Rasionalisasi Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama untuk Mengatasi Konflik Batin

ingin mengejar mimpi-mimpinya dengan menamatkan kuliah tapi dilain sisi Alif ragu dengan biaya yang akan ditnggung oleh Ibunya. “Selama perjalananku dari Maninjau ke Bandung hatiku buncah tidak tentu. Aku coba untuk menghibur diri dengan merogoh kantong ranselku dan mengeluarkan selembar foto yang mengilat. Mungkinsudah waktunya aku disapih, berhenti meminta uang ke Amak. Aku genggam foto keluarga erat-erat, sampai hampir remuk. Aku berjanji pada diri sendiri akan membiayai diri sendiri selama di Bandung. Bukan cuma membiayai diri sendiri, tapi kalau bisa juga mengirimi Amak uang setiap bulan. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi ada sebersit kepercayaan tumbuh di pedalaman hatiku kalau aku mau bersungguh- sungguh, insya Allah bisa. RTW, 2011:100-101 Kutipan diatas merepresentasikan pikiran-pikiran Alif Fikri yang mengalami kecemasan, keraguan serta ketakutan. Nasehat dari Ibunya untuk terus melanjutkan kuliahnya membuat Alif mengalami ketegangan. Untuk menghapuskan atau menekan persaan cemas tersebut Alif berusaha akan mencari penghasilan ia sendiri untuk membiayai hidupnya selama menyelasaikan kuliahnya di Bandung, dan ia bertekad akan mengirimkan uang ke Ibunya setiap bulannya. Walaupun dilain sisi ia sedikit khawatir tetapi dengan ia bersungguh-sungguh untuk membantu Ibunya, ia yakin bisa.

5.7.4 Rasionalisasi

Alif Fikri yang berkeinginan keras untuk bisa meneruskan sekolah nya ke SMU akhirnya harus menelan kekecewaan karena Ibunya tidak ingin ia meneruskan ke SMU tetapi ke Madrasyah. Alif yang merasa keinginanya telah ditentang oleh Ibunya mengurung diri dalam kamarnya selama tiga hari, ini merupakan bentuk kekecewaan Alif yang terbesar yaitu ia tidak diizinkan melanjutkan sekolahnya dan ia Universitas Sumatera Utara berdebat sengit dengan sang Ibu. Alif yang selama ini selalu mendengar, patuh, tidak pernah melawan perintah Ibunya merasa sangat berkecil hati karena apa yang menjadi mimpinya ditentang oleh Ibunya. “Bagiku, tiga tahun di madrasyah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan ilmu dasar agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. Aku ingn menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu hadits. Aku ingin suaruku didengar di depan civas akademika, atau dewan gubernur atau rapat manajer, bukan hanya berceramah di mimbar surau dikampungku. Bagaimana mungkin aku bisa menggapai berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk madrasah lagi?” “Tap Amak,ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.” “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.”NLM, 2009:8-9 Dari kutipan diatas terlihat betapa Alif Fikri mengalami kekecewaan karena apa yang menjadi kehendak dan cita-citanya untuk masuk ke SMU ditentang oleh Ibunya. Dengan bentuk protes untuk rasa kekecawaan tersebut Alif mencoba untuk mengurung diri dalam kamar, dengan harapan Ibunya akan berubah pikiran dan menuruti apa yang menjadi kemauan Alif Fikir. Hari berganti hari, Ibunya tetap tidak menunjukkan tanda-tanda untuk merubah keputusan tersebut, malah yang ada bujukan untuk tidak mengurung diri dalam kamarnya dan mencoba untuk berkomunikasi dengan Alif dari balik daun pintu. Alif yang mendapat surat dari pamannya yang kuliah di Mesir menceritakan kalau ada salah satu sekolah yang berada di Jawa Timur yaitu Pondok Madani, dengan para santrinya yang disiplin, fasih berbahasa Arab dan Inggris. Alif terus Universitas Sumatera Utara mengulang membaca surat dari pamannya. Sampai akhirnya ia membuat keputusan untuk bersekolah di Jawa Timur. Ia menyadari bahwa sekolah tersebut masih sekolah agama tetapi bedanya ia akan merantau jauh dan tidak bersekolah di madrasayah dikampung halamannya. “Aku merenung sejenak membaca surat ini. Aku ulang-ulang membaca usul ini dengan suara berbisik. Usul ini sama saja dengan masuk sekolah agama juga. Bedanya, merantau jauh ke Jawa dan mempelajari bahasa dunia cukup menarik hatiku. Aku berpikir-pikir, kalau akhirnya aku tetap harus masuk sekolah agama, aku tidak mau madrasyah di Sumatera Barat. Sekalian saja masuk pondok di Jawa yang jauh dari keluarga. Ya betul, Pondok Madani bisa jadi jalan keluar ketidakjelasan ini.” NLM, 2009:12 Kutipan diatas sangat jelas menunjukkan, ada faktor yang bisa diterima oleh akal untuk mengatasi rasa kekecewaan yang dialami oleh Alif Fikri. Alif yang ditentang oleh ibunya untuk masuk ke SMU dan tetap di madrasyah, akhirnya mengambil keputusan untuk tetap bersekolah di bidang agama tetapi jauh di Jawa. Rasionalisasi tujuan pertama adalah Alif berhasil mengurangi kekecewaan ketika ia gagal memasuki SMU karena ditentang oleh Ibunya dan yang kedua Alif berhasil mengatasi kekecewaanya dengan bersekolah tetap dibidang agama tetapi ia tertarik karena jauh merantau di pulau Jawa.

5.7.5 Agresi