Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Kinerja Sektor Riil Di Indonesia

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA

SEKTOR RIIL DI INDONESIA

LIRA MAI LENA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil. (ANNY

RATNAWATI sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi

Pembimbing).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, (3) mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian, dan (4) merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil.

Produksi sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh investasi sehingga peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui peningkatan investasi, sedangkan peningkatan produksi sektor industri dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khususnya dari sisi pinjaman bank (bank

lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian.

Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga pasar.

Implementasi kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output sektor pertanian dan industri. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden perbankan dengan menurunkan alokasi kredit yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi untuk sektor pertanian dan industri. Kebijakan ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor namun dalam jumlah yang sangat kecil. Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan perkreditan yaitu kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen. Namun demikian kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif dengan besaran yang tidak begitu berbeda dibandingkan kebijakan kredit sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam menstimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian.

Berdasarkan hasil simulasi tersebut disarankan bahwa peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui kebijakan peningkatan jumlah kredit yang dapat digunakan sektor riil untuk mendorong aktivitas produksinya. Disamping itu, penurunan suku bunga tetap terus dilakukan agar investasi sektor riil dapat diperbaiki dan diharapkan selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi. Kata kunci: kebijakan moneter, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, kinerja sektor pertanian, kinerja sektor industri


(3)

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA

SEKTOR RIIL DI INDONESIA

LIRA MAI LENA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA

SEKTOR RIIL DI INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2007

LIRA MAI LENA


(5)

Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia

Nama Mahasiswa : Lira Mai Lena

Nomor Pokok : A 545010041

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 22 Desember 2006 Tanggal Lulus:


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Mei 1976, merupakan anak pertama dari pasangan Ali Martonang dan Ratna Wilis, H. Saat ini penulis telah menikah dengan suami tercinta Achmad Husna, SP dan dikaruniai satu orang putri bernama Aini Nurrohmah Husna. Sekolah dasar sampai SLTA diselesaikan di Padang. Pendidikan sarjana di selesaikan pada tahun 1998 di Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional dan Pemberdayaan Masyarakat pada tahun 1999 sampai awal tahun 2006.


(7)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W, keluarga beserta sahabat dan pengikutnya sampai akhir jaman.

Tesis ini menyajikan hasil analisis dampak kebijakan moneter yang dijalankan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia terhadap Kinerja Sektor Riil yang menjadi komponen pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kebijakan moneter dalam penelitian ini dilihat dalam beberapa perkembangan sejak adanya deregulasi perbankan, masa krisis dan pasca krisis dengan diperkuatnya independensi Bank Indonesia dalam mengatur target akhir yaitu target inflasi pada laju dan tingkat yang tertentu.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Anny Ratnawati dan Dr. Hermanto Siregar yang bersedia menjadi komisi pembimbing dan telah banyak memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini

2. Semua dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan dan fasilitas kemudahan bagi penulis

3. Rekan-rekan EPN 2001 dan 2002 khususnya Mas Sumedi, Mbak Wahida, Yati, Besse M, Pak Azhar, Fahriyah, Indra, yang telah memberikan semangat, pemikiran-pemikiran dan dorongan bagi penulis

4. Teman-teman khususnya Debra, Mbak Ida, Eko, Asyik, Lia di lingkungan kerja yang terus memberikan dorongan dan bantuan moril bagi penulis


(8)

5. Semua guru-guruku yang telah banyak memberikan limpahan ilmu semenjak sekolah dasar sampai saat ini serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

6. Kedua orang tua penulis yang tidak pernah berhenti berdoa dan mencurahkan kasih sayang serta dukungan kepada penulis, begitu juga adikku yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini

7. Suamiku tercinta dan anakku Aini Nurrohmah yang penuh pengertian mendampingi penulis selama menyelesaikan sekolah

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya. Namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Maret 2007


(9)

DAFTAR I SI

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teoritis ... 9

2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang ... 9

2.1.2. Uang Beredar... 11

2.1.3. Teori Permintaan Uang... 14

2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi... 18

2.1.5. Teori Permintaan Agregat... 20

2.1.6. Suku Bunga ... 22

2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto ... 25

2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter ... 26

2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 30

2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ... 36

2.2. Tinjauan Pustaka... 39

2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia ... 39

2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia ... 45

2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu ... 50

2.3. Kerangka Konseptual ... 60

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 63

3.1. Lokasi Penelitian ... 63

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 63

3.3. Spesifikasi Model... 63

3.4. Validasi Model ... 70


(10)

ii

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ... 74

4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia ... 74

4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar... 74

4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi .... 78

4.1.3. Kinerja Suku Bunga ... 82

4.2. Kinerja Sektor Riil ... 85

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ... 89

5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter ... 89

5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil ... 94

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA... 101

6.1. Validasi Model ... 101

6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil ... 102

VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 108

7.1. Kesimpulan... 108

7.2. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA... 112


(11)

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA

SEKTOR RIIL DI INDONESIA

LIRA MAI LENA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

ABSTRAK

Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil. (ANNY

RATNAWATI sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi

Pembimbing).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, (3) mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian, dan (4) merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil.

Produksi sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh investasi sehingga peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui peningkatan investasi, sedangkan peningkatan produksi sektor industri dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khususnya dari sisi pinjaman bank (bank

lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian.

Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga pasar.

Implementasi kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output sektor pertanian dan industri. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden perbankan dengan menurunkan alokasi kredit yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi untuk sektor pertanian dan industri. Kebijakan ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor namun dalam jumlah yang sangat kecil. Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan perkreditan yaitu kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen. Namun demikian kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif dengan besaran yang tidak begitu berbeda dibandingkan kebijakan kredit sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam menstimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian.

Berdasarkan hasil simulasi tersebut disarankan bahwa peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui kebijakan peningkatan jumlah kredit yang dapat digunakan sektor riil untuk mendorong aktivitas produksinya. Disamping itu, penurunan suku bunga tetap terus dilakukan agar investasi sektor riil dapat diperbaiki dan diharapkan selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi. Kata kunci: kebijakan moneter, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, kinerja sektor pertanian, kinerja sektor industri


(13)

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA

SEKTOR RIIL DI INDONESIA

LIRA MAI LENA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA

SEKTOR RIIL DI INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2007

LIRA MAI LENA


(15)

Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia

Nama Mahasiswa : Lira Mai Lena

Nomor Pokok : A 545010041

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 22 Desember 2006 Tanggal Lulus:


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Mei 1976, merupakan anak pertama dari pasangan Ali Martonang dan Ratna Wilis, H. Saat ini penulis telah menikah dengan suami tercinta Achmad Husna, SP dan dikaruniai satu orang putri bernama Aini Nurrohmah Husna. Sekolah dasar sampai SLTA diselesaikan di Padang. Pendidikan sarjana di selesaikan pada tahun 1998 di Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional dan Pemberdayaan Masyarakat pada tahun 1999 sampai awal tahun 2006.


(17)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W, keluarga beserta sahabat dan pengikutnya sampai akhir jaman.

Tesis ini menyajikan hasil analisis dampak kebijakan moneter yang dijalankan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia terhadap Kinerja Sektor Riil yang menjadi komponen pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kebijakan moneter dalam penelitian ini dilihat dalam beberapa perkembangan sejak adanya deregulasi perbankan, masa krisis dan pasca krisis dengan diperkuatnya independensi Bank Indonesia dalam mengatur target akhir yaitu target inflasi pada laju dan tingkat yang tertentu.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Anny Ratnawati dan Dr. Hermanto Siregar yang bersedia menjadi komisi pembimbing dan telah banyak memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini

2. Semua dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan dan fasilitas kemudahan bagi penulis

3. Rekan-rekan EPN 2001 dan 2002 khususnya Mas Sumedi, Mbak Wahida, Yati, Besse M, Pak Azhar, Fahriyah, Indra, yang telah memberikan semangat, pemikiran-pemikiran dan dorongan bagi penulis

4. Teman-teman khususnya Debra, Mbak Ida, Eko, Asyik, Lia di lingkungan kerja yang terus memberikan dorongan dan bantuan moril bagi penulis


(18)

5. Semua guru-guruku yang telah banyak memberikan limpahan ilmu semenjak sekolah dasar sampai saat ini serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

6. Kedua orang tua penulis yang tidak pernah berhenti berdoa dan mencurahkan kasih sayang serta dukungan kepada penulis, begitu juga adikku yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini

7. Suamiku tercinta dan anakku Aini Nurrohmah yang penuh pengertian mendampingi penulis selama menyelesaikan sekolah

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya. Namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Maret 2007


(19)

DAFTAR I SI

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teoritis ... 9

2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang ... 9

2.1.2. Uang Beredar... 11

2.1.3. Teori Permintaan Uang... 14

2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi... 18

2.1.5. Teori Permintaan Agregat... 20

2.1.6. Suku Bunga ... 22

2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto ... 25

2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter ... 26

2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 30

2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ... 36

2.2. Tinjauan Pustaka... 39

2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia ... 39

2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia ... 45

2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu ... 50

2.3. Kerangka Konseptual ... 60

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 63

3.1. Lokasi Penelitian ... 63

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 63

3.3. Spesifikasi Model... 63

3.4. Validasi Model ... 70


(20)

ii

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ... 74

4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia ... 74

4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar... 74

4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi .... 78

4.1.3. Kinerja Suku Bunga ... 82

4.2. Kinerja Sektor Riil ... 85

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA ... 89

5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter ... 89

5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil ... 94

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA... 101

6.1. Validasi Model ... 101

6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil ... 102

VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 108

7.1. Kesimpulan... 108

7.2. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA... 112


(21)

iii

DAFTAR TABEL

Nomor

1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005 ... 76

2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005 ... 77

3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan I nflasi I ndonesia, Tahun1980-2005 ... 79

4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum Perekonomian I ndonesia, Tahun 1980-2005 ... 81

5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005 ... 84

6. Kinerja Sektor Riil di I ndonesia, Tahun 1984-2005... 87

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005 ... 90

8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005... 91

9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian, Tahun 2005 ... 92

10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor I ndustri, Tahun 2005 ... 93

11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi I nvestasi Sektor Pertanian dan I ndustri, Tahun 2005 ... 95

12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan I ndustri, Tahun 2005 ... 97

13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian, Tahun 2005 ... 98

14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan I ndustri, Tahun 2005 ... 99

15. Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di I ndonesia, Tahun 1986-2005 ...101

16. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil, Tahun 2005 ...105

17. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian I ndonesia, Tahun 2005 ...107


(22)

iv

DAFTAR GAMBAR

1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang... 21 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi pada kurva IS-LM ... 22 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 37 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran

Moneter ... 38 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga... 38 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia ... 62 7. Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005 ... 74 8. Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito,

Tahun 1984-2000... 83


(23)

v

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skema Model Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja

Sektor Riil ...…...117 2. Keragaan Indikator Moneter dan Perbankan di Indonesia,

Tahun 1984-2005 ...118 3. Keragaan Indikator Perekonomian dan Sektor Riil,

Tahun 1984-2005 ...121


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan proses integrasi perekonomian menuju perekonomian global sehingga memudahkan pergerakan aliran dana luar negeri, padahal di sisi lain perangkat kelembagaan yang mendukung bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. Dengan kondisi perekonomian seperti tersebut maka gejolak nilai tukar yang merupakan efek penularan dari Thailand dan Korea telah menimbulkan kesulitan ekonomi yang cukup parah dan ditunjukkan oleh adanya stagflasi dan instabilitas perekonomian.

Penarikan dana secara tiba-tiba oleh investor asing karena pesimis dengan proses perekonomian regional mengakibatkan lemahnya mata uang rupiah. Selanjutnya gelombang capital outflow tersebut direspon oleh penduduk Indonesia dengan membeli dollar dalam jumlah besar yang membuat nilai tukar semakin menurun drastis. Padahal karakteristik sektor riil yang berkembang pesat di Indonesia saat itu adalah footloose industry dengan kandungan bahan baku impor yang sangat tinggi sehingga depresiasi nilai tukar rupiah menjadi beban biaya yang memicu timbulnya peningkatan harga-harga barang (inflasi). Disamping itu terputusnya akses ke sumber dana luar negeri karena kewajiban hutang yang terlalu besar dan perubahan kebijakan di negara-negara donor semakin menurunkan tingkat produksi sektor riil.

Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala spekulasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan, maka otoritas moneter menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif yang berkonsekuensi pada


(25)

tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan beban suku bunga yang tinggi secara paralel mendorong keatas suku bunga pinjaman yang menjadi biaya modal perusahaan di sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi yang pada akhirnya berpengaruh pada penurunan penawaran agregat.

Sementara itu melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pula pada penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga barang konsumsi yang tinggi kandungan impornya. Penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat bersama-sama dengan terjadinya kenaikan biaya produksi dari kandungan impor dan biaya modal semakin memberikan tekanan kepada sektor riil.

Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut tampak dari tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 yang merosot menjadi 4.19 persen dan bahkan pada akhir tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 17.13 persen. Pemutusan hubungan kerja meningkat tajam dan pada saat yang bersamaan, kenaikan laju inflasi yang tinggi (77.6%) dan penurunan penghasilan masyarakat telah menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang selanjutnya berdampak pada semakin meluasnya kantong-kantong kemiskinan (Bank Indonesia, 1998).

Menghadapi tekanan pasca krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multidimensi tersebut, maka pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal dimana kebijakan fiskal diarahkan pada penghematan anggaran belanja negara. Sedangkan di bidang moneter berdasarkan pasal 7 UU No, 23 tahun 1999, Bank Indonesia telah menetapkan inflasi sebagai landasan kebijakan moneter ke depan. Artinya kebijakan moneter diarahkan pada penurunan tingkat inflasi yang pada tahun ini ditargetkan berada pada kisaran 6-7 persen (Warjiyo, 2000).


(26)

Dengan pertimbangan bahwa tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disebabkan keterbatasan dari sisi penawaran dan kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push inflation), maka untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada upaya pengendalian uang primer dengan fokus pada penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian.

Secara operasional, pengendalian moneter dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka yaitu mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan atau 3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan likuiditas melalui intervensi rupiah yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga agar uang primer tetap berada dalam sasaran yang telah ditetapkan.

Dengan relatif besarnya kelebihan likuiditas sejalan dengan belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter melalui instrumen moneter ini membawa implikasi pada terjadinya kenaikan suku bunga SBI dan suku bunga perbankan. Oleh sebab itu, upaya pengendalian uang primer juga dilengkapi dengan upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar melalui kebijakan sterilisasi valuta asing. Hal ini terutama dilakukan untuk menyerap ekspansi uang primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam valuta asing.

Penambahan pasokan valuta asing melalui sterilisasi valuta asing selain digunakan untuk menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai tukar. Namun dalam pasar valuta asing masih terdapat kesenjangan antara jumlah pasokan dan permintaan valuta asing sehingga untuk menjaga efektivitas kebijakan ini maka diperlukan juga dukungan kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan para pelaku pasar untuk melakukan kegiatan spekulatif.


(27)

Namun demikian, kebijakan moneter yang lebih independen saat ini dengan adanya penetapan sasaran akhir yang lebih jelas yaitu target inflasi diharapkan tetap dapat memberikan pengaruh pada perbaikan perekonomian dan kinerja sektor riil yang terganggu akibat krisis selama 5 tahun terakhir ini. Inflasi yang berada pada kisaran yang rendah dengan kondisi perekonomian yang lebih stabil memberikan kepastian kepada pengusaha dalam meningkatkan kapasitas produksi yang didukung perencanaan investasi yang matang dan kegiatan perdagangan yang menguntungkan.

1.2. Perumusan Masalah

Setelah lima tahun proses pemulihan ekonomi, perbaikan kebijakan dibidang moneter belum tertransmisi dengan baik terhadap perekonomian Indonesia. Sampai triwulan IV-2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto relatif kecil yaitu 4.5 persen/tahun (Laporan Bank Indonesia, 2006). Lambatnya pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kinerja konsumsi dan investasi yang kurang optimal. Konsumsi masyarakat mengalami penurunan yang signifikan karena menurunnya daya beli terkait dengan tingginya angka inflasi. Sementara itu perlambatan investasi terjadi karena meningkatnya biaya input, menurunnya margin keuntungan perusahaan dan iklim usaha di Indonesia yang masih belum kondusif. Kontribusi investasi terhadap pembentukan produk domestik bruto juga hanya 15 persennya, padahal sebelum krisis aktivitas investasi menyumbang sekitar 30 persen terhadap PDB.

Disisi eksternal, kegiatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan yang dominan sebelum krisis juga masih menunjukkan pertumbuhan yang kecil dimana sampai akhir tahun 2005 tumbuh hanya 8.6 persen. Peningkatan ekspor netto lebih banyak disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang mulai terjadi sejak tahun 2004. Melambatnya volume impor diperkirakan terkait erat


(28)

dengan melambatnya kegiatan investasi khususnya jenis-jenis investasi yang membutuhkan barang modal impor dalam proses produksi.

Perlambatan kinerja perekonomian juga tampak pada pengangguran terbuka tahun 2005 yang mencapai 10.84 persen (11.6 juta orang) jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4.7 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi saat ini tidak cukup menampung angkatan kerja yang bertambah 1.8 juta orang per tahun. Sulitnya mengurangi tingkat pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru menjadi cerminan lambatnya gerak laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah setiap tahunnya.

Secara teoritis kebijakan moneter mampu mempengaruhi sisi permintaan seperti yang dikemukakan oleh Keynesian dan Monetaris. Namun melihat struktur ekonomi Indonesia semasa krisis ekonomi dimana tekanan inflasi ternyata lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, maka kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral adalah kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga sehingga diharapkan stimulan ini dapat mendorong ekspansi produksi dan menggeser kembali kurva penawaran ke kanan. Dengan demikian diharapkan harga akan menurun dan output meningkat.

Namun penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2004 dengan pertimbangan tekanan inflasi selama krisis ekonomi lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, tidak langsung mendongkrak peningkatan output dengan indikasi awal suku bunga kredit investasi masih tinggi. Lambannya penurunan suku bunga kredit investasi bagi sektor riil terutama disebabkan masih tingginya persepsi risiko perbankan terhadap penyaluran kredit investasi bagi sektor riil seiring dengan tingginya resiko yang harus ditanggung sektor riil setelah krisis ekonomi. Akibatnya suku


(29)

bunga kredit terlihat kurang elastis terhadap sinyal penurunan suku bunga dari bank sentral. Padahal perbankan mendominasi 80 persen sistem keuangan sehingga perbankan menjadi prioritas jalur transmisi kebijakan moneter.

Hal ini sejalan dengan gejala yang muncul dari sisi pelaku usaha, dimana dunia usaha masih banyak mengeluhkan sulitnya memperoleh suntikan modal sebagai sumber dana untuk meningkatkan kapasitas produksi, padahal suku bunga Sertifikat Bank Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dan diharapkan bertransmisi kepada turunnya suku bunga kredit (Hendarsah, 2003).

Penurunan suku bunga SBI cenderung direspon dengan peningkatan kegiatan konsumsi. Sementara itu, kegiatan investasi yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang lebih tinggi daripada konsumsi tidak memberikan pengaruh yang berarti dengan perkembangan yang kurang memuaskan dan justru mengalami kontraksi sebesar 0.2 persen. Dalam tiga tahun terakhir ini, persetujuan investasi PMDN dan PMA pada tahun 2003 hanya sebesar Rp 177.18 trilyun rupiah, pada tahun 2004 menurun menjadi Rp 129.24 trilyun dan pada tahun 2005 persetujuan investasi sebesar Rp 179.57 trilyun rupiah (33.93% dari target).

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak kebijakan moneter terhadap perbaikan kinerja sektor riil di Indonesia. Adapun secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja


(30)

3. Mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian.

4. Merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sektor riil di Indonesia yang disederhanakan menjadi tiga kelompok utama yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor lainnya. Penyederhanaan menjadi tiga kelompok sektor ini dengan pertimbangan sektor pertanian dan sektor industri merupakan sektor andalan dalam pembentukan PDRB namun memiliki karakteristik yang berbeda dalam merespon gejolak krisis seperti tampak pada kinerja sektor-sektor tersebut saat terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan peningkatan suku bunga.

Menurut Yudanto (1998) seberapa besar tekanan krisis ekonomi terhadap sektor riil sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan, keuangan dan bangunan, sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap krisis sehingga pertumbuhan sektor ini memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat dengan gejolak kurs dan bahkan mempunyai koefisien korelasi dan elastisitas yang positif meskipun sangat rendah yaitu 0.08 dan 0.01. Sedangkan sektor yang terkait cukup erat dengan faktor depresiasi adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan keuangan dan dilihat dari tingkat elastisitasnya maka sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Saratnya kandungan input yang diimpor dan besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor suku


(31)

bunga diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh gejolak suku bunga.

Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan bahasan pada sektor pertanian dan industri untuk melihat seberapa jauh perubahan kinerja produksi setelah adanya perbaikan kebijakan moneter yang dijalankan sejak tahun 1999. Transmisi moneter dilihat dari sisi permintaan agregat menurut sektor dan secara sekilas juga akan dilihat dari sisi penawaran agregatnya yang terwakili dari jalur kredit karena seperti yang dikatakan oleh aliran neostrukturalis bahwa kebijakan moneter juga ditransmisikan melalui penawaran agregat via suku bunga dan volume kredit.

Dampak kebijakan moneter terhadap sektor riil dianalisis melalui jalur-jalur transmisi yaitu jalur-jalur suku bunga, jalur-jalur harga aset dan jalur-jalur kredit. Jalur transmisi harga aset dibatasi pada pengaruh nilai tukar, sedangkan jalur kredit dibatasi pada jalur pinjaman bank (bank lending channel) karena jalur ini yang diperkirakan memberikan pengaruh yang relatif kuat terhadap pertumbuhan kinerja sektor riil. Kinerja sektor riil dianalisis dari indikator penggunaan kredit, kinerja investasi, ekspor, Produk Domestik Bruto, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan secara makro, digunakan lima indikator kinerja yaitu alokasi kredit total, investasi, ekspor, PDB dan tingkat pengangguran.

Keterbatasan penelitian ini tampak pula pada perhitungan kinerja sektor riil yang diasumsikan hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter sedangkan kebijakan ekonomi lainnya seperti kebijakan fiskal dan faktor lain diluar moneter tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Dengan adanya keterbatasan dalam perolehan data, maka data time series yang akan digunakan dibatasi hanya untuk periode 1984-2005.


(32)

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang

Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001). Uang seringkali diidentikkan dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam. Padahal menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money) seperti cek dan giro. Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan.

Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a medium of xchange) , (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3) sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value). Uang sebagai media pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa. Uan sebagai media pertukaran mengatasi permsalahan dalam pemenuhan dua barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja.

Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan barang dan jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan biaya transaksi (transaction cost). Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung.


(33)

Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu dan pada akhirnya, perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk transaksi-transaksi dimasa mendatang.

Keterbatasan sistem barter ini mendorong manusia untuk mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan lancar. Untuk mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah dibawa, dan (5) tahan lama.

Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang dan jasa yang diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang. Pengenalan uang dalam perekonomian sebagai hitungan nilai barang memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam perekonomian.

Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia


(34)

sebagai pengumpul kekayaan. Namun fungsi uang sebagai alat penyiman nilai menjadi kurang optimal jika dala perekonomian terjadi peningkatan harga secara terus menerus (inflasi).

2.1.2. Uang Beredar

Secara umum terdapat dua definisi jumlah uang beredar yang banyak dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas (liquidity approach).

Pendekatan transaksional memandang jumlah uang beredar dihitung dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi. Dalam prakteknya, pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro, kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh tempo).

Pendekatan likuiditas mendefinisikan jumlah uang beredar sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun valuta asing. Jumlah M2 ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001).


(35)

Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits) dengan rumusan:

M = C + D ...(1) dimana:

M = Uang beredar C = Uang kartal D = Deposito

Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam pengawasan masyarakat dengan notasi

cr = C/D ...(2) dimana:

cr = Rasio uang kartal dan deposito C = Uang kartal

D = Deposito

Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang beredar sebagai berikut:

M = (cr + 1) D ...(3) Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan yang erat dengan uang primer. Uang primer merupakan penjumlahan uang kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan :

H = C + TR ...(4) dimana:

H = Uang primer (high power money) C = Uang kartal

TR = Cadangan perbankan

Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang persamaan uang primer dapat ditulis menjadi:


(36)

H = (cr+rr) D ...(5) Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang primer sebagai berikut:

rr cr cr H M + +

= 1 ......(6) Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat juga dirumuskan sebagai berikut:

M = m X H ...(7) dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada tingkat tertentu. Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier) dirumuskan sebagai berikut:

) / ( ) / ( ) / ( 1 D C D ER rD D C m + + +

= ………...(8)

artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur sepenuhnya oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatir oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat pula dikatakan bahwa :

1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi kredit untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan pula jumlah uang beredar (M).

2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan mengkoversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan penciptaan uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan jumlah uang beredar akan berkurang.


(37)

3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran kredit sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang beredar.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubungan negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang.

2.1.3. Teori Permintaan Uang

Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil. Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001).

Irving Fisher dalam bukunya ”Purchasing Power of Money” mengatakan bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari nilai transaksi (PY). Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan


(38)

yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan nasional sebagai berikut:

MV = PY ...(9) dimana:

M = Uang beredar V = Tingkat perputaran uang P = Tingkat output

Y = Harga

dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PY). Dengan mentransformasikan persamaan diatas, maka:

Md = 1/V PY ...(10) Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang dtentukan oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orang-orang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang (velocity of money).

Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut. Cambridge mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan


(39)

kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan kapital bila memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya merupakan proporsi konstan dari volume transaksi.

Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini digambarkan pada persamaan sebagai berikut :

Md = k P Y ...(11) Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k. Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang.

John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memprlihatkan bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan suku bunga di waktu mendatang.


(40)

Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes adalah sebagai berikut :

Md/P = f (i, Y) ...(12) Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan uang berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya, Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga.

Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga.

) , (

1

Y i f Md

P =

………...………(13)

mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran uang (velocity of money) sebagai berikut:

) , (iY f

Y Md

PY

V = = ………..……..(14)

artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of money meningkat.

Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang.


(41)

Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif dengan suku bunga (Mishkin, 2001).

Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya transaksi. Ketika suku bunga naik, masyarakat akan mencoba mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya oportunitas yang menjadi mahal.

Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi permintaan uang sebagai berikut:

Md/P = f(Yp, rb-rm, re-rm, πe-rm) ...(15) Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat perputaran uang dapat diprediksi.

2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi

Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist


(42)

berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil.

Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi. Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan jumlah uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat output masyarakat. Artinya perubahan dalam sektor moneter dapat mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2000).

Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Dengan kata lain, bank sentral mempunyai discreation untuk mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga jumlah uang beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi riil. Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu cepat dan cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi.

Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabel-variabel lain. Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi


(43)

sejumlah kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan (shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif melakukan pelonggaran atau pengetatan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh.

2.1.5. Teori Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara simultan ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS). Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan menyebabkan terjadinya perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM.

Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada titik K dan tingkat harga P1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil (daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM(P2) dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik C pada kurva SRAS2 (Gambar 1).


(44)

Tingkat LRAS Tingkat LRAS bunga, r LM (P1) harga,P

LM (P2) P1 SRAS1

P2 SRAS2

IS AD Y Pendapatan (Y) Y Pendapatan (Y)

Sumber: Mankiw (2000)

Gambar 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya perubahan perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada titik keseimbangan baru.

Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap. Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap

C K


(45)

pergeseran kurva permintaan agregat (AD). Kemiringan kurva IS (elastisitas pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM (elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Ekspansi kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1.

Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva LM datar dengan pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y0 – Y1. Sementara itu pada kurva LM yang tegak maka pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar Y0–Y2. Kebijakan moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan pada Gambar 2.

LMTo LMT1

LM0 LMD0

LM1

LMD1

Y0 Y1 Y2 Y Yo Y1Y2 Y

Sumber : Mankiw (2000)

Gambar 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM

IS datar

IS tegak Tingkat

bunga ( r )

Tingkat bunga ( r )


(46)

2.1.6. Suku Bunga

Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001). Dalam perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan suku bunga nominal karena suku bunga riil sudah mempertimbangkan perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus:

Suku bunga riil = suku bunga nominal –inflasi

Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Jumlah uang beredar (MS) ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga. Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang.

Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga permintaan uang meningkat.

Dalam Mishkin (2001) disebutkan bahwa jumlah uang beredar berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus:

MS = m x MB ...(16) dimana:

MS = Uang beredar M = Angka pengganda uang MB = Uang primer


(47)

Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m) menjadi faktor yang turut mempengaruhi jumlah uang beredar karena m menunjukkan seberapa banyak perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan rumus:

...(17)

artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatur oleh Bank sentral.

1. Perubahan Required Reserve

Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya jumlah uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve

2. Perubahan Currency Ratio

Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier akan turun karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio.

3. Perubahan Excess Reserve Ratio

Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank

(C/D)

(ER/D)

rD

C/D

1

+

+

+

=


(48)

menurunkan jumlah pinjaman sehingga MS menurun. Preferensi bank memegang cadangan lebih banyak atau lebih sedikit dipengaruhi oleh biaya dan manfaatnya. Ketika biaya memegang cadangan meningkat maka bank menurunkan cadangan yang dipegang dan sebaliknya. Faktor yang menjadi acuan perbankan adalah suku bunga pasar, dimana ketika suku bunga pasar meningkat maka biaya memegang cadangan meningkat sehingga bank menurunkan jumlah cadangan yang dipegang (dengan meningkatkan jumlah pinjaman) dan money multiplier meningkat yang selanjutnya meningkatkan MS

2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto

Dalam sistem perekonomian tertutup jumlah tabungan masyarakat merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi (Mankiw, 2000). Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan jumlah tabungan (I = S). Namun pada sistem ekonomi terbuka dimana dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (ekspor-impor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari akumulasi tabungan domestik. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional,

Y = C + I + G + NX ………... (18) Y – C – G = I + NX;

dimana : Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga:

S = I + NX ………...………...……….. (19) NX = S – I ...………..………... ...(20) dimana NX adalah net ekspor yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I menunjukkan net foreign investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif


(49)

artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi, dan sebaliknya jika NFI negatif artinya investasi domestik lebih besar dari tabungan domestik, dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri.

Ekspor bersih (NX) merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besaran NX dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah, barang domestik relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor meningkat dan impor menurun sehingga NX akan meningkat, sebaliknya jika nilai tukar tinggi, barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya NX menurun. Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, karena tingkat bunga merupakan opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga pasar opportunity kegiatan investasi semakin mahal dan sebaliknya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan:

S = I (r) + NX (∈) ………...….……… (21) dimana:

S = Tabungan I = Investasi NX = Ekspor netto

2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter

Perhatian utama dalam penyusunan strategi kebijakan moneter di seluruh negara adalah dasar acuan (nominal anchor) yaitu variabel nominal yang digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter (Mishkin, 2000). Dasar acuan (nominal anchor) ini membantu pencapaian tujuan kebijakan moneter karena mampu meminimalisasi permasalahan ketidakkonsistenan waktu penetapan kebijakan dimana kebijakan


(50)

moneter yang ditetapkan otoritas moneter tidak memberikan dampak jangka panjang.

Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun permasalahan selama ini adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena pencapaian sasaran akhir ini bersifat kontradiktif. Oleh karena itu, dalam perkembangannya bank sentral lebih cenderung memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya dan dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah menggeser penerapan kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal yaitu stabilitas harga.

Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor (dasar acuan) atau sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi pelaksanaan kebijakan moneter tersebut antara lain (1) penargetan nilai tukar (exchange rate targeting), (2) penargetan besaran moneter, (3) penargetan inflasi, dan (4) strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang tegas.

1. Penargetan Nilai Tukar

Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar didasari pemikiran bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh, yaitu (1) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional seperti emas, (2) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah dan (3) menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu


(51)

ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi antara dua negara.

Penargetan nilai tukar memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) dapat meredam laju inflasi yang berasal dari perubahan harga barang-barang impor, (2) dapat mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan mengurangi masalah ketidakkonsistenan waktu kebijakan moneter, dan (3) bersifat cukup sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat (Mishkin, 2001)

Namun kebijakan ini juga memiliki kelemahan yaitu (1) penargetan nilai tukar dalam kondisi perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan moneter domestik dari pengaruh luar negeri, dimana setiap gejolak struktural yang terjadi di negara acuan akan ditransmisikan pada stabilitas perekonomian domestik, (2) rentan terhadap tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang domestik, dan (3) memperlemah akuntabilitas pembuatan kebijakan moneter karena hilangnya sinyal nilai tukar yang menjadi perhatian masyarakat dan pasar.

2. Penargetan Besaran Moneter

Penargetan besaran moneter dilakukan dengan menetapkan pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan besaran moneter adalah kebijakan moneter lebih independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan. Stratgi kebijakan ini akan menjadi kurang optimal jika tidak ada hubungan yang erat antara besaran moneter


(52)

dengan sasaran akhir diantaranya tingkat inflasi. Dengan semakin berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut terganggu sehingga menjadi alasan strategi ini kurang banyak diadopsi.

3. Penargetan Inflasi

Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan untuk perumusan kebijakan moneter. Yang diutamakan adalah pencapaian sasaran akhir inflasi dan bukan pencapaian sasaran antara seperti uang beredar atau nilai tukar sehingga dengan menargetkan inflasi sebagai acuan nominal, bank sentral dapat menjadi lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai tujuan akhir.

Kelebihan penargetan inflasi adalah (1) memungkinkan otoritas moneter untuk lebih fokus pada pertimbangan kondisi dalam negeri, (2) stabilitas hubungan antara uang dan inflasi tidak menjadi penting dalam keberhasilan penargetan inflasi, (3) mudah dipahami oleh publik dan lebih transparan, (4) meningkatkan akuntabilitas otoritas moneter, dan (5) mampu mengurangi goncangan harga. Namun strategi kebijakan penargetan inflasi ini juga memiliki kelemahan yaitu: (1) inflasi tidak mudah dikontrol oleh otoritas moneter sehingga sinyal penargetan inflasi tidak dapat disampaikan dengan cepat kepada publik dan pasar, (2) strategi ini seringkali membutuhkan aturan yang rumit, dan (3) fokus tunggal pada inflasi akan mendorong fluktuasi output yang sangat besar.

Walaupun penargetan dilakukan pada inflasi, strategi ini tidak mengabaikan pencapaian tujuan kebijakan moneter lainnya seperti


(53)

perkembangan output dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek dalam penetapan sasaran inflasi jangka menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam rangka meminimumkan penurunan perkembangan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran inflasi jangka menengah-panjang yang lebih rendah.

2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Mekanisme transmisi kebijakan moneter terkait dengan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan sektor riil secara keseluruhan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan oleh teori kuantitas uang. Teori kuantitas uang menggambarkan kerangka kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dalam suatu identitas the equation of exchange:

MV = PT

dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PT).

Berdasarkan mekanisme transmisi ini, maka dalam jangka pendek pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil, selanjutnya dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan


(54)

perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap perkembangan output riil tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional.

Dalam perkembangannya, penjelasan transmisi kebijakan moneter terhadap produksi terbagi atas dua arah pemikiran yaitu (1) pemikiran monetarist yang cenderung menggunakan model reduced-form yang tidak menggambarkan secara spesifik jalur pengaruh uang beredar terhadap output melainkan menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam suatu kotak hitam, (2) pemikiran Keynesian yang mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk memahami jalur transmisi secara lebih baik.

Menurut pemikiran Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan atas tiga jalur utama yaitu (1) jalur suku bunga, (2) jalur harga aset, dan (3) jalur transmisi dari sisi kredit. (Mishkin, 2001).

2.1.9.1. Jalur Suku Bunga

Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi kebijakan agregat melalui perubahan suku bunga. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan uang beredar akan mendorong penurunan suku bunga riil yang mengindikasikan biaya modal yang lebih murah dan mendorong peningkatan pengeluaran investasi yang merupakan komponen dari permintaan agregat sehingga akhirnya meningkatkan total produksi (output riil) dalam suatu perekonomian. Investasi dalam bahasan ini tidak hanya keputusan investasi oleh sektor usaha melainkan juga pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama seperti pengeluaran perumahan dan automobil.

Perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah atau jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi


(55)

permintaan dan penawaran di pasar uang. Dalam hal ini, apabila perubahan harga bersifat kaku, perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek dan selanjutnya menurunkan suku bunga riil jangka panjang yang selanjutnya meningkatkan investasi (investasi sektor usaha dan pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama). Pentingnya suku bunga riil dalam analisis jalur suku bunga dapat dijelaskan persamaan berikut ini.

i = ir + πe ...(22) atau sama juga dengan :

ir = i - πe ...(23) sehingga transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat disederhanakan seperti berikut ini

M

Æ

Pe

Æ

πe

Æ

ir

Æ

I

Æ Y

...(24)

2.1.9.2. Jalur Harga Aset

Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dibedakan menjadi tiga jalur pengaruh yaitu (1) pengaruh nilai tukar terhadap ekspor netto, (2) Teory Tobin, dan (3) efek kekayaan. Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan penawaran dan permintaan agregat dan selanjutnya mempengaruhi output dan harga. Namun besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap output tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Misalnya, dalam sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter ekspansif oleh bank sentral akan mendorong depresiasi mata uang domestik karena penurunan suku


(56)

bunga riil yang mendorong terjadinya capital outflow dan selanjutnya meningkatkan harga barang impor dan nilai ekspor netto menjadi lebih rendah.

Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak langsung melalui perubahan permintaan agregat (indirect pass through). Sementara itu dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh kebijakan moneter pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin lemah terutama apabila terdapat subtitusi yang tidak sempurna antara aset domestik dan aset luar negeri.

Mekanisme transmisi menurut Teori Tobin dan efek kekayaan menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga asset dan kekayaan masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran investasi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka terjadi peningkatan suku bunga yang pada gilirannya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan harga aset berakibat pada dua hal, yaitu (1) mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga kegiatan investasi menurun, dan (2) menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat.

2.1.9.3. Jalur Kredit

Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima jalur, yaitu (1) jalur pinjaman bank (bank lending channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank khususnya sisi asset., (2) jalur neraca perusahaan (balance sheet channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit , (3) jalur aliran kas (cash flow channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan


(57)

moneter terhadap aliran kas yang selanjutnya mempengaruhi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan dalam mendapatkan kredit, (4) jalur ekspektasi harga (unanticipated price level channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap ekspektasi harga yang selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit, dan (5) pengaruh likuiditas rumah tangga (household liquidity effect) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap kekayaan finansial rumah tangga yang mempengaruhi kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga yang selanjutnya berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan barang tahan lama.

Menurut jalur pinjaman bank, sisi liabilitas bank juga menjadi komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif misalnya melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan menurun sehingga dana yang dapat dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank untuk memberikan pinjaman akan menurun yang pada gilirannya menyebabkan penurunan investasi dan mendorong penurunan output.

Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun dan mendorong kenaikan harga saham. Kondisi ini meningkatkan nilai bersih perusahaan yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan sehingga mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output.


(58)

Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi ekonomi masing-masing individu memiliki informasi yang berbeda/asimetris mengenai beberapa aspek terkait dengan kualitas produk. Dengan kondisi ini, individu yang memiliki informasi lebih banyak memperoleh keuntungan lebih besar dari negosiasi yang dilakukan. Sementara itu moral hazard, merujuk pada situasi ketika pelaku ekonomi yang satu tidak mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya sehingga menyebabkan adanya pengambilan keputusan yang salah yang pada gilirannya memberikan hasil yang tidak baik.

Menurut jalur aliran kas, kebijakan moneter mempengaruhi kondisi aliran kas perusahaan melalui suku bunga nominal yang selanjutnya menjadi gambaran bagi pihak pemberi pinjaman tentang kemampuan membayar kredit oleh perusahaan/ rumah tangga. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga nominal, maka kondisi aliran kas perusahaan membaik dan begitu juga dengan neraca keuangannya. Perbaikan kondisi keuangan (aliran kas) ini meningkatkan keyakinan pemberi pinjaman terhadap kemampuan membayar pinjaman sehingga mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output.

Jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi terhadap inflasi dan kegiatan ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap keputusan konsumsi dan investasi. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral menempuh kebijakan moneter ekspansif maka kenaikan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang tidak terduga yang selanjutnya meningkatkan nilai bersih perusahaan. Perbaikan nilai bersih riil perusahaan ini akan mengurangi tindakan adverse


(1)

(2)

Keterangan: = variabel endogen ; = variabel eksogen BLOK KINERJA SEKTOR RIIL BLOK KINERJA MONETER

BLOK KINERJA PEREKONOMIAN

ISBI IR ER ISBI MB RR ILN Kredit Sektoral IRC Lag Kredit Sektoral Investasi Sektoral Lag Investasi Sektoral GPDB Sektoral Ekspor Sektoral INFL PDB Sektoral Tenaga Kerja Sektoral Lag PDB Sektoral Upah Sektor Investasi PDB LA Ekspor U SL


(3)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Kinerja perekonomian, jumlah uang beredar dan inflasi mempunyai kesamaan pola perkembangan dalam artian ada hubungan searah antara pertumbuhan ekonomi dengan pertambahan jumlah beredar dan pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. Pada periode sebelum krisis (1980-1997), pertumbuhan ekonomi berhubungan searah dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dimana pertumbuhan jumlah uang beredar sekitar 3 kali pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang teori Klasik, hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan penggunaan uang sebagai alat transaksi (M1) yang biasanya memang semakin meningkat pada saat perekonomian tumbuh. Sedangkan dari sudut pandang teori Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar ini terjadi berkemungkinan karena suntikan kredit yang akan mendorong aktivitas investasi dan akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Selama periode krisis, jumlah uang beredar meningkat signifikan dengan persentase peningkatan melebihi angka 20 persen, namun pertumbuhan ekonomi justru menjadi negatif dan hampir tidak berkembang. Hal ini terjadi berkemungkinan karena kondisi abnormal selama awal krisis yang mendorong masyarakat untuk menyimpan uang untuk berjaga-jaga dan transaksi.

Mulai tahun 2001, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter yang independen menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy) sehingga menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar sangat terkendali menjadi sekitar 10 persen per tahun. Pengetatan jumlah uang beredar ini ternyata tidak menurunkan pertumbuhan ekonomi karena terbukti selama periode 2001-2005 pertumbuhan ekonomi tetap stabil pada kisaran angka 3-5 persen per tahun.


(4)

109

Penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian saat ini sudah berlebih jumlahnya sehingga penambahan tenaga kerja hanya akan menurunkan jumlah produksi. Oleh karena itu peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui perbaikan dan peningkatan investasi modal/kapital. Pada sektor industri, variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi dengan arah yang positif. Hasil ini menjadi cerminan bahwa struktur industri di Indonesia sebagian besarnya adalah industri kecil dan industri rumah tangga yang menggunakan teknologi intensif tenaga kerja (labor intensive). Disamping itu, tenaga kerja di sektor industri memiliki kualitas dan produktivitas kerja yang relatif lebih baik sehingga penambahan tenaga kerja di sektor industri mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan produksi.

Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan produksi sektor pertanian melalui peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khusus dari sisi pinjaman bank (bank lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian.

Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga pasar, sedangkan alokasi kredit tidak berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun peranan BI sudah cukup baik dalam mempengaruhi ketersediaan kredit melalui penetapan giro wajib minimum perbankan yang selanjutnya direspon oleh perbankan dengan meningkatkan penyaluran kredit bagi sektor pertanian, namun tidak mampu meningkatkan investasi sektor tersebut. Hal ini terjadi biasanya karena kredit seringkali digunakan atau dialihkan penggunaannya untuk kegiatan yang lebih bersifat konsumtif atau adanya tenggang waktu penggunaan kredit dengan peningkatan investasi.


(5)

110

Kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output kedua sektor. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden oleh perbankan dengan menurunkan alokasi kredit untuk sektor pertanian dan industri yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum maih mampu meningkatkan ekspor meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena kebijakan ini mencerminkan langkah cepat otoritas moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian dan menjadi indikator kemampuan perbankan yang lebih baik dalam menjaga likuiditas sehingga memberikan rasa aman bagi dunia industri untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor dan selanjutnya meningkatkan pula total produksi sektor industri

Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen. Namun demikian kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif, bahkan peningkatan investasi akibat penurunan suku bunga SBI dan akibat peningkatan alokasi kredit tidak berbeda jauh sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam stimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian.

7.2. Saran

Peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui penurunan suku bunga karena suku bunga pasar memiliki pengaruh yang nyata terhadap


(6)

111

kegiatan investasi. Hal ini dapat diatur oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dengan menurunkan suku bunga SBI dan giro wajib minimum. Secara bersamaan, pemerintah tetap perlu menciptakan stimulasi perbaikan kinerja dunia usaha melalui penyaluran paket-paket kredit sehingga dapat menjadi sumber permodalan untuk meningkatkan kapasitas produksi terutama bagi sektor pertanian.

Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan perkreditan, maka khusus pada sektor pertanian perlu kebijakan lain yang lebih mikro agar pelaku usaha pertanian memiliki akses yang lebih baik, diantaranya adalah pembinaan dan pengawasan yang ketat atau kemudahan persyaratan untuk mendapatkan kredit. Sementara itu, kebijakan perkreditan bagi sektor industri akan optimal meningkatkan kinerja apabila kondisi perekonomian mendukung diantaranya melalui penciptaan stabilisasi harga (inflasi) karena inflasi yang stabil mampu mendorong ekspor sektor industri yang selanjutnya akan mendorong penambahan investasi.