Mata Pencaharian LATAR BELAKANG MIGRASI
pertumbuhan penduduk yang pesat, lambat laun tekanan yang berlangsung terus menerus terhadap lahan menjadi semakin berat.
Pulau Madura juga
memiliki sejumlah
perusahaan kecil,
seperti pembakaran kapur, pabrik batu bata, dan genteng, pabrik tenun, pabrik es batu,
perusahaan pemintalan tali, dan galangan kapal yang kecil. Selain pabrik garam, tidak ada perusahaan besar. Madura merupakan salah satu dari daerah-daerah
yang paling miskin di kepulauan Indonesia per kepala. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain sehubungan dengan permasalahan ekonominya, seperti
Gunung Kidul yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta, Madura kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan propinsi. Kehidupan yang pelik
seperti ini tentunya memancing niat dari orang-orang Madura untuk pindah atau bermigrasi ke wilayah lain terutama Jawa Timur.
Orang-orang Madura dipaksa oleh keadaan untuk memilih jenis bibit padi yang mempunyai masa pertumbuhan singkat, hanya sedikit yang memilih bibit
dengan masa tumbuh lama. Di Pameksan tidak ada padi berumur 5 sampai 6 bulan ditanam; padi tengah dengan masa tumbuh 4 sampai 5 bulan dipilih untuk ditanam
di sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Di Sumenep, padi dalem juga ditanam, namun sebagian besar menanam padi genjah dengan masa pertumbuhan pendek,
yakni 3 sampai 4 bulan. Di Bangkalan, padi dalem juga ditanam, tetapi yang paling disukai adalah padi tengah. Di Sampang, padi dalem ditanam dalam skala
yang sangat kecil di sawah tadah hujan, namun petani lebih banyak menanam di sawah irigasi dibandingkan dengan padi tengah. Rupanya, keterbatasan air
menentukan jenis padi yang akan ditanam.
Tabel 10 Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau
dalam pikul
Tahun Madura
Jawa-Madura 1896
1900 1906
1911 14,26
14,84 15
15 24,17
24,99 25,26
27 Sumber :
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 49.
Tabel 11 Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau dalam pikul
Tahun Madura
Jawa-Madura 1916
1921 1926
1929 11,20
10,91 14,34
11,17 23,59
19,08 23,88
22,65
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 49. 1 bau = 0,7096 hektar; 1 pikul = 137 lb
Buruknya kondisi tanah dan kurangnya air mengakibatkan hasil yang rendah. Dibandingkan dengan Jawa, produktivitas tanah di Madura lebih rendah,
kurang lebih separuh dari jumlah padi per unit tanah. Tabel 10 dan 11 memperlihatkan hasil panen dan hasil ladang yang ditanami rata-rata per bau di
Madura dan Jawa-Madura. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, resiko penanaman padi di Madura jelas lebih besar dibanding dengan di Jawa. Walaupun
mereka mengalami kesulitan, orang Madura lebih intensif dalam pengolahan tanah disbanding rata-rata orang Jawa. Pada tahun 1930 proporsi hasil panen dari
seluruh tanah yang ditanami di bagian barat Madura adalah 143 persen dan Madura timur 119 persen; dibandingkan dengan gambaran untuk Jawa-Madura
adalah 102 persen Bojonegoro 151,6 persen yang tertinggi dan Priangan Timur 61,3 persen yang terindah. Intensitas penanaman mereka yang lebih tinggi tidak
menjadikan orang Madura makmur. Beras langka dan harganya menjadi tinggi. Bagi orang Madura, pemanfaatan bahan makanan pokok tergantung pada
tanaman-tanaman lain juga. Jagung paling popular, kemudian singkong. Ubi jalar sekali waktu dianggap sebagai pengganti. Pada tahun 1880, orang Madura
mempunyai andil yang cukup besar dalam produksi jagung untuk Jawa-Madura, yaitu lebih dari 50 persen. Jumlah areal yang ditanami jagung di Jawa-Madura
pada tahun itu seluas 637.677 bau, di Madura sendiri 324.252 bau. Andil orang Madura ini terus-menerus dan turun-temurun. Tahun 1895
tanah yang ditanami jagung di Jawa-Madura 1.090.497 bau, dan di Madura 321.920 bau. Adapun distribusi tiga tanaman pokok subsisten, yakni padi, jagung,
dan singkong, seperti terlihat dalam tabel 11. Ubi jalar ditanam dalam jumlah yang agak besar: 23.467 bau pada tahun 1916, 35.981 bau pada tahun 1926, dan
32.260 hektar pada tahun 1935. Sedangkan kentang hanya ditanam dalam jumlah yang kecil: 1 bau pada tahun 1926, 58 hektar pada tahun 1935. Umbi-umbian
yang lain ditanam pada areal seluas 19.492 hektar. Kacang ditanam dalam jumlah yang cukup berarti, namun tidak demkian dengan keledai. Persentase tanaman
selain padi yang ditanam pada tahun 1927: jagung 61,7 persen, singkong 16,6 persen, ubi jalar 3,6 persen, kacang-kacangan 5,4 persen, dan tanaman lain 5,3
persen.
7
7
Kuntowijoyo 2002, op.cit., hlm. 50.
Tabel 12 Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten dalam kg
Tahun dan Wilayah
Padi Jagung
Singkong
1916 Madura
Jawa-Madura 84.065
4.273.332 342.852
2.229.833 35.734
639.171 1921
Madura Jawa-Madura
93.876 4.118.499
391.314 2.104.287
154.194 1.107.326
1926 Madura
Jawa-Madura 112.665
4.784.342 463.251
2.764.073 78.551
957.970 Sumber :
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 51.
Di antara tanaman keras, siwalan menduduki tempat yang penting di dalam perekonomian orang Madura. Siwalan tumbuh di dataran tinggi bagian
timur perbatasan Sapulu-Pameasan, yang paling banyak di Sumenep. Siwalan dapat tumbuh dengan baik di tanah-tanah tandus. Seluruh bagian dari pohon
Siwalan dapat dimanfaatkan: daunnya untuk membuat tikar, keranjang, timba, dan mainan; sari buahnya untuk bahan dasar minuman keras, arak, dan cuka; rebusan
sari buahnya untuk membuat gula; pohonnya untuk bahan-bahan bagunan; dan buahnya dapat dimakan. Tanaman lain yang memberikan keuntungan bagi orang
Madura dalam perdagangan di antaranya asam jawa, kapuk, dan pohon buah- buahan khususnya mangga. Di Pulau Madura kelapa tumbuh dimana-mana dan
buahnya dimanfaatkan untuk minyak. Satu lagi tanaman tradisional adalah Indigo digunakan sebagai pewarna tekstil. Indigo hanya tumbuh dalam jumlah yang kecil
di wilayah Bangkalan.
Tanaman-tanaman komersial seperti tebu, tembakau, dan kopi juga tumbuh di Madura. Mulai tahun 1835 perkebunan tebu di Pamekasan dikuasai
oleh raja-raja pribumi. Semula hanya terbatas di desa-desa, dan tak lebih dari 400 bau. Setelah penguasa pribumi dihentikan pada tahun 1858, pemerintah kolonial
melanjutkan kontrak dan pengawasan perkebunan tebu tersebut. Pada tahun 1860 jumlah areal yang ditanami tebu 300 bau dan menghasilkan 10.000 pikul tebu.
Tanaman itu ternyata menguntungkan pemerintah regional Madura, yang kemudian merencanakan perluasan penanaman ke seluruh bagian pulau, dengan
masing-masing ditanami 400 sampai 500 bau. Namun sesungguhnya Madura tidak cocok untuk perkebunan tebu. Hasil per bau pada tahun 1867 adalah 32,02
pikul pada tahun 1871. Madura termasuk penghasil tebu terjelek. Keuntungan terus mengalir untuk pengusaha perkebunan, tetapi kenyataan perkebunan itu
telah merusak produksi tanaman pangan lain serta menimbulkan beberapa persoalan yang serius.
Namun meskipun begitu bukan berarti Pulau Madura tidak memiliki komiditi unggulan di bidang pertaniannya. Tembakau bukanlah tanaman baru, ada
dua pendapat tentang asal-usul tanaman tembakau di Madura. Pendapat pertama mengatakan bahwa tanaman tembakau diperkenalkan di Madura oleh bangsa
Portugis pada akhir abad 16. Pendapat kedua mengatakan bahwa pada waktu kedatangan Belanda di Madura sekitar abad 16, tanaman tembakau telah banyak
dibudidayakan rakyat. Tanaman tembakau telah ada sebelum kedatangan Portugis ke Indonesia. Bahkan timbul dugaan bahwa tembakau merupakan tanaman asli
Madura. Hal ini berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat
Madura, bahwa tanaman tembakau diperkenalkan pertama kali oleh penyebar Islam dari Kudus bernama Pangeran Katandur sekitar abad ke-12. Tanaman
tembakau Madura ini tersebar mulai dari dataran tinggi di sebelah utara Pulau Madura, mulai Pakong, Kabupaten Pamekasan, sampai Batu Putih, Kabupaten
Sumenep. Awalnya sebagian besar petani menanam tembakau untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hanya sedikit yang diperjualbelikan di pasar. Pemerintah
Belanda mengenalkan tembakau jenis Virginia. Namun gagal karena lahan dan sistem pengairan yang buruk serta kondisi sosial budaya pada saat itu yang tidak
mendukung untuk penanaman tembakau secara besar-besaran. Baru pada era kepemimpinan Raffles kesuksesan budidaya tembakau Madura mulai dapat
dirasakan. Bahkan hasil dari petanian tembakau nomor dua setelah padi.
Tabel 13 Penanaman Tembakau dalam bau
Tahun Sumenep
Pamekasan Sampang
Bangkalan 1917
1918 1919
1920 1921
1922 1923
1924 1925
1926 1927
2,112 2,148
2,782 2,711
3,679 4,657
3,485 4,066
3,851 4,089
4,492 1,643
1,618 1,221
1,094 1,946
2,845 2,229
3,589 3,788
2,726 3,189
289 712
163 191
235 433
396 402
384 323
280 -
- 12
12 14
22 10
130 50
27 90
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 58.
Tanaman tembakau memberikan harapan bagi ekonomi pertanian orang Madura. Walaupun terdapat keluhan-keluhan dari pemerintah setempat mengenai
kurangnya keberanian petani untuk berusaha, pertumbuhan temabaku sebagai tanaman komersial terus meningkat. Perkembangan itu sangat menarik,
kemungkinan karena adanya kemampuan adaptasi dari tanaman tembakau terhadap variasi tanah dan kondisi air. Di musim penghujan dan musim kemarau,
tembakau akan tumbuh di sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegal. Pada tahun 1875 di Pamekasan telah dipanen tembakau dari tanah seluas 137 bau dan pada
tahun 1880, 279 bau. Di Sumenep, pada tahun 1884 luas areal tembakau yang dipanen adalah 3.671 bau; tahun 1895, 2.629 bau; tahun 1900, 3.652 bau; tahun
1905, 8.865 bau; tahun 1910, 6.410 bau; dan tahun 1915, 8.506 bau. Cepatnya popularitas itu menguntungkan pasaran tembakau Madura.
Sebelum Perang Dunia I, produksi tembakau terbatas untuk pasar local, tetapi setelah Perang Dunia I tembakau Madura banyak dibutuhkan di pasaran Eropa.
Akan tetapi, tembakau Madura kemudian mengecewakan pasaran Eropa; sebab yang mendasar adalah karena tiap-tiap produsen tidak sama dalam menjaga mutu.
Pada tahun 1919 hanya satu perusahaan di Surabaya yang mengadakan transaksi ekspor tembakau Madura. Meskipun tembakau telah hancur reputasinya di
pasaran luar negeri, tetapi di pasaran local tembakau Madura tidak merosot. Penanaman tembakau semakin meluas pada dasawarsa setelah tahun 1917. Tabel
12 memperlihatkan penanaman tembakau di masing-masing kabupaten. Pusat penanamannya ada di Pegantenan dan waru di Pamekasan, barat laut dan timur
laut di Sumenep, dan Kedundung di Sampang. Pusat-pusat pengiriman di Waru, Ambunten dan Bunder.
Selain dibidang pertanian Pulau Madura juga memiliki komoditi unggulan lain, dalam hal ini ialah produksi garamnya. Produksi garam terpusat di Pantai
Selatan dari pulau utama, dan jumlah pekerjanya lebih kecil dibanding pekerja
pertanian. Sebuah laporan 1885 mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun dalam kenyataannya hal itu berarti hanya pemilik-pemilik ladang garam. Pada
tahun 1894, jumlah yang terlibat seluruhnya dalam produksi garam diperkirakan 24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, 10.000 orang di Pamekasan dan 10.600 di
Sumenep. Pembuat-pembuat garam yang betul-betul bekerja di ladang jumlahnya 3.269 dengan perincian 815 di Sampang, 1.072 di Pamekasan, dan 1.382 di
Sumenep. Taksiran yang komperhensif untuk partisipan-partisipan
8
produksi garam tidak hanya para pemilik, pembuat, dan pekerja saja, tetapi juga yang
terlibat dalam transportasi. Pada tahun 1894 terdapat 222 perahu yang terlibat dalam transportasi garam dengan perincian, 94 di Sampang, 38 di Pamekasan, dan
90 di Sumenep, seluruh pekerja transportasi itu jumlahnya 1.110 orang. Dalam rangka proses pengiriman garam, pada umumnya digunakanlah perahu, nama-
nama perahu yang ada seperti perahu Jukung, Lis-alis, Paduwang, Leti-leti, Galekan, dan Janggolan. Perahu Lis-alis terutama Janggolan, biasa untuk
mengangkut garam dari Madura ke tempat tujuan ke Jawa. Perahu Janggolan amat efektif untuk pengangkutan garam karena mempunyai daya muat dalam jumlah
yang besar. Jenis perahu ini merupakan perahu raksasa yang mempunyai berat 100 hingga 200 ton.
Tujuan pengangkutan garam dengan meggunakan perahu semacam itu adalah ke gudang-gudang yang telah ditentukan. Sebagai konsekuensi adanya
monopoli, maka mengenai pendistribusiannya pemerintah tekah menentukan tempat atau gudang dari setiap propinsi di ketiga propinsi di Jawa dan ditempat
8
Orang yang ikut serta dalam suatu kegiatan atau pemeran serta.
lainnya. Kemudian dari gudang-gudang itu diangkat ke tempat-tempat penjualan yang resmi. Produksi garam tidak hanya banyak menguntungkan pendapatan
keuangan pemerintah kolonial, tetapi juga menguntungkan penduduk Madura. Secara ekologis di katakan bahwa produksi garam adalah salah satu alternatif dari
pertanian. Ketika keadaan cuaca tidak menguntungkan untuk pertanian, justru untuk produksi garam menguntungkan, begitu sebaliknya. Dengan keadaan alam
di Madura yang demikian itu, migrasi kerja ke ujung timur Jawa diatur oleh keadaan cuaca.
Dalam musim kemarau, petani-petani pergi ke Jawa untuk bekerja dan kembali lagi pada musim hujan, sedangkan produsen-produsen garam di Pantai
Selatan pada musim hujan giliran pergi ke Jawa dan kembali lagi ke Madura pada musim
kemarau. Namun,
tidak adanya
pembatasan prosuksi
garam mengakibatkan stok garam di gudang-gudang berlebih. Hal itu terjadi misalnya
pada tahun-tahun setelah krisis garam tahun 1859 ketika pemerintah pada tahun 1861 mencoba menstimulasi produksi dengan menaikkan harga beli dari f3,50 per
koyang 1.825 kg menjadi f10. Akibat kelebihan produksi, pemerintah terpaksa memberhentikan produksi garam sampai 24.000 koyang per tahun.
9
Pada tahun 1876 Sampang dibuka kembali dengan produksi per tahun 7.250 koyang, jadi
pada tahun-tahun itu produksi garam di Madura hanya kira-kira 30.000 koyang. Pemerintah menangguhkan pembukaan kembali Pamekasan karena kesulitan
transportasi. Malahan, mereka membuka ladang-ladang garam milik pemerintah
9
Kuntowijoyo 2002, loc.cit.
di Gersik Putih, Sumenep, pada tahun 1876. Seribu rancangan dibuat, tetapi karena kurangnya kerja sama dengan peduduk rencana itu baru dilaksankan pada
Tabel 14 Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih per koyang 27-28 pikul
Tahun Hasil Produksi koyang
1870 1871
1873 1877
1879 1883
1890 1891
1900 1901
1902 1903
1904 1905
1906 1907
1908 1909
1910 1913
1915 1916
1917 1918
888 18.256
38.168 66.901
154 84.563
20.796 68.000
38.281 52.200
63.477 49.615
50.789 63.469
34.726 81.359
53.721
7.604 12.927
132.000 95.000
26.000 29.000
128.000 Sumber :
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 405.
tahun 1881. Menurut catatan, pada tahun-tahun itu ladang-ladang garam di Pamekasan dibuka kembali dengan rata-rata produksi 10.000 koyang pertahun.
Pada tahun 1882, dengan demikian, jumlah seluruh produksi adalah 42.250 koyang dan pada tahun 1892 meningkat menjadi 48.000 koyang.
Tabel 15 Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920
Jumlah Pemilik Plot
Sumenep Pamekasan
Sampang Total
1 2
3 4
5 6
7 8
9
10 14
16 18
23 28
29 34
44
Tak terbatas gabungan
milik keluarga Tidak
digunakan 664 39
138 17
27 10
6 4
1 6
3
- 4
- 1
1 1
1
-
198 11,72
30 819 52,6
64 29
8 4
2 1
1 1
1 1
1
- -
- -
-
1
359 23 -
815 68,8 58
13 5
3 1
- 2
- 1
- -
1 -
- -
- -
386 20 -
2.336 50,48 260
59 40
17
9 5
4 7
5 1
5 1
1 1
1 1
1
841 13,23 30
Total
1.719 1.557
1.377 4.653
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 414. termasuk 41 plot baru yang digunakan pertama kali tahun 1919. Plot adalah
sebuah istilah yang dibuat oleh pihak kolonial, untuk menandai lahan satu dengan lahan lainnya.
Pemerintah sendiri menyatakan tidak lagi membuka ladang-ladang garam baru sampai tahun 1910. Landasan dasar monopoli garam adalah untuk
melindungi produksi. Belanda telah lama menganggap monopoli garam sebagai bagian dari pelayanan kerja, mirip dengan jasa penanaman kultuurdiensten yang
diterapkan di Jawa. Kemudian ketika pelayanan kerja dan jasa penanaman secara resmi dihapuskan, monopoli dianggap sebagai bagian dari sistem pajak, yang
setiap warga Negara wajib melakukannya demi kepentingan-kepentingan umum. Di samping rendahnya harga beli garam yang ditetapkan, kebijakan pemerintah
seringkali merugikan produksi garam penduduk di tempat lain. Produsen- produsen garam di Pantai Selatan, yang semata-mata hidupnya terganung dari
garam, praktis
kehilangan mata
pencaharian mereka
ketika pemerintah
menghentikan produksi garam pada akhir tahun 1860-an. Jumlah pemilik tanah yang terdaftar, yang tidak mengerjakan tanah mereka lebih banyak daripada yang
mengerjakannya. Sebagai akibat dari berbagai jenis transaksi, banyak tanah yang
Tabel 16 Produksi Garam Tahun 1917
Jumlah plot per
pemilik Wilayah
1 2-5
6-10 11-15
16-20 20-
lebih Jml
Plot
Sumenep Pamekasan
Sampang 914
1.204 1.218
167 51
47 23
6 3
3 -
- 1
1 1
3 2
- 35
289 202
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 415.
dikerjakan oleh orang lain. Transaksi-transaksi itu mirip sekali dengan transaksi yang terjadi di tanah pertanian. Pada waktu itu, banyak orang tidak bekerja,
banyak orang meninggalkan pulau untuk menuju ke wilayah Jawa Timur dan sekitarnya untuk mencari upah, dan beberapa lainnya terpaksa melakukan tindak
kejahatan. Sering kali musim yang tampak baik itu berbalik menjadi buruk.
Tabel 17 Pemakaian Konsumsi Garam Tahun 1905
Daerah Pemakai Garam Pemakaian Garam per kepala per tahun
kg Madura
Pasuruan Surabaya
Madiun Kedu
2,26 2,52
2,34 3,28
3,08
Sumber: Kolonial Studien 1916-1917 1917, hlm. 134. Bila kita melihat dari data tabel di atas, Madura yang notabene penghasil dan
pengekspor garam itu sendiri. Memilik konsumsi yang sangat kecil terhadap garam, jika dibandingkan dengan daerah lain di pulau Jawa.