Migrasi Orang Madura PROSES MIGRASI
pertanian. Hal ini memaksa buruh-buruh tani pindah ketempat atau pekerjaan lain;
b. Adanya perubahan pasar; c. Faktor agama dan politik;
d. Faktor pribadi personal factor, yang buat segolongan orang perpindahan ini merupakan suatu social habit.
2
Hubungan antara suku bangsa Madura dengan daerah sekitarnya terutama dengan Jawa Timur yang secara geografis letaknya lebih dekat dengan Madura.
Dari data sejarah dapat diketahui bahwa hubungan antar suku bangsa Madura dengan Jawa Timur meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Proses
perpindahan penduduk migrasi suku bangsa Madura ke Jawa Timur berlangsung sejak masa lampau. Bahkan pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang
Madura di pojok timur karesidenan-karesidenan Jawa, seperti: 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan.
3
Dalam proses migrasinya orang-orang Madura ke Jawa Timur, dibagi menjadi tiga periode waktu. Periode pertama bisa ditelusuri setelah terjadinya peperangan
antara Mataram dan VOC Vereenigde Oostindische Compagnie sekitar permulaan abad ke kedelapan belas. Peperangan ini berlangsung lama sekali
sehingga benar-benar
membutuhkan dana besar serta amat melelahkan.
Akibatnya, VOC tidak lagi bias memberikan banyak perhatian kepada anak-anak
2
Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharatara, 1965, hlm. 24.
3
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 75.
Surapati yang menjadi bupati di Lumajang dan Malang. Bahkan setelah VOC menerima laporan bahwa British East Indian Company
4
melakukan perdagangan candu di kedua sisi Selat Bali, mereka memutuskan untuk mengambil sesuatu
tindakan. Kegiatan perdagangan Inggris di kedua sisi Selat Bali oleh VOC dipandang merusak monopoli perdagangannya sebagaimana tercantum dalam
perjanjian dengan Mataram. Pada tahun 1757 VOC melancarkan serangan ke ujung timur pulau Jawa untuk membersihkan daerah perdagangan Inggris. Daerah
Blambangan diduduki, kemudian serangan dilanjutkan ke Lumajang dan Malang. Setelah kedua daerah ini diduduki oleh VOC serta dengan perginya orang-orang
Bali dan Inggris, maka didatangkanlah orang-orang Madura untuk mencegah kembalinya orang-orang Bali.
Gelombang migrasi orang-orang Madura berikutnya terjadi pada bagian kedua abad kesembilan belas. Pada tahun 1870 pemerintah Hindia Beanda
mengeluarkan undang-undang Agraria sebagai akibat politik liberal pemerintah di negeri Belanda. Dengan adanya undang-undang ini, yang memberi lebih banyak
kesempatan kepada pihak swasta dalam bidang ekonomi, di bagian pojok timur pulau Jawa mulai banyak dibuka perkebunan. Perkebunan-perkebunan ini,
terutama tembakau dan tebu, sangat banyak membutuhkan tenaga kerja manusia. Kebanyakan tenaga kerja murah didatangkan dari pulau Madura, baik sebagai
tenaga kerja tetap maupun musiman. Setiap tahun ribuan orang Madura berdatangan ke Jawa Timur. Di samping sebagai pekerja perkebunan banyak di
antara mereka yang bekerja sebagai petani kecil. Gelombang migrasi ini terus
4
Sebuah Kongsi Dagang milik Inggris yang beroprasi di Hindia bagian Timur
berlangsung sampai terjadi krisis ekonomi internasional pada tahun 1929. Sebagai akibat merosotnya pasaran hasil perkebunan di dunia internasional banyak tenaga
kerja musiman yang tidak diperlukan lagi. Akibatnya banyak dari mereka yang menetap di sekitar perkebunan dan bekerja apa saja. Periode ketiga perpindahan
orang-orang Madura ke daerah Lumajang yang biasa diamati mulai terjadi sesudah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada saat itu, berbeda
dengan situsai Perang Dunia II, kebanyakan kaum migran di Indonesia mencari dan memperoleh pekerjaan di sektor informal. Produktifitas perkebunan tidak lagi
mencapai tingkatan yang sama dengan masa-masa sebelumnya sehingga permintaan akan tenaga kerja manusia tidak meningkat, bahkan mulai stabil. Di
kota-kota besar, sebaliknya, dimana penduduk meningkat secara drastis, kesempatan kerja semakin banyak khususnya yang berkaitan dengan sector
informal. Meskipun kebanyakan kaum migran berdiam di kota-kota besar, seperti Surabaya, sebagian
lainnya berdiam pula di kota kecil seperti Lumajang. Dibandingkan dengan migrasi yang terjadi sebelumnya, kedatangan kaum migran
asal Madura pada waktu itu lebih kecil. Dari ketiga periode waktu ini, periode kedualah yang menjadi kajian dalam tulisan ini.
Keadaan fisik Pulau Madura sangat tidak menguntungkan untuk usaha pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur serta iklim yang
buruk. Faktor ini semakin menegaskan masyarakat Madura untuk pindah dari pulau itu, demi kehidupan yang lebih baik. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan
di Madura denga kota-kota di pantai Utara Jawa Timur telah ada sejak jaman dahulu. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan
Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa Timur di antaranya Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki. Melalui kontak dengan
pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadi perdagangan beras yang sangat dibutuhkan oleh daratan Madura. Dengan majunya perdagangan ini banyak sekali orang
Madura yang masuk ke Jawa Timur melalui pelabuhan Pasuruan. Sebenarnya sebagian besar penduduk Madura bermata pencaharian sebagai petani. Karena
keadaan alamnya yang kurang menguntungkan untuk usaha pertanian ini menyebabkan banyakan di antara orang Madura ini berpindah mata pencaharian,
misalnya berdagang, mencari ikan dan sebagainya. Yang mendorong mereka untuk keluar dari daerahnya hingga akhirnya sampai ke Jawa. Dari perantau-
perantau ini banyak yang menetap di daerah yang baru dan berintegrasi dengan penduduk setempat. Sebagai catatan, sebab utama “dorongan” untuk migrasi tentu
saja disebabkan oleh tanah pertanian yang kurang menguntungkan dan susahnya pasokan makanan di Madura.
Dibandingkan dengan tanah pertanian, kepadatan penduduk Madura termasuk tinggi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pada awal abad XIX
kepadatan penduduk Jawa dan Madura hampir sama, tetapi kemudian Madura tertinggal oleh Jawa, sampai abad itu berakhir. Kualitas tanah pertanian tidak
menjanjikan rasio
5
populasi tinggi. Tabel 17 menunjukkan kepadatan penduduk dari tahun 1815 sampai tahun 1863. Faktor migrasi lain seperti perlakuan atau
peraturan dari penguasa-penguasa setempat juga patut di perhitungkan.
5
Hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip; perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan dua angka.
Tabel 18 Perbandingan Kepadatan Penduduk
Wilayah Areal Geografis dalam mil
persegi 1815
1814 1860
1863 Madura
Jawa 115,6
2.329,0 1.891
1.892 2.558
3.977 4.401
5.242 4.434
5.638 Sumber :
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 83.
Dalam hal ini banyak terjadi apabila penguasa setempat membuat suatu peraturan tetapi mereka tidakkurang bisa menerima, misalnya menghindari diri dari
kewajiban masuk tentara, baik untuk keperluan Belanda ataupun birokrasi Madura sendiri. Selain itu mereka menghindarkan diri dari penindasan, pemerasan,
tekanan serta perlakuan tidak adil dari penguasa setempat. Kepadatan penduduk di pulau Madura juga menjadi faktor pendorong terjadinya migrasi. Wilayah yang
terlampau padat serta lowongan pekerjaan yang minim dan bayaran yang tidak seberapa menjadi penyebabnya.
Tabel 19 Kepadatan Penduduk Tahun 1867
Wilayah Ukuran
Dalam persegi
Populasi Kepadatan
Dalam persegi
Mil Pal
Mil Pal
Pamekasan Sampang
Bangkalan Sumenep
9,66 14,48
28,97 68,50
253 351
704
1.096 103.117
68.832 212.774
210.218 10.674
4.753 7.343
3.068 442
196 302
193
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 84.
Dari sebab-sebab kesemuanya tersebut di atas, banyak penduduk Madura meninggalkan daerahnya untuk berpindah ke daerah lain, seperti Jawa, khususnya
Jawa Timur. Sifat dari perpindahan penduduk ini sendiri bermacam-macam, ada yang sifatnya sementara, ada yang menetap dengan tidak kembali lagi ketempat
asalnya. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari
pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri. Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura dan kira-kira sepertiga
dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura. Sama seperti di
Madura penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup dari usaha pertanian dan perikanan.
Sampai pada awal abad ini adalah lebih mudah menyebrang ke Jawa dari pada melakukan perjalanan keliling di pulau. Hubungan melalui laut telah
berkembang lebih baik dari pada hubungan di darat. Perahu-perahu niaga berlayar dari tempat-tempat di pantai ke berbagai tujuan di seberang laut. Armada niaga di
pualu itu berjumlah beberapa ribu perahu layar. Perahu-perahu angkutan muatan Madura memiliki saham penting dalam lalu lintas pelayaran antarpulau. Para
pelaut Madura, seperti halnya dengan seni navigasi dan keberanian mereka. Kapal-kapal yang lebih besar, termasuk sekunar-sekunar Bugis dengan daya muat
lebih dari seratus ton dan 15 sampai 20 awak kapal, terutama ikut serta dalam lalu lintas pelayaran yang tak teratur. Perahu-perahu layar ini mengangkut orang
maupun barang. Biasanya muatan itu adalah milik para pedagang yang ikut berlayar sebagai penumpang. Terutama pengangkutan orang antara Madura dan
Jawa adalah penting sekali artinya. Bila pekerjaan di perkebunan dan pertanian rakyat meningkat, ruang kapal pun penuh dengan migran. Para penduduk yang
berangkat ke Jawa, biasanya mengenal lebih baik jalan di seberang daripada di Madura. Kebanyakan penduduk di pulau itu sendiri hanya mengadakan perjalanan
di daerah sekitar tempat kediaman mereka atau ke desa pantai yang terdekat. Pelayaran pantai dan pengangkutan barang melalui darat yang sedang jaraknya
atau yang jauh, kurang begitu berarti dengan lalu lintas niaga lewat laut. Migrasi ke Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Pada tahun
1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan- karesidenan Jawa; 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Proboliggo, 22 desa di Puger,
dan 1 desa di Panarukan. Pada tahun 1846, populasi orang Madura di pojok timur Jawa diperkirakan berjumlah 498.273, dan di Surabaya, Gersik, serta Sedayu
sekitar 240.000. Adapun jumlah total etnis Madura di Jawa-Madura adalah 1.055.915. Pola migrasi seterusnya tak banyak diketahui. Laporan dari Sumenep
pada tahun 1857 mencatat bahwa 20.000 orang minta izin meninggalkan pulau, jumlah itu tidak termasuk orang-orang yang pergi tanpa meminta izin. Tidak
semuanya menyebrangi selat dan mencari makan di Jawa, tetapi bila dihitung rata- rata pertumbuhan populasinya, migrasi orang Madura tertinggi adalah di
kabupaten-kabupaten di Jawa Timur sebelah timur. Di Karesidenan Probolinggo, umpamanya, pertumbuhan yang besar terjadi pada tahun 1855. Populasi di
Probolinggo adalah 270.734 pada tahun 1854 dan menjadi 281.294, bertambah 10.560 atau 3,9 persen. Laporan resmi menambahkan bahwa pemukiman-
pemukiman baru orang Madura di Probolinggo berjumlah 13.974 atau 5,19
persen. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan.
Migrasi temporer mempengaruhi pertumbuhan penduduk di Madura sendiri. Penurunan jumlah kelahiran terjadi pada tahun-tahun 1868. 1869, dan
1870. Penurunan total populasi juga terjadi, misalnya dari 1.532.764 pada tahun 1891 menjadi 1.530.220 pada tahun 1892. Satu-satunya yang dapat menjelaskan
masalah penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa. Penurunan tajam terjadi dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dalam periode antara
tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dari 1.750.511 menjadi 1.738.926. Penduduk Kota Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan turun tajam
sekali dalam dasawarsa antara tahun 1920 hingga 1930. Pada tahun 1892 diperkirakan perpindahan tiap-tiap tahun dari semua penduduk Madura ke Jawa
berjumlah 40.000, dengan perincian 10.000 dari Sumenep, 3.000 dari Pamekasan, 18.000 dari Sampang, dan 9.000 dari Bangkalan. Selama musim kemarau, ketika
air sangat jarang, pekerja-pekerja migran meninggalkan pulau dan kembali lagi setelah masa panen, atau pada akhir bulan Ramadhan, untuk berpesta bersama
keluarga mereka. Mereka biasanya tinggal di Jawa selama tiga sampai enam bulan atau dua minggi sampai satu bulan. Para pedagang biasanya tinggal lebih lama,
enam bulan atau lebih. Kesempatan menyeberangi selat sangat menguntungkan karena ongkos transportasi relatif murah.
Ongkos berlayar hanya 25 sen, atau setara dengan upah buruh sehari. Rendahnya ongkos perjalanan mendorong mereka pergi hanya untuk sementara di
Jawa, kira-kira bagi 20.000 sampai 30.000 orang membantu panen di Jawa Timur
dan daerah-daerah pantai; Surabaya, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, dan Besuki. Mereka juga menyediakan jasa menjadi buruh-buru upah upahan, kuli, tukang
angkut air, tukang angkut barang, dengan mendapat imbalan 24 sampai 30 sen sehari. Ada juga yang pergi jauh ke pedalaman untuk bekerja di perkebunan tebu
atau perkebunan kopi dengan upah lebih tinggi; 30, 35 atau 40 sen. Jumlah penduduk Madura yang sangat besar namun diwaktu yang sama dapat berkurang
dengan sangat pesat. Hal seperti ini hanya bisa dijelaskan sebagai akibat dari adanya migrasi. Kepergian para suami ke Jawa tampak berpengaruh terhadap rata-
rata fertilitas. Ketidakhadiran laki-laki dewasa di lingkungan keluarganya, dicatat
dengan baik selama kampanye melawan wabah demam tahun 1906. Pada dasarnya emigrasi permanen jarang terlihat. Semua yang menyebrangi selat
biasanya kembali lagi ke Madura. Komisi kesejahteraan pada tahun 1911 melaporkan bahwa karakteristik pekerja-pekerja migran temporer, yang dari
Bangkalan, adalah laki-laki yang belum menikah, tidak memiliki tanah pertanian atau anak-anak, sedangkan yang dari Sumenep juga laki-laki yang sudah menikah.
Laporan-laporan mengenai para penumpang yang menggunakan perahu atau MSM memberikan beberapa keterangan mengenai sifat dan jumlah pekerja-pekerja
migran. Para penumpang yang menggunakan perahu antara Madura-Jawa, berdasarkan catatan resmi tahun 1917 berjumlah 255.734berangkat dan 261.728
datang.
Tabel 20 Jumlah Penumpang
Madoera Stoomtram Maatschappij
Tahun Jurusan
Kamal -Surabaya
P.P.
Jurusan Kalianget
-Panarukan P.P
Per Tahun Per Hari
Per Tahun: Semua Kelas
Pribumi: Kelas DuaKelas Tiga
1905 1906
1907 1908
1909 1910
1911 1912
1913 1914
1915 1916
1917 1918
1919 1920
1921 1922
1923 1924
1925 1926
1927 1928
1929 1930
263.158 269.960
290.395 407.113
278.701 401.166
469.685 475.329
626.027 701.497
516.644 702.853
656.843 663.378
774.601 942.012
1.090.723 927.930
779.476 712.840
705.256 646.322
710.247 838.457
942.948 781.712
721 739
796
1.117 1.037
1.099 1.273
1.298 1.714
1.925 1.415
1.925 1.799
1.817 2.122
2.574 2.988
2.545 2.135
1.948 1.932
1.771 1.946
2.291 2.577
2.141 51.583
53.175 54.534
59.053 63.672
66.290 75.003
68.314 59.490
61.620 61.559
73.040 75.714
63.661 81.274
76.249 59.712
46.224 43.196
50.296 53.030
61.219 82.736
79.659 83.081
71.086 51.376
52.890 54.140
58.710 63.354
65.955 74.555
67.985 58.920
60.730 60.492
71.950 74.210
61.008 78.649
73.370 55.961
43.604 40.990
47.737 51.376
59.976 79.928
77.617 80.963
69.633
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura
1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 614.
Berdasarkan laporan penumpang-penumpang perahu, laporan penumpang MSM Madoera Stoomtram Maatschappij tahun 1917, dan laporan populasi
untuk tahun yang sama, proporsi penduduk yang bergerak pergi dan pulang ke
Madura pada tahun 1917 adalah separuh dari keseluruhan penumpang dibagi jumlah penduduk. Jumlah para pekerja migran temporer yang tinggal d Jawa jelas
sekali menunjukkan bahwa angka keberangkatan dan kedatangannya tidak jauh berbeda.
Laporan jasa angkutan kapal uap MSM menerangkan jumlah penumpang, tetapi tidak memerinci antara yang datang dan yang berangkat. Selain
migran-migran temporer, sampai tahun 1930 pemukim-pemukim baru orang Madura banyak yang datang dan menetap di Jawa Timur.
Tabel 21 Jumlah Emigrasi dari Madura Tahun 1930
Wilayah Jumlah
Persentase dari
Tujuan Emigrasi
Total populasi Lokal
Jawa Timur Sumenep
Pamekasan Sampang
Bangkalan 92.357
63.057 59.525
65.773 17,66
17,81 12,66
13,09 8,34
12,21 12,95
11,56 91,66
87,79 87,45
88,44
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura
1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 81.
Tabel 19 menunjukkan jumlah dari pemukiman-pemukiman baru orang Madura di karesidenan-karesidenan di Jawa Timur dan di Kota Surabaya. Tahun
1930, separuh lebih dari etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian timur. Sensus penduduk pada tahun itu memperlihatkan bahwa orang
Madura yang tinggal di Jawa Timur berjumlah 4.287.276. Sejumlah 1.940.567 atau 45 persen orang Madura bertempat tinggal di Madura, sedangkan 2.346.707
atau 55 persen menyebrangi selat dan menetap di Jawa. Di wilayah pojok timur Jawa orang Madura merupakan kelompok mayoritas kecuali di Banyuwangi
mereka hanya berjumlah 17,6 persen. Di Karesidenan Panarukan, Bondowoso,
dan Kraksaan hampir seluruh penduduknya adalah orang Madura; populasi terbesar terdapat di Krakasan sebanyak 88,3 persen. Di Probolinggo orang
Madura berjumlah 72 persen, di Jember 61 persen, di Pasuruan 45 persen, di Lumajang 45,6 persen, di Malang 12 persen, dan di Bangil 12,7 persen dari total
populasi.