lagged endogeneous variables. Oleh karena itu untuk menguji adanya serial korelasi digunakan uji Durbin h statistik dengan rumus sebagai berikut:
h = 1-0.5 DW T1-TVar Bhart
0.5
dimana: h
= Angka statistik Durbin-H
T =
Jumlah pengamatan contoh Var Bhart
= Varians dari koefisien variabel beda kala
DW =
Nilai statistik Durbin Watson Suatu persamaan tidak mengalami masalah serial korelasi bila nilai
mutlak h hitung lebih kecil dari nilai mutlak tabel. Pada taraf nyata 5 suatu persamaan tidak mengalami serial korelasi jika h
hit
1.96. Nilai statistik durbin h tidak akan diperoleh jika hasil kali T dan var
β
lag
lebih besar dari 1 karena akan diperoleh nilai penyebut yang negatif sehingga nilai akarnya tidak dapat
didefinisikan.
3.4. Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model untuk melihat
keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan beberapa kriteria statistik, yaitu RMSE Root Mean Squares Error, RMSPE
Root Mean Squares Percent Error dan Theil’s Inequality Coefficient U. Nilai RMSE yang kecil atau rendah adalah ukuran yang diinginkan dari
ketelitian simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi suatu peubah terhadap nilai aktualnya dalam persen. Sedangkan koefisien
ketidaksamaan Theil digunakan untuk simulasi historik. Untuk melihat keeratan arah slope antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R
2
koefisien determinasi. Makin kecil RMSE, RMSPE, U serta makin besar R
2
maka model
semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0 maka pendugaan model sempurna dan sebaliknya.
3.5. Simulasi Model
Simulasi antara lain bertujuan untuk : 1 melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, 2 mengevaluasi kebijakan pada masa lampau, dan
3 membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi
historis ex-post simulation. Skenario simulasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah goncangan beberapa variabel pada jalur transmisi yaitu
cadangan wajib giro minimum perbankan, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan alokasi kredit.
Penurunan Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan
September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75
menjadi 10.25 dan pada 7 Desember 2006, BI kembali memutuskan menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75 persen atau
sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1 bulan dalam persentase penurunan yang sama. Keputusan tersebut diambil setelah
melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil berbagai survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk upaya
pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6 ±1 untuk tahun 2007. Keputusan
tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar
keuangan.
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia
sejak Juni 2005 dari sebelumnya menggunakan uang primer base money menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia
lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Keuntungan lain menggunakan suku bunga
adalah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan mempengaruhi alokasi aset masyarakat karena masyarakat bisa menganalisis dananya akan
ditempatkan di deposito atau surat berharga. Disamping itu, dalam prakteknya, penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi sulit karena
sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di masyarakat Halim, 2005. Sebagai contoh, setiap akhir tahun permintaan uang kartal pasti
naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru dan di saat seperti itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi karena berapa pun BI menaikkan
suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap tidak akan berhasil berhubung masyarakat sangat membutuhkannya untuk transaksi.
Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan
persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum GWM sebesar persentase tertentu dari
dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang
perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Kebijakan meningkatkan giro wajib
minimum sebesar 5 persen sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meredam nilai tukar yaitu BI menaikkan simpanan wajib perbankan atau
giro wajib minimum GWM secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau
berdasarkan Loan to Deposit Ratio LDR masing-masing bank. Ketentuan ini berlaku sejak 6 September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil
kenaikan yang paling besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR kurang dari 40 persen.
Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan
UMKM. Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama
dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance Cooperation IFC- World Bank tentang “Access to Finance for SME’s in
Indonesia”. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD 100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan
BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun 2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen Laporan BI,
2006.
94.56 125.62
110.60 127.80
119.94 138.25
132.40 155.83
155.47 199.45
198.43 239.78
133.83 162.19
160.14 177.73
174.02 191.94
194.88 223.80 223.73
253.82 267.64
281.91
- 50.00
100.00 150.00
200.00 250.00
300.00
2000.2 2000.4 2001.2
2001.4 2002.2 2002.4
2003.2 2003.4 2004.2 2004.4 2005.2 2005.4
T ril
iu n
R p
Uang primer Uang beredar
4.22 5.14
6.12 6.15
7.12 10.09 10.96
12.36 14.74 17.61
22.16 25.85
34.41 46.09
75.12 101.79
8.58 10.10
11.68 12.69 14.39
20.11 23.82 26.34
28.78 37.04
45.37 52.68
64.09 78.34
101.20 124.63
- 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
120.00 140.00
1984 1985
1986 1987
1988 1989
1990 1991
1992 1993
1994 1995
1996 1997
1998 1999
Uang Primer Uang Beredar
IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia