Mata Pencaharian LATAR BELAKANG MIGRASI

pertumbuhan penduduk yang pesat, lambat laun tekanan yang berlangsung terus menerus terhadap lahan menjadi semakin berat. Pulau Madura juga memiliki sejumlah perusahaan kecil, seperti pembakaran kapur, pabrik batu bata, dan genteng, pabrik tenun, pabrik es batu, perusahaan pemintalan tali, dan galangan kapal yang kecil. Selain pabrik garam, tidak ada perusahaan besar. Madura merupakan salah satu dari daerah-daerah yang paling miskin di kepulauan Indonesia per kepala. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain sehubungan dengan permasalahan ekonominya, seperti Gunung Kidul yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta, Madura kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan propinsi. Kehidupan yang pelik seperti ini tentunya memancing niat dari orang-orang Madura untuk pindah atau bermigrasi ke wilayah lain terutama Jawa Timur. Orang-orang Madura dipaksa oleh keadaan untuk memilih jenis bibit padi yang mempunyai masa pertumbuhan singkat, hanya sedikit yang memilih bibit dengan masa tumbuh lama. Di Pameksan tidak ada padi berumur 5 sampai 6 bulan ditanam; padi tengah dengan masa tumbuh 4 sampai 5 bulan dipilih untuk ditanam di sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Di Sumenep, padi dalem juga ditanam, namun sebagian besar menanam padi genjah dengan masa pertumbuhan pendek, yakni 3 sampai 4 bulan. Di Bangkalan, padi dalem juga ditanam, tetapi yang paling disukai adalah padi tengah. Di Sampang, padi dalem ditanam dalam skala yang sangat kecil di sawah tadah hujan, namun petani lebih banyak menanam di sawah irigasi dibandingkan dengan padi tengah. Rupanya, keterbatasan air menentukan jenis padi yang akan ditanam. Tabel 10 Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau dalam pikul Tahun Madura Jawa-Madura 1896 1900 1906 1911 14,26 14,84 15 15 24,17 24,99 25,26 27 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 49. Tabel 11 Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau dalam pikul Tahun Madura Jawa-Madura 1916 1921 1926 1929 11,20 10,91 14,34 11,17 23,59 19,08 23,88 22,65 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 49. 1 bau = 0,7096 hektar; 1 pikul = 137 lb Buruknya kondisi tanah dan kurangnya air mengakibatkan hasil yang rendah. Dibandingkan dengan Jawa, produktivitas tanah di Madura lebih rendah, kurang lebih separuh dari jumlah padi per unit tanah. Tabel 10 dan 11 memperlihatkan hasil panen dan hasil ladang yang ditanami rata-rata per bau di Madura dan Jawa-Madura. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, resiko penanaman padi di Madura jelas lebih besar dibanding dengan di Jawa. Walaupun mereka mengalami kesulitan, orang Madura lebih intensif dalam pengolahan tanah disbanding rata-rata orang Jawa. Pada tahun 1930 proporsi hasil panen dari seluruh tanah yang ditanami di bagian barat Madura adalah 143 persen dan Madura timur 119 persen; dibandingkan dengan gambaran untuk Jawa-Madura adalah 102 persen Bojonegoro 151,6 persen yang tertinggi dan Priangan Timur 61,3 persen yang terindah. Intensitas penanaman mereka yang lebih tinggi tidak menjadikan orang Madura makmur. Beras langka dan harganya menjadi tinggi. Bagi orang Madura, pemanfaatan bahan makanan pokok tergantung pada tanaman-tanaman lain juga. Jagung paling popular, kemudian singkong. Ubi jalar sekali waktu dianggap sebagai pengganti. Pada tahun 1880, orang Madura mempunyai andil yang cukup besar dalam produksi jagung untuk Jawa-Madura, yaitu lebih dari 50 persen. Jumlah areal yang ditanami jagung di Jawa-Madura pada tahun itu seluas 637.677 bau, di Madura sendiri 324.252 bau. Andil orang Madura ini terus-menerus dan turun-temurun. Tahun 1895 tanah yang ditanami jagung di Jawa-Madura 1.090.497 bau, dan di Madura 321.920 bau. Adapun distribusi tiga tanaman pokok subsisten, yakni padi, jagung, dan singkong, seperti terlihat dalam tabel 11. Ubi jalar ditanam dalam jumlah yang agak besar: 23.467 bau pada tahun 1916, 35.981 bau pada tahun 1926, dan 32.260 hektar pada tahun 1935. Sedangkan kentang hanya ditanam dalam jumlah yang kecil: 1 bau pada tahun 1926, 58 hektar pada tahun 1935. Umbi-umbian yang lain ditanam pada areal seluas 19.492 hektar. Kacang ditanam dalam jumlah yang cukup berarti, namun tidak demkian dengan keledai. Persentase tanaman selain padi yang ditanam pada tahun 1927: jagung 61,7 persen, singkong 16,6 persen, ubi jalar 3,6 persen, kacang-kacangan 5,4 persen, dan tanaman lain 5,3 persen. 7 7 Kuntowijoyo 2002, op.cit., hlm. 50. Tabel 12 Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten dalam kg Tahun dan Wilayah Padi Jagung Singkong 1916 Madura Jawa-Madura 84.065 4.273.332 342.852 2.229.833 35.734 639.171 1921 Madura Jawa-Madura 93.876 4.118.499 391.314 2.104.287 154.194 1.107.326 1926 Madura Jawa-Madura 112.665 4.784.342 463.251 2.764.073 78.551 957.970 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 51. Di antara tanaman keras, siwalan menduduki tempat yang penting di dalam perekonomian orang Madura. Siwalan tumbuh di dataran tinggi bagian timur perbatasan Sapulu-Pameasan, yang paling banyak di Sumenep. Siwalan dapat tumbuh dengan baik di tanah-tanah tandus. Seluruh bagian dari pohon Siwalan dapat dimanfaatkan: daunnya untuk membuat tikar, keranjang, timba, dan mainan; sari buahnya untuk bahan dasar minuman keras, arak, dan cuka; rebusan sari buahnya untuk membuat gula; pohonnya untuk bahan-bahan bagunan; dan buahnya dapat dimakan. Tanaman lain yang memberikan keuntungan bagi orang Madura dalam perdagangan di antaranya asam jawa, kapuk, dan pohon buah- buahan khususnya mangga. Di Pulau Madura kelapa tumbuh dimana-mana dan buahnya dimanfaatkan untuk minyak. Satu lagi tanaman tradisional adalah Indigo digunakan sebagai pewarna tekstil. Indigo hanya tumbuh dalam jumlah yang kecil di wilayah Bangkalan. Tanaman-tanaman komersial seperti tebu, tembakau, dan kopi juga tumbuh di Madura. Mulai tahun 1835 perkebunan tebu di Pamekasan dikuasai oleh raja-raja pribumi. Semula hanya terbatas di desa-desa, dan tak lebih dari 400 bau. Setelah penguasa pribumi dihentikan pada tahun 1858, pemerintah kolonial melanjutkan kontrak dan pengawasan perkebunan tebu tersebut. Pada tahun 1860 jumlah areal yang ditanami tebu 300 bau dan menghasilkan 10.000 pikul tebu. Tanaman itu ternyata menguntungkan pemerintah regional Madura, yang kemudian merencanakan perluasan penanaman ke seluruh bagian pulau, dengan masing-masing ditanami 400 sampai 500 bau. Namun sesungguhnya Madura tidak cocok untuk perkebunan tebu. Hasil per bau pada tahun 1867 adalah 32,02 pikul pada tahun 1871. Madura termasuk penghasil tebu terjelek. Keuntungan terus mengalir untuk pengusaha perkebunan, tetapi kenyataan perkebunan itu telah merusak produksi tanaman pangan lain serta menimbulkan beberapa persoalan yang serius. Namun meskipun begitu bukan berarti Pulau Madura tidak memiliki komiditi unggulan di bidang pertaniannya. Tembakau bukanlah tanaman baru, ada dua pendapat tentang asal-usul tanaman tembakau di Madura. Pendapat pertama mengatakan bahwa tanaman tembakau diperkenalkan di Madura oleh bangsa Portugis pada akhir abad 16. Pendapat kedua mengatakan bahwa pada waktu kedatangan Belanda di Madura sekitar abad 16, tanaman tembakau telah banyak dibudidayakan rakyat. Tanaman tembakau telah ada sebelum kedatangan Portugis ke Indonesia. Bahkan timbul dugaan bahwa tembakau merupakan tanaman asli Madura. Hal ini berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Madura, bahwa tanaman tembakau diperkenalkan pertama kali oleh penyebar Islam dari Kudus bernama Pangeran Katandur sekitar abad ke-12. Tanaman tembakau Madura ini tersebar mulai dari dataran tinggi di sebelah utara Pulau Madura, mulai Pakong, Kabupaten Pamekasan, sampai Batu Putih, Kabupaten Sumenep. Awalnya sebagian besar petani menanam tembakau untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hanya sedikit yang diperjualbelikan di pasar. Pemerintah Belanda mengenalkan tembakau jenis Virginia. Namun gagal karena lahan dan sistem pengairan yang buruk serta kondisi sosial budaya pada saat itu yang tidak mendukung untuk penanaman tembakau secara besar-besaran. Baru pada era kepemimpinan Raffles kesuksesan budidaya tembakau Madura mulai dapat dirasakan. Bahkan hasil dari petanian tembakau nomor dua setelah padi. Tabel 13 Penanaman Tembakau dalam bau Tahun Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan 1917 1918 1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 2,112 2,148 2,782 2,711 3,679 4,657 3,485 4,066 3,851 4,089 4,492 1,643 1,618 1,221 1,094 1,946 2,845 2,229 3,589 3,788 2,726 3,189 289 712 163 191 235 433 396 402 384 323 280 - - 12 12 14 22 10 130 50 27 90 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 58. Tanaman tembakau memberikan harapan bagi ekonomi pertanian orang Madura. Walaupun terdapat keluhan-keluhan dari pemerintah setempat mengenai kurangnya keberanian petani untuk berusaha, pertumbuhan temabaku sebagai tanaman komersial terus meningkat. Perkembangan itu sangat menarik, kemungkinan karena adanya kemampuan adaptasi dari tanaman tembakau terhadap variasi tanah dan kondisi air. Di musim penghujan dan musim kemarau, tembakau akan tumbuh di sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegal. Pada tahun 1875 di Pamekasan telah dipanen tembakau dari tanah seluas 137 bau dan pada tahun 1880, 279 bau. Di Sumenep, pada tahun 1884 luas areal tembakau yang dipanen adalah 3.671 bau; tahun 1895, 2.629 bau; tahun 1900, 3.652 bau; tahun 1905, 8.865 bau; tahun 1910, 6.410 bau; dan tahun 1915, 8.506 bau. Cepatnya popularitas itu menguntungkan pasaran tembakau Madura. Sebelum Perang Dunia I, produksi tembakau terbatas untuk pasar local, tetapi setelah Perang Dunia I tembakau Madura banyak dibutuhkan di pasaran Eropa. Akan tetapi, tembakau Madura kemudian mengecewakan pasaran Eropa; sebab yang mendasar adalah karena tiap-tiap produsen tidak sama dalam menjaga mutu. Pada tahun 1919 hanya satu perusahaan di Surabaya yang mengadakan transaksi ekspor tembakau Madura. Meskipun tembakau telah hancur reputasinya di pasaran luar negeri, tetapi di pasaran local tembakau Madura tidak merosot. Penanaman tembakau semakin meluas pada dasawarsa setelah tahun 1917. Tabel 12 memperlihatkan penanaman tembakau di masing-masing kabupaten. Pusat penanamannya ada di Pegantenan dan waru di Pamekasan, barat laut dan timur laut di Sumenep, dan Kedundung di Sampang. Pusat-pusat pengiriman di Waru, Ambunten dan Bunder. Selain dibidang pertanian Pulau Madura juga memiliki komoditi unggulan lain, dalam hal ini ialah produksi garamnya. Produksi garam terpusat di Pantai Selatan dari pulau utama, dan jumlah pekerjanya lebih kecil dibanding pekerja pertanian. Sebuah laporan 1885 mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun dalam kenyataannya hal itu berarti hanya pemilik-pemilik ladang garam. Pada tahun 1894, jumlah yang terlibat seluruhnya dalam produksi garam diperkirakan 24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, 10.000 orang di Pamekasan dan 10.600 di Sumenep. Pembuat-pembuat garam yang betul-betul bekerja di ladang jumlahnya 3.269 dengan perincian 815 di Sampang, 1.072 di Pamekasan, dan 1.382 di Sumenep. Taksiran yang komperhensif untuk partisipan-partisipan 8 produksi garam tidak hanya para pemilik, pembuat, dan pekerja saja, tetapi juga yang terlibat dalam transportasi. Pada tahun 1894 terdapat 222 perahu yang terlibat dalam transportasi garam dengan perincian, 94 di Sampang, 38 di Pamekasan, dan 90 di Sumenep, seluruh pekerja transportasi itu jumlahnya 1.110 orang. Dalam rangka proses pengiriman garam, pada umumnya digunakanlah perahu, nama- nama perahu yang ada seperti perahu Jukung, Lis-alis, Paduwang, Leti-leti, Galekan, dan Janggolan. Perahu Lis-alis terutama Janggolan, biasa untuk mengangkut garam dari Madura ke tempat tujuan ke Jawa. Perahu Janggolan amat efektif untuk pengangkutan garam karena mempunyai daya muat dalam jumlah yang besar. Jenis perahu ini merupakan perahu raksasa yang mempunyai berat 100 hingga 200 ton. Tujuan pengangkutan garam dengan meggunakan perahu semacam itu adalah ke gudang-gudang yang telah ditentukan. Sebagai konsekuensi adanya monopoli, maka mengenai pendistribusiannya pemerintah tekah menentukan tempat atau gudang dari setiap propinsi di ketiga propinsi di Jawa dan ditempat 8 Orang yang ikut serta dalam suatu kegiatan atau pemeran serta. lainnya. Kemudian dari gudang-gudang itu diangkat ke tempat-tempat penjualan yang resmi. Produksi garam tidak hanya banyak menguntungkan pendapatan keuangan pemerintah kolonial, tetapi juga menguntungkan penduduk Madura. Secara ekologis di katakan bahwa produksi garam adalah salah satu alternatif dari pertanian. Ketika keadaan cuaca tidak menguntungkan untuk pertanian, justru untuk produksi garam menguntungkan, begitu sebaliknya. Dengan keadaan alam di Madura yang demikian itu, migrasi kerja ke ujung timur Jawa diatur oleh keadaan cuaca. Dalam musim kemarau, petani-petani pergi ke Jawa untuk bekerja dan kembali lagi pada musim hujan, sedangkan produsen-produsen garam di Pantai Selatan pada musim hujan giliran pergi ke Jawa dan kembali lagi ke Madura pada musim kemarau. Namun, tidak adanya pembatasan prosuksi garam mengakibatkan stok garam di gudang-gudang berlebih. Hal itu terjadi misalnya pada tahun-tahun setelah krisis garam tahun 1859 ketika pemerintah pada tahun 1861 mencoba menstimulasi produksi dengan menaikkan harga beli dari f3,50 per koyang 1.825 kg menjadi f10. Akibat kelebihan produksi, pemerintah terpaksa memberhentikan produksi garam sampai 24.000 koyang per tahun. 9 Pada tahun 1876 Sampang dibuka kembali dengan produksi per tahun 7.250 koyang, jadi pada tahun-tahun itu produksi garam di Madura hanya kira-kira 30.000 koyang. Pemerintah menangguhkan pembukaan kembali Pamekasan karena kesulitan transportasi. Malahan, mereka membuka ladang-ladang garam milik pemerintah 9 Kuntowijoyo 2002, loc.cit. di Gersik Putih, Sumenep, pada tahun 1876. Seribu rancangan dibuat, tetapi karena kurangnya kerja sama dengan peduduk rencana itu baru dilaksankan pada Tabel 14 Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih per koyang 27-28 pikul Tahun Hasil Produksi koyang 1870 1871 1873 1877 1879 1883 1890 1891 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1913 1915 1916 1917 1918 888 18.256 38.168 66.901 154 84.563 20.796 68.000 38.281 52.200 63.477 49.615 50.789 63.469 34.726 81.359 53.721 7.604 12.927 132.000 95.000 26.000 29.000 128.000 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 405. tahun 1881. Menurut catatan, pada tahun-tahun itu ladang-ladang garam di Pamekasan dibuka kembali dengan rata-rata produksi 10.000 koyang pertahun. Pada tahun 1882, dengan demikian, jumlah seluruh produksi adalah 42.250 koyang dan pada tahun 1892 meningkat menjadi 48.000 koyang. Tabel 15 Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920 Jumlah Pemilik Plot Sumenep Pamekasan Sampang Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 14 16 18 23 28 29 34 44 Tak terbatas gabungan milik keluarga Tidak digunakan 664 39 138 17 27 10 6 4 1 6 3 - 4 - 1 1 1 1 - 198 11,72 30 819 52,6 64 29 8 4 2 1 1 1 1 1 1 - - - - - 1 359 23 - 815 68,8 58 13 5 3 1 - 2 - 1 - - 1 - - - - - 386 20 - 2.336 50,48 260 59 40 17 9 5 4 7 5 1 5 1 1 1 1 1 1 841 13,23 30 Total 1.719 1.557 1.377 4.653 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 414. termasuk 41 plot baru yang digunakan pertama kali tahun 1919. Plot adalah sebuah istilah yang dibuat oleh pihak kolonial, untuk menandai lahan satu dengan lahan lainnya. Pemerintah sendiri menyatakan tidak lagi membuka ladang-ladang garam baru sampai tahun 1910. Landasan dasar monopoli garam adalah untuk melindungi produksi. Belanda telah lama menganggap monopoli garam sebagai bagian dari pelayanan kerja, mirip dengan jasa penanaman kultuurdiensten yang diterapkan di Jawa. Kemudian ketika pelayanan kerja dan jasa penanaman secara resmi dihapuskan, monopoli dianggap sebagai bagian dari sistem pajak, yang setiap warga Negara wajib melakukannya demi kepentingan-kepentingan umum. Di samping rendahnya harga beli garam yang ditetapkan, kebijakan pemerintah seringkali merugikan produksi garam penduduk di tempat lain. Produsen- produsen garam di Pantai Selatan, yang semata-mata hidupnya terganung dari garam, praktis kehilangan mata pencaharian mereka ketika pemerintah menghentikan produksi garam pada akhir tahun 1860-an. Jumlah pemilik tanah yang terdaftar, yang tidak mengerjakan tanah mereka lebih banyak daripada yang mengerjakannya. Sebagai akibat dari berbagai jenis transaksi, banyak tanah yang Tabel 16 Produksi Garam Tahun 1917 Jumlah plot per pemilik Wilayah 1 2-5 6-10 11-15 16-20 20- lebih Jml Plot Sumenep Pamekasan Sampang 914 1.204 1.218 167 51 47 23 6 3 3 - - 1 1 1 3 2 - 35 289 202 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 415. dikerjakan oleh orang lain. Transaksi-transaksi itu mirip sekali dengan transaksi yang terjadi di tanah pertanian. Pada waktu itu, banyak orang tidak bekerja, banyak orang meninggalkan pulau untuk menuju ke wilayah Jawa Timur dan sekitarnya untuk mencari upah, dan beberapa lainnya terpaksa melakukan tindak kejahatan. Sering kali musim yang tampak baik itu berbalik menjadi buruk. Tabel 17 Pemakaian Konsumsi Garam Tahun 1905 Daerah Pemakai Garam Pemakaian Garam per kepala per tahun kg Madura Pasuruan Surabaya Madiun Kedu 2,26 2,52 2,34 3,28 3,08 Sumber: Kolonial Studien 1916-1917 1917, hlm. 134. Bila kita melihat dari data tabel di atas, Madura yang notabene penghasil dan pengekspor garam itu sendiri. Memilik konsumsi yang sangat kecil terhadap garam, jika dibandingkan dengan daerah lain di pulau Jawa.

BAB III PROSES MIGRASI

A. Migrasi Orang Madura

Migrasi ialah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perpindahan itu bersifat sukarela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Jadi, pindah tempat dari satu apartemen ke apartemen lain hanya dengan melintasi lantai antara kedua ruangan itu dipandang sebagai migrasi, sama seperti perpindahan dari Bombay di India ke Cedar Rapids di Iowa, meskipun tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat perpindahan itu sangat berbeda. Akan tetapi, tidak semua macam perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dapat digolongkan ke dalam definisi ini. Yang tidak dapat digolongkan misalnya, pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman yang tidak lama berdiam di suatu tempat atau perpindahan sementara, seperti pergi ke daerah pegunungan untuk berlibur selama musim panas. Intinya, migrasi adalah gerak penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan. Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah atau sulitnya, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan, dan bermacam-macam rintangan yang menghambat. 1 Nelson menggolongkan faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan itu atas 3 faktor, yaitu: 1. Push factor faktor yang mendorong yang ada pada daerah asal; 2. Pull factor faktor yang menarik yang ada pada daerah tujuan; 3. Other factor faktor-faktor lainnya. ad. 1. Kedalam faktor yang mendorong manusia untuk pindah tempat kediaman ini ialah: a. Adanya pertambahan alami dari jumlah manusia yang mengakibatkan adanya tekanan penduduk; b. Adanya kekeringan sumber alam telah habis; c. Fluktuasi iklim, hal ini sangat terasa bagi manusia yang telah lanjut usianya; d. Social maladjustment, ketidaksesuaian diri dengan tempat semula. ad. 2. Kedalam faktor yang menarik orang untuk pindah ketempat bersangkuta ialah: a. Munculnya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru; b. Adanya pendapatan-pendapatan baru; c. Iklim yang sangat baik. ad. 3. Faktor-faktor lain. Kedalam faktor ini sesungguhnya dapat dimasukkan dalam sub 1 atau sub 2. a. Adanya perubahan-perubahan tehnologi, misalnya adanya mekanisasi pertanian bisa menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk 1 Everett S. Lee, Teori Migrasi, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 2000, hlm. 5-6. pertanian. Hal ini memaksa buruh-buruh tani pindah ketempat atau pekerjaan lain; b. Adanya perubahan pasar; c. Faktor agama dan politik; d. Faktor pribadi personal factor, yang buat segolongan orang perpindahan ini merupakan suatu social habit. 2 Hubungan antara suku bangsa Madura dengan daerah sekitarnya terutama dengan Jawa Timur yang secara geografis letaknya lebih dekat dengan Madura. Dari data sejarah dapat diketahui bahwa hubungan antar suku bangsa Madura dengan Jawa Timur meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Proses perpindahan penduduk migrasi suku bangsa Madura ke Jawa Timur berlangsung sejak masa lampau. Bahkan pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan-karesidenan Jawa, seperti: 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan. 3 Dalam proses migrasinya orang-orang Madura ke Jawa Timur, dibagi menjadi tiga periode waktu. Periode pertama bisa ditelusuri setelah terjadinya peperangan antara Mataram dan VOC Vereenigde Oostindische Compagnie sekitar permulaan abad ke kedelapan belas. Peperangan ini berlangsung lama sekali sehingga benar-benar membutuhkan dana besar serta amat melelahkan. Akibatnya, VOC tidak lagi bias memberikan banyak perhatian kepada anak-anak 2 Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharatara, 1965, hlm. 24. 3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 75.