Namun demikian, kebijakan moneter yang lebih independen saat ini dengan adanya penetapan sasaran akhir yang lebih jelas yaitu target inflasi
diharapkan tetap dapat memberikan pengaruh pada perbaikan perekonomian dan kinerja sektor riil yang terganggu akibat krisis selama 5 tahun terakhir ini.
Inflasi yang berada pada kisaran yang rendah dengan kondisi perekonomian yang lebih stabil memberikan kepastian kepada pengusaha dalam meningkatkan
kapasitas produksi yang didukung perencanaan investasi yang matang dan kegiatan perdagangan yang menguntungkan.
1.2. Perumusan Masalah
Setelah lima tahun proses pemulihan ekonomi, perbaikan kebijakan dibidang moneter belum tertransmisi dengan baik terhadap perekonomian
Indonesia. Sampai triwulan IV-2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto relatif kecil yaitu 4.5 persentahun Laporan Bank Indonesia, 2006. Lambatnya
pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kinerja konsumsi dan investasi yang kurang optimal. Konsumsi masyarakat mengalami penurunan
yang signifikan karena menurunnya daya beli terkait dengan tingginya angka inflasi. Sementara itu perlambatan investasi terjadi karena meningkatnya biaya
input, menurunnya margin keuntungan perusahaan dan iklim usaha di Indonesia yang masih belum kondusif. Kontribusi investasi terhadap pembentukan produk
domestik bruto juga hanya 15 persennya, padahal sebelum krisis aktivitas investasi menyumbang sekitar 30 persen terhadap PDB.
Disisi eksternal, kegiatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan yang dominan sebelum krisis juga masih menunjukkan pertumbuhan yang kecil
dimana sampai akhir tahun 2005 tumbuh hanya 8.6 persen. Peningkatan ekspor netto lebih banyak disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang mulai
terjadi sejak tahun 2004. Melambatnya volume impor diperkirakan terkait erat
dengan melambatnya kegiatan investasi khususnya jenis-jenis investasi yang membutuhkan barang modal impor dalam proses produksi.
Perlambatan kinerja perekonomian juga tampak pada pengangguran terbuka tahun 2005 yang mencapai 10.84 persen 11.6 juta orang jauh lebih
tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4.7 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi saat ini tidak cukup menampung angkatan kerja yang
bertambah 1.8 juta orang per tahun. Sulitnya mengurangi tingkat pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru menjadi cerminan lambatnya gerak laju
ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah setiap tahunnya.
Secara teoritis kebijakan moneter mampu mempengaruhi sisi permintaan seperti yang dikemukakan oleh Keynesian dan Monetaris. Namun melihat
struktur ekonomi Indonesia semasa krisis ekonomi dimana tekanan inflasi ternyata lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja
sektor riil, maka kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral adalah kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga sehingga diharapkan stimulan ini
dapat mendorong ekspansi produksi dan menggeser kembali kurva penawaran ke kanan. Dengan demikian diharapkan harga akan menurun dan output
meningkat. Namun penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada
tahun 2004 dengan pertimbangan tekanan inflasi selama krisis ekonomi lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, tidak
langsung mendongkrak peningkatan output dengan indikasi awal suku bunga kredit investasi masih tinggi. Lambannya penurunan suku bunga kredit investasi
bagi sektor riil terutama disebabkan masih tingginya persepsi risiko perbankan terhadap penyaluran kredit investasi bagi sektor riil seiring dengan tingginya
resiko yang harus ditanggung sektor riil setelah krisis ekonomi. Akibatnya suku
bunga kredit terlihat kurang elastis terhadap sinyal penurunan suku bunga dari bank sentral. Padahal perbankan mendominasi 80 persen sistem keuangan
sehingga perbankan menjadi prioritas jalur transmisi kebijakan moneter. Hal ini sejalan dengan gejala yang muncul dari sisi pelaku usaha, dimana
dunia usaha masih banyak mengeluhkan sulitnya memperoleh suntikan modal sebagai sumber dana untuk meningkatkan kapasitas produksi, padahal suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dan diharapkan bertransmisi kepada turunnya suku bunga kredit Hendarsah, 2003.
Penurunan suku bunga SBI cenderung direspon dengan peningkatan kegiatan konsumsi. Sementara itu, kegiatan investasi yang memiliki efek
pengganda multiplier effect yang lebih tinggi daripada konsumsi tidak memberikan pengaruh yang berarti dengan perkembangan yang kurang
memuaskan dan justru mengalami kontraksi sebesar 0.2 persen. Dalam tiga tahun terakhir ini, persetujuan investasi PMDN dan PMA pada tahun 2003 hanya
sebesar Rp 177.18 trilyun rupiah, pada tahun 2004 menurun menjadi Rp 129.24 trilyun dan pada tahun 2005 persetujuan investasi sebesar Rp 179.57 trilyun
rupiah 33.93 dari target.
1.3. Tujuan Penelitian