Kestabilan nilai rupiah secara teoritis mempunyai makna ganda yaitu stabilitas harga barang dan jasa inflasi di dalam negeri dan stabilitas harga
mata uang domestik nilai tukar. Warjiyo 2000 menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pencapaian stabilitas harga akan mendorong stabilitas nilai tukar
dan kestabilan nilai rupiah ini merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Untuk mencapai tujuan diatas, Bank Indonesia melaksanakan tiga tugas pokok, yaitu 1 menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, 2 mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan 3 mengatur dan mengawasi sistem perbankan. Pada dasarnya pelaksanaan ketiga tugas pokok ini
mempunyai keterkaitan erat dalam upaya pencapaian kestabilan nilai rupiah tersebut.
Selanjutnya sesuai amandemen UU No.3 tahun 2004 ditegaskan bahwa sasaran laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh
pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara kebijakan moneter Bank
Indonesia dengan kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dalam mencapai sasaran ekonomi makro. Disamping itu, perubahan tersebut dimaksudkan untuk
memperkuar komitmen dan dukungan pemerintah dalam pencapaian sasaran inflasi oleh Bank Indonesia.
2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia
Pemberlakuan Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter di Indonesia. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang jelas menyangkut kewenangan dan independensi Bank Indonesia
dalam melaksanakan tugas di bidang moneter yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Undang-undang tersebut secara implisit mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia berdasarkan pada kerangka
kerja yang dikenal dengan sebutan Inflation Targeting. Prinsip dasar yang melandasi kerangka kerja Inflation Targeting tersebut
adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini didasarkan pada dua
pertimbangan pokok, yaitu 1 laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat karena menurunnya daya beli atas
pendapatan yang diperolehnya maupun meningkatnya ketidakpastian yang dapat mempersulit perencanaan usaha dan memperburuk kegiatan ekonomi, dan 2
perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengah-
panjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai bagaimana pengaruh kebijakan
moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Pokok-pokok konsep dasar penerapan inflation targeting di Indonesia
adalah sebagai berikut: 1. Sasaran
Inflasi Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan
sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Sasaran inflasi ditetapkan untuk jangka menengah-panjang 3-5 tahun ke depan, yang untuk
saat ini adalah 6 persen pada tahun 2006. Jenis inflasi yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen IHK, terutama untuk memudahkan komunikasi dengan
Pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, untuk dasar perumusan kebijakan moneter secara internal, Bank Indonesia mengembangkan jenis inflasi yang
dapat dikendalikan oleh kebijakan moneter dan dikenal dengan sebutan inflasi inti. Terkait dengan penetapan inflasi, amandemen UU No. 3 tahun 2004
terhadap UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi yang semula ditetapkan sendiri oleh Bank Indonesia ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan
Bank Indonesia. 2. Kebijakan moneter mengarah ke depan
Kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan. Pentingnya kebijakan
moneter yang berorientasi masa depan dilatarbelakangi fakta empiris bahwa terdapat tenggang waktu yang relatif lama dari pengaruh kebijakan moneter
terhadap perkembangan berbagai variabel ekonomi-keuangan dan sasaran akhir inflasi.
Orientasi kebijakan moneter yang demikian mengharuskan bank sentral untuk dapat ; 1 memprakirakan pergerakan inflasi ke depan untuk dibandingkan
dengan sasaran yang ditetapkan, 2 mengetahui seberapa lama tenggang waktu dari pengaruh kebijakan moneter saat ini dengan infllasi di masa yang akan
datang, dan 3 mengetahui dengan baik bagaimana mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Untuk itu,
Bank Indonesia telah mengembangkan model-model proyeksi ekonomi, nilai tukar dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk memperkuat
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara foorward looking. 3. Transparansi
Penjelasan secara periodik mengenai pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia baik pada setiap awal tahun, triwulan, bulanan
maupun mingguan. Dalam penjelasan setiap awal tahun dan triwulanan dikemukakan mengenai perkembangan pencapaian inflasi dan pelaksanaan
kebijakan moneter yang telah dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke depan dan arah kebijakan moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas
dan diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur.
4. Akuntabilitas Sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang termasuk kebijakan moneter kepada DPR. Laporan tersebut dievaluasi DPR dalam rangka penilaian secara tahunan atas kinerja
dewan gubernur dan Bank Indonesia. Perubahan dalam undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan kebijakan moneter.
Selanjutnya, berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, suku bunga dan variabel ekonomi makro
lainnya, maka Bank Indonesia dapat memperkirakan permintaan uang yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian dan memperhitungkan pertumbuhan
jumlah uang beredar M1 dan M2 yang dibutuhkan masyarakat. Dengan mengendalikan uang primer M0 sebagai sasaran operasional yang dapat
ditentukan baik secara tahunan, kuartalan, bulanan maupun mingguan, maka jumlah uang beredar di masyarakat dapat dipengaruhi.
Berdasarkan sasaran uang primer yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan Operasi Pasar Terbuka OPT sebagai instrumen utama
pengendalian moneter melalui tiga cara yaitu 1 lelang SBI, 2 Fasilitas Bank Indonesia, dan 3 sterilisasiintervensi di pasar valuta asing. Sebagai contoh,
jika Bank Indonesia ingin mengurangi jumlah uang beredar kebijakan uang ketat maka Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk membeli SBI dengan
cara menaikkan suku bunga SBI. Sebaliknya jika pemerintah ingin ekspansi uang beredar maka Bank Indonesia menarik SBI yang berada di tangan
masyarakat dengan cara membelinya. Agar semakin banyak SBI yang dijual, maka Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga SBI.
Instrumen utama kebijakan moneter lain yang dilakukan Bank Indonesia adalah melalui fasilitas diskonto yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan Bank
Indonesia kepada bank umum. Ekspansi jumlah uang beredar diupayakan melalui peningkatan daya ekspansi kredit bank umum melalui penurunan tingkat
bunga pinjaman fasilitas diskonto, dan sebaliknya. Giro wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit. Jika Bank
Indonesia menurunkan giro wajib minimum maka daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya
jika giro wajib minimum ditingkatkan maka daya ekspansi kredit bank umum menurun dan jumlah uang beredar berkurang. Sementara itu, imbauan
digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar semua bank mengikuti langkah kebijakan moneter yang diinginkan Bank Indonesia.
Meskipun berbagai langkah persiapan dan penguatan kebijakan moneter telah dilakukan Bank Indonesia, penerapan kerangka inflation targeting di
Indonesia tidaklah mudah karena terkait dengan kondisi perekonomian dan sistem perbankan yang sedang mengalami perubahan struktural. Permasalahan
fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan optimal mempengaruhi efektivitas mekanisme transmisi dan kebijakan moneter yang ditempuh Bank
Indonesia. Dengan kondisi demikian, langkah-langkah kebijakan moneter Bank Indonesia misalnya perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI tidak
selalu dapat secara efektif mempengaruhi perkembangan suku bunga perbankan maupun berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan secara keseluruhan yang
diperlukan dalam mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu