Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Kecemasan

sebagai anak sulung dan satu-satunya laki-laki sebagai pengganti tulang punggung Ayahnya tidak bisa berbuat apapun karena nasib buruk yang berpihak padanya. “Enam bulan sejak Ayah meninggal, aku sudah tidak tahan lagi dengan perang batin ini. Aku harus mengambil keputusan sekarang juga. Aku harus berhenti kuliah. Drop out. Menguburkan impianku kuliah dan pulang ke kampung, membela amak dan adik-adikku. Aku insaf, nasib telah telah menjatuhkan impian-impianku yang tinggi.” RTW, 2011:104 Kutipan diatas sangat jelas bahwasannya Alif yang dirundung kegilisahan sehingga ia bertekad untuk mengubur impiannya dan melepaskan situasi yang sangat tidak berpihak kepadanya dengan kembali ke kampung dan membantu orang tuanya untuk menghidupi adik-adkinya walaupun disisi lain Alif sudah tidak punya keinginan untuk melanjutkan tekadnya untuk kuliah dan mengejar cita-citanya dan ia harus berpihak pada nasib yang buruk yang selalu senantiasa menemaninya.

5.6 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Kecemasan

Setelah Alif mendapatkan surat dari Etek Gindo yang bersekolah di Mesir, ia sangat tertarik untuk mencoba ke Pondok pesantren yang berada di Jawa Timur. Alif berpikir dari pada ia harus bersekolah di Madrasah Aliyah lebih baik ia pergi jauh dan merantau ke pelosok Ponorogo untuk melanjutkan ilmu agamanya. Sontak orang tua Alif terkejut mendengar apa yang menjadi keputusan Alif untuk melanjutkan ke pondok. Orang tuanya menanyakan hal yang sama, apakah ia sudah siap jauh dari kampung, dari keluarga, dari teman-temannya dan merantau ke pulau lain. Alif dengan tegasnya menjawab kalau ia sudah siap dengan keputusan yang ia ambil, bahkan di depan orang tuanya Alif tidak sabar untuk pergi ke pondok Universitas Sumatera Utara tersebut. Dengan berat hati orang tua Alif memberikan izin atas keputusan yang diambilnya. Alif bukannya malah senang dengan keputusan yang ia ambil, awalnya ia berpikir dengan memberikan pilihan seperti ini ia akan disekolahkan di SMA tetapi malah sebaliknya. Dengan sedikit keraguan yang menetas di hatinya, ia coba untuk menegarkan semangatnya, namun tetap saja tidak bisa, karena bagi Alif ini baru pertama kalinya untuk ia akan merantau jauh ke tanah Jawa dan jauh dari keluarga. Dan hal tersebut cepat menyebar ke semua sanak famili dan handai tolan. “Tapi semakin jauh bus berlari, semakin gelisah haruku. Jantungku berdetak aneh, menyadari aku sekarang benar-benar meninggalkan kampung halamanku. Bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yang tepat? Bagaimana kalau Pondok Madani itu seperti penjara? Bagaimana kalau gambaran Pondok Madani dari Pak Etek Gindo itu salah? Pertanyaan demi pertanyaan bergumpal-gumpal menyumbat di kepalaku.” NLM, 2009:17 Alif yang akan mengikuti ujian UMPTN benar-benar harus belajar keras. Tumpukan buku yang menjadi bukit harus dilahapnya demi kelulusannya agar ia bisa memasuki perguruan tinggi yang diinginkannya. Hari sudah semakin dekat, tidak sedikit teman-teman Alif yang meragukan akan kelulusannya, tetapi dengan kata-kata man jadda wajada ia bulatkan tekad dan berjuang. “Semakin dekat waktu pengumuman semakin kacau mimpi-mimpiku dan semakin tidak enak makanku. Pikiran-pikiran aneh muncul silih berganti. Bagaimana kalau aku tidak lulus? Bagaimana kalau nanti aku terpaksa menjadi guru mengaji di surau di dekat rumahku? Ini tentulah tugas yang mulia, tapi apakah aku akan tahan mengajari alif-ba-ta kepada anak-anak sekampungku? Aku coba usir kekhawatiran ini jauh-jauh dengan berdoa khusyuk atau sering memancing di pinggir danau seorang diri karena Randai sudah kembali ke Bandung.” RTW, 2011:27 Universitas Sumatera Utara Dari kedua kutipan di atas jelas bahwa Alif mengelami suatu perasaan yang was-was terhadap dirinya. Adanya suatu keputusan yang terucap dilisannya sementara hatinya masih merasa ragu dengan apa yang telah ia ucapkan. Berbagai konflik yang dialami Alif dan bentuk frustrasi yang menghambat kemajuannya untuk mencapai tujuan yang ingin ia raih adalah sumber dari kecemasan itu sendiri. Kegelisahan Alif telah menyatu dengan jiwanya. Kegelisahan sebagai akibat dari beban berat yang menekan batinya. Sebuah keinginan nya yang besar untuk lulus dari ujian UMPTN. Ia tak mampu membagikan bebannya kepada orang lain sehingga ia hanya bisa berdoa khusyuk dan bermain di danau seorang diri. Alif yang berhasil menjadi wakil dari provinsi Jawa Barat untuk mengikuti Program Pertukaran Pemuda Antar Negara akan menjalani seleksi tahap akhir yaitu di Cibubur untuk mengikuti pelatihan bersama calon pemuda dari seluruh provinsi di Indonesia. Aktivitas yang di ikuti oleh Alif selama pelatihan di Cibubur seperti belajar mendalami kebudayaan Indonesia, berdiplomasi, tari tradisional, serta baris berbaris. Pelatihan ini berlangsung selama tiga minggu sampai nantinya akan di umumkan siapa yang akan mewakili Indonesia ke Canada untuk menjalankan misi kepemudaan di negara tersebut. Seminggu menjelang keberangkatan, seluruh wakil pemuda dari seluruh provinsi mulai kasak-kusuk karena belum juga mendapatkan tiket pesawat. Mereka bertanya dalam hati mereka, akan mereka di berangkatkan? Dari isu yang mereka dapatkan dari para senior alumni, tiket belum bisa di konfirmasi karena mungkin di antara mereka ada yang gagal tes kesehatan. Seluruh peserta mengalamai ke Universitas Sumatera Utara khawatiran termasuk Alif. Seluruh peserta dikumpulkan di aula untuk mendengarkan siapa yang akan di berangkatkan dan yang tidak. “Napasku serasa menguap hilang dan dadaku seperti di cekik. Sejenak aku terdiam mematung. Namaku? Iya, tidak ada lagi yang bernama Alif. Ya Allah, kenapa harush aku? … Dengan menyeret kaki, aku melangkah juga ke depan, mengikuti Rinto dan Ema yang berjalan tersaruk-saruk. Otakku tiba-tiba terasa mampat oleh berbagai konsekuensi kegagalanku. Selain impianku melayang, apa kata Amak, apa kata Bang Togar, apa kata Raisa, apa kata kawan-kawan dikampusku? Aku akan malu besar karena sudah pamit akan ke Amrika. Mungkin yang paling bahagia adalah Randai. Kalau aku tidak berangkat, sebagai peserta cadangan pertama, dialah yang akan menggantikanku. Randai kawanku, Randai lawanku.” RTW, 2011:224-225 Dari kutipan di atas terlihat dengan jelas Alif yang merasakan kecemasan yang teramat dalam, ia cemas dengan ketidak lulusannya untuk pergi ke Amerika dikarenakan dari hasil tes kesehatan mengingat ia baru diserang penyakit typus dan Alif juga merasakan kecemasan terhadap orang tua nya karena telah mengecewakan Amak dengan tidak lulusnya ia selama pelatihan di Cibubur. Kecemasan lainnya yang dirasakan oleh Alif adalah seluruh kabar mengenai keberangkatannya ke Amerika sudah diberitahukannya ke sahabat-sahabat dekatnya.

5.7 Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama untuk Mengatasi Konflik Batin