Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Insting Mati

5.5 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Insting Mati

Dalam keadaan yang sangat basah kuyup oleh hujan, akhirnya Alif berhasil sampai ke kosnya, tiba-tiba tanggannya kaku, seluruh tubuh lemas tak berdaya, dan ia pun rebah ke lantai dengan badan yang nyeri, lalu panas, lalu mengigil, serta pandangannya yang mulai berkunang-kunang, ia ingin berteriak tapi tidak bisa mengeluarkan suara apapun, dan ia pun pingsan. Ketika Alif terbangun ia sudah berada di rumah sakit, dan dokter memponisnya dengan penyakit tifus, dan ia diharuskan untuk beristirahat total sampai benar-benar sembuh. Alif lebih memilih untuk beristirahat di rumah daripada di rumah sakit, mengingat ia sangat kekurangan uang dan tidak ada dana sama sekali untuk membayar biaya tersebut. Alif yang terbaring lemas dan hanya di rawat oleh teman nya bergantian, serta teman-temannya yang datang menjenguk secara bergantian. Hal tersebut sedikit mengobati rasa sakit yang menggrogoti fisiknya. Dan ia merasa benar-benar sendiri setelah malam tiba. “Kasurku yang tipis terasa semakin pipih karena terus ditindas punggungku selama berminggu-minggu. Duniaku rasanya menciut hanya menjadi sepotong kasur, dan langitku hanya flapon kamar. Sempit dan muram. Ingin rasanya lari dan membebaskan diri dari kemuraman yang mencekik ini. Tapi setiap kepal semangatku seperti telah habis disedot kemalangan setelah kemalangan.” RTW, 2011:128 Apa yang dirasakan oleh Alif adalah hilangnya semangat untuk terus berjuang dalam hidup, pasrah menerima nasib yang terus menghantamnya secara bertubi-tubi, kemalangan demi kemalangan terus menindas nasibnya hingga ke lubuk hatinya. “Bagaimana aku akan terus mengejar impian menyelesaikan kuliah? Uang kuliah belum mampu aku bayar, biaya hidup dan kos tidak punya. Bahkan Universitas Sumatera Utara semua biaya perawatan di rumah sakit dan biaya makanku bulan ini adalah hasil berutangku kepada Randai. Hidupku rasanya seperti prajurit yang telah kalah perang, pedang sudah lama patah, baju zirah telah rapuh dilahap karat.” RTW, 2011:128 Dari kedua kutipan di atas terlihat jelas bahwa Alif ingin melepaskan kehidupannya dari segala macam jenis kemalangan yang beruntun yang ia hadapi. Semangatnya untuk terus berjuang dalam hidup luntur, ketidak percayaan dirinya untuk menjadi pengganti kepala keluarga setelah kematian sang Ayah juga ikut pudar. Alif mengalami depresi yang mengakibatkan psikologinya benar-benar terganggu dengan terus meratapi kehidupan yang sangat sulit yang ia hadapi. Satu sisi ia ingin kembali ke kampung halamannya dan melupakan segala cita-citanya, namun di lain sisi, ibunya tidak mengijinkan sebelum pendidikannya selesai. Setelah kematian sang Ayah, Alif kembali ke Bandung. Kedatangan Alif disambut oleh teman-temannya yang mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya orang tuanya. Alif merasa terharu karena teman-teman dekatnya lah yang menghibur dirinya dengan canda dan celoteh mereka, walaupun Alif menyadari jauh dari dasar hatinya tetap terasa lowong dan sepi. Cobaan datang bertubi-tubi dimulai dari kematian Ayahnya, kehabisan uang saku, dan ujian semester yang mengintai. Alif yang selalu tegar dalam menghadapi segala masalah akhirnya mengalami keputusasaan melawan situasi dan kecamuk yang ada dipikirannya. Yang membuat rentetan masalah ini semakin ruwet adalah Alif yang memikirkan Amaknya yang membanting tulang sendiri, menghidupi adik- adkinya termasuk juga ia sendiri. Alif yang merasa tidak berguna dan berbakti Universitas Sumatera Utara sebagai anak sulung dan satu-satunya laki-laki sebagai pengganti tulang punggung Ayahnya tidak bisa berbuat apapun karena nasib buruk yang berpihak padanya. “Enam bulan sejak Ayah meninggal, aku sudah tidak tahan lagi dengan perang batin ini. Aku harus mengambil keputusan sekarang juga. Aku harus berhenti kuliah. Drop out. Menguburkan impianku kuliah dan pulang ke kampung, membela amak dan adik-adikku. Aku insaf, nasib telah telah menjatuhkan impian-impianku yang tinggi.” RTW, 2011:104 Kutipan diatas sangat jelas bahwasannya Alif yang dirundung kegilisahan sehingga ia bertekad untuk mengubur impiannya dan melepaskan situasi yang sangat tidak berpihak kepadanya dengan kembali ke kampung dan membantu orang tuanya untuk menghidupi adik-adkinya walaupun disisi lain Alif sudah tidak punya keinginan untuk melanjutkan tekadnya untuk kuliah dan mengejar cita-citanya dan ia harus berpihak pada nasib yang buruk yang selalu senantiasa menemaninya.

5.6 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Kecemasan