1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengalaman berpisah dari lingkungan asal menimbulkan reaksi psikologis yang ditampilkan melalui emosi, perilaku dan kognisi. Reaksi tersebut oleh
Vingerhoets 1997 disebut sebagai homesickness. Penelitian Carden dan Feitch dalam Stroebe, 2002 di Turki menunjukkan bahwa sekitar 77 mahasiswa
tingkat pertama yang terpisah dari keluarga mengalami homesickness. Homesickness adalah kondisi tertekan yang sering dialami oleh mereka
yang telah meninggalkan rumah atau berada pada lingkungan yang baru dan asing Van Tilburg, Vingerhoets Van Heck, 1996. Homesickness juga didefinisikan
sebagai emosi individu ketika terpisah dengan tempat tinggal, dan dicirikan dengan emosi-emosi negatif, pikiran-pikiran yang terus menerus tentang
lingkungan rumah yang ditinggalkan, serta munculnya simptom-simptom somatis Tilburg, 2003. Perasaan tersebut adalah reaksi alami karena ketiaadaan keluarga,
teman, dan keadaan sekitar yang tidak familiar. Beberapa penelitian menyatakan homesickness dialami oleh individu
dalam berbagai usia dan setting seperti anak dalam acara perkemahan, mahasiswa baru yang merantau, dan siswa asrama Thurber Walton, 2012. Penelitian
Thurber 2005 menunjukkan bahwa prevalensi homesickness di kalangan siswa remaja di asrama berkisar dari 16 sampai dengan 91.
2
Studi pendahuluan melalui proses wawancara dengan guru bimbingan konseling SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, menyatakan bahwa selama
lima tahun terakhir, 2010 sampai dengan 2015 satu atau dua siswa kelas X yang mengundurkan diri dari sekolah dan asrama karena merasa tidak betah dan
mengalami homesickness. SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan adalah sekolah yayasan katolik
yang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama. SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan memiliki sistem pendidikan dan kurikulum berbeda dibandingkan
dengan sekolah lain. Perbedaan tersebut tampak pada kegiatan seperti kegiatan katekese, Wawasan Kebangsaan, Sidang Akademi, Homestay, Kristianitas,
Orientasi Panggilan Profesi, dan kegiatan pengembangan lain. Kegiatan tersebut bertujuan mengarahkan pada visi sekolah ini. Misi sekolah asrama SMA Pangudi
Luhur Van Lith Muntilan adalah mendampingi kaum muda melalui pendidikan sekolah berasrama. SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan mengintegrasikan
pendidikan di sekolah dan pendidikan di asrama. Pendidikan yang diperoleh di sekolah dilanjutkan di asrama dan pendidikan yang tidak diperoleh di sekolah
diberikan di asrama. Siswa kelas X SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan dihadapkan pada
banyak tuntutan di sekolah maupun di asrama seperti tuntutan kemandirian, tuntutan tanggung jawab dan tuntutan akademik. Tuntutan kemandirian tampak
pada ketentuan asrama yang mengharuskan siswa mampu mengurus sendiri kebutuhan pribadi, seperti mencuci dan menyeterika baju, melakukan piket di
asrama, dan latihan bekerja di masyarakat. Tuntutan tanggung jawab adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
tuntutan terhadap siswa untuk mematuhi peraturan sekolah, peraturan asrama, mengikuti kegiatan sekolah dan asrama, serta menjalankan tugas sekolah dan
asrama secara bertanggung jawab. Tuntutan akademik adalah tuntutan untuk memiliki prestasi yang baik sesuai standar nilai sekolah. Siswa yang gagal
memenuhi tuntutan tersebut dikenai sanksi sesuai aturan. Sanksi yang terberat adalah pemutusan hubungan sekolah dan asrama, atau dengan kata lain drop out
DO SMA Pangudi Luhur Van Lith, 2003. Tuntutan pada siswa di tahun pertama menjadi beban berat sehingga
menimbulkan stres pada masa awal sekolah. Stres ini menyebabkan beberapa dampak psikologis, salah satunya adalah homesickness. Hasil wawancara awal
peneliti dengan beberapa siswa kelas X SMA Pangudi Luhur Van Lith menunjukkan bahwa para siswa sering merindukan keluarganya ketika masa
karantina. Masa karantina berlangsung selama satu bulan pertama tinggal di asrama. Pada masa ini siswa-siswi menjalani masa orientasi sebagai anak asrama.
Selama masa karantina para siswa dilarang bertemu dan berkomunikasi dengan keluarganya. Para siswa juga dihadapkan pada banyak perubahan dari kebiasaan
mereka sebelumnya. Perubahan-perubahan di masa karantina berupa perubahan pola kehidupan, perubahan lingkungan, dan lain-lain. Perubahan-perubahan
tersebut memicu munculnya homesickness. Penelitian Fisher dan Hood dalam Archer, Ireland, Amos, Broad,
Curid, 1998 tentang homesickness menyebutkan bahwa homesickness berkembang
secara perlahan.
Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa
4
homesickness berkembang selama enam minggu pertama perkuliahan di tahun pertama, dan pada masa tersebut individu mengalami gangguan psikologis.
Penelitian Tartakovsky 2007 menunjukkan siswa Ukraina dan Rusia yang pindah ke Israel untuk tujuan sekolah menengah mengalami acculturative
stress di tahun pertama. Acculturative stress berasosiasi dengan homesickness. Acculturative stress meningkat di tahun kedua kemudian menurun pada tahun
ketiga dan homesickness berkurang seiring berjalannya tahun ajaran. Penelitian Tartakovsky 2007 juga menunjukkan persiapan psikologis dan dukungan sosial
dari teman dan guru berkorelasi negatif terhadap homesickness dan acculturative stress.
Homesickness berpengaruh negatif terhadap keadaan psikologis dan hasil akademik individu Stroebe et al. 2002. Penelitian mengenai homesickness
khususnya di Indonesia belum banyak dilakukan dan literatur ilmiah yang membahas topik ini sangat terbatas padahal homesickness merupakan fenomena
penting yang umum terjadi pada individu yang harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Siswa kelas X SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan memerlukan manajemen untuk menangani homesickness atau biasa kita sebut dengan strategi
koping. Strategi koping adalah usaha dilakukan individu untuk menghadapi masalah atau melindungi dirinya dari tekanan-tekanan psikologis. Setiap individu
harus memiliki kemampuan untuk memilih dan menggunakan strategi koping yang tepat dalam mengatasi masalah homesicknessnya dan hal-hal yang menjadi
penyebabnya. Kondisi psikologis individu yang mengalami homesickness PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
berkaitan dengan faktor penyebab homesickness. Selain melakukan strategi koping terkait kondisi homesickness yang dialami individu, strategi koping juga
diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang menyebabkannya karena dengan mengatasi dari penyebabnya maka masalah homesickness secara tidak
langsung dapat teratasi. Lazarus dan Folkman dalam Sarafino, 2006 mengklasifikasikan strategi
koping menjadi dua, yaitu problem focused coping PFC dan emotion focused coping EFC. PFC adalah bentuk koping yang mengarah pada upaya mengurangi
tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. EFC adalah bentuk koping yang mengarah pada pengelolaan respon emosi terhadap situasi yang menekan.
Penelitian Salmah 2016 mengenai strategi koping mahasiswa asing program darmasiswa di Samarinda yang mengalami culture shock menunjukkan
bahwa subjek mengalami banyak stresor dari lingkungan baru. Stressor tersebut berasal dari perbedaan budaya, iklim, maupun kebiasaan masyarakat yang
membuat subjek merasa tidak nyaman. Tuntutan dan tekanan membuat para mahasiswa asing merasa cemas, takut, mengalami homesickness sehingga merasa
tidak betah dan muncul keinginan untuk kembali ke negara asal. Ketiga subjek menggunakan dua bentuk strategi koping berupa problem focused coping dan
emotional focused coping. Ketiga subjek merasa strategi koping tidak sepenuhnya menghilangkan dampak buruk yang dialami, namun setidaknya membuat subjek
bertahan hingga akhir masa studi di Indonesia. Penelitian Hernawati 2006 menyebutkan bahwa kesulitan beradaptasi
dengan tempat baru, kesulitan menjalin relasi dengan teman baru, belum pernah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
tinggal jauh dari keluarga, dan homesickness menjadi sumber stres bagi mahasiswa baru. Sebagian besar subjek dalam penelitian tersebut mengalami stres
tingkat tinggi dengan persentase gejala emosional lebih besar dibandingkan gejala stres fisik. Subjek cenderung melakukan strategi problem focused coping
dibandingkan emotional focused coping. Tingkat kepuasan subjek berada pada kategori sedang.
Berdasarkan penjabaran mengenai homesickness dan dampak negatif yang dialami oleh siswa kelas X SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan maka perlu
dilakukan strategi koping untuk mengatasinya. Peneliti ingin mendeskripsikan strategi koping siswa kelas X SMA Pangudi Luhur Van Lith yang mengalami
homesickness dengan menggunakan metode kualitatif. Peneliti ingin melihat pengalaman partisipan dengan cara menggali informasi melalui wawancara semi
terstruktur untuk mendapatkan data yang lebih mendalam. Peneliti dan partisipan melakukan dialog dengan dipandu pedoman pertanyaan yang telah disusun.
Pedoman pertanyaan bisa dimodifikasi sesuai dengan respon partisipan. Dengan demikian peneliti bisa menyelidiki lebih jauh wilayah-wilayah menarik dan
penting yang muncul Smith, 2009.
B. Tujuan Penelitian