56
memperhitungkan potensi sumber daya yang ada diwilayah tersebut maka kedepan akan mempersulit kondisi kehidupan masyarakat di wilayah tersebut serta tidak akan
menjamin pengembangan daerah ke arah yang lebih baik, bahkan bisa melemahkan ketahanan wilayah, karena tingginya beban dan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri-RI pada tahun 2005 menunjukkan bahwa penerapan dan pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah
otonomi daerah baru pemekaran daerah belum sesuai dengan tujuan utama tersebut Depdagri, 2006: 122.
Menteri Dalam Negeri ad interim Widodo AS, pada peresmian Kabupaten Empat Lawang di Palembang, tanggal 20 April 2007 menyatakan bahwa banyak
pembentukan daerah pemekaran yang belum berjalan sesuai tujuan awal. Hal ini tercermin dari adanya daerah pemekaran yang sulit berkembang dan menjadi beban
keuangan negara. Hal ini tentu menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan elite-elite politik di daerah dalam mengangkat ide-ide pemekaran.
Oleh karenanya, peranan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD bersama intansi pemerintah yang berhubungan dengan proses pemekaran daerah
sangat diharapkan kejelian dan ketegasannya dalam merekomendasikan layak atau tidaknya suatu daerah provinsi, kabupatenkota dimekarkan.
2.2 Syarat dan Prosedur Administrasi Pemekaran Wilayah
Pasal 5 Ayat 1-5 UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan : 1 pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif,
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
57
teknis, dan fisik kewilayaan, 2 syarat adminsitratif sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupatenkota dan
bupatiwalikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, 3 syarat
administratif sebaaimana dimaksud pada ayat 1 untuk kabupatenkota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupatenkota dan bupatiwalikota yang bersangkutan,
persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, 4 syarat teknis sebagaimana dimaksud pda ayat 1 meliputi faktor yang menjadi
dasar pemebentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, 5 syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi paling sedikit lima
Kabupatenkota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan Kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota,
lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Berdasarkan Pasal 5 UU 32 Tahun 2004 tersebut maka pada Pasal 3 PP No.
129 tahun 2000 disebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kemampuan Ekonomi
b. Potensi Daerah
c. Sosial Budaya
d. Sosial Politik
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
58
e. Jumlah Penduduk
f. Luas Daerah
g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Selanjutnya, Pasal 16 PP No. 1292000 menyatakan bahwa prosedur pembentukanpemekaran daerah adalah sebagai berikut:
a. Ada kemauan politik dari pemerintahan daerah dan masyarakat yang
bersangkutan. b.
Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah.
c. Usul pembentukan provinsi disampaikan kepada pemerintah cq Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD provinsi dan DPRD kabupatenkota yang
berada dalam wilayah provinsi dimaksud, yang dituangkan dalam keputusan DPRD.
d. Usul pembentukan kabupatenkota disampaikan kepada pemerintahan cq
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD kabupatenkota
serta persetujuan DPRD provinsi yang dituangkan dalam keputusan DPRD. e.
Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan tim untuk
melakukan observasi ke daerah-daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
59
f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbagan Otonomi
Daerah dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan
pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. h.
Berdasarkan saran dan pendapat, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan suatu daerah yang diputuskan dalam rapat
anggota dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. i.
Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan daerah, Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan daerah tersebut beserta Rancangan
Pembentukan Daerah kepada Presiden. j.
Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-Undangan pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat
persetujuan. Tri Ratnawati 2006:342 mengkritik pasal 16 PP No. 1292000 tentang
prosedur panjang dan berbelit yang menunjukkan pendekatan elitis-birokratis dalam kebijakan pemekaran wilayah dan cenderung memanjinalkan partisipasi publik
sehingga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang misalnya oleh oknum-oknum “broker” atau “calo” yang menghubungkan antara daerah dengan pusat. Sebaiknya
pemekaran wilayah dilakukan dengan persetujuan oleh rakyat secara langsung dengan
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
60
melalui semacam “referendum local” untuk menentukan pro setuju atau anti menentang pemekaran wilayah. Institusi-institusi birokrasi dan politik di tingkat
lokal dan pusat presiden dan DPR cukup menyetujuimengesahkan pilihan rakyat saja. sehingga DPOD harus dihapuskan karena sudah ada lembaga yang lebih
legitimasinya, yaitu DPD Dewan Perwakilan Daerah. Mengenai keberadaan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD ini,
Indra J. Piliang 2003: 38 menyatakan bahwa sebagai konsekuensi kehadiran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD, maka salah satu lembaga yang perlu
dipikirkan untuk dibubarkan adalah Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD. Hal ini didasarkan pada hasil amandemen UUD 1945 yang pada Pasal 22 b 1
menegaskan bahwa salah satu tugas DPD adalah mengajukan rancangan undang- undang tentang otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah. Dengan demikian peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD sesungguhnya telah beralih kepada DPD.
Selain keberadaan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD dan DPD tersebut di atas, syarat-syarat tentang pemekaran ini cukup jelas diatur dalam UU
Otonomi Daerah Pasal 5 Ayat 4 UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa syarat teknis yang menjadi dasar pembentukan daerah mencakup:
a. Faktor kemampuan ekonomi
b. Potensi daerah
c. Sosial budaya
d. Sosial politik
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
61
e. Kependudukan
f. Luas daerah
g. Pertahanan dan keamanan
h. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
Selanjutnya, Bab V Pasal 16 Ayat 1 poin a PP No.129 tahun 2000 menyatakan bahwa dalam aspek politik, suatu pemekaran harus ada kemauan politik
dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kemauan politik adalah terdapatnya
pernyataan-pernyataan masyarakat melalui LSM-LSM, organisasi politik dan lain- lainnya, pernyataan gubernurbupatiwalikota bersangkutan yang dituangkan dalam
bentuk persetujuan tertulis oleh kepala daerah dan DPRD setempat. Indikator sosial politik di sini dapat dilihat dari dua hal Pertama, tingkat partisipasi masyarakat dalam
berpolitik, rasio penduduk yang ikut pemilu terhadap penduduk yang mempunyai hak pilih. Kedua, jumlah organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa keinginan untuk melakukan pemekaran suatu daerah telah dilindungi dan diatur oleh peraturan
perundang-undangan dengan sejumlah tujuan, syarat-syarat dan tahapanprosedur yang harus dilalui. Gaung pemekaran menjadi fenomenal, karena banyak kawasan di
Indonesia seakan berlomba untuk melakukan pemekaran seperti di Jawa Barat, Papua, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya, baik
pemekaran kabupatenkota maupun provinsi seperti lahirnya Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Gorontalo, Provinsi Banten, dan sebagainya.
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
62
Namun bukan berarti bahwa semua pemekaran wilayah di Indonesia bebas dari persoalan dan konflik setelah pemekaran. Data berikut menunjukkan beberapa
contoh konflik antar daerah pascapemekaran wilayah.
Tabel. 1 Konflik Antar Daerah Pascapemekaran
Daerah Pemekaran Jenis Konflik Pihak
yang bersengketa
Kota Tasikmalaya Batas-batas wilayah
Perebutan Kewenangan Perebutan aset
lemahnya pelayanan publik Pemkot Tasikmalaya,
Pemkab Tasikmalaya
Kabupaten Banggai Kepulauan
Pemindahan ibukota Masyarakat Kep. Banggai
Kota Salatiga Wacana pemekaran dengan
mengambil sebagian desa Pemkot Salatiga,
Pemkab Semarang Kabupaten Mamasa
Tapal batas Masyarakat di tapal batas
Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten
Mamasa Provinsi Sulawesi
Selatan Perebutan aset
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Irian Jaya Barat
Pro-kontra pemekeran Masyarakat pulau Papua
Sumber : Majalah Ondihon, Mei 2007 hal. 14. Menyangkut Pro Kontra Pemekaran Papua Jurnal Penelitian Politik Vol. 3,
2006: 32, saat pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Barat tanggal 6 Februari 2003 oleh Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat di Manokwari, yang dihadiri oleh kurang lebih 15
ribu orang dari Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fakfak, berlangsung secara damai
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
63
dan aman. Tidak ada gejolak, konflik, dan penentangan. Semuanya berjalan lancar dan aman. Namun, suasana serupa tidak terjadi saat pendeklarasian Provinsi Irian
Jaya Tengah yang dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2003. Provinsi Irian Jaya Tengah dideklarasikan di Timika oleh keenam bupati dan ketua DPRD yang ada
diwilayah provinsi itu. Saat pendeklarasian ternyata diwarnai oleh aksi penolakan sekelompok pendukung dan penentang pemekaran provinsi. Bentrokan antara yang
pro dan kontra ini membawa korban meninggal dunia sebanyak empat orang, yaitu dua orang dari pihak penolak dan dua orang dari pihak pendukung.
Dalam konteks konflik, L.R.Pondy Harun,2006:219 menyatakan bahwa ada beberapa elemen dasar yang memicu terjadinya konflik, yakni:
a. Kelangkaan sumberdaya.
b. Sentimen pribadi.
c. Perbedaan kebijaksanaan.
d. Persepsi tentang kondisi konflik.
e. Perilaku konflik sebagai produk dari perbedaan sifat pasif dan agresif, sifat
positif dengan sifat negatif. Selanjutnya, Leopold Van Wiese dan Howard Backer Harun,2006: 220
menyatakan bahwa yang menjadi akar suatu konflik adalah: a.
Perbedaan orang perorangan yang terkait dengan pendidikan dan perasaan.
b. Perbedaan kebudayaan yang terkait dengan:
1 Pola-pola kebudayaan.
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
64
2 Pembentukan dan perkembangan kepribadian.
3 Pola-pola pendirian.
4 Perbedaan kepentingan, dan
5 Perubahan sosial.
Melihat kenyataan di atas maka dapat dikatakan bahwa untuk membentuk suatu daerah otonom baru sebagai hasil dari pemekaran wilayah sangat memerlukan
kajian mendalam, atas berbagai aspek sehingga kelak daerah yang dimekarkan tesebut tidak menimbulkan masalah konflik horizontal di daerah, yang dapat
menggangu keamanan dan ketertiban daerah, bangsa dan negara secara keseluruhan. Bahkan ketua DPD Ginanjar Kartasasmita menyatakan bahwa karena belum adanya
grand design tentang jumlah provinsi, kabupaten dan kota yang diperlukan Indonesia serta banyaknya konflik yang terjadi akibat pemekaran maka pemerintah perlu
melakukanmengadakan moratorium usulan pemekaran baru sambil menunggu adanya grand design tersebut ondihon, 207:13.
Di Provinsi Sumatera Utara selama era otonomi daerah beberapa kabupaten telah menjadi daerah otonomi baru, seperti Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten
Mandailing Natal, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Nias Selatan, Kota Padang Sidempuan, dan lain-lain. Sampai sejauh ini
masih ada beberapa lagi yang sedang diusulkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk dijadikan daerah otonomi baru.
Salah satu rencana pembentukan daerah yang sedang hangat pembahasannya saat ini adalah rencana pembentukan Provinsi Tapanuli. Dalam rencana tersebut
Analisman Zalukhu : Kajian Dimensi Sosial Politik Terhadap Rencana Pembentukan Provinsi Tapanuli di Pulau Nias Studi Kompratif pada DPRD Kabupaten Nias dan DPRD Kabupaten Nias Selatan.
USU e-Repository © 2008.
65
disebutkan bahwa beberapa kabupatenkota telah setuju untuk membentuk provinsi baru ini di Sumatera Utara dengan mengusung beberapa argumentasi awal, seperti
eks Keresidenan Tapanuli, yang merupakan satu-satunya keresidenan di Pulau Sumatera yang belum menjadi provinsi, kesenjangan pembangunan di kawasan
Pantai Barat dengan Pantai Timur di Sumatera Utara, serta percepatan terwujudnya kesejahteraan rakyat.
2.3 Sejarah Keresidenan Tapanuli