Analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan transmigran di unit permukiman transmigrasi propinsi Lampung

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT

KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT

PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG

Oleh :

THESISIANA MAHARANI A14302058

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

THESISIANA MAHARANI. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung. Dibawah bimbingan HERMANTO SIREGAR.

Program transmigrasi merupakan salah satu cara Pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan di Indonesia terkait dengan besarnya jumlah dan persebaran penduduk yang tidak merata. Berdasarkan data BPS tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia sebesar 217,9 juta jiwa dengan sekitar 59 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh persen dari luas daratan di Indonesia, menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut tinggi yaitu 1.009 penduduk per kilometer persegi. Jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa tidak segera diatasi maka akan menimbulkan dampak negatif, seperti kurangnya ketersediaan lapangan kerja yang ada di wilayah bersangkutan dan dapat menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan.

Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Peningkatan kesejahteraan, dimaksudkan bahwa melalui perpindahan untuk bermukim menetap serta berusaha di daerah yang baru dengan dukungan fasilitas yang disiapkan melalui program transmigrasi diharapkan dapat mengubah tingkat kehidupannya kearah yang lebih baik daripada sebelum berpindah. Oleh karena itu, Pemerintah disini memiliki peranan dalam pembinaan sumberdaya transmigran, agar berkembang sejajar dengan penduduk wilayah asal dan dapat mandiri mengembangakan usaha dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan buatan, dalam rangka pemberdayaan sistem ekonomi kerakyatan. Sehingga dapat membuka lapangan kerja bagi transmigran maupun penduduk daerah asal.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina (2) mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan (3) mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung.

Jenis transmigrasi UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi adalah transmigrasi umum dengan pola usaha masing-masing UPT yang berbeda. UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 pola perkebunan, PirTrans; UPT Mesuji Atas SP.13 pola pangan, lahan basah pasang surut; sedangkan UPT Legundi pola pangan lahan kering. Karakteristik responden cukup bervariasi jika dilihat dari usia, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan. Tetapi, mayoritas responden dapat digolongkan berpendidikan rendah (hanya sampai tingkat SD).

Pendapatan rata-rata transmigran di Propinsi Lampung pada tahap pengembangan (T+4) masih dibawah standar (< 3000 kg setara beras) yaitu UPT


(3)

Way Terusan SP.1 dengan tingkat pendapatan sebesar 2844,98 (kg setara beras) dan UPT Way Terusan SP.2 dengan tingkat pendapatan sebesar 2775,30 (kg setara beras). Bahkan UPT Mesuji Atas SP.13 memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan standar pada tahap pemantapan sebesar 2035,48 (kg setara beras). Sedangkan UPT Legundi yang masih dalam tahap pemantapan (T+3) memiliki tingkat pendapatan di atas standar (2400 kg beras) rata-rata sebesar 2621,09 (kg setara beras).

Tingkat kesejahteraan rumahtangga transmigran berdasarkan persepsi transmigran dengan melihat empat indikator yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya masih relatif rendah hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan tahun sebelumnya. Sedangkan, tingkat kesejahteraan rumahtangga berdasarkan KEP. 06/MEN/1999. Pada tahap pengembangan secara keseluruhan dari tiap UPT dengan indikator pendapatan KK/tahun, tingkat pelayanan, angka partisipasi pendidikan, angka melek huruf, dan prevalansi penyakit memiliki nilai yang masih jauh dibawah standar. Maka dapat dikatakan pada UPT dalam tahap pengembangan memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Dapat dilihat tingkat pelayanan dari persentase anggota KUD yang terlayani, UPT dengan persentase dibawah standar (80 %) yaitu Way Terusan SP.1 (65,36 %) dan Mesuji Atas SP.13 (9,96 %). Persentase penduduk usia lebih dari 15 tahun yang mampu baca tulis memiliki nilai yang relatif rendah (standar 80 %) yaitu Way Terusan SP.1 (39,02 %), Way Terusan SP.2 (60,25 %), dan Mesuji Atas SP.13 (52,83 %). Secara keseluruhan pada tahap pemantapan untuk UPT Legundi berdasarkan indikator pendapatan, pendidikan, dan kesehatan sudah diatas standar yang telah ditetapkan, maka transmigran di UPT Legundi pada tahap pemantapan sudah sejahtera dan UPT ini mulai memasuki tahap pengembangan.

Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang kemiskinan rumahtangga transmigran pada tingkat α ≤ 20 persen antara lain jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran sekunder, investasi, Dummy tahun bina T+8, dan Dummy tahun bina T+6. Hasil pendugaan model logistik diperoleh nilai odds ratio masing-masing sebesar 3,66; 1,00; 1,00; 0,02; dan 0,00. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata pada tingkat α ≥ 20 persen adalah jumlah tanggungan, pendidikan, pengeluaran kebutuhan dasar, dan tabungan.

Berdasarkan analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan di UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, dan Mesuji Atas SP.13 program transmigrasi dapat dikatakan belum berhasil. Sedangkan UPT Legundi yang memiliki pendapatan dan tingkat kesejahteraan di atas standar dapat dikatakan telah berhasil. Diperoleh juga bahwa semakin lama tahun bina terhadap UPT (T>5) di Propinsi Lampung memiliki kesejahteraan yang relatif rendah atau semakin miskin dibandingkan UPT dengan tahun bina yang lebih muda. Salah satu penyebab rendahnya pendapatan yang diperoleh transmigran adalah akses jalan yang rusak, oleh karena itu perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi jalan ke lokasi UPT dan program-program pembinaan pemerintah pada tahun awal, dalam pelaksanaannya harus terealisasi dengan baik.


(4)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Thesisiana Maharani

A14302058

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(5)

Judul : ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG

Nama : Thesisiana Maharani NRP : A14302058

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, MEc NIP. 131.803.656

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP. 130 422 698


(6)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2006

Thesisiana Maharani A14302058


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak Drs. Sugiarto dan Ibu Endang Widiastuti.

Penulis mengawali pendidikan di TK Jami’at Kheir Tangerang pada tahun 1989 dan pada tahun 1990 melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di SD 05 Pagi Joglo Jakarta Barat. Setelah lulus pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 48 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis menempuh pendidikan di sekolah menengah atas di SLTA Negeri 47 Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.


(8)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki beberapa kekurangan dan kelemahan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Bogor, April 2006


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini telah melalui serangkaian proses dengan kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, Mec selaku dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kesabaran, dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.

2. Ir. H. Nindyantoro, MSP selaku dosen penguji utama dan Ir. Murdianto, Msi selaku dosen penguji wakil departemen yang telah bersedia memberikan arahan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Keluarga tercinta: Bapak, Ibu, Ade Ruri, dan Galih, atas cinta, doa dan dukungan yang tiada henti.

4. Ibu Ria, Ibu Endang dan seluruh staf pegawai Depnakertrans yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.

5. Kepada teman-teman yang telah membantu: Tulus, Vininta, Fauzia, Dimas, Vivin, Sari, Titin, Bagdo, Yeni, Diah, Dohana, Mia dan teman-teman EPS 39 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(10)

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Transmigrasi ... 9

2.1.1 Sejarah Perkembangan Transmigrasi ... 9

2.1.2 Definisi Transmigrasi ... 11

2.1.3 Tahapan Pembinaan Transmigrasi ... 12

2.2 Program Transmigrasi Terkait dengan Kesejahteraan dan Tingkat Pendapatan Transmigran ... 14

2.3 Kemitraan Usaha ... 15

2.4 Studi Terdahulu ... 17

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan ... 21

3.1.2 Definisi dan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ... 26

3.1.3 Analisis Regresi Logit ... 30

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 32

3.3 Hipotesis ... 35

BAB IV METODE PENELITIAN ... 36

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 36


(11)

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT

KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT

PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG

Oleh :

THESISIANA MAHARANI A14302058

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(12)

THESISIANA MAHARANI. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung. Dibawah bimbingan HERMANTO SIREGAR.

Program transmigrasi merupakan salah satu cara Pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan di Indonesia terkait dengan besarnya jumlah dan persebaran penduduk yang tidak merata. Berdasarkan data BPS tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia sebesar 217,9 juta jiwa dengan sekitar 59 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh persen dari luas daratan di Indonesia, menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut tinggi yaitu 1.009 penduduk per kilometer persegi. Jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa tidak segera diatasi maka akan menimbulkan dampak negatif, seperti kurangnya ketersediaan lapangan kerja yang ada di wilayah bersangkutan dan dapat menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan.

Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Peningkatan kesejahteraan, dimaksudkan bahwa melalui perpindahan untuk bermukim menetap serta berusaha di daerah yang baru dengan dukungan fasilitas yang disiapkan melalui program transmigrasi diharapkan dapat mengubah tingkat kehidupannya kearah yang lebih baik daripada sebelum berpindah. Oleh karena itu, Pemerintah disini memiliki peranan dalam pembinaan sumberdaya transmigran, agar berkembang sejajar dengan penduduk wilayah asal dan dapat mandiri mengembangakan usaha dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan buatan, dalam rangka pemberdayaan sistem ekonomi kerakyatan. Sehingga dapat membuka lapangan kerja bagi transmigran maupun penduduk daerah asal.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina (2) mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan (3) mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung.

Jenis transmigrasi UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi adalah transmigrasi umum dengan pola usaha masing-masing UPT yang berbeda. UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 pola perkebunan, PirTrans; UPT Mesuji Atas SP.13 pola pangan, lahan basah pasang surut; sedangkan UPT Legundi pola pangan lahan kering. Karakteristik responden cukup bervariasi jika dilihat dari usia, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan. Tetapi, mayoritas responden dapat digolongkan berpendidikan rendah (hanya sampai tingkat SD).

Pendapatan rata-rata transmigran di Propinsi Lampung pada tahap pengembangan (T+4) masih dibawah standar (< 3000 kg setara beras) yaitu UPT


(13)

Way Terusan SP.1 dengan tingkat pendapatan sebesar 2844,98 (kg setara beras) dan UPT Way Terusan SP.2 dengan tingkat pendapatan sebesar 2775,30 (kg setara beras). Bahkan UPT Mesuji Atas SP.13 memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan standar pada tahap pemantapan sebesar 2035,48 (kg setara beras). Sedangkan UPT Legundi yang masih dalam tahap pemantapan (T+3) memiliki tingkat pendapatan di atas standar (2400 kg beras) rata-rata sebesar 2621,09 (kg setara beras).

Tingkat kesejahteraan rumahtangga transmigran berdasarkan persepsi transmigran dengan melihat empat indikator yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya masih relatif rendah hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan tahun sebelumnya. Sedangkan, tingkat kesejahteraan rumahtangga berdasarkan KEP. 06/MEN/1999. Pada tahap pengembangan secara keseluruhan dari tiap UPT dengan indikator pendapatan KK/tahun, tingkat pelayanan, angka partisipasi pendidikan, angka melek huruf, dan prevalansi penyakit memiliki nilai yang masih jauh dibawah standar. Maka dapat dikatakan pada UPT dalam tahap pengembangan memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Dapat dilihat tingkat pelayanan dari persentase anggota KUD yang terlayani, UPT dengan persentase dibawah standar (80 %) yaitu Way Terusan SP.1 (65,36 %) dan Mesuji Atas SP.13 (9,96 %). Persentase penduduk usia lebih dari 15 tahun yang mampu baca tulis memiliki nilai yang relatif rendah (standar 80 %) yaitu Way Terusan SP.1 (39,02 %), Way Terusan SP.2 (60,25 %), dan Mesuji Atas SP.13 (52,83 %). Secara keseluruhan pada tahap pemantapan untuk UPT Legundi berdasarkan indikator pendapatan, pendidikan, dan kesehatan sudah diatas standar yang telah ditetapkan, maka transmigran di UPT Legundi pada tahap pemantapan sudah sejahtera dan UPT ini mulai memasuki tahap pengembangan.

Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang kemiskinan rumahtangga transmigran pada tingkat α ≤ 20 persen antara lain jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran sekunder, investasi, Dummy tahun bina T+8, dan Dummy tahun bina T+6. Hasil pendugaan model logistik diperoleh nilai odds ratio masing-masing sebesar 3,66; 1,00; 1,00; 0,02; dan 0,00. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata pada tingkat α ≥ 20 persen adalah jumlah tanggungan, pendidikan, pengeluaran kebutuhan dasar, dan tabungan.

Berdasarkan analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan di UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, dan Mesuji Atas SP.13 program transmigrasi dapat dikatakan belum berhasil. Sedangkan UPT Legundi yang memiliki pendapatan dan tingkat kesejahteraan di atas standar dapat dikatakan telah berhasil. Diperoleh juga bahwa semakin lama tahun bina terhadap UPT (T>5) di Propinsi Lampung memiliki kesejahteraan yang relatif rendah atau semakin miskin dibandingkan UPT dengan tahun bina yang lebih muda. Salah satu penyebab rendahnya pendapatan yang diperoleh transmigran adalah akses jalan yang rusak, oleh karena itu perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi jalan ke lokasi UPT dan program-program pembinaan pemerintah pada tahun awal, dalam pelaksanaannya harus terealisasi dengan baik.


(14)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Thesisiana Maharani

A14302058

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(15)

Judul : ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG

Nama : Thesisiana Maharani NRP : A14302058

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, MEc NIP. 131.803.656

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP. 130 422 698


(16)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2006

Thesisiana Maharani A14302058


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak Drs. Sugiarto dan Ibu Endang Widiastuti.

Penulis mengawali pendidikan di TK Jami’at Kheir Tangerang pada tahun 1989 dan pada tahun 1990 melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di SD 05 Pagi Joglo Jakarta Barat. Setelah lulus pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 48 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis menempuh pendidikan di sekolah menengah atas di SLTA Negeri 47 Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.


(18)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki beberapa kekurangan dan kelemahan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Bogor, April 2006


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini telah melalui serangkaian proses dengan kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, Mec selaku dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kesabaran, dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.

2. Ir. H. Nindyantoro, MSP selaku dosen penguji utama dan Ir. Murdianto, Msi selaku dosen penguji wakil departemen yang telah bersedia memberikan arahan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Keluarga tercinta: Bapak, Ibu, Ade Ruri, dan Galih, atas cinta, doa dan dukungan yang tiada henti.

4. Ibu Ria, Ibu Endang dan seluruh staf pegawai Depnakertrans yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.

5. Kepada teman-teman yang telah membantu: Tulus, Vininta, Fauzia, Dimas, Vivin, Sari, Titin, Bagdo, Yeni, Diah, Dohana, Mia dan teman-teman EPS 39 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(20)

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Transmigrasi ... 9

2.1.1 Sejarah Perkembangan Transmigrasi ... 9

2.1.2 Definisi Transmigrasi ... 11

2.1.3 Tahapan Pembinaan Transmigrasi ... 12

2.2 Program Transmigrasi Terkait dengan Kesejahteraan dan Tingkat Pendapatan Transmigran ... 14

2.3 Kemitraan Usaha ... 15

2.4 Studi Terdahulu ... 17

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan ... 21

3.1.2 Definisi dan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ... 26

3.1.3 Analisis Regresi Logit ... 30

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 32

3.3 Hipotesis ... 35

BAB IV METODE PENELITIAN ... 36

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 36


(21)

x

4.4 Metode Analisis ... 37

4.4.1 Metode Analisis Tingkat Pendapatan Transmigran ... 38

4.4.2 Metode Analisis Tingkat Kesejahteraan Transmigran ... 38

4.4.3 Model Peluang Kemiskinan RumahtanggaTransmigran ... 39

4.5 Definisi Operasional ... 41

BAB V GAMBARAN UMUM ... 43

5.1 Lokasi Penelitian ... 43

5.1.1 Way Terusan SP.1 ... 43

5.1.1.1 Keadaan Wilayah Geografis ... 43

5.1.1.2 Kependudukan ... 44

5.1.1.3 Keadaan Perekonomian ... 45

5.1.1.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ... 46

5.1.2 Way Terusan SP.2 ... 47

5.1.2.1 Keadaan Wilayah Geografis ... 47

5.1.2.2 Kependudukan ... 48

5.1.2.3 Keadaan Perekonomian ... 49

5.1.2.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ... 50

5.1.3 Mesuji Atas SP.13 ... 51

5.1.3.1 Keadaan Wilayah Geografis ... 51

5.1.3.2 Kependudukan ... 51

5.1.3.3 Keadaan Perekonomian ... 52

5.1.3.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ... 53

5.1.4 Legundi ... 54

5.1.4.1 Keadaan Wilayah Geografis ... 54

5.1.4.2 Kependudukan ... 55

5.1.4.3 Keadaan Perekonomian ... 56

5.1.4.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ... 57

5.2 Karakteristik Responden ... 58

5.2.1 Jenis Kelamin ... 58

5.2.2 Tingkat Umur ... 59

5.2.3 Tingkat Pendidikan ... 59


(22)

BAB VI ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN ... 61 6.1 Analisis Pendapatan Transmigran ... 61 6.2 Analisis Kesejahteraan Transmigran ... 65

6.2.1 Persepsi Transmigran Terhadap Tingkat Kesejahteraan

Rumahtangga Transmigran ... 65 6.2.2 Analisis Tingkat Kesejahteraan Transmigran Berdasarkan

KEP. 06/MEN/1999 ... 69 6.2.3 Kemitraan Usaha di UPT Way Terusan SP.1 dan Sp.2 ... 72 6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan

Rumahtangga Transmigran ... 74 6.3.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Nyata Terhadap

Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ... 76 6.3.1.1 Jumlah Anggota Tenaga Kerja ... 76 6.3.1.2 Pengeluaran Kebutuhan Sekunder ... 77 6.3.1.3 Investasi ... 78 6.3.1.4 Lamanya Tahun Bina (T+8) ... 79 6.3.1.5 Lamanya Tahun Bina (T+6) ... 79 6.3.2 Faktor-Faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata Terhadap Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ... 80

6.3.2.1 Jumlah Tanggungan ... 80 6.3.2.2 Pendidikan ... 80 6.3.2.3 Pengeluaran Kebutuhan Dasar ... 81 6.3.2.4 Tabungan ... 81 BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 83

7.1 Kesimpulan ... 83 7.2 Implikasi Kebijakan ... 84 DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN ... 89


(23)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan

Penduduk menurut Propinsi Tahun 1999-2004 ... 2 2. Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Way

Terusan SP.1 Tahun 2004 ... 44 3. Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Way

Terusan SP.1 Tahun 2004 ... 45 4. Fasilitas Umum di Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ... 46 5. Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Way

Terusan SP.2 Tahun 2004 ... 48 6. Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Way

Terusan SP.2 Tahun 2004 ... 49 7. Fasilitas Umum di Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ... 50 8. Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Mesuji

Atas SP.13 Tahun 2004 ... 52 9. Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Mesuji

Atas SP.13 Tahun 2004 ... 53 10. Fasilitas Umum di Mesuji Atas SP.13 Tahun 2004 ... 54 11. Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Legundi

Tahun 2004 ... 55 12. Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Legundi

Tahun 2004 ... 56 13. Fasilitas Umum di Legundi Tahun 2004 ... 57 14. Pengeluaran Rumahtangga Transmigran (Rp/tahun) dan Pendapatan

Rata-rata (kg setara beras) ... 62 15. Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Ekonomi ... 65 16. Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Kesehatan .... 67 17. Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Pendidikan . 68 18. Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Sosial

Budaya ... 69 19. Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 ... 70


(24)

20. Hasil Dugaan Model Regresi Logistik Faktor-Faktor yang Mempngaruhi Kemiskinan Rumahtangga Transmigran di UPT Propinsi Lampung .... 75


(25)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Transformasi Distribusi Kurva Bentuk S.menjadi Distribusi Linier ... 28 2. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ... 31 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Transmigran ... 55 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Umur Transmigran ... 56 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Transmigran ... 57 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

Transmigran ... 57 7. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Way Terusan SP.1

Tahun 2004 ... 60 8. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Way Terusan SP.2

Tahun 2004 ... 60 9. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Mesuji Atas SP.13

Tahun 2004 ... 61 10. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Legundi Tahun 2004 ... 61 11. Pola Kemitraan Usaha Transmigrasi UPT Way Terusan SP.1


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 ... 84 2. Peta Lokasi UPT Mesuji Atas SP.13 ... 85 3. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Way Terusan SP.1 ... 86 4. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Way Terusan SP.2 ... 87 5. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Mesuji Atas SP.13 ... 88 6. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Legundi ... 89 7. Perhitungan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan

KEP. 06/MEN/1999 ... 90 8. Data Analisis Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ... 93 9. Hasil Logit Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ... 96 10. Dokumentasi Penelitian ... 97


(27)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era pembangunan saat ini, masih dirasakan ketimpangan dalam pemerataan pelaksanaan dan hasil pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah masalah kependudukan. Masalah tersebut terutama berkaitan dengan besarnya jumlah dan persebaran penduduk yang tidak merata. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi modal pembangunan bila kualitasnya baik, namun sebaliknya dapat menjadi beban pembangunan bila kualitasnya rendah.

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 sebesar 217,9 juta jiwa yang tidak diimbangi dengan pemerataan penyebarannya. Sebagian besar penduduk masih terpusat di Pulau Jawa. Data tahun 2000-2004 menunjukkan sekitar 59,09 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh persen dari luas daratan Indonesia. Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut menjadi sangat tinggi yaitu 951 penduduk per kilometer persegi tahun 2000 dan 1.009 penduduk per kilometer persegi tahun 2004, seperti terlihat pada Tabel 1. Berbeda halnya dengan Pulau Maluku dan Papua yang memiliki luas sekitar 24 persen dari luas total Indonesia hanya dihuni sekitar 2,13 persen penduduk.


(28)

Tabel 1. Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk menurut Propinsi, 1990-2004

Propinsi Persentase penduduk Kepadatan penduduk per km2 1990 2000 2004 1990 2000 2004

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Sumatera Jawa

Bali dan Nusa Tenggara

Kalimantan Sulawesi

Maluku dan Papua

20,35 59,99 5,67 5,07 6,98 1,94 21,00 58,83 5,39 5,49 7,25 2,04 20,82 59,09 5,34 5,46 7,16 2,13 76 843 139 16 65 8 90 951 152 20 78 9 94 1009 159 21 81 10

Indonesia 100,00 100,00 100,00 95 109 115

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004.

Jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa tidak segera diatasi maka dalam jangka pendek akan menimbulkan dampak negatif, karena jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja di Pulau Jawa sudah melebihi ketersediaan lapangan kerja yang ada di wilayah bersangkutan. Kekurangan lapangan kerja produktif pada wilayah yang memiliki kelebihan penduduk tersebut akan memanifestasikan dirinya dalam berbagai wajah, salah satunya adalah dalam bentuk kemiskinan.

Masalah kemiskinan sudah ada sejak zaman Indonesia belum merdeka, berbagai cara dan upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia namun, sampai saat ini permasalahan kemiskinan belum juga terselesaikan. Masalah kemiskinan identik dengan keterbatasan dalam pemilihan dan penguasaan sumberdaya fisik dan non fisik, dengan perkataan lain kemiskinan dicirikan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan (Mangkuprawira, 1993). Sementara itu daerah-daerah yang jumlah penduduknya sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan tenaga pembangunan di daerahnya. Penduduk miskin pada tahun 2004 secara absolut terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, yaitu lebih dari


(29)

3

setengah penduduk miskin Indonesia atau 20,71 juta jiwa. Sisanya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau lainnya antara 1,30 – 7,88 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2004).

Pemerintah telah melaksanakan berbagai usaha dalam rangka memecahkan masalah kependudukan. Usaha-usaha yang mengarah pada pemerataan penyebaran penduduk telah dilakukan dengan cara memindahkan penduduk Pulau Jawa melalui program transmigrasi.

Penduduk miskin dan desa-desa miskin di Jawa yang telah mengalami involusi (berdesakan, berebutan) dipindahkan dan dilonggarkan ke desa-desa yang jumlah penduduknya tidak mencapai skala ekonomis yang disyaratkan untuk berkembangnya ekonomi pedesaaan dan meningkatnya kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu, proses mengurangi kepadatan penduduk di desa-desa Jawa dan sekaligus menambah jumlah tenaga kerja di luar Jawa merupakan suatu usaha mengentaskan kemiskinan yang efektif. Program ini dikenal dengan nama Transabangdep (Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial), yaitu menambah penduduk di desa yang kurang berkembang karena kekurangan sumberdaya manusia (Yudohusodo, 1993).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi bahwa transmigrasi merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigrasi dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Disamping itu, penyelenggaraan transmigrasi juga bertujuan untuk peningkatan


(30)

pendapatan masyarakat berjalan seiring dengan upaya penataan persebaran penduduk yang selaras, serasi, dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta sebagai wahana integrasi akulturasi budaya nasional.

Peningkatan kesejahteraan dimaksudkan bahwa dengan melalui perpindahan untuk bermukim menetap serta berusaha di daerah yang baru dengan dukungan fasilitas yang disiapkan melalui program transmigrasi diharapkan akan dapat mengubah tingkat kehidupannya ke arah yang lebih baik daripada sebelum berpindah. Perpindahan ini menyebabkan penyebaran penduduk sebagai upaya pemerataan penduduk pada daerah yang masih kurang penduduknya dan menjadi tenaga kerja mengisi pembangunan di daerah yang baru dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia di lokasi transmigrasi.

Pembangunan transmigrasi sampai dengan saat ini, telah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat transmigrasi, masyarakat sekitar dan Pemerintah Daerah setempat tentunya, seperti terbentuknya desa atau Kecamatan dan Pusat Pemerintahan baru yang mendapatkan dukungan dari transmigrasi. Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi Pusat Pemerintahan pada posisi Juli 2004 sebanyak 1.149 UPT, membentuk 235 Kecamatan dan 56 Kabupaten. Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah pada posisi Juli 2004 berjumlah 2.936 UPT atau 1.204.756 KK. Sedangkan Unit Permukiman Transmigrasi yang masih dalam pembinaan (UPT Bina) pada posisi Juni 2004 berjumlah 369 UPT atau 89.055 KK (Pusdatintrans, 2004). Kontribusi yang lain adalah tersedianya berbagai prasarana fisik (infrastruktur) seperti jalan, jembatan permanen dan non permanen, gorong-gorong, lahan usaha pertanian, dan berbagai


(31)

5

sarana lainnya seperti rumah sederhana, sekolah dasar, puskesmas pembantu serta sarana kelembagaan sosial ekonomi seperti koperasi.

1.2 Perumusan Masalah

Program transmigrasi selama ini terkesan hanya dipandang sebelah mata, dalam peranannya sebagai wahana pemberdayaan perekonomian rakyat dan dampaknya terhadap wilayah. Pada kenyataannya jika melihat kontribusi transmigrasi yang begitu besar dalam pembangunan daerah, harus diakui bahwa keberadaan transmigrasi sampai saat ini, masih relevan dan diperlukan perencanaan yang matang serta pelaksanaan yang serius dan benar sebagai hal pokok yang harus dikedepankan.

Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran, sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, taraf hidup masyarakat di daerah penempatan harus lebih baik daripada di daerah asal. Dalam rangka peningkatan kualitas hidup transmigran, upaya pembinaan daerah transmigrasi diarahkan pada pembinaan ekonomi yang semakin meningkat dan intensif sejak awal penempatan transmigran di lokasi. Titik penekanan pembinaan masyarakat transmigrasi adalah pada kegiatan ekonomi dan sosial budaya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pusat pertumbuhan atau kawasan ekonomi yang mampu memberi kontribusi bagi pembangunan wilayah.

Pembangunan transmigrasi adalah salah satu upaya pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas, sehingga pemerintah disini memiliki peranan dalam pembinaan sumberdaya manusia transmigran. Tujuannya agar


(32)

transmigran saat diserahkan kepada pemerintah daerah setempat yaitu setelah tahun pembinaan T+5, dapat berkembang sejajar dengan penduduk wilayah asal dan transmigran dapat mandiri mengembangkan usaha dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan buatan, dalam rangka pemberdayaan sistem ekonomi kerakyatan. Disini dapat terlihat, bahwa program transmigrasi memiliki peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan penyerapan tenaga kerja di daerah transmigrasi. Dengan demikian dapat membuka lapangan kerja bagi transmigran maupun penduduk daerah asal yang diharapkan dapat mengatasi kemiskinan di Indonesia. Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat.

Propinsi Lampung meliputi areal daratan seluas 35.288,35 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 6,853 juta jiwa dan rata-rata kepadatan penduduk per Kabupaten atau Kota di Propinsi Lampung 189 per kilometer persegi (Badan Pusat Statistik, 2004). Berdasarkan data di atas maka Propinsi Lampung merupakan daerah yang tergolong jarang penduduk. Oleh karena itu, Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah di luar Pulau Jawa yang menjadi daerah tujuan transmigrasi. Daerah ini memiliki empat Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang masih dalam tahun pembinaan Pemerintah diantaranya Way Terusan SP.1 (Lampung Tengah) dengan 459 kepala keluarga, Way Terusan SP.2 (Lampung Tengah) dengan 450 kepala keluarga, Mesuji Atas SP.13 (Tulang Bawang) dengan 482 kepala keluarga, dan Legundi (Lampung Selatan) dengan


(33)

7

202 kepala keluarga. Namun hingga tahun 2004 untuk tiga UPT dengan tahun bina lebih dari T+5 belum juga diserahkan kepada pemerintah daerah setempat.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina?

2. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina.

2. Mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai dasar kebijaksanaan Pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilihat dari tingkat pendapatan dan sebagai desain program dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan, khususnya masyarakat yang hidup di Unit Permukiman Transmigrasi


(34)

(UPT). Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya dan sebagai sarana untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh diperkuliahan.


(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Transmigrasi

2.1.1 Sejarah Perkembangan Transmigrasi

Program transmigrasi di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Namun, pada saat itu program ini diberi nama Kolonisasi (pemindahan penduduk). Program yang disebut kolonisasi itu merupakan bagian dari ”Politik Balas Budi” (etische politic) yang sudah dibicarakan dikalangan penguasa penjajah sejak akhir abad ke-19, tetapi baru dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 1905. Kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu menyelenggarakan pemindahan penduduk secara terencana. Istilah ”Transmigrasi” itu sendiri secara resmi baru digunakan pada awal tahun 1946 oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu ketika kebijakan tentang pengembangan industrialisasi di pulau-pulau seberang atau luar Jawa dirumuskan dalam satu Konferensi Ekonomi di Kota Yogyakarta. Wakil Presiden Mohammad Hatta, dalam pidato di depan Konferensi pada 3 Februari 1946, antara lain menyebutkan bahwa industrialisasi besar-besaran harus mulai dibangun di luar Pulau Jawa, dan untuk itu diperlukan pemindahan penduduk Jawa sebagai tenaga kerjanya.

Persoalan terhadap tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa bukanlah hal baru, tetapi telah menjadi perhatian sejak masa pemerintahan kolonial di Indonesia. Thomas Raffles sebagai penguasa Inggris di Jawa (1814) telah mengemukakan tentang gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dibandingkan


(36)

dengan daerah-daerah lain seperti Sumatera dan Kalimantan. Faktor- faktor yang mendorong pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa diantaranya adalah tanah yang subur, perkawinan usia muda, poligami, daerah pertanian yang subur, usia lanjut (usia hidup yang tinggi), dan menyukai perdamaian dari pada permusuhan yang dapat menciptakan perang.

Usaha-usaha untuk memindahkan penduduk. dari daerah padat penduduk (Pulau Jawa) melalui kebijakan transmigrasi dimulai pada tahun 1905. Peristiwa pengiriman pertama sebanyak 155 keluarga petani dari Kedu yang dipindahkan ke desa baru yang didirikan dekat Gedong Tataan, sebelah selatan dari Way Sekampung di Lampung Selatan. Kotrolir Heyting, pengambil inisiatif rencana itu, beranggapan bahwa rencana-rencana migrasi akan berhasil bila di Sumatera diciptakan suasana yang sama seperti di Jawa. Oleh karena itu maka dalam program transmigrasi sering didengar istilah ”Bedol Desa” dimana semua hal yang berkaitan dengan desa asal dibawa serta, apakah yang berkaitan nama-nama tempat, adat istiadat, dan lain sebagainya. Sehingga warga transmigran merasa betah karena suasana keseharian tidak berbeda dengan desa asal.

Pada masa kemerdekaan keputusan untuk melanjutkan program transmigrasi dilanjutkan. Pada akhir tahun 1950 tepatnya tanggal 12 Desember 1950 dimulailah pemberangkatan tranmigrasi pertama kali yang berjumlah 23 KK atau 77 jiwa dari Propinsi Jawa Tengah menuju Lampung. Program ini yang dikembangkan dalam berbagai jenis dan pola. Oleh karena itu, tanggal 12 Desember diperingati setiap tahun sebagai hari jadi transmigrasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya dilakakukan dengan memperbaiki beberapa hal seperti


(37)

11

memperluas jatah tanah garapan, menambah bekal untuk transmigran untuk mengatasi kesulitan dalam masa setelah penempatan di daerah yang baru.

2.1.2 Definisi Transmigrasi

Transmigrasi, berasal dari bahasa Latin, transmigratus yang diambil oleh bahasa Inggris menjadi transmigration, dari akar kata migrate bermakna berpindah tempat (Ramadhan, 1993). Transmigrasi adalah salah satu bentuk realokasi sumberdaya manusia sebagai suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindahkan modal manusia dari suatu tempat yang relatif dapat dimanfaatkan (Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, 2005).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi, ditetapkan bahwa transmigrasi adalah pemindahan dan atau kepindahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan Pembangunan Negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi. Transmigrasi menurut jenisnya dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Transmigrasi Umum (TU) adalah jenis transmigrasi yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah, yang transmigrannya rnendapat bantuan dan bila perlu mendapat subsidi dari Pemerintah.


(38)

2. Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) adalah jenis transmigrasi yang dirancang oleh Pemerintah bekerjasama dengan Badan Usaha sebagai mitra usaha transmigran, sedangkan Pemerintah membantu dalam batas tertentu untuk mendukung agar kemitrausahaannya menjadi layak.

3. Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) adalah jenis transmigrasi yang sepenuhnya merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan baik melalui kerjasama dengan Badan Usaha maupun sepenuhnya dikembangkan transmigran atas arahan Pemerintah.

Transmigrasi memegang peranan penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Transmigrasi selain mengurangi kepadatan penduduk di daerah-daerah tertentu juga memperluas landasan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan sektor-sektor lain. Dengan demikian, transmigrasi menunjang usaha-usaha perluasan kesempatan kerja, pemerataan pembagian pendapatan dan pemerataan penyebaran pembangunan.

2.1.3 Tahapan Pembinaan Transmigrasi

Menurut KEP 06/MEN/1999, secara umum terdapat beberapa tahapan pembinaan masyarakat transmigrasi dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi pada Transmigrasi Umum (TU) dan Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dilakukan melalui tahap penyesuaian, tahap pemantapan dan tahap pengembangan dengan jangka waktu yang berbeda dan berlaku spesifik pada setiap pola kegiatan usaha pokok transmigrasi, yaitu:

1. Tahap Penyesuaian (T+2)

Tahap ini merupakan tahap adaptasi terhadap lingkungan, dalam arti penyesuaian terhadap jenis dan manajemen usahatani, lingkungan alam,


(39)

13

musim, lingkungan masyarakat dan sebagainya. Sasaran yang ingin dicapai adalah transmigran mampu menguasai kegiatan produksi yang telah dipilih/ditetapkan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pada akhirnya tercapai kondisi kehidupan transmigrasi yang memiliki kepercayaan diri terhadap kehidupan barunya dan mantap dalam melaksanakan kegiatan usaha yang memungkinkan untuk berkembang lebih lanjut. Tahap ini berlangsung selama satu setengah tahun.

2. Tahap Pemantapan (T+3)

Pada tahap ini, bertujuan untuk peningkatan kemampuan dan pemenuhan kebutuhan hidup transmigran. Transmigran harus telah berkembang kemampuannya, sehingga seluruh aset produksi dapat dikelola sepenuhnya. Kemandirian transmigran dalam proses produksi dan usaha juga telah terbentuk, yang berarti tingkat partisipasi transmigran dalam melaksanakan kegiatan usahanya telah dilakukan secara optimal. Tahap ini berlangsung selama satu setengah tahun sampai dengan dua tahun.

3. Tahap Pengembangan (T+4)

Pada tahap pengembangan, diupayakan agar transmigran dapat melakukan pengembangan usaha produktif secara mandiri. Transmigran telah melakukan intensifikasi atau diversifikasi kegiatan usaha. Sehingga diakhir tahap ini, tingkat kehidupan mandiri tercapai, dimana transmigran mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif. Tahap ini berlangsung kurang lebih selama dua tahun.


(40)

2.2 Program Transmigrasi terkait dengan Kesejahteraan dan Tingkat Pendapatan Transmigran

Transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, secara bertahap melalui fasilitas pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, paket teknologi, pembinaan sosial budaya dan ekonomi, serta kelembagaan yang diarahkan untuk peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan. Oleh karena itu, perkembangan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan baru yang tersebar diberbagai daerah dapat diartikan sebagai bagian dari pemerataan pembangunan, dan dalam kurun waktu panjang akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan berkelanjutan (Puguh, 2002).

Penyelenggaraan transmigrasi pada dasarnya merupakan pembangunan wilayah dalam rangka peningkatan taraf hidup serta pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa melalui program terpadu dan lintas sektoral. Atau secara umum tujuan transmigrasi adalah untuk memindahkan dan menyebarkan penduduk, selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para transmigran, juga nantinya lokasi transmigrasi menjadi Pusat Pembangunan Wilayah.

Tingkat pendapatan transmigran merupakan salah satu indikator kesejahteraan ekonomi yang digunakan untuk mengetahui jumlah masyarakat transmigran yang berada di bawah garis kemiskinan, dengan cara membandingkan pendapatan rata-rata transmigran dengan suatu standart garis kemiskinan.1 Namun, pada kenyataannya dimensi kesejahteraan lebih luas dari sekedar tingkat pendapatan. Pendapatan hanya mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan keluarga transmigran setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan. Sedangkan

1


(41)

15

dalam tingkat kesejahteraan termasuk didalamnya ukuran kebetahan, keamanan, pendidikan, kesehatan, partisipasi masyarakat, integrasi sosial maupun keaktifan dan pelayanan lembaga sosial. Untuk menilai tingkat kesejahteraan transmigran perlu memperhitungkan aspek ekonomi maupun sosial budaya agar diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai keberhasilan transmigran.

Analisis tingkat kesejahteraan transmigran dilaksanakan secara periodik untuk mengetahui tingkat kesejahteraan transmigran secara ekonomi maupun sosial dan sekaligus sebagai hasil dari pelaksanaan kebijakan, program dan proyek yang diselenggarakan dari tahun ke tahun. Disamping itu juga dilakukan perbandingan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menggunakan tolok ukur garis kemiskinan nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga dapat diketahui sejauh mana tingkat kesejahteraan transmigran telah mencapai sasarannya. Informasi kesejahteraan transmigran akan memperlihatkan UPT-UPT yang transmigrannya kurang sejahtera dibandingkan dengan sasaran yang harus dicapai pada tahun bina tertentu, sekaligus dapat dipergunakan untuk membandingkan keberhasilan antar UPT maupun dengan system nasional.2

2.3 Kemitraan Usaha

Kemitraan usaha merupakan salah satu program transmigrasi yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka untuk memperluas kesempatan kerja masyarakat transmigran sehingga diharapkan nantinya akan meningkatkan pendapatan dan untuk pemberdayaan masyarakat di daerah transmigrasi yang melibatkan semua unsur stakeholders melalui kemitraan usaha antara swasta

2


(42)

dengan masyarakat transmigran dan penduduk (asli) disekitarnya (Puspitasari, 2003).

Kemitraan merupakan salah satu aspek dalam pertumbuhan iklim usaha untuk pengembangan usaha kecil dan menengah melalui pemberdayaan dalam rangka memperoleh peningkatan pendapatan dan kemampuan usaha serta peningkatan daya saing dari usaha kecil dan menengah atau usaha besar. Pemberdayaan tersebut disertai perbaikan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dengan demikian pola kemitraaan merupakan suatu tindakan dan hubungan bisnis untuk membesarkan usaha kecil secara rasional. Dalam tindakan dan hubungan bisnis tersebut, usaha menengah atau usaha besar tetap diberikan kesempatan yang luas untuk tetap menjalankan tujuan usahanya dalam memperoleh keuntungan yang berkelanjutan sehingga kemitraan itu bukanlah merupakan bentuk pendermaan usaha menengah atau usaha besar kepada usaha kecil. 3

Pada pelaksanaan kerjasama kemitraan terdapat berbagai bentuk yang dapat diterapkan. Dilihat dari perkembangannya kemitraan agribisnis memiliki tiga pola (Soepeno, 1996 dalam Kurnia, 2003) yaitu:

1. Pola kemitraan tradisional

Kemitraan agribisnis tradisional memiliki pola patron-client dimana patron

adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis dan client adalah petani penggarap, peternak atau nelayan pekerja. Pola kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horizontal, yang bergerak dibidang produksi

3


(43)

17

atau usahatani, sedangkan kemitraan yang lebih bersifat vertikal, pada umumnya diwarnai oleh hubungan hutang antara pedagang dan petani produsen. Interpendensi antara patron dan client sangat asimetris dan sering secara terselubung terjadi eksploitasi secara berkelanjutan. Pola ini menghambat kreativitas para pelakunya karena ada ketergantungan yang sangat tinggi, sehingga kurang merangsang tumbuhnya semangat mandiri. 2. Pola kemitraan pemerintah

Pada pola ini, pengembangan kemitraan lebih condong ke arah vertikal, dengan model bapak angkat. Pada pola ini penyerapan inovasi sudah lebih maju, tetapi masih memungkinkan terjadinya eksploitasi legal bapak terhadap anak angkatnya.

3. Pola kemitraan pasar

Berkembang seiring dengan munculnya ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Pola inin melibatkan petani dan pemilik modal besar yang bergerak dibidang industri pengolahan dan pemasarann hasil yang bekerjasama karena kepentingan ekonomi untuk berbagi manfaat ekonomi. Dalam hal penyerapan inovasi pola ini sudah jauh lebih baik dibanding pola-pola sebelumnya, tetapi kelemahannya tetap berada pada ketergantungan petani terhadap pengusaha besar.

2.4 Studi Terdahulu

Menurut Nasoetion dan Sitanala (1983), menganalisa perkembangan transmigrasi dalam kaitannya dengan kesejahteraan keluarga, di daerah transmigrasi Batumarta dan Way Abung-II. Tingkat kesejahteraan keluarga petani di daerah transmigrasi masih rendah. Hal ini selain disebabkan oleh hal-hal yang


(44)

bersifat fisik (kualitas lahan yang umumnya rendah), juga disebabkan belum dimanfaatkannya sumberdaya keluarga secara optimal. Disamping itu, rendahnya tingkat kesejahteraan disebabkan belum memadainya sistem pemasaran hasil-hasil pertanian oleh karena belum terintegrasinya daerah transmigrasi dengan sistem perekonomian wilayah setempat. Rendahnya tingkat kesejahteraan ini diperkirakan menyebabkan tingginya tingkat fertilitas ibu rumahtangga petani yang potensial bagi pertumbuhan penduduk setempat. Jika pertambahan penduduk yang cepat tidak disertai oleh peningkatan pendapatan, maka tingkat kesejahteraan petani akan menurun.

Menurut Widya (1992), menganalisis pengkajian tingkat pendapatan transmigran di wilayah permukiman transmigrasi Sitiung I Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung Propinsi Sumatera Barat. Usaha pembangunan di wilayah permukiman transmigrasi dapat meningkatkan kesejahteraan transmigran yang dapat dilihat dari perbandingan pendapatan dengan pengeluaran untuk basic needs. Dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan maka akan meningkatkan pula kegiatan perekonomian pada daerah-daerah permukiman tersebut sehingga menjadi salah satu pusat pertumbuhan dan kegiatan ekonomi, yang dapat merupakan faktor penarik bagi masyarakat pedesaan di Pulau Jawa untuk berpartisipasi dalam program transmigrasi dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang. Ditinjau dari tingkat pendapatan transmigran di wilayah permukiman transmigrasi Sitiung I sudah relatif tinggi dengan distribusi pendapatan relatif cukup merata, maka dapatlah disimpulkan bahwa transmigran sudah betah atau kerasan untuk tetap di lokasi permukiman tersebut. Keadaan ini tercermin dari kenyataan bahwa tidak ada transmigran yang


(45)

19

meninggalkan daerah permukiman dan bahkan mereka sudah membaur dengan masyarakat setempat.

Menurut Lasmi (1994), menganalisis perkembangan pertanian dan pendapatan usahatani di daerah transmigrasi, daerah Karang Agung Tengah Sumatera Selatan. Perkembangan pertanian transmigrasi di unit permukiman transmigrasi Karang Agung Tengah tidak terlepas dari fungsi dan peranan fasilitas-fasilitas pendukung pertanian yang ada, serta kemampuan transmigrasi dalam menyerap teknologi yang dianjurkan. Perkembangan pendapatan usahatani, ditinjau dari pendapatan usahatani transmigran per kapita per tahun, masih belum berada pada tahap perkembangan yang direncanakan.

Menurut Hadisoegondo (1986), menganalisis pengembangan usahatani melalui pola PIR di daerah transmigrasi Kecamatan Lainea dan Tinanggea, Sulawesi Tenggara. Pola PIR kapas-kedelai yang dilaksanakan PT. KII sebagai suatu sistem agribisnis di daerah transmigrasi, ternyata mampu membantu meningkatkan rata-rata pendapatan sebelumnya. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat bahwa ada nilai subsidi yang jika dihilangkan menyebabkan rata-rata tingkat pendapatan menurun dengan subsidi dalam sewa traktor (di sini subsidi pupuk dan pestisida masih tetap berlaku). Di samping itu perlu diperhatikan bahwa usahatani program (kapas-kedelai) memiliki kendala (dalam lingkungannya) seperti: (a) komoditi pesaing, (b) berkembangnya kesempatan kerja non pertanian dalam bentuk berbagai proyek Pemerintah yang memerlukan tenaga kaerja dan itu menuntut kesediaan petani untuk berpartisipasi, (c) pengaruh besarnya biaya kebun inti yang pada gilirannya dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan petani.


(46)

Menurut Sjamsuddin (1987), evaluasi dampak transmigrasi terhadap peningkatan pendapatan dan pola pengeluaran warga transmigrasi dan masyarakat sekitarnya di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Pendapatan transmigran sesudah transmigrasi meningkat dibandingkan sebelumnya dan pengeluaran semakin kecil setelah bertransmigrasi. Namun, pendapatan meningkat dan pengeluaran semakin kecil setelah bertransmigrasi akan tetapi tingkat kemerataan lebih baik sebelum bertransmigrasi (ketimpangan lebih besar setelah bertransmigrasi), diakibatkan karena pengairan persawahan yang tidak merata (masih terdapat SP yang belum mendapatkan pengairan), ketrampilan transmigran yang relatif rendah, dan letak lokasi pasar yang dapat mempengaruhi pemasaran hasil pertanian. Sedangkan, bagi penduduk setempat dengan adanya program transmigrasi meningkatkan pendapatan mereka, karena penduduk setempat dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada warga transmigran seperti irigasi dan peralatan lainnya.

Berdasarkan studi terdahulu, terlihat adanya hubungan antara program transmigrasi dengan tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat. Program transmigrasi merupakan upaya pemerintah dalam penyebaran penduduk pada daerah yang masih kurang penduduknya, daerah tujuan tersebut memiliki sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat transmigran memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak ditempat yang baru. Salah satu upaya Pemerintah dalam memperluas kesempatan kerja di lokasi transmigrasi yaitu dengan kerjasama dengan investor seperti pola PIR pangan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat transmigran,


(47)

21

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya.


(48)

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan (welfare) adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu (Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain (Pengemanan, 1994 dalam Elidawati, 2003).

Kesejahteraan mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro memandang bahwa kesejahteraan dapat dinyatakan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara ilmiah. Sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat. Pendekatan ini mencakup lingkupan yang sangat luas yaitu negara atau wilayah propinsi dan lebih dikenal dengan pendekatan makro objektif. Pendekatan mikro lebih dikenal juga dengan pendekatan mikro subjektif yang memandang bahwa kesejahteraan itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sebagai keadaan sejahtera (Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003).


(49)

22

Konsep kesejahteraan identik dengan terpenuhinya kebutuhan individu (yang beragam), dimana makna ”Terpenuhinya Kebutuhan” antara satu individu dengan individu lain berbeda dan bersifat sangat relatif. Oleh karena untuk mengetahui kesejahteraan individu/keluarga/rumahtangga bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga diperlukan beberapa kriteria dan indikator (Rahmadona, 2004).

Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar propinsi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dalam mengembangkan indikator kesejahteraan rakyat tidak hanya menyajikan indikator dampak (output indicators) untuk menunjukkan hasil upaya pembangunan, tetapi juga menyajikan indikator masukan (input indicators) dan indikator proses (process indicators). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berikut ini akan dibahas satu per satu mengenai indikator kesejahteraan rakyat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, sebagai berikut:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Disamping


(50)

itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Kesehatan dan Gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian utama. Upaya tersebut antara lain pemberdayaan sumberdaya manusia secara berkelanjutan pengadaan atau peningkatan sarana prasarana dalam bidang medis termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau masyarakat.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka pembangunan dibidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang


(51)

24

menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Titik berat pendidikan formal adalah penigkatan mutu pendidikan dan perluasan pendidikan dasar. Selain itu ditingkatkan pula kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasaan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Di Indonesia, usia kerja yang digunakan untuk keperluan pengumpulan data ketenagakerjaan adalah usia 15 tahun ke atas.

5. Taraf dan Pola Konsumsi

Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasi menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.


(52)

6. Perumahan dan Lingkungan

Manusia dan alam lingkungannya baik lingkungan fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan fisik bisa berupa alam sekitar yang alamiah dan yang buatan manusia. Untuk mempertahankan diri dari keganasan alam, maka manusia berusaha membuat tempat perlindungan, yang pada akhirnya disebut rumah atau tempat tinggal. Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumahtangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7. Sosial Budaya

Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

Menurut Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan Republik Indonesia Nomor 06/Men/1999 mengenai tata cara perhitungan tingkat perkembangan transmigrasi dan kesejahteraan transmigran, dapat dilihat dari empat parameter yang memiliki nilai standar yang telah ditetapkan sesuai


(53)

26

dengan tahun bina yang sedang dilaksanakan pada masing-masing UPT. Berikut ini empat parameter dalam menentukan tingkat perkembangan transmigrasi dan kesejahteraan transmigran yaitu:

1. Ekonomi, dengan indikator pendapatan, pemerataan, ketenagakerjaan, kontribusi permukiman transmigrasi dan keberhasilan KUD.

2. Sosial dan budaya, dengan indikator tingkat kebetahan, keamanan, pendidikan, kesehatan, KB dan partisipasi masyarakat.

3. Integrasional, meliputi tingkat konflik, perdagangan

4. Dinamika dan pelayanan oleh lembaga-lembaga sosial yang ada. 3.1.2 Definisi dan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sementara batas kemiskinan absolut yang dapat dipergunakan yakni suatu kondisi dimana tingkat pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik untuk makan, pakaian, dan perumahan (Mardinus, 1995). Sedangkan seseorang dikatakan miskin jika pendapatan per kapitanya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan. Kebutuhan minimum non pangan merupakan kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (Biro Pusat Statistik, 2004).


(54)

Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan berdasarkan indikator objektif dan indikator subjektif. Indikator objektif untuk pengukuran kemiskinan dibedakan menurut indikator moneter dan indikator bukan moneter. Indikator moneter menggunakan peubah pendapatan atau pengeluaran (sebagai aproksi) dan mengukur kemiskinan absolut. Sedangkan indikator bukan moneter memberikan pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan untuk hidup layak dan indikator ini untuk mengukur kemiskinan relatif. Pengukuran kemiskinan di Indonesia dapat diukur berdasarkan garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan yang merupakan indikator moneter, dihitung berdasarkan peubah pengeluaran makanan dan non makanan (Sumargo, 2002).

Pengukuran kemiskinan absolut membutuhkan pengetahuan untuk menentukan tingkat kebutuhan minimum. Oleh karena itu, harus diketahui dengan rinci apa saja yang termasuk kebutuhan dasar dari individu atau rumahtangga. Laporan PBB yang menyebutkan terdapat 12 komponen kebutuhan dasar, yaitu: (1) Kesehatan; (2) makanan dan gizi; (3) pendidikan; (4) kondisi pekerjaan; (5) situasi kesempatan kerja; (6) konsumsi dan tabungan; (7) pengangkutan; (8) perumahan; (9) sandang; (10) rekreasi dan hiburan; (11) jaminan sosial; (12) kebebasan (Guhardja, dkk, 1993 dalam Pudjirahaju, 1999).

Kemiskinan diklasifikasikan sekurang-kurangnya dalam lima kelas, yaitu (1) Kemiskinan absolut; apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. (2) Kemiskinan relatif; apabila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, tetapi


(55)

28

relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. (3) Kemiskinan kultural; mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu. (4) Kemiskinan kronis; disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian dan rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. (5) Kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat (Sumodiningrat, 1999).

Oleh karena itu, berdasarkan pengertian kemiskinan di atas, maka untuk mengetahui seseorang atau rumahtangga miskin diperlukan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan itu sendiri. Secara umum tingkat kemiskinan di suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita nasional dan tingkat pemerataan pendapatan nasional. Maka untuk setiap tingkat pendapatan per kapita, jika semakin besar ketimpangan pendapatan akan semakin besar pula tingkat kemiskinan. Dipihak lain untuk setiap tingkat pemerataan, makin rendah pendapatan per kapita akan semakin tinggi tingkat kemiskinan.


(56)

Faktor-faktor kemiskinan lainnya yang mempengaruhi kemiskinan salah satunya yaitu jumlah anggota rumahtangga. Rumahtangga miskin pada tahun 1993 di Indonesia rata-rata mempunyai 5,9 anggota rumahtangga, sedangkan jumlah rata-rata anggota rumahtangga tidak miskin sebesar 4,3. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibandingkan rumahtangga yang tidak miskin. Terlebih lagi rumahtangga miskin di daerah pedesaan rata-rata mempunyai 6,1 anggota rumahtangga dibandingkan dengan 4,1 pada rumahtangga yang tidak miskin (Kartasasmita, 1996). Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah pedesaan ternyata lebih besar lagi dibandingkan dengan rumahtangga pada umumnya. Dari segi lain dapat dilihat bahwa corak lama masyarakat yang menginginkan banyak anak untuk membantu mencari nafkah, masih mewarnai masyarakat miskin.

Kelompok masyarakat miskin dan keterbelakangan pada dasarnya dapat dicirikan oleh rendahnya konsumsi gizi minimal per kapita, pemilikan lahan yang sempit, pendapatan per kapita yang rendah, pemilikan lahan yang sempit, pendapatan per kapita yang rendah, kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin, serta partisipasi rakyat yang minim di dalam pembangunan. Beberapa faktor penyebab antara lain adalah kurangnya modal bagi pengemban usaha dan sumberdaya alam, kurangnya pengembangan usaha, langkanya lapangan kerja serta struktur masyarakat yang menghambat (Mangkuprawira, 1993).

Kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab. (1) Rendahnya taraf pendidikan dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan


(57)

30

sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. (2) Rendahnya derajat kesehatan, taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. (3) Terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu. (4) Kondisi keterisolasian, banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Penduduk tersebut hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya(Kartasasmita, 1996).

3.1.3 Analisis Regresi Logit

Regresi logit (logistic regression) merupakan suatu teknik permodelan linier secara umum yang memungkinkan dibuatnya prediksi-prediksi dari variabel respon dan taksiran-taksiran tingkat kemampuan mempengaruhi dari variabel-variabel penjelas (individu maupun kelompok). Data-data yang dapat dianalisis dengan alat analisis regresi logit adalah data yang relatif umum dan terdiri atas dichotomous classification (Hutcheson dan Sofroniou, 1999).

Terdapat tiga komponen dari model linier umum, yaitu komponen acak dari variabel respon, komponen sistematis yang merepresentasikan nilai tetap dari variabel penjelas pada bagian fungsi linier, dan link function yang merupakan alat pemeta komponen sistematis menjadi komponen acak. Regresi logit mengasumsikan bahwa galat dari komponen acak terdistribusi secara binomial,


(58)

berbeda dengan regresi Ordinary Least Square (OLS) yang mengasumsikan bahwa galat dari komponen acak terdistribusi secara normal. Komponen sistematis dari regresi logit sama dengan regresi OLS, dengan variabel penjelas diasumsikan kontinu dan minimal berskala interval. Sebagaimana regresi OLS, variabel penjelas yang tidak kontinu dalam regresi logit dapat dimasukkan ke dalam model menggunakan teknik pengkodean variabel dummy. Perbedaan logit dengan regresi OLS adalah komponen acak dan komponen sistematis yang ada tidak dapat dipetakan secara langsung satu sama lain. Selain itu, dalam regresi logit digunakan

non-linier link function (fungsi inilah yang dinamakan logit). Model dalam analisis logit dituliskan dengan p =

( )

( x) x β α β α + + + l l

1 , dimana p

merupakan peluang, e adalah logaritma natural, α dan β merupakan parameter komponen linier dari model, dan x sebagai nilai dari variabel penjelas. Konversi dari peluang agar dapat diestimasi dalam linier dengan logit dinamakan odds.

Metode untuk menganalisis logit adalah Maximum Likelihood (ML). Untuk mengestimasi peluang dengan metode ML dilakukan dengan proses:

Odds =

(

)

p p

1

In(odds)= Inl(α+βx)

log(odds)= (α + βx)logl

log(odds)= α + βx (persamaan linier sehingga dapat diestimasi) logit (p) = α + βx (persamaan yang dapat diestimasi dengan ML)

Parameter dari model logit dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama seperti OLS, yaitu dengan gradien/slope (parameter β). Gradien ini diinterpretasikan sebagai perubah logit (p) akibat perubahan satu unit variabel x. Dengan kata lain, β menggambarkan perubahan dalam log odds dari adanya perubahan satu unit x. Parameter α menunjukkan nilai logit (p) akibat ketika x = 0 atau log odds dari


(59)

32

keadaan x = 0. Standard error dari logit disebut ASE (Assymtotic Standard Error).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang cepat, namun tidak diikuti dengan persebaran penduduk yang merata. Menyebabkan di pulau yang padat penduduknya terjadi kelebihan tenaga kerja yang mengakibatkan sebagian besar penduduk menganggur, sementara di pulau yang lain terjadi pengangguran sumberdaya alam karena tenaga kerja pengelola kurang. Dampak dari masalah tersebut berakibat pada usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi masalah di atas melalui program transmigrasi.

Pemerintah berupaya memindahkan penduduk dari daerah yang padat penduduk (dalam hal ini adalah Pulau Jawa) akan dipindahkan ke daerah tujuan transmigrasi yang pada umunya masih jarang penduduk seperti Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Papua, dan Sulawesi Tenggara.

Propinsi Lampung sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi, memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup baik untuk dikelola atau dikembangkan oleh transmigran diantaranya sektor perkebunan dengan tanaman dominan seperti kopi, cengkeh, dan lada. Sedangkan di sektor pertanian seperti padi, jagung, dan sayur-sayuran. Jika dilihat dari ketersediaan air sebagai syarat mutlak yang harus terpenuhi untuk kelangsungan hidup manusia, maka daerah (Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi) memiliki potensi air yang cukup memenuhi syarat sebagai sumber air.


(60)

Program transmigrasi ini pada dasarnya dikaitkan dengan pembangunan daerah, mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan meratakan penyebarannya, menunjang usaha perluasan kesempatan kerja, meratakan pembagian pendapatan dan meratakan penyebaran pembangunan. Dengan demikian, program transmigrasi diharapkan akan terjadi peningkatan pendapatan transmigran, sehingga dapat mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Keberhasilan program transmigrasi dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Dalam penelitian ini pendapatan dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran rumahtangga dalam satuan kg setara beras. Sedangkan, Analisis tingkat kesejahteraan dapat dilihat secara subjektif dan objektif. Analisis secara subjektif dari persepsi masyarakat transmigran terhadap tingkat kesejahteraan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan secara objektif berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 yaitu dengan menganalisis indikator kesejahteraan pendapatan, tingkat pelayanan, kesehatan (prevalensi penyakit), angka partisipasi pendidikan, dan angka melek huruf. Terkait dengan kesejahteraan transmigran tersebut, maka dalam penelitian ini juga akan menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan analisis regresi logit. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, dibuat alur berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 1.


(61)

34

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional Program Transmigrasi

UPT Propinsi Lampung selama Tahun Bina (Way Terusan SP.1, Way Terusan SP. 2, Mesuji

Atas SP.13, dan Legundi)

Analisis Tingkat Pendapatan Transmigran

Analisis Tingkat Kesejahteraan

Pendekatan Pengeluaran Rumahtangga

Indikator kesejahteraan:

Pendapatan

Tingkat pelayanan

Kesehatan

(Prevalensi penyakit)

Angka partisipasi pendidikan

Angka melek huruf Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Kemiskinan

Keberhasilan Program Transmigrasi, dilihat dari:

Peningkatan Pendapatan

Tercapainya Kesejahteraan Penduduk

Persepsi transmigran terhadap tingkat kesejahteraan


(62)

3.3 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah disajikan, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesa sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan kesejahteraan transmigran pada pola transmigrasi yang berbeda dan tahun bina yang berbeda.

2. Transmigran sudah dapat dikatakan sejahtera jika dilihat dari indikator tingkat pelayanan, kesehatan, dan angka partisipasi pendidikan, ditunjang dengan tersedianya koperasi unit desa (KUD), puskesmas, dan sarana pendidikan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga transmigran adalah pendapatan, jumlah anggota yang bekerja, jumlah tanggungan, lamanya pendidikan, pengeluaran kebutuhan dasar, pengeluaran kebutuhan sekunder, dan tabungan.


(1)

Lampiran 6. Perhitungan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan

KEP. 06/MEN/1999

Way Terusan SP.1

1. Tingkat pelayanan

Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 %

Jumlah KK di UPT

=

300 x 100 %

459

= 65,36 %

2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR)

EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 %

Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP

=

555 x 100 %

365

=

152,05

%

3. Angka Melek Huruf (AMH)

AMH = Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun

= 1640 – 1000 x 100 %

1640

= 39,02 %

4. Prevalensi penyakit (PP)

PP

= Jumlah penddk sakit x 100 %

Jumlah

penddk

(jiwa)

=

227

x 1000

1977

=

114,82

Way Terusan SP.2

1. Tingkat pelayanan

Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 %

Jumlah KK di UPT

=

450 x 100 %

450


(2)

2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR)

EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 %

Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP

=

473 x 100 %

483

=

97,92

%

3. Angka Melek Huruf (AMH)

AMH = Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun

= 1519 – 300 x 100 %

1519

= 80,25 %

4. Prevalensi penyakit (PP)

PP

= Jumlah penddk sakit x 100 %

Jumlah

penddk

(jiwa)

=

1950

x 1000

2067

=

943,39

Mesuji Atas SP.13

1. Tingkat pelayanan

Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 %

Jumlah KK di UPT

=

48

x 100 %

482

= 9,96 %

2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR)

EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 %

Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP

=

247 x 100 %

451

=

54,77

%

3. Angka Melek Huruf (AMH)

AMH = Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun


(3)

= 1573 – 742 x 100 %

1573

= 52,83 %

4. Prevalensi penyakit (PP)

PP

= Jumlah penddk sakit x 100 %

Jumlah

penddk

(jiwa)

= 46 x 1000

2024

=

22,73

Legundi

1. Tingkat pelayanan

(Tidak

ada)

2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR)

EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 %

Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP

=

309 x 100 %

195

=

158,46

%

3. Angka Melek Huruf (AMH)

AMH = Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun

= 567 – 228 x 100 % 567

= 59,79 %

4. Prevalensi penyakit (PP)

PP

= Jumlah penddk sakit x 100 %

Jumlah

penddk

(jiwa)

=

28

x 1000

815

=

34,36


(4)

Lampiran 8. Hasil Logit Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran

Binary Logistic Regression: KMSN versus TANG; JATK; ...

Link Function: Logit

Response Information

Variable Value Count

KMSN 1 54 (Event) 0 22

Total 76

Logistic Regression Table

95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Odds Ratio Lower Upper Constant 7,87168 3,54594 2,22 0,026

TANG 0,374230 0,880111 0,43 0,671 1,45 0,26 8,16 JATK -1,29612 0,834146 -1,55 0,120 0,27 0,05 1,40 PDDK 0,204905 0,374730 0,55 0,585 1,23 0,59 2,56 DSR -0,0005247 0,0005766 -0,91 0,363 1,00 1,00 1,00 SKDR -0,0026482 0,0014625 -1,81 0,070 1,00 0,99 1,00 TAB -0,0028492 0,0043800 -0,65 0,515 1,00 0,99 1,01 INV -0,0021066 0,0007986 -2,64 0,008 1,00 1,00 1,00 D1

1 4,05931 2,10688 1,93 0,054 57,93 0,93 3600,36 D2

1 7,19541 4,66934 1,54 0,123 1333,30 0,14 12576264,61

Log-Likelihood = -12,641

Test that all slopes are zero: G = 66,174, DF = 9, P-Value = 0,000

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 24,6415 66 1,000 Deviance 25,2812 66 1,000 Hosmer-Lemeshow 6,2124 8 0,623

Table of Observed and Expected Frequencies:

(See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)

Group

Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total 1

Obs 0 0 4 4 8 7 8 7 8 8 54 Exp 0,0 0,2 2,4 6,2 7,4 6,8 7,9 7,0 8,0 8,0

0

Obs 7 8 3 4 0 0 0 0 0 0 22 Exp 7,0 7,8 4,6 1,8 0,6 0,2 0,1 0,0 0,0 0,0

Total 7 8 7 8 8 7 8 7 8 8 76

Measures of Association:

(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)

Pairs Number Percent Summary Measures

Concordant 1164 98,0 Somers' D 0,96 Discordant 24 2,0 Goodman-Kruskal Gamma 0,96 Ties 0 0,0 Kendall's Tau-a 0,40 Total 1188 100,0


(5)

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

Dokumentasi 1. Kondisi Jalan Menuju Lokasi UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2

Dokumentasi 2. Kondisi Tempat Tinggal Transmigran Yang Masih Asli


(6)

Dokumentasi 4. Fasilitas Umum Yang Tersedia di UPT Puskesmas dan Pasar

Dokumentasi 5. Pekerjaan Sampingan Transmigran di Luar Usahatani