Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

10

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh karakteristik geografis negara tersebut serta mempunyai pengaruh timbal-balik dengan karakteristik rakyatnya. Pengertian kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kebudayaan dalam arti luas dan kebudayaan dalam arti sempit Ienaga Saburo dalam Situmorang, 2006:2-3. Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia ningen no seikatsu no itonami kata dan tidak bersifat alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah keseluruhan hal yang terdiri dari tradisi, ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah budaya yang berisikan sesuatu yang bersifat semiotik. Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Takari, dkk 2008:5 adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Sebuah budaya berkaitan erat dengan masyarakat karena budaya itu sendiri lahir dari masyarakat. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11 kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh karena itu, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan. Budaya merupakan sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang konkret. Maka dari itu, dapat kita lihat bahwa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi giri, budaya senioritas nenkoujoretsu, budaya malu, dan sebagainya. Sedangkan contoh kebudayaan Jepang adalah chanoyu, ikebana, origami, dan sebagainya Situmorang, 2006:2. Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Jepang. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya, masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah keluar masyarakat, bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar inilah yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat gaimenteki mengarah keluar ini merupakan suatu ciri dari budaya malu. Masyarakat Jepang selain memiliki budaya malu, juga menganut kepercayaan politheis dan merupakan masyarakat yang tidak mengenal konsep dosa. Di Jepang ada istilah Tsumi yang artinya kesalahan, namun berbeda dengan konsep dosa dalam pengertian agama monotheis. Jepang sebagai bangsa yang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 12 politheis mempercayai banyak Tuhan atau Dewa memiliki dua istilah yang disebut Kami dan Hotoke sebagai objek penyembahan. Jumlah Kami dan Hotoke ini sangat banyak, bahkan roh leluhur yang sudah lama disembah juga akan menjadi Kami atau Hotoke. Oleh karena itu objek yang disembah oleh masing- masing keluarga berbeda-beda. Ketika di rumah, anggota keluarga menyembah dewa leluhur sousen, ketika di perusahaan mereka menyembah dewa atau roh orang yang telah mengabdi untuk perusahaan, ketika bekerja untuk kepentingan wilayah mereka menyembah dewa wilayah yang disebut dengan Ubusuna gami, dan ketika bekerja untuk kepentingan negara mereka menyembah dewa negara atau dewa kaisar Hori Ichiro, 1968. Hal ini didukung oleh pernyataan Shintarou dalam Mushakojuji Kinhide 1982:61 bahwa Jepang adalah unik, satu-satunya negara tanpa Tuhan yang membimbing geraknya. Ruth Benedict dalam bukunya “The Crysanthemum and The Sword” Bunga Seruni dan Pedang Samurai mengatakan bahwa malu merupakan suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari orang lain, atau timbul pada saat ditertawakan orang lain. Orang Jepang akan merasa malu jika dikritik atau ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat menampilkan seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di dalam diri orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain yang dapat membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat mengungkapkan pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang mendapat perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain. Menurut Sakuta dalam Raphaela Dwianto 1991:42, budaya malu masyarakat Jepang telah muncul sejak periode Yayoi dan berkembang pesat pada UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 13 saat pemerintahan Tokugawa. Berupa penanaman konsep malu yang menjelaskan bahwa, pada masyarakat bertani di era Yayoi, seorang individu tidak mempunyai arti jika terpisah dari komunitasnya. Sedangkan bagi masyarakat berburu dan beternak di era Yayoi, seorang individu dapat berdiri sendiri, meskipun terpisah dari komunitasnya. Sakuta juga menambahkan bahwa pada periode Tokugawa, sistem sentralisasi pemerintahan dianggap sebagai ladang subur penerapan budaya malu. Selain itu, Ruth Benedict 1989 dan Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto 1991 menganalisa budaya malu masyarakat Jepang dari dua sisi berbeda. Pertama, Ruth Benedict 1989:338 menyatakan bahwa, malu muncul dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on, yang terdiri dari giri dan gimu. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Benedict juga menambahkan bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain. Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktifitas mereka difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu di defenisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang terhormat Ruth Benedict, 1989:234. Sedangkan malu yang bertolak ukur terhadap rasa takut kepada Tuhan adalah malu yang bertolak ukur pada UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 14 pengabdian seorang manusia kepada Sang Pencipta, sebagai makhluk yang lemah dan tidak luput dari salah dan khilaf. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang bertindak pada suatu ukuran yang dijadikan dasar untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan akan menimbulkan perasaaan malu atau tidak. Jadi, standar penilaian baik buruknya suatu tindakan adalah malu. Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan diri sendiri, bukan keberadaan Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu umum kouchi. Kedua, Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto 1991:14 menyatakan bahwa budaya malu Masyarakat Jepang bukan hanya sebatas balas budi, namun juga berupa penilaian pihak lain yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan. Maksudnya, budaya malu bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas kritikan, sindiran atau cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa pujian dan sanjungan pun mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri seseorang. Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus shichi. Yaitu malu yang bertolak ukur pada diri sendiri naimenteki, dan tidak mengacu pada penilaian dari pihak lain gaimenteki. Rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalas budi orang lain dan ketika berbuat salah kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan bangsa Jepang terhadap Jugun Ianfu di Indonesia semasa pendudukannya pada tahun 1942-1945. Jugun Ianfu merupakan istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asingnya adalah Comfort Women. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 15 Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang http:www.ianfuindonesia.webs.com . Hingga sekarang para korban Jugun Ianfu ini menuntut kepada Jepang agar sejarah kelam tersebut diakui Jepang dan dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan Jepang dan menuntut hak mereka dalam bentuk kompensasi dari pemerintah Jepang Eka Hindra, 2007:289. Hal inilah yang menimbulkan rasa malu bagi bangsa Jepang sehingga menimbulkan keinginan untuk memperbaiki rasa malu tersebut. Dari hal ini, dapat kita pahami bahwa budaya malu yang terdapat pada masyarakat Jepang adalah bagian dari budaya dalam arti sempit. Seperti yang dikatakan Ienaga Saburo dalam Dwianto 1991:4, bahwa kebudayaan dalam arti sempit meliputi ilmu pengetahuan, kesenian, agama, pemikiran, moral dan lain- lain. Dari pemahaman yang telah diuraikan tersebut, jelas lah bahwa budaya malu yang telah tertanam dalam diri masyarakat Jepang sejak dahulu menjadi suatu pendorong timbulnya keinginan bangsa Jepang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada para korban Jugun Ianfu yang menderita pada masa penjajahan bangsa Jepang. Berdasarkan keterangan dan penjelasan diatas, dapat kita pahami bahwa bangsa Jepang memiliki konsep budaya malu yang sangat unik dan berbeda UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 16 dengan bangsa-bangsa lain. Dan meneliti budaya malu pada masyarakat Jepang, artinya menelaah malu sebagai suatu kebudayaan. Hal inilah yang menjadi alasan sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang dilihat dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang terhadap Korban Jugun Ianfu di Indonesia Pasca Perang Dunia II ”.

1.2. Perumusan Masalah