Perubahan ini direspon oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga simpanan menjadi 11.98 persen untuk suku bunga deposito bulanan. Suku
bunga kredit meningkat 21 persen dari tahun 2004 menjadi 13.41 persen KMK dan 15.66 persen untuk kredit investasi. Kebijakan kontraktif ini pada satu sisi
dapat mengembalikan inflasi pada kisaran awal konsisten dengan landasan kebijakan moneter inflation trageting, namun pada sisi lain menjadi sinyal
negatif bagi sektor riil dalam memperluas usaha yang khawatir dengan biaya modal yang semakin memberatkan mereka.
4.2. Kinerja Sektor Riil
Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah terhitung tanggal 1 Juni 1983 dicanangkan dengan tujuan meningkatkan peranan perbankan
sebagai media transmisi kebijakan moneter ke sektor produksi dan perekonomian secara keseluruhan. Pesatnya perkembangan sektor perbankan
dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kreditpembiayaan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ditambah lagi,
kemudahan kredit yang disediakan perbankan serta proses transaksi yang makin cepat dan sederhana diharapkan dapat meningkatkan akses pelaku ekonomi
terhadap sumber modal sehingga meningkatkan aktivitas investasi. Adanya pertumbuhan dalam aktivitas investasi dan berlanjut pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat pula memperluas kesempatan kerja di Indonesia.
Namun dalam realitasnya, pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak berjalan searah secara proporsional. Selama
periode 1984-1997 pertumbuhan output yang tercermin dari nilai Produk Domestik Bruto mencapai 3.39 persen dengan pertumbuhan investasi 11.21
persen. Namun pertumbuhan penyerapan tenaga kerja jauh dibawahnya yaitu
hanya 0.76 persen. Pada periode krisis, meskipun pertumbuhan output menunjukkan angka negatif -0.75, namun aktivitas investasi masih tumbuh
0.86 persen sehingga persentase penyerapan tenaga kerja menurun menjadi 0.35 persen. Sebaliknya pada periode setelah krisis, output tumbuh 12.9 persen,
dan investasi mulai membaik dengan persentase 3.75 persen, namun penyerapan tenaga kerja turun drastis menjadi hanya 0.04 persen. Dari sisi
jumlah nominal, penambahan kesempatan kerja kurang dari satu juta orang setahun, padahal penambahan angkatan kerja mencapai lebih dari 2 juta orang
setahun. Kondisi ini bisa dijelaskan dari sisi kinerja sektoral yang dalam paparan
berikutnya difokuskan pada dua sektor produksi dalam perekonomian yaitu sektor pertanian dan industri dengan alasan dua sektor ini mempunyai teknologi
produksi yang sangat berbeda dimana sektor pertanian dengan labor intensive dan sektor industri yang cenderung capital intensive.
Dari tiga periode waktu seperti tampak pada Tabel 6, kontribusi PDB sektor industri terhadap PDB total terus meningkat dan sebaliknya dengan
kontribusi produksi sektor pertanian yang terus menurun. Pada periode 1984- 1997 kontribusi PDB sektor pertanian terhadap pembentukan total output
nasional hampir sama dengan kontribusi sektor industri yaitu 19.26 persen dan 19.28 persen. Namun mulai tahun 1998 kontribusi sektor pertanian menurun
sampai pada tahun 2005 hanya menjadi 15.5 persen. Disamping itu, pertumbuhan produksi sektor pertanian juga lebih kecil daripada pertumbuhan
sektor industri. Kecenderungan ini juga terjadi pada aktivitas investasi kedua sektor
dimana investasi sektor pertanian cenderung melambat. Kontribusi investasi pada sektor industri pun jauh lebih besar dibandingkan investasi sektor pertanian
dengan nilai nominal yang sangat timpang. Total investasi sektor pertanian sejak
tahun 1984 berada pada kisaran Rp 669 sampai Rp 1 428 miliar, sedangkan nilai investasi sektor industri berkisar Rp 6 sampai Rp 12 triliun rupiah.
Tabel 6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005
Kinerja 1984-1997 1998-1999
2000-2005 Output
a. PDB Nominal - Nilai Miliar Rp
48569 94150
325738 - Pertumbuhan thn
3.39 -0.75
12.9 b. PDB Pertanian
- Nilai Miliar Rp 8570
16294 47759
- Share 19.26
17.31 15.5
- Pertumbuhan thn 3.58
-1.99 11.1
c. PDB Industri - Nilai Miliar Rp
10409 24079
91241 - Share
19.28 25.57
27.6 - Pertumbuhan thn
5.04 0.4
12.3
Investasi
a. Investasi Total - Nilai Miliar Rp
9989 15650
23559 - Pertumbuhan thn
11.21 0.86
3.75 b. Investasi sektor Pertanian
- Nilai Miliar Rp 1428
1027 710
- Share 17.55
6.62 2.9
- Pertumbuhan thn 14.76
-6.49 6.6
c. Investasi sektor Industri - Nilai Miliar Rp
6416 12324
9777 - Share
62.35 78.61
41.5 - Pertumbuhan thn
11.69 2.79
0.4
Penyerapan Tenaga Kerja
a. Total Penyerapan Tenaga Kerja - Jumlah ribu orang
73590 88730
91152 - Pertumbuhan thn
0.76 0.35
0.04 b. Penyerapan TK sektor Pertanian
- Jumlah ribu orang 38284
39376 30695
- Pertumbuhan thn 0.36
0.5 0.2
c. Penyerapan TK sektor Industri - Jumlah ribu orang
7605 10685
11484 - Pertumbuhan thn
1.05 1.47
-1.0
Kondisi ini terjadi berkemungkinan karena liberalisasi perbankan mendorong terbentuknya struktur industri perbankan oligopolis yang
menimbulkan kesulitan bagi pelaku ekonomi di sektor pertanian untuk memperoleh kucuran kredit sebagai sumber permodalan usaha mengingat
keterbatasan petani dalam pemenuhan persyaratan perbankan, kurangnya akses informasi dan rendahnya tingkat pendidikan.
Padahal dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menjadi mata pencaharian 38 juta orang penduduk, sedangkan sektor industri hanya menyerap
tenaga kerja seperlimanya sektor pertanian yaitu sekitar 7.6 juta orang. Bahkan sepanjang tahun 2005, sektor industri mengalami ekonomi biaya tinggi dengan
kenaikan input produksi sehingga mendorong pelaku usaha sektor industri untuk melakukan efisiensi yang salah satunya diupayakan melalui pengurangan tenaga
kerja. Hal ini tercermin dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor ini yang negatif 1 persen.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA
5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja moneter difokuskan analisis faktor-faktor penentu suku bunga, nilai tukar dan alokasi kredit. Hasil
analisis masing-masing variabel moneter tersebut disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga menjadi penting diketahui terkait dengan perubahan target operasional oleh Bank Indonesia dari
sebelumnya uang primer menjadi suku bunga. Dalam keyakinan Liquidity Preference Framework, perubahan suku bunga dapat dipahami dengan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang. Dalam analisis ini, variabel uang primer, giro wajib
minimum dan suku bunga SBI dikelompokkan dalam faktor yang berpengaruh terhadap uang beredar, sedangkan Produk Domestik Bruto menjadi variabel
yang mempengaruhi permintaan uang. Berdasarkan Tabel 7, uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga
SBI berpengaruh nyata terhadap suku bunga pasar. Dari arah parameter, uang primer mempengaruhi suku bunga dalam arah negatif yang artinya peningkatan
uang primer menurunkan suku bunga riil. Sementara itu, peningkatan giro wajib miniumum dan peningkatan suku bunga SBI berpengaruh positif terhadap suku
bunga. Artinya, peningkatan giro wajib minimum menyebabkan jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga
perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda
uang dan jumlah uang beredar menjadi lebih rendah dan akhirnya meningkatkan