Tujuan Penelitian Shikou no Kuichigai

21

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui secara jelas bagaimana konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang 2. Untuk mendeskripsikan realisasi Budaya Malu masyarakat Jepang dalam konteks pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu di Indonesia

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Menambah pengetahuan tentang Budaya Malu masyarakat Jepang 2. Menambah pemahaman tentang konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang 3. Menambah referensi atau informasi untuk penelitian lain yang berhubungan dengan Budaya Malu masyarakat Jepang.

1.6. Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah : cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Menurut UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 22 Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai http:carapedia.com . Metode penelitian merupakan salah satu hal yang sangat diperlukan dalam melakukan penelitian, yaitu untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada pembaca. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk itu, dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Metode deskriptif termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif. Menurut Moleong 2005:6, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Menurut Koentjaraningrat dalam Exe Citra 2006:12, penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 23 Penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat sitarik kesimpulan Nasution, 1996:14. Di samping itu, penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di internet berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa dan kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan hasil berupa kesimpulan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 24

BAB II KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG

DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA

2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang

Menurut Ruth Benedict 1989:232, di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia bisa merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu kesempatan, atau karena salah berbicara. Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu pengakuan atau penebusan. Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi malu umum dan shichi malu khusus. Berikut ini penulis akan mengemukakan konsep malu kouchi dan konsep malu shichi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 25

2.1.1. Kouchi atau Malu Umum

Malu merupakan suatu reaksi psikologis. Dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa reaksi timbul karena adanya suatu rangsangan, baik dari luar diri orang yang bersangkutan maupun dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa Jepang, rangsangan yang berasal dari luar diri orang yang bersangkutan disebut bersifat gaimenteki sedangkan yang berasal dari dalam diri sendiri disebut bersifat naimenteki. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau dia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang Ruth Benedict, 1989:233. Ruth Benedict 1989:105 juga menjelaskan bahwa malu akan muncul apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Oleh sebab itu, bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya kewajiban. Dan kewajiban itu mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil, yaitu on. On berarti suatu hutang atau suatu beban yang harus ia pikul sebaik mungkin. Hal tersebut juga dikuatkan oleh skema kewajiban-kewajiban bangsa Jepang dan pemenuhannya yang dipaparkan oleh Ruth Benedict 1989:125, yang isinya antara lain: I. On : kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang menerima on ; seseorang mengenakan on. Artinya : on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 26 ko on : on yang diterima dari kaisar. oya on : on yang diterima dari orang tua. nushi no on : on yang diterima dari majikan atau tuan. shi no on : on yang diterima dari guru. II. Pemenuhan on. Si penerima on membayar kembali utang-utang ini; ia memenuhi kewajiban-kewajiban ini terhadap orang –on nya. Artinya : ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayaranya kembali secara aktif. Ada dua jenis pemenuhan on : A. Gimu : Pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya. chu : kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara. ko : kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang. nimmu : kewajiban terhadap pekerjaan seseorang B. Giri : Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima, dan ada batas waktu pembayarannya. 1. Giri terhadap dunia. - Kewajiban terhadap tuan pelindung. - Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh. - Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan dalam suatu kelompok kerja. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 27 - Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat paman, bibi, kemenakna pria dan wanita walaupun on yang diterima bukan berasal dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang sama. 2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre. - Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam. - Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya. - Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman, tidak hidup diatas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya. Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa malu merupakan suatu reaksi yang timbul akibat adanya rangsangan berupa kritik dan sejenisnya dari orang lain. Ruth Benedict 1989:233 juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah, yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 28

2.1.2. Shichi atau Malu Khusus

Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto 1991:14, kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu. Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik, perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya. Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun.

1. Shikou no Kuichigai

Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no Kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan yang disebut juga dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dari adanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diri orang yang bersangkutan. Max Scheler dalam Raphaela Dwianto 1991:16-17 mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 29 Manusia digolongkan sebagai eksistensi universal dan eksistensi partikular. Pada saat anda mengharap dilihat sebagai manusia universal, meskipun orang lain memperhatikan anda sebagai eksistensi tersebut, anda tidak akan merasa malu dalam kasus pragawati atau pasien. Di lain pihak, pada saat anda mengharapkan dilihat sebagai individu, dan anda diperhatikan seperti yang anda harapkan, maka akan sama halnya dalam kasus sepasang kekasih. Dari pendapat Max Scheler tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa eksistensi seseorang dapat dilihat sebagai suatu eksistensi universal dan eksistensi partikular. Ketika seseorang berada pada eksistensi universal, maka orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang umum. Dan ketika seseorang berada pada eksistensi partikular, orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang khusus. Ketika berada di dalam dua golongan eksistensi ini, seseorang akan menjadi individu dan orang lain dalam dua posisi yang berbeda. Seseorang tidak akan merasa malu selama tidak terjadi kesalah pahaman dalam menilai eksistensi ini. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam kasus pragawati. Mereka tidak akan malu berjalan di atas panggung meskipun ditatap oleh ratusan orang. Hal ini terjadi akibat adanya kesadaran bahwa pada saat itu mereka berada dalam eksistensi universal dan orang-orang yang melihat mereka pun menempatkan dan menganggap mereka sebagai suatu eksistensi universal. Sebagai contoh lain, dapat kita lihat dalam suatu pasangan. Seseorang tidak akan merasa malu ketika pasangan nya memberikan perhatian khusus. Orang tersebut akan menempatkan dirinya dalam eksistensi partikular dan pasangannya tersebut juga melihatnya dalam eksistensi partikular. Namun, tidak jarang juga terjadi kesalah pahaman dalam diri seseorang ketika berada di dalam eksistensi ini yang menyebabkan timbulnya rasa malu di dalam diri orang tersebut. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 30 Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu. Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi.

2. Yuretsu Kijun