alam yang ada di Maninjau serta keluarganya yang berada di sana, sampai akhirnya terbawa ke dalam mimpinya.
5.3 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari pemakaian energy Id, Ego dan Superego
Alif Fikri adalah siswa yang bersekolah di sekolah agama madrasah tsanawiyah, hasil nilai ujiannya termasuk sepuluh besar pada acara kelulusan. Menurutnya, tiga
tahun di sekolah agama cukup untuk mengetahui dasar-dasar agama yang ia pelajari dan bisa menjadi bekal kelak untuk menerapkannya di kehidupan dirinya. Alif
berpikir nilai yang cukup baik yang ia dapat adalah sebuah tiket untuk melanjutkan ke SMA terbaik yang ada di Bukittinggi.
Orang tua Alif mempunyai pemikiran yang berbeda tentang pendidikannya, ibunya menginkan Alif untuk melanjutkan ke sekolah agama. Keluarga Alif memang
dibesarkan dengan latar belakang agama yang kuat. Kakeknya adalah orang alim yang disegani di Maninjau. Ibunya mempunyai keinginan yang kuat agar anak laki-
lakinya menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas seperti Buya Hamka yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan mengajak orang
kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Ibu Alif sangat bersikeras agar Alif tidak melanjutkan pendidikan ke SMA. Bukan karena uang seperti apa yang
dipikirkan oleh Alif tapi keinginan dari sang ibu agar ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.
Alif berpikir tiga tahun di madrasah tsanawiyah sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Ia tidak ingin melanjutkan ke madrasah lagi. Bagi
Universitas Sumatera Utara
Alif kini saatnya ia mendalami ilmu non-agama. Kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Alif berkeinginan menjadi orang yang yang mengerti
teori-teori ilmu modern, tidak hanya ilmu fiqih dan ilmu hadits. Alif menginginkan suaranya didengar di depan civitas akademika, atau dewan gubernur atau rapat
manajer, bukan hanya berceramah di mimbar surau di kampungnya. Pemakian energi Id, Ego dan Superego dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agam. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomu,” tangkisku sengit.
“Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” “Tapi aku tidak ingin…”
“Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan menjadi pemimpin
umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.” “Tapi aku tidak mau.”
“Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat.”
“Tapi bukan salah ambo, orang tua lain mengirim anak yang kurang cadiak masuk madrasah…”
“Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA” “Tapi…”
“Tapi…” “Tapi…” NLM, 2009:9
Kutipan di atas, terlihat jelas bahwa ucapan ibunya telah menciptakan perasaan khawatir, takut, dan perasaan tidak nyaman dalam diri Alif. Ia kemudian
mengasumsikan ibunya adalah seorang yang tidak pernah mengerti dirinya, keinginan serta cita-citanya. Dengan demikian, kepatuhan Alif terhadap perintah ibunya berupa
pengabdian dirinya terhadap ibunya yang merupakan reaksi dan aksi atas ketidakmengertian ibunya, karena dibalik kepatuhan itu tersimpan perasaan tidak
nyaman dan kecewa. Dorongan naluri Alif yang bertujuan melawan otoritas ibunya tidak tercapai,
karena digagalkan oleh superegonya, nilai-nilai moral yang ada dalam diri Alif.
Universitas Sumatera Utara
Karena tindakan melawan otoritas ibunya yang akan dilakukan Alif ego merupakan sesuatu yang melanggar aturan-aturan dan moral, energi dari id-dorongan ini
kemudian merembes ke ego sehingga terjadi kecemasan dalam diri Alif. Ego kemudian menghadapi perembesan tersembunyi dari id yang mengancam masuk ke
dalam kesadaran atau tingkah laku dengan jalan menekan. Kesadaran ego itu oleh superego dipaksa keluar dari kesadaran kemudian ditempatkan dalam ketidaksadaran
id karena objek yang diinginkan itu dianggap tidak wajar tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada masyarakat umum, yang bisa membahayakan ego
dan orang lain. Oleh karena itu, objek yang diinginkan diubah dalam bentuk yang bisa diterima masyarakat umum, yaitu kepatuhan.
Karena merasa keinginannya tidak terpenuhi, maka Alif berusaha untuk menarik perhatian ibunya dengan melakukan mogok makan, dan mengurung diri
dalam kamarnya dan hanya keluar pada saat lapar. Hal tersebut dilakukan Alif agar ibunya merasa iba dan merubah keputusannya untuk mengijinkan Alif melanjutkan
pendidikannya di SMA. Tindakan-tindakan Alif itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Di tengah gelap, aku terus bertanya-tanya kenapa orangtua harus mengatur- atur anak. Di mana kemerdekaan anak yang baru belajar punya cita-cita?
Kenapa masa depan harus diatur orangtua? Aku bertekad melawan keinginan Amak dengan gaya diam dan mogok di dalam kamar gelap. Keluar hanya
untuk buang air dan mengambl sepiring nasi untuk dimakan di kamar lagi.”NLM, 2009:11
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa keinginan untuk untuk mendapatkan rasa nyaman id dihalangi oleh objek di luar dirinya yaitu kata-kata
ibunya, sehingga ego mengalami tegangan berupa perasaan kecewa terhadap ibunya.
Universitas Sumatera Utara
Alif yang berguru kepada Bang Togar untuk lebih mengasah kemampuannya dalam hal tulis menulis tidak lah mudah, ia harus berusaha keras agar tulisan awalnya
bisa diterima dan ia pun bisa menulis ke seluruh surat kabar dan majalah yang ada di Bandung nantinya. Alif diberi kesempatan kedua untuk membuktikan hasil karya
tulisan ilmiahnya dalam waktu empat jam, dan ia menerima tantangan ini, walaupun ia tahu didalam hatinya menyumpah dan terkadang tidak ikhlas setelah tulisan
pertamanya tidak berhasil menarik perhatian Bang Togar. “Tapi hatiku mencoba menenangkan perasaanku yang panas. Mungkin ini
bagian dari perjuangan menuntut ilmu. Bukan kah Imam Syafi’i pernah menasihati bahwa menuntut ilmu itu perlu banyak hal, termasuk tamak
dengan ilmu, waktu yang panjang, dan menghormati guru. Kalau dia guruku, aku harus hormat padanya dan bersabar menuntut ilmu darinya. Peduli amat,
banyak kok guru yang lain. Hatiku lalu bertanya: “Apa sih niatmu? Kalau ikhlas untuk belajar, ya ikhlaskan niatmu diajar dia.” Akhirnya aku ikhlas
saja, walau diperlakukan dengan keras. Hari ini aku sibuk sekali karena harus memperbaiki naskah, mengetik ulang, mengantar, dan dicoret bang Togar
lagi. Sampai berulang-ulang. Aku mulai merasa seperti bola yang dihempaskan ke dinding tembok, memantul, diempaskan lagi, dan memantul
lagi.” RTW, 2011:76
Dari kutipan diatas energi Id yang dimiliki Alif adalah perasaan tidak nyaman karena di anggap tidak mampu untuk menulis suatu karya ilmiah, namun ia tetap
mematuhi semua yang diperintah kan untuk dirinya untuk memperbaiki tulisan tersebut. Satu sisi Alif merasakan adanya penolakan dalam dirinya tapi lain sisi ia
ikhlas untuk menjalankan ini semua. Untuk pemakian energi Ego yang dimiliki Alif adalah ia merasa penuh dengan keyakinan seperti yang di ucapkan oleh Imam Syafii
untuk tamak dengan ilmu dan butuh waktu yang panjang dan menghormati guru. Dari sini lah Alif dapat menenangkan perasaan yang panas. Superego yang dimiliki
Alif dapat terlilhat ketika ia menyesalkan tindakan Bang Togar semena-mena terhadap tulisan yang ia sudah kerjakan semalam suntuk yang hasilnya tidak telalu
Universitas Sumatera Utara
bagus, dan Alif yang memperbaiki tulisannya, mengantar sampai berulang-ulang sampai tulisan tersebut berhasil merebut hati Bang Togar.
5.4 Kepribadian Alif Fikri ditinjau dari Insting Hidup