4.391 962 129 134 48 16 26 29 11 91 573 3.036 14.688 1.478 548 2.577 727 11.840 9.631 1.627 489 53 79 139 122 29 18 5.237 2.340 2.145 285 128 237 278 1.081 20.985 1.176 944 914 494 757 1.062 560 939 20.767 Jumlah 70.387 57.168 52.318 55.092 Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 82. swasta orang Eropa atau orang Cina. Jember menjadi tujuan utama dari para migran yang berasal dari Madura dikarenakan hadirnya sistem perkebunan partikelir di Jember yang mana membawa perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Jember dan para pendatang yang berasal dari Madura dan sekitarnya. 1.000.000 500.000 100.000 50.000 10.000 5.000 jumlah orang 100 1805 20 25 40 60 80 1900 tahun Sumber: Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura ke Jember: Suatu Kajian Historis Komparatif, dalam Jurnal DPRD Dalam Perkembangan Kabupaten Jember, hlm. 27. Hal ini mengakibatkan Jember yang semula termasuk daerah yang sepi dan berpenduduk paling sedikit jika dibanding dengan daerah-daerah lain di Karesidenan Besuki, kemudian menjadi daerah yang paling ramai dan paling padat penduduknya. Penyebab pertumbuhan kota Jember erat kaitannya dengan penetrasi sistem kapitalisme yang berwujud perkebunan partikelir. Perusahaan perkebunan partikelir banyak berdiri di daerah Jember sejak diterapkannya “the system of interprise” oleh pemerintah kolonial Belanda pada desenia keenam abad ke XIX. Perusahaan-perusahaan ini antara lain; NV LMOD Landbouw Maatscappij Oud Djember, Djelboek Tabak Maatscppij, N.V Cultuur Maatscappij Zuid Djember dan masih banyak yang lainnya. Grafik diatas