Pola Pemukiman LATAR BELAKANG MIGRASI

menikah dengan suaminya menurut urutan umur. Yang menentukan urutan sebenarnya adalah hari perkawinan, tetapi jarang sekali seorang anak perempuan yagn lebih muda akan menikah lebih dahulu dari pada saudara perempuan yang lebih tua. Biasanya orang tua sudah mencarikan calon ketika anaknya masih sangat muda. Setelah orang tua itu meninggal dunia, para penghuni semuanya berpindah tempat. Anak perempuan tertua dengan sendirinya menempati rumah kediaman orang tuanya dan anak perempuan yang kedua menempati rumah kediaman saudara perempuannya yang tertua. Menantu laki-laki yang pertama, kini menjadi kepala tanean lanjang. Suatu perubahan yang mendalam terjadi, bila anak perempuan dari para ibu yang orang tuanya masih hidup itu menikah. Supaya anak perempuan itu bertempat tinggal di samping orang tuanya, ia diberi tempat tinggal di antara anak-anak perempuan dari kepala pekarangan. Bila kakek dan nenek pun telah meninggal dunia, maka pekarangan itu dibagi-bagikan di antara anak-anak perempuan itu dan keluarga mereka, ditempatkan dinding pemisah dan dua atau lebih, sedikit banyak hidup berdampingan secara berdikari. Sebuah pekarangan tidak boleh mengambil banyak tempat. Bila perluasan itu terjadi dengan mengorbankan lahan pertanian yang memang sangat diperlukan, perumahan pun dibangun di sebelah selatan. Dalam hal ini, anak perempuan tinggal di sebelah kiri orang tuanya. Keadaan ini sepintas lalu nampaknya bertentangan dengan prinsip “barat-timur”. Sebetulnya ini adalah penerapan yang konsekuen dari situasi yang terbalik dalam kasus yang luar biasa. Penyimpangan dan variasi-variasinya makin meningkat di desa-desa dan di dukuh-dukuh di mana sebagian besar penghuni tidak bekerja di bidang agraria. Tabel 5 Kepadatan Penduduk Tahun 1867 Ukuran Dalam Kepadatan Dalam Wilayah Persegi Populasi Persegi Mil Pal Mil Pal Pamekasan Sampang Bangkalan Sumenep 9,66 14,48 28,97 68,50 253 351 704 1.096 103.117 68.832 212.774 210.218 10.674 4.753 7.343 3.068 442 196 302 193 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 84. Pola pemukiman dalam bentuknya yang paling murni terdapat di daerah- daerah pertanian. Namun, di desa nelayan di sepanjang pantai pola tanean juga masih dipertahankan. Walaupun tanean lanjang itu dihuni oleh satu atau lebih keluarga luas, keluarga-keluarga inti tetap merupakan kesatuan social terpenting. Setiap keluarga mengurus rumah tangganya sendiri dan menguasai sebidang lahan tertentu. Tetapi di antara keluarga-keluarga inti dari sebuah pekarangan itu terdapat kerjasama yang sangat erat. Para penghuni saling membantu dalam hal berbelanja, masak pun kadang dilakukan bersama dan secara teratur saling mengurus anak-anak mereka. Para penghuni dari suatu tanean lanjang merupakan figurasi sosial terpenting di pedesaan sesudah keluarga inti. Tabel 6 Kelompok-Kelompok Populasi di Madura Tahun Pend. Asli Eropa Cina Arab Lain-lain Total 1857 1870 1880 1885 1890 1895 1900 1905 1920 1930 308.985 651.273 804.015 1.367.875 1.496.044 1.626.148 1.751.498 1.487.925 1.731.790 1.953.812 408 495 509 473 462 578 747 612 814 1051 3.776 3.319 Peranakan 5.366 3.932 4.028 4.469 4.127 4.381 3.085 5.029 879 979 1.516 1.425 1.564 1.524 1.774 1.586 36 Bengali 7 “moor” 4.159 Mly 36 budak 4.607 164 147 140 133 111 81 6.322 2.719 393.605 662.720 810.135 1.373.948 1.502.679 1.592.514 1.758.511 1.493.289 1.738.926 1.962.611 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 76. Tabel di atas menjelaskan bagaimana pada tahun 1870 penduduk Madura berkurang dengan pesatnya. Satu-satunya yang dapat menjelaskan masalah penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa, yang tentu saja penyebab emigrasi ini antara lain, geografis Madura yang tidak layak, tekanan penguasa lokal, dan tentu saja pandangan tentang penghidupan di Pulau Jawa yang lebih baik dari pada Pulau Madura. Tabel 7 Kepadatan Penduduk Per 100 Ha kepala Kabupaten Areal dalam Ha 1885 1890 1900 1905 Pamekasan Sumenep +Kangean, Sapudi Bangkalan Sampang 78.704 114.848 129.555 123.870 273 243 292 427 315 267 340 439 320 289 373 529 353 300 Total 337 360 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm, 88. Wilayah pemukiman tradisional di Madura tidak hanya tanean lanjang saja, namun ada pula takat lanjang. Takat lanjang adalah sebutan untuk rumah di atas laut, tepatnya di Sumenep, Desa Sepanjang, Kecamatan Sepaken. Untuk menuju kesana dengan perahu dari Pulau Sepaken membutuhkan waktu sekitar satu jam. Jika dilihat dari jauh, rumah-rumah tersebut menyerupai keramba ikan raksasa di tengah laut, namun sebenarnya dari sejumlah “keramba” itu adalah rumah tempat tinggal penduduk setempat. Bentuk bangunan rumah takat lajang tersebut sangat sederhana. Dindinnya terbuat dari anyaman bambu. Sebagian ada juga yang terbuat dari papan. Sementara atap rumah menggunakan anyaman jannur kering. Setiap rumah dibangun berukuran 3x5 meter. Rumah-rumah tersebut dibangun dengan pola berjajar. Jarak lantai rumah dengan laut sekitar 1 meter. Lokasi takat lanjang tepat berada di atas gugusan karang. Mereka menyebut rumah mereka dengan takat lanjang atau karang panjang. Bentuknya yang berjajar mengingatkan kita pada rumah saudara mereka yang ada di daratan, yang disebut tanean lanjang. 6 Sama seperti tanean lanjang, semua penghuni rumah apung tersebut memiliki hubungan kekerabatan. Kehidupan mereka yang mengelompok dan hanya terdiri dari beberapa keluarga itu membuat mereka rukun satu sama lain. Mereka juga sangat ramah dan hangat, pada tamu yang berkunjung kesana. Ketika ada tamu yang dating, semua warga di tempat itu segera berkumpul di satu tempat untuk menemui tamu. Satu-satunya alat transportasi disana adalah perahu, yang dimiliki setiap keluarga. Untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok mereka mencari di pulau terdekat. Untuk mendapatkan air minum, warga menuju Pulau Sasel’el. Sementara untuk kebutuhan lain, mereka mennuju pulau lainnya. Warga disana semuanya bekerja sebagai nelayan. Di tempat ini tentu saja sangat mudah mendapatkan ikan segar. Karena tinggal di antara sejumlah pulau, warga di sini memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi. Mereka rata-rata menguasai tiga bahasa, yakni bahasa Madura, Bajo, Indonesia. Ketiga bahasa tersebut digunakan sesuai dengan lawan bicara. Baha Bajo digunakan saat berhadapan dengan warga pulau sekitar yang juga menggunakan bahasa Bajo. Begitu pula dengan bahasa Madura, digunakan saat mereka berhadapan dengan orang yang berbahasa Madura. 6 Samsul Ma’arif, The History Of Madura, Yogyakarta: Araska, 2015, hlm. 181.

C. Mata Pencaharian

Tanah dan hewan ternak merupakan sesuatu yang sangat spesial di Pulau Madura. Walaupun kebanyakan tanah di Pulau Madura, tandus dan berkapur. Namun tidak sedikit dari masyarakat Madura yang bermata pencaharian sepenuhnya bergantung pada tanah. Pertanian dan peternakan merupakan mata pencaharian utama. Antara 70 dan 80 dari penduduk Madura, bagi kehidupan sehari-hari seluruhnya atau sebagian besar tergantung pada kegiatan-kegiatan agraris. Di daerah-daerah pantai dan di sekitar kepulauan, perikanan mempunyai arti penting disamping pertanian. Perdagangan, kerajinan, pembuatan garam dan pelayaran merupakan sumber pendapatan penting lainnya. Lagi pula mata pencaharian dari sebagian besar penduduk masih bertumpu kepada pekerjaan yang mereka lakukan di seberang laut. Pada tahun 1879 ketika topografi pulau itu untuk pertama kali dibuat, ternyata kira-kira 70 dari luas lahan telah dibudidayakan. Pada akhir tahun-tahun dua puluhan, pertanian tersebut telah meningkat menjadi hampir sekitar 80. Sejak saat itu luas lahan pertanian tidak berubah. Luas lahan pertanian dewasa ini ialah 433.000 ha, dan 52.000 ha terdiri dari pekarangan dan kebun. Tabel 8 Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912 Wilayah Jumlah Desa Pemilikan Individu Campuran Komunal Perdikan Bukan Tanah Pertanian Pamekasan Sumenep Bangkalan Sampang 195 330 413 227 1.165 183 314 381 224 1.102 - - - - - - - - 6 13 10 3 32 6 3 22 - 31 Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 357. Tabel 9 Jumlah Ternak di Madura Tahun Sapi Kerbau Kuda Total Rata-rata per 1.000 1885 1890 1900 1906 1922 1930 415.360 473.000 567.922 581.413 603.895 657.818 30.797 27.900 28.738 21.637 17.065 22.299 26.200 29.622 12.000 499.668 527.100 616.282 686.883 342 361 356 1,5 Per rumah Tangga 358 N.A. Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 369. Sepertiga dari lahan sawah ini diairi secara teknis dengan air sungai, mata air atau dari waduk-waduk cadangan yang dahulu dibuat di bawah pemerintahan kolonial. Sawah seluruhnya tergantung pada curah hujan. Dua pertiga dari areal sawah tersebut terletak di bagian barat Pulau Madura. Di Pulau Madura hanya pertanian rakyat saja yang ada. Pada waktu tanah-tanah partikelir di Jawa mengalami zaman makmur, Pulau Madura hanya memiliki dua buah perusahaan perkebunan, yaitu sebuah perkebunan gula dan sebuah perkebunan tembakau. Tetapi tidak lama kemudian kedua perkebunan tersebut tutup. Karena pertumbuhan penduduk yang pesat, lambat laun tekanan yang berlangsung terus menerus terhadap lahan menjadi semakin berat. Pulau Madura juga memiliki sejumlah perusahaan kecil, seperti pembakaran kapur, pabrik batu bata, dan genteng, pabrik tenun, pabrik es batu, perusahaan pemintalan tali, dan galangan kapal yang kecil. Selain pabrik garam, tidak ada perusahaan besar. Madura merupakan salah satu dari daerah-daerah yang paling miskin di kepulauan Indonesia per kepala. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain sehubungan dengan permasalahan ekonominya, seperti Gunung Kidul yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta, Madura kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan propinsi. Kehidupan yang pelik seperti ini tentunya memancing niat dari orang-orang Madura untuk pindah atau bermigrasi ke wilayah lain terutama Jawa Timur. Orang-orang Madura dipaksa oleh keadaan untuk memilih jenis bibit padi yang mempunyai masa pertumbuhan singkat, hanya sedikit yang memilih bibit dengan masa tumbuh lama. Di Pameksan tidak ada padi berumur 5 sampai 6 bulan ditanam; padi tengah dengan masa tumbuh 4 sampai 5 bulan dipilih untuk ditanam di sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Di Sumenep, padi dalem juga ditanam, namun sebagian besar menanam padi genjah dengan masa pertumbuhan pendek, yakni 3 sampai 4 bulan. Di Bangkalan, padi dalem juga ditanam, tetapi yang paling disukai adalah padi tengah. Di Sampang, padi dalem ditanam dalam skala yang sangat kecil di sawah tadah hujan, namun petani lebih banyak menanam di sawah irigasi dibandingkan dengan padi tengah. Rupanya, keterbatasan air menentukan jenis padi yang akan ditanam.