2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu
Alkadri 1999 menganalisis tentang sumber-sumber pertumbuhan Indonesia selama 1969-1996 dengan menggunakan metode regresi kuadran
terkecil OLS. Model yang diaplikasikan dalam analisis adalah perluasan model pertumbuhan Harrod-Domar dan Rana Dowling dengan memasukkan 11 variabel
penjelas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari hasil penaksiran model diperoleh hasil bahwa utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta,
investasi domestik, eskpor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta, pajak dan angkatan kerja memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Sementara itu variabel investasi asing, impor barang dan pengeluaran pemerintah memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dilihat dari angka signifikansi maka meskipun utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri swasta memberikan dampak positif namun
tidak dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi selama 1969- 1996. Begitu juga dengan investasi asing dan pengeluaran pemerintah.
Dalam kenyataannya kondisi ini dipicu oleh ketidaktepatan penggunaan dana, dimana pemerintah mengalokasikan utang untuk membangun infrastruktur
fisik dan non fisik sedangkan swasta mengucurkan utang yang diperoleh untuk membangun sektor properti dan sektor lain yang kurang produktif dalam jangka
pendek. Padahal sebagian besar utang luar negeri berjangka waktu pengembalian yang relatif pendek 3-5 tahun dengan bunga relatif tinggi 5-8
persen. Sebaliknya ekspor barang migas dan non migas menjadi kunci utama
sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996. Hal ini dibuktikan oleh hasil olahan data dimana variabel ekpor berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sumber pokok pertumbuhan ekonomi
lainnya adalah tabungan pemerintah, tabungan swasta, investasi domestik dan pajak. Disamping itu angkatan kerja ternyata menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996 meskipun secara statistik kurang berarti. Artinya apabila potensi sumberdaya dapat dikembangkan secara
optimal maka besar kemungkinan variabel ini menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia.
Terkait dengan itu Yudanto 1999 menganalisis Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil. Hal ini dilatarbelakangi kondisi penurunan pertumbuhan
produksi riil sektor-sektor perekonomian sejak krisis melanda Indonesia. Sektor- sektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar terhadap PDB seperti sektor
industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan keuangan telah mengalami kontraksi secara signifikan.
Hipotesis yang digunakan adalah daya tahan setiap sektor dari tekanan nilai tukar dan tingginya suku bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan
tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga, dimana kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya dalam proses produksi .
Untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan uji korelasi yang melihat seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar dan suku bunga dengan
pertumbuhan produksi. Sedangkan untuk menguji tingkat kepekaannya dihitung dari koefisien elastisitas faktor-faktor tersebut.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup erat dengan faktor depresiasi nilai kurs adalah sektor bangunan, industri, transportasi
dan sektor bangunan. Sedangkan dari tingkat elastisitasnya ternyata sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Dua
penyebab utamanya adalah saratnya kandungan input yang diimpor dan
besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Dari sisi fluktuasi suku bunga diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi dan perdagangan
merupakan sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Dilihat dari elastisitasnya maka sektor bangunan dan keuangan merupakan
sektor yang paling elastis terhadap perubahan suku bunga. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jenis usaha sektor riil yang
memiliki basis sumberdaya yang kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non rupiah yang rendah serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang
rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan dalam krisis bahkan masih mampu memberikan pertumbuhan secara
positif selama krisis. Sejalan dengan perubahan tatanan perekonomian dunia yang semakin
menglobal, maka pembangunan ekonomi Indonesia harus dibenahi sehingga selaras dengan liberalisasi dan dapat memberikan manfaat positif terhadap
perekonomian. Hal ini dianalisis oleh Gonarsyah 2002 dengan judul Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan
Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik. Dengan menggunakan kerangka model makroekonomi Keynes-Klein atau yang dikenal model mikro-
makroekonomi memberikan hasil bahwa secara keseluruhan, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan terpuruknya perekonomian nasional seperti
ditunjukkan dari memburuknya pertumbuhan beberapa indikator makroekonomi yaitu penurunan pendapatan nasional, neraca pembayaran Indonesia, nilai tukar,
konsumsi agregat, distribusi pendapatan dan peningkatan inflasi. Namun satu hal yang menarik adalah saat hampir semua sektor mengalami penurunan,
sektor pertanian justru menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Implikasi kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi
di dalam atmosfir liberalisasi perdagangan adalah memprioritaskan investasi
pada sektor pertanian dan perdagangan yang disertai dengan kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan tetap mempertahankan
restriksi perdagangan pada komoditi strategis seperti beras dan gula. Kebijakan ini diperkirakan mampu menumbuhkan PDB, mampu mengurangi defisit neraca
perdagangan dan jasa, meningkatkan neraca pembayaran dan menstabilkan nilai tukar serta mampu memperbaiki pemerataan pendapatan.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melakukan perubahan yang cukup signifikan dengan mengeluarkan UU No. 231999 yang menyatakan
bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Undang-undang ini melandasi upaya penyempurnaan kebijakan moneter
di Indonesia dalam kerangka kerja pentargetan inflasi inflation targeting. Nuryati 2204 dalam tesisnya tentang ”Pelaksanaan Kebijakan Moneter
Pentargetan Inflasi di Indonesia” menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No. 231999 belum dapat dilaksanakan secara optimal. Tugas, fungsi dan
wewenang Bank Indonesia belum terkoordinasi dalam sebuah struktur organisasi yang efektif sehingga peran Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan
moneter masih terbatas yang menyebabkan tujuan kebijakan sulit tercapai. Ketidakefektifan dapat terlihat pada belum tercapainya prinsip independensi,
transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam penyelenggaraan kebijakan. Dengan menggunakan metode analisis Impulse Response Function IRF
dan Forecast Error Variance Decomposition FEVD melalui Vector Error Correction Model VECM, diperoleh hasil bahwa kebijakan moneter selama
krisis hanya berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan harga dalam jangka panjang tetapi rendah. Guncangan suku bunga
mempengaruhi nilai tukar relatif kecil dan variabilitas nilai tukar lebih ditentukan oleh nilai tukar itu sendiri yang sesuai dengan sistem nilai tukar di Indonesia
mengambang bebas. Variabilitas suku bunga dipengaruhi oleh adanya
guncangan permintaan uang dan agregat suplai. Sedangkan variabilitas harga dipengaruhi oleh permintaan uang. Kebijakan moneter mempengaruhi harga
memerlukan lag selama 6 bulan. Implikasi umum hasil penelitian ini adalah perlu penyempurnaan kembali
kebijakan moneter inflation targeting melalui arah kebijakan yang lebih transparan sehingga dampak nyata terhadap perekonomian lebih terasa.
Kebijakan moneter dengan pengendalian harga tetap dipertahankan apabila di masa mendatang Bank Indonesia mempunyai instrumen yang sepenuhnya
dibawah kendali Bank Indonesia. Namun kebijakan moneter dengan mengendalikan jumlah uang beredar justru lebih tepat digunakan selama proses
pemulihan ekonomi. Perubahan penting yang juga dilakukan Indonesia pasca krisis adalah
peralihan sistem nilai tukar mengambang terkendali managed floating system menjadi sistem mengambang penuh atau bebas freely floating system. Sistem
nilai tukar baru ini diterapkan pada tanggal 14 Agustus 1997 sehingga menyebabkan posisi nilai tukar rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar.
Sistem nilai tukar mengambang penuh atau bebas ini mengasumsikan bahwa intervensi pemerintah tidak ada dalam pasar valuta asing. Artinya dalam
sistem nilai tukar bebas ini tidak ada kewajiban Bank Indonesia untuk melakukan intervensi secara sistematis sehingga nilai tukar rupiah bebas bergerak dalam
merespon kekuatan pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Suhendra 2001 bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah pasca penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu faktor fundamental
makroekonomi, faktor resiko dan faktor ekspektasi nilai tukar di masa depan. Dengan menggunakan dua model yaitu model persamaan kointegrasi dan model
dinamis ECM diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat suku bunga, tingkat
harga relatif, cadangan devisa, investasi langsung dan tidak langsung luar negeri, pertumbuhan utang luar negeri, pembayaran utang swasta, ekspor,
indeks resiko dan ekspektasi nilai tukar akan datang mempunyai korelasi terhadap nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Artinya seluruh
faktor fundamental diatas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sedangkan PDB riil, penawaran uang, dan impor mempunyai korelasi
terhadap nilai tukar hanya dalam jangka panjang. Hasil temuan empiris dalam studi ini memunculkan beberapa implikasi
pokok kebijakan pengelolaan ekonomi makro jangka pendek dan jangka panjang diantaranya : 1 melakukan upaya menciptakan stabilitas sosial-politik dan
penciptaan rasa aman dalam berinvestasi, 2 menjaga kestabilan tingkat harga yang merupakan cerminan dari inflasi, 3 melakukan upaya peningkatan ekspor
baik migas maupun non migas, 4 melakukan penjadwalan pembayaran utang resmi pemerintah dan penudaan pembayaran utang luar negeri swasta, dan 5
melakukan upaya pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang dapat menganggu stabilitas nilai tukar pada saat pembayaran utang.
Deregulasi moneter di Indonesia dan kaitannya dengan tingkat suku bunga menjadi topik analisis Wiranta 1995. Analisis ini dilatarbelakangi kondisi
riil bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi, tingkat suku bunga menjadi perhatian kreditur dan debitur dimana kedua belah pihak menginginkan tingkat suku bunga
yang wajar. Disamping itu tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator antara bagi otoritas moneter dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter.
Oleh karena itu secara lebih rinci Wiranta ingin mengetahui lebih jauh tentang kebijakan moneter yang pernah dilakukan pemerintah dan kaitannya dengan
tingkat suku bunga. Dari hasil kajian diketahui bahwa tingkat suku bunga di Indonesia pada
masa mendatang masih tetap tinggi yang disebabkan antara lain oleh laju inflasi
yang masih tinggi, overhead cost yang tinggi, faktor internal dan eksternal serta ketatnya persaingan antar bank. Disamping itu kebijakan moneter tahun 1983
merupakan awal deregulasi yang sangat penting karena bank-bank pemerintah diberikan keleluasaan menentukan suku bunga tanpa intervensi pemerintah.
Diperkenalkannya SBI dan SBPU sebagai instrumen kontrol pengembangan moneter memberikan hasil cukup positif dimana jumlah bank meningkat tajam,
begitu pula jumlah penyimpan dana, volume kredit dan tabungan. Selanjutnya manajemen perbankan dikelola secara profesional dan efisien sehingga dapat
melakukan ekspansi usaha. Berhubung tingkat suku bunga yang tinggi kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan ekonomi, maka beberapa kebijakan yang perlu dilakukan diantaranya 1 kontrol moneter secara agregat guna menjaga stabilitas seperti
pengendalian laju inflasi, jumlah uang beredar, dan tabungan masyarakat, 2 BI sebagai otoritas moneter berkewajiban menyehatkan persaingan pasar dan
melakukan intervensi jika bank menyimpang dari aturan yang ditetapkan, 3 pinjaman luar negeri harus diatur secara lebih ketat, 4 merangsang pemasukan
kembali tabungan nasional yang ditahan dalam bentuk valuta asing, dan 5 pemberlakukan perbedaan tingkat suku bunga kepada pelaku ekonomi.
Hamdani 2003 dalam topik Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka Pendek terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Laju Inflasi di Indonesia
membangun 3 model ekonometrik yaitu 1 model perilaku aliran modal swasta, 2 model perilaku nilai tukar, dan 3 model perilaku inflasi. Menggunakan
metode persamaan simultan yang dianalisis dengan two stage least square memberikan hasil bahwa laju inflasi dan nilai tukar mempunyai hubungan yang
timbal balik 2 arah. Laju inflasi berpengaruh positif terhadap perubahan nilai tukar rupiahUS
dengan nilai koefisien 1.01. Hal ini sejalan dengan teori ”purchasing power
parity” yang menyebutkan bahwa laju inflasi doemstik yang lebih besar dari laju inflasi luar negeri akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik. Sedangkan
pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga positif dengan nilai koefisien lebih kecil yaitu 0.72 yang berarti jika nilai tukar rupiah terdepreasiasi sebesar 1 persen
maka laju inflasi akan meningkat sebesar 0.72 persen. Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi yang positif merupakan pass-trough effect dari
barang-barang dan bahan baku impor yang harganya meningkat sehingga mengakibatkan meningkatnya biaya produksi.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap laju inflasi adalah pertumbuhan produk domestik bruto riil dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Pengaruh
pertumbuhan PDB riil menunjukkan arah positif dengan nilai koefisien sebesar 0.46 persen. Angka ini mengisyaratkan bahwa kenaikan tingkat output riil tidak
bisa meredam laju inflasi karena perilaku masyarakat yang tidak optimis mengharapkan laju inflasi di masa yang akan datang menurun sehingga
walaupun terjadi kenaikan output riil, laju inflasi tetap meningkat. Untuk mengatasi laju inflasi dari sisi permintaan tersebut, maka melalui
kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI. Hasil analisis membuktikan hal tersebut dimana suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap
laju inflasi dengan nilai koefisien sebesar -0.005. Artinya sertifikat Bank Indonesia merupakan instrumen yang cukup efektif mengendalikan inflasi
terutama demand inflation. Dasar pemikran dan mekanismenya adalah ketika terjadi kelebihan permintaan yang diakibatkan peningkatan produk domestik
bruto riil yang berarti masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi, maka dilakukan kebijakan meningkatkan suku bunga SBI yang berarti return yang bisa
didapatkan masyarakat juga meningkat cateris paribus sehingga masyarakat tertarik menggunakan uang untuk membeli SBI yang selanjutnya mengurangi
perilaku konsumtif masyarakat dan akhirnya meredam laju inflasi.
Studi yang dilakukan oleh Julaihah 2004 tentang Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia
mengaplikasikan Vector Error Correction Model dalam analisisnya. Berdasarkan hasil impulse response yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
merespon adanya kejutan satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan pengaruh kejutan uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan,
ternyata menghasilkan prize puzzle. Prize puzzle merupakan kondisi dimana ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata direspon
dengan penurunan inflasi. Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata
memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Pada saat suku bunga SBI dimasukkan dalam model, maka liquidity puzzle dan prize puzzle
dapat dihindari. Sehingga interpretasi ekonomi dari hasil impulse response lebih mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di
Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan variance decomposition, maka terlihat bahwa uang primer tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi,
uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi. Sedangkan SBI memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi dan
SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ketika horizon waktu semakin panjang. Hal yang menarik dari variance decomposition
adalah bahwa nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan, yaitu baik ketika menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika
menggunakan SBI. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya kejutan kebijakan moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan
variabel-variabel ekonomi makro yang lain.
Khusus terkait dengan nilai tukar, Ekananda Mahyus 2004 melakukan studi tentang Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi
Manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan Non Linear Seemingly Unrelated Regression di peroleh hasil bahwa
komoditi manufaktur dengan kandungan impor tinggi akan terkena dampak yang berbeda, dibandingkan dengan komoditi
manufaktur dengan kandungan impor rendah. Artinya , terdapat perbedaan dampak volatilitas nilai tukar dan nilai tukar pada nominal ekspor komoditi
manufaktur dengan kandungan impor yang berbeda. Fluktuasi nilai tukar dan volatilitas nilai tukar rupiah memiliki elastisitas
yang berbeda pada setiap nilai ekspor komoditi. Pengaruh ini dapat saja signifikan atau bahkan tidak signifikan sama sekali. Setiap komoditi yang
diekspor ke berbagai negara memerlukan waktu penyesuaian yang berbeda. Adanya impor sebagai bahan baku untuk memproduksi komoditi ekspor akan
mempengaruhi performa ekspor sebagai akibat pengaruh dari nilai tukar dan volatilitas nilai tukar.
Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang terkendali, secara proporsional, tidak
berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan
depresiasi nilai tukar, cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur. Sementara itu pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor
komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas, secara proporsional, berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan
kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan waktu penyesuaian antara komoditi dengan impor tinggi dan komoditi dengan impor
rendah. Dalam hal waktu penyesuaian pengaruh dari volatilitas nilai tukar, pada masa nilai tukar mengambang terkendali, ekspor dengan kandungan impor tinggi
memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan impor rendah.
Pada masa nilai tukar mengambang bebas, ekspor dengan kandungan impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan
kandungan impor rendah 6.97 bulan. Waktu penyesuaian yang berbeda disebabkan karena adannya perbedaan jumlah kandungan impor.
2.3. Kerangka Konseptual