Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Insting Hidup

bagus, dan Alif yang memperbaiki tulisannya, mengantar sampai berulang-ulang sampai tulisan tersebut berhasil merebut hati Bang Togar.

5.4 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Insting Hidup

Libur semester tiba, dan Alif yang merasa dirinya pada saat itu butuh liburan karena penatnya perkuliahan, hidup, kematian ayahnya, terjepit karena hutang, dan bagaimana bisa bertahan hidup selama Alif di Bandung. Kondisi keuangan Alif yang begitu minim membuat ia berpikir keras untuk menghidupi dirinya seperti biaya kos, makan, kuliah, dan mengirim sedikit uang untuk keperluan ibu dan kedua adiknya. Tawaran dari teman-teman Alif terpaksa harus ia tolak secara halus karena ia berpikir waktu liburan adalah waktu yang tepat untuk ia menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Dagangan Alif berupa parfum, mukena dan peralatan lainnya seperti odol, pembersih kamar mandi dan lain-lain selalu ia jajakan ke ibu-ibu yang tinggal di komplek mewah. Sore itu adalah hari yang tidak beruntung untuk Alif, karena hampir semua dagangannya tidak ada yang laku. Ia sudah menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu, tetapi usaha tersebut masih belum membuahkan hasil yang baik untuk Alif. Tanpa ia sadari ia sudah berada di ujung komplek perumahan tersebut, dengan satu jalan utama yang ia harus lewati dengan menembus semak belukar. Langit juga tidak begitu bersahabat pada sore itu, Alif terpaksa berteduh karena hujan yang begitu lebat. Alif yang sedang menunggu hujan berhenti, malah bernasib sial, ia berjumpa dengan 2 orang perompak yang menjarah semua barang dagangannya dan uang. Perhatikan kutipan berikut dari insting hidup. Universitas Sumatera Utara “…tiba-tiba napasku sesak. Tulang tangannya yang kurus menjepit kerongkonganku dari belakang. Aku ingin meronta tapi urung karena sebuah benda dngin melingkari dan menekan urat leherku. “Mau leher maneh ditebas celurit atau…?” ancamnya. Aku diam saja antara takut dan bingung. Dengan kasar dia menekan celurit lebih keras lagi. Aku terpekik ketika rasa perih seperti teriris menyentuh kulit leherku. Nyaliku benar-benar ciut. Ya Allah, lindungi aku.” “Tadi aku sempat mengepal-ngepalkan tinjuku. Ingin rasanya aku hantamkan sekeras mungkin kepada dua pembegal jahanam ini. Melabrak dengan pukulan silatku yang mungkin sudah karatan karena tidak pernah diulang. Tapi aku melawan si cambang lebat dan si kurus sekaligus? Rasanya aku tidak akan mampu. Aku bukan Said yang jago silat. Celurit yang menempel di leherku terlalu tajam. Sedangkan badanku entah kenapa terasa sangat lemas sejak siang tadi. Bukan saat yang tepat untuk menyambung nyawa. Apalah arti uang modalku disbanding selembar nyawa ini.” RTW, 2011:121-122 Perasaan takut sekaligus ingin melawan untuk tetap mempertahankan hidup, perang bathin serta ketakutan yang tak bisa dihapuskan. Kondisi seperti ini tetap menjadi dilema. Di satu sisi, Alif ingin mempertahankan hidupnya dengan melawan kedua pembegal tersebut karena mencoba untuk mengambil barang-barang milik Alif, namun di sisi lain ia merasa cemas, ketakutan dan khawatir kalau dia melawan hidupnya akan berakhir di tangan kedua perampok tersebut. Namun naluri untuk bertahan hidupnya lebih besar sehingga ia hanya diam dan tidak melawan terhadap aksi yang dilakukan oleh ke dua orang tersebut. Ia hanya bisa menyaksikan barang-barang yang jarah serta uang yang diambil dari dompetnya. Alif berpikir uang dan harta bisa dicari tetapi nyawa tidak akan bisa didapat dimanapun. Universitas Sumatera Utara

5.5 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Insting Mati