atau usahatani, sedangkan kemitraan yang lebih bersifat vertikal, pada umumnya diwarnai oleh hubungan hutang antara pedagang dan petani
produsen. Interpendensi antara patron dan client sangat asimetris dan sering secara terselubung terjadi eksploitasi secara berkelanjutan. Pola ini
menghambat kreativitas para pelakunya karena ada ketergantungan yang sangat tinggi, sehingga kurang merangsang tumbuhnya semangat mandiri.
2. Pola kemitraan pemerintah
Pada pola ini, pengembangan kemitraan lebih condong ke arah vertikal, dengan model bapak angkat. Pada pola ini penyerapan inovasi sudah lebih
maju, tetapi masih memungkinkan terjadinya eksploitasi legal bapak terhadap anak angkatnya.
3. Pola kemitraan pasar
Berkembang seiring dengan munculnya ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Pola inin melibatkan petani dan pemilik modal
besar yang bergerak dibidang industri pengolahan dan pemasarann hasil yang bekerjasama karena kepentingan ekonomi untuk berbagi manfaat ekonomi.
Dalam hal penyerapan inovasi pola ini sudah jauh lebih baik dibanding pola- pola sebelumnya, tetapi kelemahannya tetap berada pada ketergantungan
petani terhadap pengusaha besar.
2.4 Studi Terdahulu
Menurut Nasoetion dan Sitanala 1983, menganalisa perkembangan transmigrasi dalam kaitannya dengan kesejahteraan keluarga, di daerah
transmigrasi Batumarta dan Way Abung-II. Tingkat kesejahteraan keluarga petani di daerah transmigrasi masih rendah. Hal ini selain disebabkan oleh hal-hal yang
bersifat fisik kualitas lahan yang umumnya rendah, juga disebabkan belum dimanfaatkannya sumberdaya keluarga secara optimal. Disamping itu, rendahnya
tingkat kesejahteraan disebabkan belum memadainya sistem pemasaran hasil-hasil pertanian oleh karena belum terintegrasinya daerah transmigrasi dengan sistem
perekonomian wilayah setempat. Rendahnya tingkat kesejahteraan ini diperkirakan menyebabkan tingginya tingkat fertilitas ibu rumahtangga petani
yang potensial bagi pertumbuhan penduduk setempat. Jika pertambahan penduduk yang cepat tidak disertai oleh peningkatan pendapatan, maka tingkat kesejahteraan
petani akan menurun. Menurut Widya 1992, menganalisis pengkajian tingkat pendapatan
transmigran di wilayah permukiman transmigrasi Sitiung I Kabupaten SawahluntoSijunjung Propinsi Sumatera Barat. Usaha pembangunan di wilayah
permukiman transmigrasi dapat meningkatkan kesejahteraan transmigran yang dapat dilihat dari perbandingan pendapatan dengan pengeluaran untuk basic
needs. Dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan maka akan meningkatkan pula kegiatan perekonomian pada daerah-daerah permukiman tersebut sehingga
menjadi salah satu pusat pertumbuhan dan kegiatan ekonomi, yang dapat merupakan faktor penarik bagi masyarakat pedesaan di Pulau Jawa untuk
berpartisipasi dalam program transmigrasi dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang. Ditinjau dari tingkat pendapatan transmigran
di wilayah permukiman transmigrasi Sitiung I sudah relatif tinggi dengan distribusi pendapatan relatif cukup merata, maka dapatlah disimpulkan bahwa
transmigran sudah betah atau kerasan untuk tetap di lokasi permukiman tersebut. Keadaan ini tercermin dari kenyataan bahwa tidak ada transmigran yang
meninggalkan daerah permukiman dan bahkan mereka sudah membaur dengan masyarakat setempat.
Menurut Lasmi 1994, menganalisis perkembangan pertanian dan pendapatan usahatani di daerah transmigrasi, daerah Karang Agung Tengah
Sumatera Selatan. Perkembangan pertanian transmigrasi di unit permukiman transmigrasi Karang Agung Tengah tidak terlepas dari fungsi dan peranan
fasilitas-fasilitas pendukung pertanian yang ada, serta kemampuan transmigrasi dalam menyerap teknologi yang dianjurkan. Perkembangan pendapatan usahatani,
ditinjau dari pendapatan usahatani transmigran per kapita per tahun, masih belum berada pada tahap perkembangan yang direncanakan.
Menurut Hadisoegondo 1986, menganalisis pengembangan usahatani melalui pola PIR di daerah transmigrasi Kecamatan Lainea dan Tinanggea,
Sulawesi Tenggara. Pola PIR kapas-kedelai yang dilaksanakan PT. KII sebagai suatu sistem agribisnis di daerah transmigrasi, ternyata mampu membantu
meningkatkan rata-rata pendapatan sebelumnya. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat bahwa ada nilai subsidi yang jika dihilangkan menyebabkan rata-rata
tingkat pendapatan menurun dengan subsidi dalam sewa traktor di sini subsidi pupuk dan pestisida masih tetap berlaku. Di samping itu perlu diperhatikan
bahwa usahatani program kapas-kedelai memiliki kendala dalam lingkungannya seperti: a komoditi pesaing, b berkembangnya kesempatan
kerja non pertanian dalam bentuk berbagai proyek Pemerintah yang memerlukan tenaga kaerja dan itu menuntut kesediaan petani untuk berpartisipasi, c pengaruh
besarnya biaya kebun inti yang pada gilirannya dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan petani.
Menurut Sjamsuddin 1987, evaluasi dampak transmigrasi terhadap peningkatan pendapatan dan pola pengeluaran warga transmigrasi dan masyarakat
sekitarnya di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Pendapatan transmigran sesudah transmigrasi meningkat dibandingkan sebelumnya dan pengeluaran
semakin kecil setelah bertransmigrasi. Namun, pendapatan meningkat dan pengeluaran semakin kecil setelah bertransmigrasi akan tetapi tingkat kemerataan
lebih baik sebelum bertransmigrasi ketimpangan lebih besar setelah bertransmigrasi, diakibatkan karena pengairan persawahan yang tidak merata
masih terdapat SP yang belum mendapatkan pengairan, ketrampilan transmigran yang relatif rendah, dan letak lokasi pasar yang dapat mempengaruhi pemasaran
hasil pertanian. Sedangkan, bagi penduduk setempat dengan adanya program transmigrasi meningkatkan pendapatan mereka, karena penduduk setempat dapat
memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada warga transmigran seperti irigasi dan peralatan lainnya.
Berdasarkan studi terdahulu, terlihat adanya hubungan antara program transmigrasi dengan tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat. Program
transmigrasi merupakan upaya pemerintah dalam penyebaran penduduk pada daerah yang masih kurang penduduknya, daerah tujuan tersebut memiliki sumber
daya alam yang potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat transmigran memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak ditempat
yang baru. Salah satu upaya Pemerintah dalam memperluas kesempatan kerja di lokasi transmigrasi yaitu dengan kerjasama dengan investor seperti pola PIR
pangan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat transmigran,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Teoritis 3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan
Tingkat kesejahteraan welfare adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah
pada suatu kurun waktu tertentu. Kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu
Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing
individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang
lain Pengemanan, 1994 dalam Elidawati, 2003. Kesejahteraan mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan
pendekatan mikro. Pendekatan makro memandang bahwa kesejahteraan dapat dinyatakan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara ilmiah.
Sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat. Pendekatan ini mencakup lingkupan yang sangat luas yaitu negara
atau wilayah propinsi dan lebih dikenal dengan pendekatan makro objektif. Pendekatan mikro lebih dikenal juga dengan pendekatan mikro subjektif yang
memandang bahwa kesejahteraan itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sebagai
keadaan sejahtera Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003.