52
dengan menyatakan bahwa, pemerintah Jepang mewarisi “pidato Kono Yohei”,
yang bersifat menyatakan maaf dan mawas diri terkait masalah jugun ianfu wanita penghibur tentara Jepang dalam Perang Dunia II. Hal itu dinyatakan Yoshihiko
Noda di hadapan Parlemen Jepang kemarin. Namun dia berkelit bahwa pidato Kono Yohei dilakukan hanya berdasarkan kesimpulan penyelidikan masalah
jugun ianfu, sehingga masih kurang dukungan bukti dan kenyataan.
3.2. Ganti Rugi Terhadap Korban Jugun Ianfu
Pada dasarnya perjuangan jugun ianfu Indonesia lebih berat jika dibandingkan dengan jugun ianfu di negara lain. Hal ini dikarenakan Pemerintah
Indonesia tidak mendukung perjuangan jugun ianfu Indonesia, baik dukungan berupa moril baik di dalam dan di luar negeri maupun dukungan dana
kemanusiaan berupa santunan dana kesehatan. Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah mengusahakannya kepada
pemerintah Jepang, yaitu dengan meminta pertanggungjawaban. Tetapi pemerntah tidak begitu serius dalam melakukan tuntutannya, sehingga nasib para mantan
jugun ianfu dari Indonesia hanya diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum LBH. Pada saat itu hanya LBH Yogyakarta yang berjuang sendirian dalam meminta
pertanggungjawaban kepada pemerintah jepang atas nama jugun ianfu dari Indonesia.
Pemerintah seharusnya memberikan dukungan bagi mantan-mantan jugun ianfu ini. Bukan hanya dukungan berbentuk moral, tetapi pemerintah memberikan
bantuan secara nyata, memberikan tempat khusus agar diberikan perawatan yang lebih baik serta memasukkan jugun ianfu sebagai peristiwa sejarah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
Sikap dari pemerintah yang seolah-olah diam dan tidak melakukan tindakan yang nyata bagi mantan jugun ianfu disebabkan oleh hubungan
kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Jepang dalam berbagai hal dewasa ini. Salah satunya adalah dalm bidang ekonomi. Karena hampir semua produk yang
digunakan oleh masyarakat Indonesia umumnya berasal dari Jepang. Kekhawatiran pemerintah Indonesia apabila melakukan tuntutan dan meminta
pertanggungjawaban kepada pemerintah Jepang, akan merusak hubungan kerjasama tersebut. Sehingga pemerintah Indonesia lebih mementingkan
kerjasama ekonomi dengan pemerintah Jepang. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa pemerintah tidak serius dalam membantu mantan jugun ianfu.
Pemerintah Jepang telah melakukan studi mendalam sejak tahun 1991 yang selanjutnya ditindaklan
juti dengan pembentukan “Asian Women’s Fund AWF pada tahun 1995 guna menangani permasalahan dimaksud. Hingga pada
tanggal 25 Maret 1997 dimana “kebijakan saat itu penanganan masalah Jugun Ianfu digariskan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial wanitalanjut usia di
Indonesia pada umumnya melalui pengembangan Panti Sosial Tresna Werdha PSTW secara bertahap yang diperuntukkan bagi mantan Jugun Ianfu yang
memerlukan”. Dan realisasi kerjasama antara Pemerintah Indonesia Departemen Sosial
RI dengan Asian Women’s Fund AWF melalui MOU Memorandum Of
Understanding yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1997, yaitu berupa pemberian dana sebesar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 milyar oleh
pemerintah Jepang kepada Pemerintah indonesia yang akan diangsur selama sepuluh tahun, yang artinya akan berakhir pada tahun 2007.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
Angsuran pertama yang diterima oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1997 sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta pada awalnya sudah direncanakan
akan digunakan untuk pembangunan panti jompo untuk para eks jugun ianfu. Namun hal tersebut tidak pernah terjadi sampai saat ini, bahkan para eks jugun
ianfu tidak pernah mendapat bantuan sepeser pun dari Pemerintah Indonesia. Pada tanggal 30 Oktober 2000 diajukan Rancangan Undang-undang
mengenai pemecahan masalah tentang hak-hak jugun ianfu di Asia dan Belanda berupa kompensasi ganti rugi secara hukum oleh tiga partai oposisi Jepang yaitu
Partai Demokrat, Partai Demokrat Sosial, dan Partai Komunis. Akan tetapi partai mayoritas dalam DPR Jepang Liberal Democratic Party. Berikut cuplikan kata
pengantar dari RUU tersebut :
Selama perang Jepang terhadap negara-negara Asia dan Perang Dunia II, angkatan darat dan laut melaksanakan secara langsung atau tidak langsung, terus
menerus paksa seksual secara sistematis terhadap perempuan-perempuan banyak. Oleh sebab itu mereka kehilangan kehormatan sebagai perempuan dan merugikan
martabat manusia luar biasa, serta memukul luka jiwa dan raga yang tidak dapat disembuhkan seumur hidup.
Tetapi kita tidak dapat berkata bahwa Negara kita menanggulangi secukup mungkin persoalan ini selama 60 tahun sampai sekarang. Dalam kemalasan kita
ini, perempuan-perempuan yang telah dirugikan itu sudah lanjut usianya. Dengan berdasarkan atas keadaan ini, Negara kita harus bergumul untuk memecahkan
persoalan ini secara cepat dengan sungguh-sungguh. Karena Negara kita perlu menjawab kepada tuntutan yang mendesak dari perempuan-perempuan itu dan
juga kepada kritik yang berasal dari dalam dan luar negeri terhadap tanggung jawab Negara kita.
Hal ini sangat diperlukan untuk membuat hubungan kepercayaan yang lebih tetap antara para rakyat Negara yang berkaitan dengan soal ini dan rakyat Negara kita.
Lalu, kita percaya bahwa kemajuan kita untuk memecahkan persoalan ini secara bebas, dan pengumuman keputusan Negara kita bahwa tidak mengulangi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55 kesalahan yang sama itu, pasti menjadi satu kesempatan untuk menyatakan sikap
Negara kita yang sedang berusaha kewajiban untuk meniadakan kekerasan terhadap perempuan-perempuan dalam masyarakat internasional yang juga
sedang berusaha meniadakan kekerasan terhadap perempuan-perempuan. Di sini, dalam tujuan untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan paksa
seksual selama Perang Dunia II, kita menetapkan hukum yang memiliki hal-hal pokok berikut. Yaitu, menerangkan fakta-fakta paksa seksual dan kerugian yang
disebabkan olehnya selama Perang Dunia II, dan melaksanakan tindakan dengan permintaan maaf dan ganti rugi kerugian pada fakta-fakta yang merugikan
kehormatan dan martabat perempuan yang dirugikan oleh kerja paksa seksual Eka Hindra dan Koichi Kimura, 2007:294
Pada Desember 2000, Jepang memberikan uang kompensasi kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi para jugun ianfu tidak menerima uang tersebut
sebab telah digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membangun panti jompo. Sedangkan para eks jugun ianfu menolak untuk tinggal di panti jompo, karena
mereka akan merasa dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 2002 tepatnya dua tahun setelah dikeluarkannya Rancangan
Undang-Undang tersebut, empat orang senator Jepang datang ke Indonesia untuk mencari informasi tentang keberadaan jugun ianfu di Indonesia dan meminta
pendapat pejabat tinggi Indonesia mengenai RUU tersebut. Namun mereka kecewa dengan tanggapan dari pejabat tinggi Indonesia yang menyatakan bahwa
masalah jugun ianfu Indonesia merupakan masa lalu yang tidak perlu diperdebatkan. Sesuai dengan pernyataan resmi Inten Suweno pada tanggal 14
Nopember 1996 yang menyatakan bahwa, “Sejak awal pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan menuntut kompensasi kepada pemerintah Jepang.
Pemerintah Indonesia hanya mengharapkan Jepang mencari penyelesaian yang baik”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
Pemerintah Jepang beranggapan bahwa persoalan pemberian kompensasi bagi para Jugun Ianfu telah selesai pada tahun 2007 sesuai dengan MOU antara
AWF dengan Kementerian Sosial. Meski demikian, Pemerintah Jepang masih bersedia untuk mengupayakan khusus bagi para Jugun Ianfu mendapatkan
program atau bantuan grassroot assistance. Selain itu, Pemerintah Jepang telah menyampaikan permintaan maaf kepada para Jugun Ianfu melalui Sekretaris
Kabinet-Yohei Kono pada tahun 1993. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Kementerian Sosial diwakili
oleh Kepala Subdit Lansia dalam pertemuan dengan Komnas HAM pada 21 Juni 2010, bahwa kebijakan mengkonversi kompensasi bagi para Jugun Ianfu yang
diberikan melalui AWF menjadi pembangunan dan rehabilitasi panti jompo adalah berdasarkan masukan dan hasil Kajian AWF. Hasil kajian tersebut
menyebutkan bahwa dengan sulitnya melakukan pendataan terhadap Jugun Ianfu, sehingga kompensasibantuan tersebut di alokasikan untuk membangun PSTW
Panti Sosial Tresna Wedha, yang dituangkan dalam MOU antara AWF dan Kementrian Sosial.
Berdasarkan mandat yang diberikan oleh Sidang Paripurna bulan Juli 2010, terdapat tiga kegiatan yang kemudian dilakukan dalam 3 bulan masa kerja tim.
Kegiatan-kegiatan tersebut adalah : aKonsolidasi Jaringan; b Focus Group Discussion; dan c Diseminasi.
A. Konsolidasi Jaringan
Agenda pertama dari kerja-kerja yang dilakukan tim paripurna untuk Jugun Ianfu adalah melakukan konsolidasi Jaringan Advokasi Jugun Ianfu JAJI
yang selama ini memang sudah berjalan tetapi mungkin karena beberapa hal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
menjadi sempat tersendat. Setelah mendapatkan pengaduan dari sebuah organisasi pendamping Jugun Ianfu pada pertengahan 2010, Komnas HAM sedang berusaha
untuk membangun kembali langkah-langkah untuk penyelesaian persoalan Jugun Ianfu tersebut.
Konsolidasi penting dilakukan mengingat kegiatan Jugun Ianfu pernah dilakukan oleh Komnas HAM dan sempat berhenti setelah pergantian anggota
Komnas HAM periode 2002-2007. Komnas HAM bersama-sama dengan teman- teman jaringan setidaknya pernah melakukan advokasi Jugun Ianfu ini.
Konsolidasi dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana yang telah dilakukan selama ini dan perkembangan terakhir tahun 2010. Dari hasil berbagi informasi
yang dilakukan oleh masing-masing anggota jaringan, harapannya akan ada persamaan apa yang akan dilakukan dan strategi apa yang bisa dijalankan bersama
mengenai penyelesaian persoalan Jugun Ianfu. Konsolidasi dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2010 yang dihadiri oleh
Komnas HAM, LBH Jakarta, Komnas Perempuan dan YBAB. Yang kemudian menyepakati beberapa hal :
1 Melakukan launching dan mensosialisasikan kertas posisi yang telah disusun; 2 Bersama Komnas HAM melakukan diseminasi ke beberapa titik tentang
persoalan Jugun Ianfu; 3 Bersama Komnas HAM melakukan digitalisasi data untuk menyelamatkan
data-data Jugun Ianfu yang telah dimiliki JAJI di beberapa daerah, terutama yang terpusat di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat;
4 Bersama Komnas HAM mendesak pemenuhan tuntutan-tuntutan Jugun Ianfu pada pemerintah Indonesia;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
B. Focus Group Discussion FGD
FGD dilakukan 2 kali, yang pertama lebih ditujukan untuk melakukan pemetaan perkembangan advokasi Jugun Ianfu. FGD kedua diharapkan akan
menjadi forum diskusi bagi para stakeholders terkait untuk merumuskan bersama langkah-langkah strategis bagi penyelesaian persoalan Jugun Ianfu.
1. FGD I, 2 September 2010