Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

15

BAB II JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata Burgerlijk Wetboek mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351.Dimana ketentuan dalam Pasal 1313 menyebutkanbahwa : “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut Mariam Darus Badrulzaman, defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.Namun, istimewa sifatnya karena dikuasi oleh ketentuan-ketentuan tersendiri 17 Menurut Gatot Supramono, perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus yang dapat dipersamakan dengan perjanjian pinjam mengganti sebagaimana diatur dalam KUH Perdata . 18 Agar suatu perjanjian dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Persyaratan yuridis agar suatu perjanjian dianggap sah sebagai berikut . 19 1. Syarat sah yang objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata : Syarat sah yang dimaksud terdiri dari : a. Suatu hal tertentu 17 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18. 18 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 451 19 Munir Fuady,Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.14 Suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu perjanjian haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. b. Kausa yang diperbolehkan Sedangkan dengan kausa yang diperbolehkan dimaksudkan adalah bahwa suatu perjanjian haruslah dibuat dengan maksud atau alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat perjanjian untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Konsekuensi hukum jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi adalah bahwa kontrak tersebut tidak sah dan batal demi hokum null and void. 2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata ke dalam syarat sah suatu perjanjian yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata termasuk hal-hal sebagai berikut : a. Adanya kesepakatan Dengan syarat kesepakatan dimaksudkan adalah bahwa agar suatu perjanjain dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesusuaian pendapat tentang apa yang di atur oleh perjanjian tersebut. b. Kecakapan Sedangkan syarat kecakapan maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat perjanjian tersebut. Kecakapan baru dianggap sah oleh hukum manakala perjanjian dilakukan oleh orang-orang sebagai berikut: 1 Orang yang sudah dewasa 2 Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan 3 Wanita yang bersuami syarat ini sudah tidak berlaku lagi 4 Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Konsekuensi yuridis dari tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif ini adalah bahwa perjanjian tersebut “dapat dibatalkan” voiable, vernietigebaar oleh salah satu pihak yang berpentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan namun perjanjian tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu perjanjian yang sah. 3. Syarat sah yang umum di luar Pasal 1320 KUH Perdata Ada beberapa syarat untuk perjanjian yang berlaku umum tetapi di atur di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut: a. Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik b. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku c. Perjanjian harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan d. Perjanjian tidak boleh melanggar kepentingan umum. Apabila perjanjian dilakukan dengan melanggar salah satu dari empat prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak sah dan batal demi hukum null and void. 4. Syarat sah yang khusus Di samping syarat-syarat tersebut di atas, maka suatu perjanjian haruslah memenuhi beberapa syarat khusus yang ditujukan untuk perjanjian- perjanjian khusus. Syarat-syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut: a. Syarat tertulis untuk perjanjian tersebut b. Syarat akta notaris untuk perjanjian tertentu c. Syarat akta pejabat tertentu selain notaris untuk perjanjian tertentu d. Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk perjanjian tertentu. Suatu perjanjian diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka unsur-unsur yang ada di sana dapat diklasifikasikan sebagai berikut 20 a. Unsur Esensialia : Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada. Misalnya dalam perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil. b. Unsur Naturalia Adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang- undang diatur dengan hukum yang mengatur atau menambah regelend atau aanvullend recht. Misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan Pasal 1476 KUH Perdata dan untuk menjaminvrijwaren Pasal 1491KUH Perdata dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. c. Unsur Accidentalia Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang- undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan. Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa istilah kredit memiliki arti yang khusus, yaitu meminjamkan “uang”, Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan menunjuk “perjanjian pinjam-meminjam” sebagai acuan dari perjanjian kredit. Perjanjian pinjam-meminjam itu diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754 - Pasal 1769 tentang pinjam-meminjam. Pasal 1754 KUH Perdata mengatakan bahwa :“Pinjaman-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” 20 J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,hal. 67-68. Pernyataan diatas mengandung kebenaran karena meskipun dalam Pasal- Pasal KUHPerdata tersebut juga terdapat ketentuan tentang pinjam-meminjam barang yang dipergunakan habis, tetapi tidak ada alasan pembenar bahwa Pasal- Pasal, bahkan keseluruhan Bab XIII Buku Ketiga KUHPerdata itu, tidak berlaku bagi pinjam-meminjam uang dari bank. Hal ini dilandasi oleh argumentasi sebagai berikut 21 1. Uang menurut ilmu ekonomi moneter jelas dapat berfungsi sebagai barang yang dapat diperjualbelikan dan dipinjamkan dalam berbagai transaksi pasar uang. : 2. Uang juga dapat dipergunakan habis oleh peminjam meskipun untuk itu menjadi kewajiban peminjam untuk mengembalikan pokok beserta bunganya pada saat jatuh tempo baik dalam valuta rupiah maupun valuta asing senilai hutang dan bunganya. 3. Pasal-Pasal KUHPerdata tentang bunga dan syarat-syarat pengembalian kiranya masih dapat diberlakukan bagi pinjam-meminjam uang dengan bank, sebab kalau tidak tentu akan terjadi kekosongan hukum. 4. Masalah kekhususan persyaratan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan bank bukan merupakan alasan yang cukup kuat untuk tidak memberlakukan ketentuan KUHPerdata Indonesia. Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” artinya percaya. Kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap perikatan, yaitu seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak, kesepakatan pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu tertentu. Pengertian di atas menunjukkan bahwa kredit mempunyai arti yang luas, yang mempunyai objek benda 22 Menurut Munir Fuady yang dimaksudkan dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam antara pihak kreditor bank, perusahaan atau perorangan dengan pihak debitor peminjam, yang mewajibkan pihak debitor melunasi . 21 Gunarto Suhardi, Op.,Cit, hal.82-83 22 Mariam Darus Badrulzaman, Op.,Cit, hal. 37 hutangnya dalam jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditor pemberi pinjaman diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung 23 Perjanjian kredit merupakan perjanjian tidak bernama onveniemdeovereenkomst karena di dalam KUH Perdata belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus baik di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia maupun dalam Undang-Undang Tentang Perbankan. Ketentuan yang ada hanya tentang pengertian kredit, yang dapat disebutkan secara jelas dan tegas di dalam Pasal 1 angka 12, Pasal 6 dan Pasal 13 Undang-Undang Tentang . Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berkaitan dengan pengertian kredit di atas, menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia No. 72PBI2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 23 Munir Fuady, Op.,Cit, hal. 111 Perbankan, kredit sebagai salah satu jenis usaha bank, Pasal 8 tentang jaminan dalam pemberian kredit, Pasal 11 ayat 1 tentang batas pemberian kredit, tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana bentuk, isi dan ketentuan Pasal yang terdapat dalam perjanjian kredit yang dibuat antara kreditorbank dengan para nasabah debitor 24 Adapun isi dan bentuk surat perjanjian atau akad kredit tersebut, Undang- Undang tidak memberikan petunjuk khusus, SK Direksi Bank Indonesia No 27162KEPDIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 277UPPB masing- masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi umum ditegaskan bahwa setiap akad kredit harus tertulis baik di bawah tangan ataupun di muka notaris. Pembuatan akta perjanjian kredit di muka notaris biasanya diperlukan sekaligus dalam upaya mengikat barang jaminan . 25 Perjanjian kredit bank pada umumnya merupakan perjanjian baku standart contract, dimana isi atau ketentuan Pasal perjanjian kredit tersebut telah membaku dan hanya dituangkan dalam bentuk formulir blanko, tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah debitor tinggal membubuhkan tanda tangannya, dan bersedia menerima seluruh isi perjanjian tersebut, dan kreditorbank tidak memberikan kesempatan lagi kepada calon nasabah debitor untuk membicarakan lebih lanjut seluruh isi ketentuan Pasal yang telah ditentukan oleh bank. Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitor . 24 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, dalam S. Mantayborbir, Aneka Hukum PerjanjianSekitar Penguruasan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 80. 25 Gunarto Suhardi,Op.,Cit, hal.83 sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan ditetapkan oleh pihak kreditorbank, karena jika tidak demikian, maka calon nasabah debitor tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksudkan 26

B. Jaminan dalam KUH Perdata dan Kredit Perbankan