Identifikasi Kelompok Migrasi PROSES MIGRASI

1.000.000 500.000 100.000 50.000 10.000 5.000 jumlah orang 100 1805 20 25 40 60 80 1900 tahun Sumber: Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura ke Jember: Suatu Kajian Historis Komparatif, dalam Jurnal DPRD Dalam Perkembangan Kabupaten Jember, hlm. 27. Hal ini mengakibatkan Jember yang semula termasuk daerah yang sepi dan berpenduduk paling sedikit jika dibanding dengan daerah-daerah lain di Karesidenan Besuki, kemudian menjadi daerah yang paling ramai dan paling padat penduduknya. Penyebab pertumbuhan kota Jember erat kaitannya dengan penetrasi sistem kapitalisme yang berwujud perkebunan partikelir. Perusahaan perkebunan partikelir banyak berdiri di daerah Jember sejak diterapkannya “the system of interprise” oleh pemerintah kolonial Belanda pada desenia keenam abad ke XIX. Perusahaan-perusahaan ini antara lain; NV LMOD Landbouw Maatscappij Oud Djember, Djelboek Tabak Maatscppij, N.V Cultuur Maatscappij Zuid Djember dan masih banyak yang lainnya. Grafik diatas memperlihatkan penduduk Jember pada tahun 1820-an hanya berjumlah sekitar 10.000 jiwa, namun pada tahun 1970-an meningkat tajam menjadi sekitar 100.000 jiwa. Peningkatan tersebut antara lain dikarenakan sejak desenia keenam abad XIX terjadi gelombang migrasi orang-orang Madura ke wilayah Jember dan mereka menetap di kawasan Jember Utara karena sesuai dengan kondisi ekosistem di tempat asal mereka yakni hidup di kawasan tegalan. Namun mulai akhir abad XIX terjadi perubahan arus migrasi ke Jember. Pada waktu itu orang- orang Jawa terutama yang berasal dari Bojonegoro, Ponorogo, Kediri dan orang- orang Vorstenlanden mulai berdatangan dan menetap di daerah Jember. Mereka umumnya menetap di kawasan Jember Selatan sesuai dengan asal mereka yang berekosistem persawahan dan kehisupan agraris. Salah satu penyebabnya dikarenakan lancarnya jalur transportasi karena sejak akhir abad XIX dibuka jalur kereta api Surabaya-Probolinggo-Jember. Terjadinya migrasi ke Jember itu mengakibatkan terjadinya pola settelement baru yang sesuai dengan latar belakang etnisnya. Adanya kondisi pemukiman seperti itu memungkinkan bagi etnis-etnis di daerah Jember tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan budaya asalnya. Itulah sebabnya secara demografis dan kultural Jember Utara dan Jember Selatan berbeda. Seperti yang dituliskan E.G. Ravenstein dalam makalahnya bahwa ekonomi sangat kuat mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi walaupun faktor nonekonomi tidak dapat diabaikan dalam motivasi seseorang untuk bermigrasi, seperti contohnya faktor sosial. Dalam makalahnya, beliau juga menjelaskan tujuh butir hukum dari migrasi; migrasi dan jarak; migrasi cendrung menempuh jarak dekat dan apabila daerah tujuan semakin jauh, frekuesi migran menuju kedaerah tersebut semakin kecil, migrasi bertahap, arus dan arus balik, adanya perbedaan antara penduduk perkotaan dan pedesaan dalam minat bermigrasi, kebanyakan perempuan lebih suka melakukan migrasi ke daerah-daerah yang dekat, teknologi dan migrasi, motif ekonomi merupakan dorongan utama. Tujuh poin inilah yang selalu menjadi patokan dari E.G. Ravenstein untuk mempertahankan tulisannya. Namun secara luas, migrasi lebih dipahami sebagai perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perpindahan itu bersifat sukarela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. 6 Ada empar faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi sebagai berikut; faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang terdapat didaerah tujuan, penghalang dan faktor pribadi. Faktor TempatDaerah Asal dan Tempat Daerah Tujuan Serta Penghalang-Antara dalam Migrasi Daerah Asal Penghalang Daerah Tujuan 6 Everett S. Lee, op.cit., hlm. 6. -+---+--- +--+-O- ++O-O--- -----+----- ++++- +++O-- +-O++-- -O++--- Luas daratan propinsi Jawa Timur adalah 47.922 km 2 . Berdasarkan ciri- ciri geomorfologis, daerah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 3 bagian yang membujur dari Barat ke Timur. Pertama, daerah Jawa Timur bagian Utara dan Pulau Madura. Bagian ini merupakan daerah yang berupa gunung kapur, sehingga tanahnya relatif kurang subur untuk usaha pertanian. Sebagian dari daerah ini sejak lama merupakan daerah yang cocok untuk hutan jati. Kedua, daerah Jawa Timur bagian Tengah. Daerah ini sangat subur, antara lain karena banyak dialiri oleh sungai-sungai seperti; Brantas, Madiun, Konto, Sampean dan sungai-sungai kecil. Daerah Jawa Timur bagian Tengah ini sangat cocok untuk pertanian persawahan. Ketiga, daerah Jawa Timur bagian Selatan yang merupakan pegunungan kapur selatan, mulai dari Gunung Kidul membujur sampai daerah Malang sebelah Selatan. Daerah ini keadaan tanahnya relatif tandus. Selain faktor geomorfologis, faktor pertumbuhan industri di Hindia Belanda mendorong perkembangan baru yang membutuhkan keahlian kerja bagi kaum urban di Jawa. Yaitu ketika Undang-undang Agraria mulai diberlakukan tahun 1870. Permintaan komoditas tanaman ekspor mengalami peningkatan, hal itu menyertai bertambahnya tenaga kerja untuk keperluan pabrik. Di beberapa kota di Jawa Timur secara umum tidak hanya menjadi pusat aktivitas masyarakat Eropa dan administrasi orang-orang pribumi, tetapi lambat laun juga berkembang sebagai daerah komersial yang menarik bagi tenaga kerja. Pada periode itu, memang pabrik-pabrik gula di kawasan Jawa Timur telah mengalami moderniasasi. Alasan terpenting, modernisasi selalu khas mencakup industrialisasi, dan industrialisasi secara khas ditempatkan kawasan urban, dengan mengalirnya penduduk yang mencari keuntungan dari sektor ekonomi yang ditimbulkan. Pada 1905, penduduk Bojonegoro dan Lamongan banyak yang berpindah ke daerah Lumajang dan Malang sebagai tenaga kerja musiman di perkebunan teh, tembakau dan kopi. Sementara itu dari Gersik dan Lumajang, penduknya berdatangan ke Surabaya pada saat musim kemarau sebagai tenaga kerja musiman untuk mengemas gula karungan yang jumlahnya hingga ribuan ton. 7 Tabel 23 Jumlah Orang-orang Jawa dan Madura di beberapa Wilayah Wilayah Jawa Madura Laki- laki Perempuan Total Laki- laki Perempuan Total Mojokerto Surabaya Pasuruan Malang Probolinggo Jombang Sidoarjo Bangil Tempeh Lumajang Krakasan Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo 8.926 109.212 14.116 29.603 8.821 8.013 4.795 7.483 3.288 7.006 562 4.832 5.971 1.387 659 10.404 118.312 16.122 33.149 10.000 9.069 5.706 9.020 3.793 7.341 683 5.200 6.315 1.691 735 19.330 227.524 30.233 62.752 18.821 17.082 10.501 16.503 7.081 14.347 1.245 10.032 12.286 3.078 1.394 122 18.241 1.268 2.270 6.311 51 57 581 1.696 1.354 1.257 3.788 2.819 5.920 5.786 86 16.192 1.077 1.629 6.480 34 69 407 1.714 1.274 1.301 3.418 2.093 6.293 6.059 208 34.433 2.345 3.899 12.791 85 126 988 3.410 2.628 2.558 7.206 4.912 12.213 11.845 Jumlah 214.674 237.540 452.210 51.521 48.126 99.647 Sumber : Volksteling 1930 Deel III Inheemsche Bevolking van Oost-Java, hlm. 21. 7 Sri Margana, Kota-Kota di Jawa: Identitas Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 193. Tabel di atas menunjukkan, bahwa para emigran yang datang ke Jawa Timur tidak hanya berasal dari Madura, melainkan dari wilayah lainnya di pulau Jawa. Perkebunan teh, gula, tembakau memberikan peluang kerjaan bagi para migran. Apalagi banyak petani lokal yang menyerahkan lahannya untuk digarap dengan cara bagi hasil. Berangsur-angsur daerah sekitar Mojokerto, Surabaya, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Jombang, Sidoarjo, Bangil, Tempeh, Lumajang, Kraksaan, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo dihuni oleh para migran Madura dan Jawa.

BAB IV DAMPAK MIGRASI ORANG-ORANG MADURA

A. Dampak Sosial Ekonomi

Migrasi penduduk adalah suatu bentuk respon dari adanya variasi keadaan lingkungan di mana mereka hidup. Keadaan alam yang terus berubah, adanya perubahan dalam kehidupan sosial politik masyarakat, fluktuasi kondisi ekonomi dan perkembangan penduduk melalui proses siklus kehidupannya, telah mengakibatkan penduduk bermigrasi dari satu ke lain tempat. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial-ekonomi jarang sekali terjadi kesamaan untuk semua wilayah. Perbedaan perkembangan tersebut telah menimbulkan kesempatan-kesempatan yang berbeda pula. Dalam hal ini migrasi dianggap sebagai suatu respon dari perubahan dan perbedaan dalam kesempatan. 1 Tanah yang memunyai fungsi multidimensional akan mempengaruhi status sosial dari masyarakat penguasa atau pemilik tanah. 2 Menurut Nelson, dengan migrasi dimaksudkan sebagai suatu perubahan tempat tinggal seseorang atau segolongan orang. Perubahan tempat tinggal ini bisa bersifat menetap, bisa juga tidak tetap atau bersifat musiman. Perpindahan ini oleh Nelson digolongkan atas 3 macam, 1 Suko Bandiyono, Migrasi Permanen Penduduk Jawa Timur, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI, 1987, hlm. 37-38. 2 Brahmana Adhie, Reformasi Pertanian: Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama dan Budaya, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm. 203. yaitu: a sirkulasi dari tempat tinggal tertentu; b perpindahan tempat tinggal domisili; c berkelana. Pada dasarnya, karena ketiadaan keseragaman dari berbagai ahli dalam penggunaan istilah migrasi, maka biasanya migrasi dipakai dalam arti yang kedua, yaitu perpindahan tempat kediaman menetap. Ahli lain, Eisenstadt, mengartikan migrasi sebagai suatu perpindahan badaniah dari orang perseorangan atau segolongan orang dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Disini ditegaskan perpindahan itu dari suatu masyarakat kedalam masyarakat lain yang baru. Penegasan ini penting karena tiap masyarakat itu mempunyai pola hidup yang berbeda satu sama lain, sehingga dalam soal migrasi terlihat adanya pelepasan manusia dari ikatan masyarakatnya yang lama desocialization dan memasuki lingkungan masyarakat yang baru resocialization. 3 Letak geografis suatu daerah memungkinkan kita mengetahui potensi wilayah dan memberi wawasan analisis yang lebih dalam terhadap potensi tersebut. 4 Dalam Peraturan Agraria tahun 1870 semua tanah milik pribumi dinyatakan sebagai tanah domein domein van de Staat. Ini disebut juga tanah bebas, sedangkan tanah yang dikuasai pribumi juga disebut tanah bebas. Di sini dinyatakan pula bahwa penyewa adalah warga negara Belanda yang ada di Nederland atau Hindia Belanda; maksimum areal yang disewa 500 bau dengan sewa antara f.1 sampai 1.6. Tanah pribumi yang dikuasai 3 Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijakan Transmigrasi; Dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharatara, 1965, hlm. 23. 4 Ida Komang Wisnu, Profil Kependudukan: Propinsi Jawa Timur, Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1993, hlm. 4. berdasarkan hokum adat hanya dapat disewa selama lima tahun, sedangkan tanah milik mereka untuk dua puluh tahun. Selanjutnya perjanjian harus terdaftar. Suatu akibat dari peraturan tersebut ialah bahwa ada kecendrungan menjadikan status yang disewakan berubah sehingga berstatus milik yang menyewakan. 5 Aturan seperti ini, tentu saja mempermudah modal-moda asing untuk menanamkan modalnya di Pulau Jawa dalam hal ini Jawa Timur. Yang secara otomatis memperbanyak pabrik-pabrik yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1910 dengan disertasinya yang terkenal Staathuishoudkunde, J.H. Boeke secara tepat memisahkan dua macam kebutuhan orang Indonesia, yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial. Perbedaan diantara dua macam kebutuhan ini adalah bahwa yang pertama merupakan kebutuhan perorangan yang diukur dengan ukuran individu, sedangkan yang kedua merupakan kebutuhan perorangan tetapi diukur berdasar norma yang ditetapkan masyarakat. Yang menjadi masalah adalah bahwa tidak selalu mudah memisahkan dua tipe kebutuhan tersebut. Kadang-kadang ada kebutuhan yang jelas-jelas merupakan kebutuhan ekonomi seperti kebutuhan akan makan. Kebutuhan akan sandang mudah dimasukkan sebagai kebutuhan ekonomi, tetapi sesudah tingkat tertentu orang dapat pula mengklasifikasikannya sebagai kebutuhan sosial, misalnya pakaian seragam atau pakaian untuk pesta atau upacara-upacara. Bagaimana dengan rumah, ternak, dan kendaraan? Semakin 5 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 ; Dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: PT. Gramedia,1987, hlm. 331.