Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Perseorangan Terhadap Debitor Wanprestasi Pada Perjanjian Kredit Pt. Bank Xxxx Di Medan

(1)

1

PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN PERSEORANGAN TERHADAP DEBITOR WANPRESTASI PADA PERJANJIAN KREDIT PT. BANK

XXXX di Medan SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: NIM: 110200287 NUR FAIRUZ DIBA NST

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

i

PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN PERSEORANGAN TERHADAP DEBITOR WANPRESTASI PADA PERJANJIAN KREDIT PT. Bank

XXXX di Medan SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: NIM: 110200287 NUR FAIRUZ DIBA NST

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui/Diketehui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.

NIP :196204211988031004 NIP : 197308042002121001 Mulhadi, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

ii

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul “PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN PERSEORANGAN TERHADAP DEBITOR WANPRESTASI PADA PERJANJIAN KREDIT PT. Bank XXXX di Medan”. Adapun tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis, H. Armen Juni Nst S.E., dan Hj. Yuslizar Usman S.E., M.Si., yang telah mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga penulis dapat melanjutkan dan meraih gelar Sarjana.

Proses penyusunan skripsi ini mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

iii

3. Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Hasim Purba S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan;

7. Bapak Hemat Tarigan S.H., M.Hum.selaku Dosen Pembimbing Akademik; 8. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing I. Terimakasih

atas waktu, ilmu serta bimbingan yang Bapak berikan hingga saya menyelesaikan skripsi ini;

9. Bapak Mulhadi, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Terimakasih atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang bapak berikan selama ini hingga skripsi ini selesai;

10.Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Untuk kedua saudara saya, M. Aris Fitrah Nst S.E., dan Dewi Meilinda Tari Nst S.Ked, yang tak henti memberikan dukungan dan semangat agar skripsi ini selesai;

12.Sahabat-sahabat terbaik Elmas Yuliantri, Fadillah Mahraini, Hamimi Masturah, Syafitri Ditami, Yuliana Siregar yang tak pernah henti memberikan semangat, dukungan, saran dan selalu ada di masa-masa senang hingga sulit yang dijalani bersama dari awal sampai akhir perkuliahan;


(5)

iv

13.Teman-teman hebat yang turut mewarnai perkuliahan penulis Astri Rahmadani Sipahutar, Pudja Eka Prayudha, Nida Syafwani Nasution, Tengku Devy Malinda;

14.Keluarga besar BTM Aladdinsyah S.H., terkhusus Kabinet SPEKTRA;

15.Keluarga besar Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum USU serta tim delegasi Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum USU pada Kompetisi Peradilan Semu Tingkat Nasional Piala Konservasi I di Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang Tahun 2013, terkhusus : Nurul Fatimah, Yoko Kristanto, Sarabjit Singh Sandhu, Intan Elisabeth Pasaribu, Kartika PLM.; 16.Rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum terkhusus Perdata BW Stambuk

2011 Fakultas Hukum USU;

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, 10 April 2015

NIM: 110200287 Nur Fairuz Diba Nst


(6)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penulisan ... 8

D.Manfaat Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 13

G.Sistematika Penulisan ... 13

BAB II JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT A.Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit ... 15

B.Jaminan dalam KUH Perdata dan Kredit Perbankan ... 21

C.Jaminan Perseorangan sebagai Jaminan Kredit Perbankan... 27

BAB III WANPRESTASI DALAM JAMINAN PERSEORANGAN A.Pengertian Wanprestasi ... 34

B.Akibat Hukum Wanprestasi ... 40


(7)

vi

BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN PERSEORANGAN BERKENAAN DEBITOR WANPRESTASIPADA PERJANJIAN KREDIT PT. Bank XXXX di Medan

A. Syarat dan Ketentuan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Perseorangan ... 50 B. Akibat Hukum Atas Jaminan Perseorangan ... 68 C. Eksekusi Jaminan Perseorangan Berkenaan Debitor

Wanprestasi Pada Perjanjian Kredit ... 72 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA ... 82


(8)

vii

PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN PERSEORANGAN TERHADAP DEBITOR WANPRESTASI PADA PERJANJIAN KREDIT PT. BANK

XXXX DI MEDAN Nur Fairuz Diba Nst*

Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S.** Mulhadi S.H., M.Hum.***

ABSTRAK

Salah satu jasa perbankan yang diberikan kepada masyarakat atau dunia usaha adalah jasa perkreditan. Perjanjian kredit selalu diikuti dengan pengikatan jaminan. Jaminan secara umum selama ini sering dirasa belum cukup meyakinkan kreditor dalam pemberian kredit. Untuk itu penulis membahas mengenai jaminan khusus yaitu jaminan perseorangan. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana syarat dan ketentuan pemberian kredit dengan jaminan perseorangan, bagaimana akibat hukum atas jaminan perseorangan, dan bagaimana eksekusi jaminan perseorangan kreditor dalam hal debitor wanprestrasi.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode penelitian yuridis empiris. Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran dari data-data yang dikumpulkan.

Syarat yang paling penting dalam pemberian perjanjian kredit ialah adanya rasa kepercayaan kreditor terhadap debitornya. Rasa percaya ini didasari oleh penilaian atas prinsip “5C”, yaitu character, capacity, capital, condition of economic, collateral.Adapun syarat pemberi jaminan perseorangan yaitu cakap, mempunyai kekayaan yang cukup, berdiam di wilayah Indonesia, mempunyai kepentingan langsung atas usaha yang dibiayai Bank (kebijakan bank), bersedia melepaskan segala hak baik hak utama maupun hak dalam eksepsi dan hak istimewa. Penjamin adalah pihak ketiga yang mengikatkan diri kepadakreditor untuk menjamin pembayaran kembali utang debitor. Seorang penjamin yangtelah mengikatkan diri sebagai penjamin membawa akibat hukum bagi penjaminuntuk melunasi utang debitor manakala debitor wanprestasi. Apabila terjadi wanprestasi maka penjamin juga diminta pertanggungjawabannya untuk melunasi hutang debitor. Wanprestasi tersebut menyebabkan kreditor harus melakukan eksekusi terhadap jaminan yang diberikan debitor. Eksekusi jaminan perseorangan pada dasarnya sulit untuk dilakukan karena penjamin pada dasarnya tidak ikut menikmati kredit yang diberikan kreditor.

Kata Kunci : Jaminan Perseorangan, Wanprestasi, Eksekusi

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(9)

vii

PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN PERSEORANGAN TERHADAP DEBITOR WANPRESTASI PADA PERJANJIAN KREDIT PT. BANK

XXXX DI MEDAN Nur Fairuz Diba Nst*

Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S.** Mulhadi S.H., M.Hum.***

ABSTRAK

Salah satu jasa perbankan yang diberikan kepada masyarakat atau dunia usaha adalah jasa perkreditan. Perjanjian kredit selalu diikuti dengan pengikatan jaminan. Jaminan secara umum selama ini sering dirasa belum cukup meyakinkan kreditor dalam pemberian kredit. Untuk itu penulis membahas mengenai jaminan khusus yaitu jaminan perseorangan. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana syarat dan ketentuan pemberian kredit dengan jaminan perseorangan, bagaimana akibat hukum atas jaminan perseorangan, dan bagaimana eksekusi jaminan perseorangan kreditor dalam hal debitor wanprestrasi.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode penelitian yuridis empiris. Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran dari data-data yang dikumpulkan.

Syarat yang paling penting dalam pemberian perjanjian kredit ialah adanya rasa kepercayaan kreditor terhadap debitornya. Rasa percaya ini didasari oleh penilaian atas prinsip “5C”, yaitu character, capacity, capital, condition of economic, collateral.Adapun syarat pemberi jaminan perseorangan yaitu cakap, mempunyai kekayaan yang cukup, berdiam di wilayah Indonesia, mempunyai kepentingan langsung atas usaha yang dibiayai Bank (kebijakan bank), bersedia melepaskan segala hak baik hak utama maupun hak dalam eksepsi dan hak istimewa. Penjamin adalah pihak ketiga yang mengikatkan diri kepadakreditor untuk menjamin pembayaran kembali utang debitor. Seorang penjamin yangtelah mengikatkan diri sebagai penjamin membawa akibat hukum bagi penjaminuntuk melunasi utang debitor manakala debitor wanprestasi. Apabila terjadi wanprestasi maka penjamin juga diminta pertanggungjawabannya untuk melunasi hutang debitor. Wanprestasi tersebut menyebabkan kreditor harus melakukan eksekusi terhadap jaminan yang diberikan debitor. Eksekusi jaminan perseorangan pada dasarnya sulit untuk dilakukan karena penjamin pada dasarnya tidak ikut menikmati kredit yang diberikan kreditor.

Kata Kunci : Jaminan Perseorangan, Wanprestasi, Eksekusi

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi yang mengelola kekuatan ekonomi potensil menjadi kekuatan ekonomi rill dengan memanfaatkan sarana permodalan yang ada sebagai sarana pendukung utama dalam pembangunan tersebut membutuhkan penyediaan dana yang cukup besar1

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sementara itu, mengenai defenisi bank itu sendiri dinyatakan Pasal 1 angka 2 sebagai berikut :“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

.

Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga perbankan, yang telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain melalui kredit perbankan, yaitu berupa perjanjian kredit antara kreditor sebagai pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan debitor sebagai pihak yang berhutang.

1

Sri Wardani Legowati, Efektifitas Jaminan Perseorangan (Borgtocht) Apabila Debitor Wanprestasi Pada Bank Jateng (Cabang Pemuda Semarang), Thesis Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2005, hal. 1.


(11)

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”2

2

Gunarto Suhardi, ,Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Kanisius,Jakarta, 2003, hal 17.

.

Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam melakukan usahanya tersebut, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau dalam bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Bank juga menyalurkan dana dari masyarakat dengan cara memberikan kredit dalam bentuk usaha kredit perbankan.

Konsekuensi dari usaha bank tersebut lahirlah hubungan-hubungan antara pelaku ekonomi dengan pihak perbankan. Pihak bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan mensyaratkan adanya jaminan sebagai bentuk pengamanan dan kepastian akan kredit yang diberikan tersebut bisa kembali atau dilunasi, karena tanpaadanya jaminan bank akan sulit menghindari resiko yang terjadi sebagai akibat dari debitor yang wanprestasi.

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa : “Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.


(12)

Untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman pada prinsip 5C3

1. Character

.Prinsip 5C diuraikan sebagai berikut :

Bahwa calon nasabah debitor memiliki watak, moral dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan kemauan dari calon nasabah debitor untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi dari usaha-usaha yang sejenis.

2. Capacity

Capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah debitor untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan, yang menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan rugi laba, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini tentu dapat diketahui pula mengenai tingkat solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usaha serta tingkat risikonya. Pada umunya untuk menilai capacity seseorang didasarkan pada pengalaman dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan calon nasabah debitor, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan persaingan usaha dengan pesaing lainnya.

3. Capital

Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah dimiliki oleh pemohon pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif.

4. Collateral

Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitor di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit baik utang pokok maupun bunganya.

3

Hermansyah, , Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 63-65.


(13)

5. Condition of Economy

Bahwa dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.

Meskipun bank tidak wajib meminta jaminan dari calon debitor ketika akan memberikan kredit, tapi hal tersebut menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan keamanan kredit yang diberikan, yaitu jika debitor wanprestasi, maka agunan atau jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk melunasi utang-utang debitor. Dengan kata lain adanya jaminan tersebut merupakan upaya antisipasi dari pihak bank agar debitor dapat membayar utangnya dengan cara menjual benda yang menjadi jaminan atas utangnya4

Jaminan secara umum itu sering dirasakan kurang cukup dan kurang aman karena selainnya bahwa kekayaan si debitor pada suatu waktu habis, juga jaminan secara umum itu berlaku untuk semua kreditor atau kedudukan kreditor sama

.

Pengaturan mengenai jaminan secara umum diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 yang dikenal dengan jaminan umum. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut : Pasal 1131 KUH Perdata : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan adadikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perserorangan”.

Pasal 1132 KUH Perdata : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurutbesar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

4

Retno Gunarti, Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Sebagai Salah Satu Bentuk Pengikatan Jaminan Kredit Bank Pada Kantor Pusat PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Thesis Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2008, hal 12.


(14)

(kreditor concurent), sehingga kalau ada banyak kreditor ada kemungkinan beberapa orang dari mereka tidak dapat bagian lagi5

Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang atau benda sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perseorangan

.

6

Mengenai jaminan dapat berupa benda atau orang. Pembahasan tentang hak jaminan pribadi tidak dapat dipisahkan dari hukum jaminan, yang mengatur tentang jaminan hutang debitor terhadap kreditor yang di dalamnya diatur pula hak jaminan khusus (zekerheidsrechten), yang memberikan kepada seorang kreditor suatu kedudukan lebih diutamakan daripada kreditor lain (yang tidak mempunyai hak-hak khusus). Hak-hak jaminan khusus itu ada yang berupa hak jaminan kebendaan (zakelijkezekerheidsrechten) dan ada yang berupa hak-hak jaminan pribadi (personlijk zekerheidsrechten)

.

7

5

R. Subekti, ,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, hal. 162 6

Paula Bawuna, “Analisis Hukum Perbankan Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Sk Pengangkatan Pns”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol.I/No.1/April-Juni /2013,2013, hal 2.

7

Retno Gunarti, Op.,Cit, hal 12

.

Pengaturan Jaminan Perseorangan ini terdapat dalam Buku III Pasal 1820 – 1850 KUHPerdata. Dalam Pasal 1820 KUHPerdata ditegaskan bahwa :“Penjamin atau penanggung adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.


(15)

Beberapa unsur perumusan yang tampak dan perlu mendapatkan perhatian adalah:

1. Penanggungan merupakan suatu perjanjian; 2. Penjamin adalah pihak ketiga;

3. Penanggungan diberikan demi kepentingan kreditor;

4. Penjaminmengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, kalau debitor wanprestasi;

5. Ada perjanjian bersyarat.

Jaminan Perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada pihak kreditor apabila debitor yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi)8

Praktek pemberian kredit sekarang ini Jaminan Perseorangan atau Borgtocht

dipergunakan sebagai lembaga jaminan, dengan alasan sebagai berikut .

Perlu diterangkan juga mengenai sifat dari perjanjian penanggungan, yang diatur dalam Pasal 1821 KUH Perdata. Dalam Pasal 1821 KUH Perdata disebutkan bahwa tiada perjanjian penanggungan kalau tidak ada perjanjian pokok yang sah. Pasal ini menunjukkan bahwa keberadaan perjanjian penanggungan adalah tergantung pada perjanjian pokok. Dapat disimpulkan bahwa pejanjian penanggungan adalah accesoir (terikat pada perjanjian pokok).

9

8

Hasanudin Rahmat, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 164

9

Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan,Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 80-81.


(16)

1. Si penanggung mempunyai kepentingan ekonomi di dalam usaha dengan si peminjam (ada hubungan kepentingan antara si peminjam dengan si penanggung), misalnya :

a. Si penanggung sebagai direktur suatu perusahaan selaku pemegang saham terbanyak dari perusahaan tersebut, secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan;

b. Perusahaan induk ikut menjamin hutang-hutang perusahaan cabang/anak cabang.

2. Penanggung memegang peranan penting dan banyak terjadi dalam bentuk bank garansi, dimana yang bertindak selaku penanggung (borg) adalah bank. Dengan ketentuan bahwa :

a. Bank mensyaratkan adanya provisi dari debitor untuk perutangan siapapun ia mengikatkan diri sebagai borg;

b. Bank mensyaratkan adanya sejumlah uang (deposito) yang disetorkan kepada bank.

3. Penanggungan juga mempunyai peranan yang penting, karena dewasa ini lembaga-lembaga pemerintah lazim mensyaratkan adanya penanggung untuk kepentingan pengusaha-pengusaha kecil.

Namun seperti diketahui bahwa dalam Perjanjian Penanggungan yang menjadi jaminan bukan kebendaan seperti halnya dalam Perjanjian Gadai, Jaminan Fidusia maupun Hak Tanggungan, namun yang menjamin adalah orang (person). Hal ini tentunya secara yuridis akan menimbulkan kesulitan di dalam praktek hukum apabila debitor wanprestasi, karena “orang” tidak dapat dijual lelang yang dapat dijual lelang adalah hak kebendaan dari penjamin.


(17)

Berdasarkan paparan di atas, ketentuan yang ada dan perkembangan yang terjadi dalam praktek, serta adanya beberapa masalah yang muncul di dunia hukum perbankan, diantaranya syarat dan ketentuan pemberian kredit dengan jaminan perseorangan, akibat hukum atas jaminan perseorangan, dan eksekusi jaminan perseorangan dalam hal debitor wanprestasi pada PT. Bank XXXX di Medan. Hal ini menimbulkan rasa keingintahuan penulis dan menyusunnya di dalam skripsi yang berjudul“Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Perseorangan Terhadap Debitor Wanprestasi Pada Perjanjian Kredit PT. Bank XXXX di Medan.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka hal-hal yang dibahas dalam penlitian ini, antara lain :

1. Bagaimana syarat dan ketentuan pemberian kredit dengan jaminan perseorangan?

2. Bagaimana akibat hukum atas jaminan perseorangan ?

3. Bagaimana eksekusi jaminan perseorangan oleh kreditor dalam hal debitor wanprestrasi ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui syarat dan ketentuan pemberian kredit dengan jaminan perseorangan.


(18)

3. Untuk mengetahui eksekusi jaminan perseorangan oleh kreditor dalam hal debitor wanprestasi.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dalam melakukan penelitian dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, pembahasan terhadap masalah ini dapat memberikan pemahaman dan pandangan-pandangan baru mengenai pemberian kredit dengan jaminan perseorangan dan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi para pembaca mengenai pengembangan dan pengkajian berupa seluk beluk eksekusi jaminan perseorangan dalam hal debitor wanprestasi.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, pembahasan permasalahan ini diharapkan hasilnya dapat bermanfaat bagi penulis dan masyarakat. Selain itu juga dapat memberikan sumbangan yuridis yang berkaitan dengan jaminan perseorangan dalam praktek perkreditan perbankan.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk


(19)

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan10

Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya

.

11

1. Jenis Penelitian

.

Untuk membahas permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan12

Metode yuridis empiris dalam penulisan skripsi ini, yaitu dari hasil pengumpulan dan penemuan data maupun informasi melalui studi pada PT

.

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press , Jakarta, 2008, hal. 43. 11

Ibid., hal. 6. 12

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra aditya bakti, Bandung, 2004, hal. 112.


(20)

Bank XXXX di Medan. Metode penelitian yuridis empiris dilakukan dengan wawancara kepada narasumber yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

2. Metode Pengumpulan Data

Oleh karena itu penulis memilih menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Metoede Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Metode yang digunakan adalah dengan cara memperoleh data tersedia di perpustakaan yang pernah ditulis sebelumnya di mana ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan13

b. Metode Penelitian Lapangan (Field Research)

.

Dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan yakni melakukan wawancara terhadap narasumber.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh penulis dengan melakukan studi lapangan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara (interview) pada PT. Bank XXXX di Medan. Data sekunder, adalah data yang diperoleh penulis yang sebelumnya telah diolah orang lain. Data sekunder terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari kaidah dasar. Bahan hukum primer yang digunakan dalam

13

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafido Persada, Jakarta, 2007, hal.38.


(21)

penelitian ini, yaitu Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer melalui hasil penelitian hukum, hasil karangan ilmiah dari kalangan hukum, dan artikel baik dari media cetak ataupun media massa yang berkaitan dengan pokok bahasan yaitu perlindungan hukum terhadap kreditor ketika debitor wanprestasi dalam suatu perjanjian kredit dengan jaminan perseorangan14

4. Analisa data

.

Analisis data adalah tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian. Dalam tahap ini penulis harus melakukan pemilahan data-data yang telah diperoleh. Penganalisisan data-data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi15

Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan

.

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 13

15


(22)

metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah16

F. Keaslian Penulisan

.

Menurut informasi yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Judul skripsi ini belum pernah ditemukan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.Penulis juga menelusuri judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang dilakukan penulis, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Permasalahan dan pembahasan yang diangkat dalam penulisan merupakan hasil pemikiran penulis sendiri.Oleh karena itu, penulis yakin bahwa materi penelitian ini masih aktual mengingat perkembangan jaminan perseorangan dalam praktek perkreditan perbankan masih eksis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa skripsi ini asli.Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang merupakan gambaran isi dari sebuah tulisan skripsi tersebut serta alasan-alasan penyusunan sistematika dalam daftar isi.Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam Bab-Bab yang menguraikan sebelumnya secara tersendiri, didalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat Sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab yang terperinci.

16


(23)

Bab I merupakan pendahuluan, penulis menguraikan tentang hal yang bersifat umum, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penelitian dan sistematika penelitian.

Bab IImembahas tentang jaminan perseorangan sebagai jaminan kredit. Diuraikan mengenai pengertian kredit dan perjanjian kredit, jaminan dalam KUH Perdata dan kredit perbankan, serta jaminan perseorangan sebagai jaminan kredit perbankan.

Bab III membahas mengenai wanprestasi dalam jaminan perseorangan. Maka akan diuraikan pengertian wanprestasi, akibat hukum wanprestasi, dan wanprestasi dalam perjanjian jaminan.

Bab IV membahas pelaksanaan eksekusi jaminan perseorangan berkenaan debitor wanprestasi pada perjanjian kredit PT. Bank XXXX di Medan. Diuraikan mengenai syarat dan ketentuan pemberian kredit dengan jaminan perseorangan, akibat hukum atas jaminan perseorangan dan eksekusi jaminan perseorangan berkenaan debitor wanprestasi.

Bab V merupakan bab kesimpulan dan saran dari rangkaian bab-bab sebelumnya, dimana penulis membuat suatu kesimpulan atas pembahasan skripsi ini yang dilanjutkan dengan memberikan saran-saran atas masalah-masalah yang diharapkan akan dapat berguna didalam praktik.


(24)

15 BAB II

JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351.Dimana ketentuan dalam Pasal 1313 menyebutkanbahwa : “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.Namun, istimewa sifatnya karena dikuasi oleh ketentuan-ketentuan tersendiri17

Menurut Gatot Supramono, perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus yang dapat dipersamakan dengan perjanjian pinjam mengganti sebagaimana diatur dalam KUH Perdata

.

18

Agar suatu perjanjian dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Persyaratan yuridis agar suatu perjanjian dianggap sah sebagai berikut

.

19

1. Syarat sah yang objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata :

Syarat sah yang dimaksud terdiri dari : a. Suatu hal tertentu

17

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18. 18

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 451

19

Munir Fuady,Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.14


(25)

Suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu perjanjian haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. b. Kausa yang diperbolehkan

Sedangkan dengan kausa yang diperbolehkan dimaksudkan adalah bahwa suatu perjanjian haruslah dibuat dengan maksud atau alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat perjanjian untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

Konsekuensi hukum jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi adalah bahwa kontrak tersebut tidak sah dan batal demi hokum (null and void).

2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata ke dalam syarat sah suatu perjanjian yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata termasuk hal-hal sebagai berikut :

a. Adanya kesepakatan

Dengan syarat kesepakatan dimaksudkan adalah bahwa agar suatu perjanjain dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesusuaian pendapat tentang apa yang di atur oleh perjanjian tersebut. b. Kecakapan

Sedangkan syarat kecakapan maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat perjanjian tersebut. Kecakapan baru dianggap sah oleh hukum manakala perjanjian dilakukan oleh orang-orang sebagai berikut:

1) Orang yang sudah dewasa

2) Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan 3) Wanita yang bersuami (syarat ini sudah tidak berlaku lagi)

4) Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.

Konsekuensi yuridis dari tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif ini adalah bahwa perjanjian tersebut “dapat dibatalkan” (voiable, vernietigebaar) oleh salah satu pihak yang berpentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan namun perjanjian tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu perjanjian yang sah.

3. Syarat sah yang umum di luar Pasal 1320 KUH Perdata

Ada beberapa syarat untuk perjanjian yang berlaku umum tetapi di atur di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

a. Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik

b. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku c. Perjanjian harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan

d. Perjanjian tidak boleh melanggar kepentingan umum.

Apabila perjanjian dilakukan dengan melanggar salah satu dari empat prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak sah dan batal demi hukum (null and void).

4. Syarat sah yang khusus

Di samping syarat-syarat tersebut di atas, maka suatu perjanjian haruslah memenuhi beberapa syarat khusus yang ditujukan untuk perjanjian-perjanjian khusus. Syarat-syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut: a. Syarat tertulis untuk perjanjian tersebut


(26)

b. Syarat akta notaris untuk perjanjian tertentu

c. Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk perjanjian tertentu d. Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk perjanjian tertentu. Suatu perjanjian diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka unsur-unsur yang ada di sana dapat diklasifikasikan sebagai berikut20

a. Unsur Esensialia

:

Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada. Misalnya dalam perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil.

b. Unsur Naturalia

Adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur atau menambah (regelend

atau aanvullend recht). Misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin/vrijwaren (Pasal 1491KUH Perdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.

c. Unsur Accidentalia

Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan. Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa istilah kredit memiliki arti yang khusus, yaitu meminjamkan “uang”, Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan menunjuk “perjanjian pinjam-meminjam” sebagai acuan dari perjanjian kredit. Perjanjian pinjam-meminjam itu diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754 - Pasal 1769 tentang pinjam-meminjam.

Pasal 1754 KUH Perdata mengatakan bahwa :“Pinjaman-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

20

J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,hal. 67-68.


(27)

Pernyataan diatas mengandung kebenaran karena meskipun dalam Pasal-Pasal KUHPerdata tersebut juga terdapat ketentuan tentang pinjam-meminjam barang yang dipergunakan habis, tetapi tidak ada alasan pembenar bahwa Pasal-Pasal, bahkan keseluruhan Bab XIII Buku Ketiga KUHPerdata itu, tidak berlaku bagi pinjam-meminjam uang dari bank. Hal ini dilandasi oleh argumentasi sebagai berikut21

1. Uang menurut ilmu ekonomi moneter jelas dapat berfungsi sebagai barang yang dapat diperjualbelikan dan dipinjamkan dalam berbagai transaksi pasar uang.

:

2. Uang juga dapat dipergunakan habis oleh peminjam meskipun untuk itu menjadi kewajiban peminjam untuk mengembalikan pokok beserta bunganya pada saat jatuh tempo baik dalam valuta rupiah maupun valuta asing senilai hutang dan bunganya.

3. Pasal-Pasal KUHPerdata tentang bunga dan syarat-syarat pengembalian kiranya masih dapat diberlakukan bagi pinjam-meminjam uang dengan bank, sebab kalau tidak tentu akan terjadi kekosongan hukum.

4. Masalah kekhususan persyaratan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan bank bukan merupakan alasan yang cukup kuat untuk tidak memberlakukan ketentuan KUHPerdata Indonesia.

Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” artinya percaya. Kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap perikatan, yaitu seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak, kesepakatan pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu tertentu. Pengertian di atas menunjukkan bahwa kredit mempunyai arti yang luas, yang mempunyai objek benda22

Menurut Munir Fuady yang dimaksudkan dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam antara pihak kreditor (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitor (peminjam), yang mewajibkan pihak debitor melunasi

.

21

Gunarto Suhardi, Op.,Cit, hal.82-83 22


(28)

hutangnya dalam jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditor (pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung23

Perjanjian kredit merupakan perjanjian tidak bernama (onveniemdeovereenkomst) karena di dalam KUH Perdata belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus baik di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia maupun dalam Undang-Undang Tentang Perbankan. Ketentuan yang ada hanya tentang pengertian kredit, yang dapat disebutkan secara jelas dan tegas di dalam Pasal 1 angka 12, Pasal 6 dan Pasal 13 Undang-Undang Tentang

.

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berkaitan dengan pengertian kredit di atas, menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

23


(29)

Perbankan, kredit sebagai salah satu jenis usaha bank, Pasal 8 tentang jaminan dalam pemberian kredit, Pasal 11 ayat 1 tentang batas pemberian kredit, tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana bentuk, isi dan ketentuan Pasal yang terdapat dalam perjanjian kredit yang dibuat antara kreditor/bank dengan para nasabah debitor24

Adapun isi dan bentuk surat perjanjian atau akad kredit tersebut, Undang-Undang tidak memberikan petunjuk khusus, SK Direksi Bank Indonesia No 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi umum ditegaskan bahwa setiap akad kredit harus tertulis baik di bawah tangan ataupun di muka notaris. Pembuatan akta perjanjian kredit di muka notaris biasanya diperlukan sekaligus dalam upaya mengikat barang jaminan

.

25

Perjanjian kredit bank pada umumnya merupakan perjanjian baku (standart contract), dimana isi atau ketentuan Pasal perjanjian kredit tersebut telah membaku dan hanya dituangkan dalam bentuk formulir (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah debitor tinggal membubuhkan tanda tangannya, dan bersedia menerima seluruh isi perjanjian tersebut, dan kreditor/bank tidak memberikan kesempatan lagi kepada calon nasabah debitor untuk membicarakan lebih lanjut seluruh isi ketentuan Pasal yang telah ditentukan oleh bank. Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitor

.

24

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, dalam S. Mantayborbir, Aneka Hukum PerjanjianSekitar Penguruasan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 80.

25


(30)

sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan ditetapkan oleh pihak kreditor/bank, karena jika tidak demikian, maka calon nasabah debitor tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksudkan26

B. Jaminan dalam KUH Perdata dan Kredit Perbankan .

Istilah Hukum Jaminan berasal dari terjemahan Zakerheidesstelli atau

security of law. Di dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional, disebutkan bahwa hukum jaminan meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan bukan pengertian hukum jaminan27

Selain itu, hukum jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah

.

28

Dari berbagai definisi tersebut di atas, masing-masing terdapat kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu maka perlu dilengkapi dan disempurnakan sebagai berikut, bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum

.

26

S. Mantayborbir, Aneka Hukum PerjanjianSekitar Penguruasan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004,hal. 86.

27

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,hal. 5

28


(31)

yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit29

1. Gadai

. Pengaturan hukum jaminan dapat dibedakan menjadi dua tempat, yaitu di dalam Buku II KUH Perdata dan di luar Buku II KUH Perdata.

Ketentuan-ketentuan hukum yang erat kaitannya dengan hukum jaminan, yang masih berlaku dalam KUH Perdata yaitu :

Diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata. 2. Hipotek kapal laut

Diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata.

Sedangkan pengaturan di luar KUH Perdata dapat dirincikan sebagai berikut : 1. KUH Dagang. Pasal-Pasal yang mengatur hipotek kapal laut adalah Pasal

314-316 KUH Dagang.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan tanah. Undang-undang ini mencabut berlakunya hipotek mengenai tanah sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata.

4. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :

29


(32)

1. Hak jaminan yang bersifat umum 2. Hak jaminan yang bersifat khusus

Jaminan yang bersifat umum diajukan kepada seluruh kreditor dan mengenai segala kebendaan debitor. Setiap kreditor mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil pendapatan penjualan segala kebendaan yang dipunyai debitor. Dalam hak jaminan yang bersifat umum ini semua kreditornya mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditor lain (kreditor

konkuren), tidak ada kreditor yang diutamakan, diistimewakan dari kreditor lain. Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul karena undang-undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu diperjanjikan sebelumnya30

Dalam praktik perkreditan, jaminan umum ini tidak memuaskan bagi kreditor, karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan. Untuk itu, kreditor memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk bagi kredit atau pinjaman tersebut. Dengan lain perkataan memerlukan adanya jaminan yang dikhususkan baginya, baik yang bersifat kebendaan maupun perseorangan

.

31

1. Diberikan atau ditentukan oleh undang-undang sebagai piutang yang diistimewakan (Pasal 1134 KUH Perdata)

. Dari ketentuan dalam Pasal 1133 KUH Perdata, diketahui bahwa hak jaminan yang bersifat khusus itu terjadi :

2. Diperjanjikan antara debitor dan kreditor, sehingga menimbulkan hak preferensi bagi kreditor atas benda tertentu yang diserahkan debitor (Pasal 1150 dan Pasal 1162 KUH Perdata dan Pasal 1820 KUH Perdata).

30

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan,Sinar Grafika, Jakarta,2008,hal 74 31


(33)

Adapun jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditor dan debitor yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat perseorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan sedangkan jaminan yang bersifat perseorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi manakala debitor wanprestasi32

Jaminan kebendaan itu dapat berupa jaminan kebendaan bergerak dan jaminan kebendaan tidak bergerak. Untuk kebendaan bergerak, dapat dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia sebagai jaminan utang, sementara untuk kebendaan tidak bergerak, dapat dibebankan dengan hipotek, hak tanggungan, dan fidusia sebagai jaminan utang. Adapun jaminan perseorangan ini dapat berupa penjaminan utang atau borgtocht (personal guarantee), jaminan perusahaan (corporate guarantee), perikatan tanggung menanggung, dan garansi bank (bank guarantee)

.

33

Pada umumnya dalam rangka mengamankan pemberian kreditnya bank menuntut nasabah debitor untuk memberikan jaminan kebendaan (agunan). Jaminan kebendaan (agunan) pemberian kredit pada hakikatnya berfungsi untuk menjamin kepastian akan pelunasan utang debitor bila debitor cidera janji (wanprestasi) atau dinyatakan pailit. Dengan adanya jaminan pemberian kredit tersebut, akan memberikan jaminan perlindungan, baik bagi keamanan dan kepastian hukum kreditor bahwa kreditnya akan tetap kembali walaupun mungkin nasabah debitornya cidera janji, yakni dengan cara mengeksekusi benda yang menjadi objek jaminan kredit bank yang bersangkutan. Dengan demikian, jaminan

.

32

Ibid, hal. 46 33


(34)

kebendaan (agunan) dalam pemberian kredit ini menjadi sarana yang ampuh untuk mengamankan pemberian kredit. Untuk itulah diadakan lembaga dan ketentuan hukum jaminan34

Barang jaminan tidak selalu milik nasabah debitor, akan tetapi peraturan perundang-undangan juga memperbolehkan barang milik pihak ketiga, asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan hutang nasabah debitor

.

35

Dengan demikian berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah

collateral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit. Artinya pengertian “jaminan” lebih luas daripada pengertian “agunan”, dimana agunan berkaitan dengan “barang”, sementara “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan“barang”, tetapi berkaitan pula dengan character, capacity, capital, dan

condition of economy dari nasabah debitor yang bersangkutan .

Jaminan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan”. Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengartikan “agunan” sebagai “jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit”.

36

34

Ibid., hal. xi 35

S. Mantayborbir, Op.,Cit, hal. 113 36

Rachmadi Usman, Op.,Cit, hal. 67.


(35)

Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan, ditemukan 5 asas penting dalam hukum jaminan, sebagaimana dipaparkan berikut ini37

1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;

:

2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;

3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian;

4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai;

5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik, bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

Pemberian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian hutang piutang yang disebut dengan perjanjian pokok. Tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Sebab perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikut perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian jaminannya pun turut berakhir. Tidak mungkin ada orang yang bersedia menjamin suatu hutang, kalaupun hutang itu sendiri tidak ada. Sifat perjanjian yang demikian ini disebut accesoir38.

37

Salim HS, Op,.Cit, hal. 9 38


(36)

C. Jaminan Perseorangan sebagai Jaminan Kredit Perbankan

Jaminan perorangan diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1820 KUH Perdata : “Penanggungan adalah suatu perjanjian, di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditor, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya”.

Borgtocht atau penjaminan adalah perjanjian dengan mana seseorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang (kreditor) mengikatkan diri untuk (debitor) tidak memenuhinya (wanprestasi).Demikian pengertian atau definisi yang diberikan Pasal 1820 KUH Perdata39

Pengertian jaminan perorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan adalah “jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitor umumnya

.

Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht. Ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil.

40

Subekti mengartikan jaminan perorangan adalah “suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditor) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitor). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si berhutang tersebut

.”

41

Jaminan perorangan atau borgtocht merupakan tipe perjanjian tersendiri di antara perjanjian yang lain. Dan borg ini harus dibedakan dengan “jaminan

.”

39

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2005, hal 237.

40

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.,Cit, hal. 47 41

R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, hal. 17


(37)

kebendaan”. Pada jaminan kebendaan, apabila nasabah debitor memberikan jaminan kebendaan kepada kreditor atau bank, sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam oleh nasabah debitor. Artinya apabila nasabah atau debitor tidak membayar hutang pada saat yang ditentukan, maka pihak kreditor atau bank dapat menuntut pelaksanaan eksekusi, terhadap jaminan kebendaan tersebut, untuk dieksekusi lelang di muka umum guna pembayaran atau pelunasan hutang42

Lain halnya mengenai jaminan seseorang atau borgtocht. Jaminan yang diberikan kepada kreditor/bank bukan benda, tetapi “perorangan” yakni seseorang pihak ketiga yang tak mempunyai kepentingan apa-apa, baik terhadap nasabah debitor maupun kepada kreditor/bank, maka dengan sukarela memberikan jaminan kepada nasabah debitor. Jaminan yang diberikannya berupa pernyataan bahwa nasabah debitor dapat dipercaya dan akan melaksanakan kewajiban yang baik sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan syarat, bila nasabah debitor dengan tidak bersedia untuk melaksanakan kewajibannya. Dengan persyaratan bahwa penjaminan yang diberikan nasabah debitor kepada kreditor, berarti nasabah debitor telah “mengikatkan diri” untuk melaksanakan kewajiban di dalam perjanjian

.

43

Perjanjian penanggungan adalah perjanjian acessoir artinya harus ada perjanjian utang piutang yang diikutinya. Sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1821 ayat (1) KUH Perdata, yang menegaskan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dan hal ini sekaligus berarti, kualitas dari perjanjian utang piutang haruslah benar-benar sempurna tanpa cacat hukum,

.

42

S. Mantayborbir, Op.,Cit, hal. 101-102 43


(38)

karena cacatnya perjanjian utang piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya pula penanggulangan utang sebagai perjanjian acessoir44

Dalam kedudukannya sebagai perjanjian yang bersifat acessoir maka perjanjian penanggungan, seperti halnya perjanjian-perjanjian acessoir yang lain, akan memperoleh akibat-akibat hukum tertentu

.

45

1. Adanya perjanjian penanggungan tergantung pada perjanjian pokok. :

2. Jika perjanjian pokok itu batal maka perjanjian penanggungan ikut batal. 3. Jika perjanjian pokok itu hapus, perjanjian penanggungan ikut hapus. 4. Dengan diperalihkannya piutang pada perjanjian pokok, maka semua

perjanjian-perjanjian acessoir yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih.

Penanggungan adalah perjanjian yang berbentuk bebas dan biasanya bersifat sepihak, tetapi lebih ditekankan kepada kewajiban penanggung. Pada umumnya penanggungan adalah merupakan perjanjian sepihak, namun mungkin juga bahwa kreditor menjanjikan suatu prestasi sehingga prestasi datang dari kedua belah pihak46

Jaminan perorangan dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu .

47

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; :

2. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan 3. Akibat hak dari tanggung renteng pasif

44

J. Satrio, 1999 dalam S. Mantayborbir, Op.,Cit, hal 119 45

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.,Cit, hal. 82 46

Ibid hal. 83 47


(39)

hubungan hak bersifat ekstern; hubungan hak antara para debitor dengan pihak lain (kreditor) dan hubungan hak bersifat intern; hubungan hak antara sesama debitor itu satu dengan yang lainnya;

4. Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata), yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.

Untuk melaksanakan perjanjian penanggungan, seorang penanggung haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut48

1. Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk mengikatkan diri :

2. Cukup mampu (kemampuan ekonomis) untuk dapat memenuhi perutangan yang bersangkutan. Kemampuan ini harus ditinjau secara khusus menurut keadaaannya dimana hakim bebas untuk menentukan penilaiannya.

3. Harus berdiam di wilayah Republik Indonesia.

Jaminan dalam bentuk perorangan (borgtocht) yang diatur untuk KUHPerdata mempunyai sifat-sifat sebagai berikut49

1. Jaminan perorangan (borgtocht)mempunyai sifat accesoir. :

Seperti sifat-sifat jaminan pada umumnya, borgtocht bersifat accesoir

(tambahan) artinya jaminan borgtocht bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaanya atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian hutang.Tidak mungkin ada borgtocht

tanpa adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban bagi debitor untuk melunasi hutangnya.

2. Borgtocht tergolong Jaminan Perorangan.

Borgtocht atau penjamin tergolong pada jaminan yang bersifat perorangan yaitu adanya pihak ketiga (orang pribadi atau badan hukum) yang menjamin untuk memenuhi atau melunasi utang debitor apabila debitor cidera janji.Karena borgtocht termasuk jaminan yang bersifat perorangan maka pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu yaitu debitor atau penjaminnya.

Kalau dalam jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia dan hak tanggungan yang terjadi adalah ikatan antara kreditor dengan benda-benda tertentu sehingga kreditor memperoleh hak atas benda-benda tertentu yang dijaminkan.Sedangkan dalam jaminan perorangan ini ikatan antara kreditor dengan orangnya yang menjamin (ikatan orang).Orang yang menjamin inilah yang harus memenuhi atau melunasi hutang seseorang debitor cidera janji.Apabila seseorang penjamin yang telah mengikatkan diri untuk

48

Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, Op.,Cit, hal. 87 49


(40)

menjamin hutang debitor tidak memenuhi kewajibannya maka harta kekayaan orang itu yang akhirnya dijual untuk memenuhi hutang debitor. 3. Borgtocht tidak memberikan hak preferent (diutamakan).

Borgtocht tidak memberikan hak preferent artinya apabila seorang penjamin tidak dengan sukarela melunasi hutang debitor maka harta kekayaan penjamin itu yang harus dieksekusi.Tetapi harta kekayaan si penjaminbukan semata-mata untuk menjamin hutang debitor kepada kreditor tertentu saja tetapi secara yuridis hartakekayaan penjamin menjadi jaminan atas hutang-hutang kepada semua kreditor. Kalau harta kekayaan si penjamin dilelang maka hasilnya dibagi kepada para kreditor yang ada secara proposional, kecuali penjamin tidak memiliki kreditor lain.

4. Besarnya penjamin tidak melebihi atau syarat-syarat yang lebih berat perikatan pokok.

Pasal 1822 KUH Perdata menentukan bahwa seorang penjamin tidak dapat mengikatkan diri atau lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat dari perjanjian kredit.Seorang penjamin dapat mengikatkan diri untuk menjamin sebagian hutang pokok debitor atau sebesar hutang pokok saja atau hutang pokok dan sebagian bunga atau syarat-syarat yang lebih berat dari perjanjian pokok maka hanya sah untuk perjanjian pokok.

Dalam praktek di perbankan seorang penjamin biasanya secara tegas menyatakan mengikatkan diri untuk menjamin pelunasan hutang debitor yang besarnya telah ditegaskan dalam perjanjian penjaminan.Misalnya sebesar hutang pokok saja, atau sebesar hutang pokok ditambah sebagian bunga atau hutang pokok atau seluruh hutang pokok dan seluruh bunganya.Adanya sifat ini adalah sebagai konsekuensi perjanjian penjamianan yang bersifat accesoir yang artinya penjanjian penjaminan sebagai perjanjian tambahan yang mengabdi pada perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit, sehingga perjanjian penjaminan tidak bisa melebihi syarat-syarat dari perjanjian kreditnya.

5. Penjamin memiliki hak-hak istimewa dan tangkisan-tangkisan.

Seorang penjamin adalah cadangan artinya seorang penjamin itu baru membayar hutang debitor jika debitor tidak memiliki kemampuan lagi. Karena sifatnya sebagai cadangan maka undang-undang memberikan hak-hak istimewa kepada seorang penjamin yang tercantum dalam Pasal 1832 KUHPerdata yaitu :

a. Hak untuk menuntut agar harta kekayaan debitor disita dan dieksekusi terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Bila hasil eksekusi tidak cukup untuk melunasi hutangnya maka baru kemudian harta kekayaan penjamin yang dieksekusi.

b. Hak tidak mengikatkan diri bersama-sama dengan debitor secara tanggung menanggung, maksud hak ini adalah ada kemungkinan penjamin telah mengikatkan diri bersama-sama debitor dalam satu perjanjian secara jamin-menjamin. Ini disebut penjamin soldier (soldaire borgatau hoofdelijke borg). Penjamin yang telah mengikatkan diri bersama-sama debitor dalam satu akta perjanjian dapat dituntut oleh kreditor untuk tanggung-menanggung bersama debitornya masing-masing untuk seluruh hutangnya.


(41)

c. Hak untuk mengajukan tangkisan(Pasal 1849, 1850 KUHPerdata). Penjamin mempunyai hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai debitor kepada kreditor kecuali tangkisan yang hanya mengenai pribadinya debitor (1847 KUHPerdata). Hak mengajukan tangkisan merupakan hak penjamin yang lahir dari perjanjian penjamian. Tangkisan dapat diajukan misalnya perjanjian terjadi karena kesesatan. d. Hak untuk membagi hutang. Bila dalam perjanjian penjaminan ada

beberapa penjaminan yang mengikatkan diri untuk menjamin satu debitor dan hutang yang sama maka masing-masing penjamin terikat untuk seluruh hutang. Artinya penjamin bertanggung jawab untuk menjamin seluruh hutang (1836 KUHPerdata). Namun undang-undang memberikan bagian masing-masing piutang yang dijamin oleh penjamin (1837 KUHPerdata). Hak ini harus diajukan pertama kali pada saat penjamin menjawab tuntutan kreditor.

e. Hak untuk diberhentikan dari penjamin.Seorang penjamin berhak minta kepada kreditor untuk diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin jika ada alasan untuk itu.Alasan yang bisa digunakan sebagai dasar hukum meminta diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukan sebagai seorang penjamin ialah kemungkinan.Hak subrogasi timbul setelah penjamin mambayar atas hutang debitor.Hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena penjamin telah meneliti bahwa jaminan seperti hak tanggungan, hipotik, fidusia dan lainnya yang menjamin hutang tersebut telah hapus atau tidak ada lagi.Tidak adanya jaminan hipotik, hak tanggungan dikarenakan kreditor membiarkan debitor menjual atau menghilangkan jaminan. Dengan kata lain kreditor tidak mengamankan jaminan-jaminan atas hutang debitor ittu sehingga bila penjamin membayar hutang debitor, penjamin yang demi hukum menggantikan hak kreditor (subrogasi) tidak memperoleh jaminan hipotik, hak tanggungan dan jaminan lainnya (1848 KUHPerdata).

6. Kewajiban penjamin bersifat subsider.

Sifat perjanjian borgtocht seperti yang dijelaskan di atas bersifat accesoir

tetapi dari sudut pemenuhan kewajiban bersifat subsider artinya bahwa kewajiban penjamin untuk memenuhi hutang debitor terjadi manakala debitor tidak memenuhi hutangnya.Bila debitor sendiri telah memenuhi kewajiban utangnya maka penjamin tidak perlu memenuhi kewajiban sebagai seorang penjamin(1820 KUHPerdata).

7. Perjanjian borgtocht bersifat tegas, tidak dipersangkakan.

Perjanjian borgtocht harus dinyatakan secara tegas artinya seorang penjamin harus menyatakan secara tegas dalam perjanjian borgtocht tidak dipersangkakan. Pernyataan secara tegas dari seorang penjamin untuk menjamin utang seseorang debitor adalah untuk melindungi kepentingan penjamin sendiri yaitu apa yang ditanggung atau dijamin oleh penjamin dan berapa besarnya yang ditanggung penjamin. Bagi kreditor tidakperlu ada pernyataan secara tegas tetapi yang penting kreditor menerima perjanjian

borgtocht.


(42)

Seorang yang telah mengikatkan diri sebagai penjamin hutang seorang debitor berkewajiban untuk melunasi hutang debitor manakala debitor tidak memenuhinya. Kewajiban seorang penjamin yang menjamin pelunasan hutang debitor akan berpindah kepada ahliwaris manakala penjamin tersebut meninggal dunia. Ketentuan ini sesuai dengan azas hukum pewarisan yang menetukan bahwa ahliwaris akan mewarisi semua hutang-hutangdari seorang pewaris. Kewajiban penjamin untuk memenuhi atau melunasi hutang debitor termasuk hutangdari seorang pewaris.

Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata.Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437, Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.

Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.


(43)

34

BAB III

WANPRESTASI DALAM JAMINAN PERSEORANGAN

A. Pengertian Wanprestasi

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan50

1. Memberikan Sesuatu

.

Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Maka dari itu wujud prestasi itu berupa :

Dalam Pasal 1235 dinyatakan :“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahannya”.

Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang lahir pada saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana sejak saat tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya menyerahkan barang itu harus tetap merawat dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya memelihara barang kepunyaan sendiri sama halnya dengan merawat barang miliknya yang lain,yang tidak akan diserahkan

50


(44)

kepada orang lain51. Kewajiban merawat dengan baik berlangsung sampai barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus menerimanya. Penyerahan dalam Pasal ini dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis52

2. Berbuat Sesuatu .

Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan perbuatan tertentu53.Dalam melaksanakan prestasi ini debitor harus mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak. Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini berlaku ukuran kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat54

3. Tidak Berbuat Sesuatu

.

Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan55.Jadi wujud prestasi di sini adalah tidak melakukan perbuatan.Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung56 Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan.Kewajiban memenuhi prestasi dari debitor selalui disertai dengan tanggung jawab (liability),

.

51

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 5.

52

J. Satrio,Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung,1999, hal. 84.

53

Abdulkadir Muhammad, Op., cit, hal. 19. 54

Ibid 55

Ibid 56


(45)

artinya debitor mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada kreditor. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta kekayaan debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditor, jaminan semacam ini disebut jaminan umum57

Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitor untuk memenuhinya yang disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus

.

58

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitor maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitor maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut,yakni

.

59

1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan

:

2. Harus mungkin

3. Harus diperbolehkan (halal)

4. Harus ada manfaatnya bagi kreditor

5. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan

Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi (default atau nonfulfiment) ataupun yang disebut juga dengan istilah (breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak

57

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,Bandung, 1990,hal. 17. 58

Ibid 59


(46)

yang bersangkutan. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitor tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan60

Wanprestasi menurut J. Satrio, wanprestasi mempunyai arti bahwa debitortidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dankesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitorwanprestasi

.

61

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad mempunyai arti tidakmemenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatanyang timbul karena perjanjian

.

62

Untuk menetapkan apakah seorang debitor itu telah melakukan wanprestasi dapat diketahui melalui 3 keadaan berikut

.

63

1. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali :

Artinya debitor tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

2. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru

Artinya debitor melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh undang-undang.

3. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya

Artinya debitor memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman wujud dari tidak memenuhi prestasi tersebut ada 3 macam, yaitu64

1. Debitor sama sekali tidak memenuhi perikatan. :

60

Munir Fuady, Op.,Cit, hal 88. 61

J. Satrio, Op.,Cit, hal. 122. 62

Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hal 20 63

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 20. 64


(47)

2. Debitor terlambat memenuhi perikatan.

3. Debitor keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

Berada dalam keadaan lalai adalah peringatan atau pernyataan dari kreditor tentang saat selambat-lambatnya debitor wajib memenuhi prestasi, apabila saat ini dilampauinya maka debitor dinyatakan wanprestasi65

1. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya. .

Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan alasan tersebut antara lain yakni :

Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian 66

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitor) jika ada unsur kesengajaan yang merugikan pada diri debitor yangdapat dipertanggungjawabkan kepadanya, kita katakan debitor sengaja kalau kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitor, sedangkan kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitor seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.Disini debitor belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi sebagai orang yang normal seharusnya tahu

. Dikatakan orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu kesemuanya dengan memperhitungkan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.

65

Ibid 66


(48)

atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya kerugian tersebut,dengan demikian kesalahan disini berkaitan dengan masalah “dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain) dan “dapat menduga” (akan timbulnya kerugian)67

2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure), diluar kemampuan debitor,debitor tidak bersalah.

.

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitor karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan68. Vollmar menyatakan bahwa overmacht

itu hanya dapat timbul dari kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu69

Dalam keadaan memaksa ini debitor tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitor.Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan debitor untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan diatas.Keadaan memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan kerugian total,sedangkan keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitor memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat tetap

.

70

67

Ibid hal. 91. 68

Abdulkadir Muhammad, Op.,Cit, hal. 27. 69

Ibid, hal. 31 70

Ibid,hal. 27.


(1)

79 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab terdahulu mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan perseorangan terhadap debitor wanprestasi pada perjanjian kredit, penulis menyimpulkan hasil pembahasan guna menjawab dan mengidentifikasi permasalahan yang ada diantaranya :

1. Syarat yang paling penting dalam pemberian perjanjian kredit ialah adanya rasa kepercayaan kreditor terhadap debitornya. Rasa percaya ini didasari oleh penilaian atas prinsip “5C”, yaitu character, capacity, capital, condition of

economic, collateral. Jaminan (collateral) menjadi syarat penting dalam

pemberian kredit dalam hal antisipasi apabila debitor lalai terhadap kewajibannya. Jaminan secara umum sering dirasakan kurang cukup dan kurang aman, untuk lebih meyakinkan biasanya kreditor meminta jaminan tambahan berupa jaminan perseorangan. Adapun syarat pemberi personal guarantee yaitu cakap, mempunyai kekayaan yang cukup, berdiam di wilayah Indonesia, mempunyai kepentingan langsung atas usaha yang dibiayai Bank (kebijakan bank), bersedia melepaskan segala hak baik hak utama maupun hak dalam eksepsi dan hak istimewa. Perjanjian penanggungan yang dibuat oleh penjamin dengan kreditor wajib dibuat dalam sebuah akta perjanjian. 2. Akibat hukum bagi penjamin dan kreditor yaitu :

a. Penjaminwajib melunasi utang debitor manakala debitor cidera janji, b. Penjamin dapat meminta kepada kreditor untuk menyita dan melelang


(2)

c. Hak istimewa penjamin menjadi hapus manakala penjamin dengan tegas melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan dalam perjanjian penjaminan.

d. Penjaminan yang meminta kepada kreditor agar menyita dan melelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu wajib menunjukkan harta kekayaan debitor dan wajib menyediakan biaya sita dan lelang.

Akibat hukum apabila penjamin telah membayarkan hutang debitor:

c. Hak untuk menuntut kembali kepada debitor agar debitor membayar kembali apa yang sudah dibayarkan penjamin kepada kreditor.

d. Hak penjamin menggantikan demi hukum semua hak-hak si kreditor kepadadebitor. Penjamin sebagai kreditor baru harus meminta kepada kreditor lamasemua dokumen seperti perjanjian kredit, pengikatan jaminan, dan lainsebagainya.

3. Pada dasarnya jaminan perseorangan sulit untuk dieksekusi. Karena si pemberi jaminan tidak ikut menikmati kredit yang diberikan, dan penjamin tidak mengikatkan harta bendanya dalam perjanjian penanggungan melainkan hanya mempertaruhkan nama baiknya. Oleh karena itu biasanya penjamin tidak mau ikut melunasi kewajiban debitor dengan dalih tidak menikmati kredit yang diberikan bank.


(3)

81

B.Saran

Dari kesimpulan diatas, penulis menambah beberapa saran yang dapat dijadikan masukan antara lain :

1. Setiap pemberian kredit harus diupayakan adanya jaminan tambahan berupa jaminan perseorangan (personal guarantee), agar lebih meyakinkan dan meminimalisir risiko kreditor.

2. Hendaknya pihak debitor dan pihak kreditor melaksanakan seluruh kewajiban dan haknya sehingga seorang guarantor sebagai pihak ketiga juga dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai seorang penjamin secara maksimal.

3. Dalam pengikatan jaminan perorangan, hendaknya penjamin menyerahkan daftar kekayaan yang dimiliki. Sehingga tidak terjadi hambatan pada saat proses gugatan terhadap penjamin serta pelaksanaan sita jaminan terhadap asset jaminan.


(4)

82

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

____________. 2005.Aneka Hukum Bisnis. Alumni. Bandung.

Djumhana, Muhammad. 2002. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. 2002.Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era Global. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Harahap, M. Yahya. 1989. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Gramedia. Jakarta.

Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana. Jakarta. HS, Salim. 2004.Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia.Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

Mantayborbir, S. 2004.Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Penguruasan Piutang Negara. Pustaka Bangsa Press. Jakarta.

Miru, Ahmadi dan Sakka, Pati.2008. Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 1990. Hukum Perikatan.Citra Aditya Bakti. Bandung. ________. 1992. Hukum Perjanjian.Alumni. Bandung.

________. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung; Rahmat, Hasanudin.1998. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di

Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Rusli, Hardyan. 1998. HukumPerjanjian Indonesia dan Common Law. SinarHarapan. Jakarta.

Satrio, J. 1999. HukumPerikatan Pada Umumnya. Alumni. Bandung.

______. 2001.Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.Citra Aditya Bakti. Bandung.

______. 2002.Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Citra Aditya Bakti. Bandung.


(5)

83

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen. 1980. Hukum Jaminan Di Indonesia,

Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan. Liberty. Yogyakarta. Subekti, R. 1995.Aneka Perjanjian.Citra Aditya Bhakti. Bandung.

______. 1996. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan Menurut Hukum Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Suhardi, Gunarto. 2003.Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum. Kanisius. Jakarta.

Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafido Persada. Jakarta.

Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Sutarno. 2005. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Alfabeta. Bandung. Supramono, Gatot. 1996. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis.

Djambatan. Jakarta.

Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika. Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

Herzien Indonesis Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun1998 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;

Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum;

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bagi Bank Umum;

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 1964 tentang Larangan Penyanderaan (gijzeling);


(6)

C. Jurnal

Paula Bawuna. 2013. Analisis Hukum Perbankan Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Sk Pengangkatan Pns. Jurnal Hukum Unsrat. Vol.I/No.1/April-Juni /2013.

D. Thesis

Sri Wardani Legowati. 2005.Efektifitas Jaminan Perseorangan (Borgtocht) Apabila Debitor Wanprestasi Pada Bank Jateng (Cabang Pemuda Semarang). Thesis Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

Retno Gunarti. 2008. Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Sebagai Salah Satu Bentuk Pengikatan Jaminan Kredit Bank Pada Kantor Pusat PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Thesis Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

E. Internet