1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya tidak lepas dari interaksi sosial dengan sesama manusia lainnya. Seiring dengan keseharian
manusia yang terus berinteraksi, membentuk sebuah peradaban. Kemudian dari peradaban tersebut lahirlah berbagai bentuk kebudayaan yang kemudian
memunculkan bermacam-macam fenomena. Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang 2009:2-3 menerangkan
kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara hidup manusia ningen no seikatsu no itonami kata. Ienaga menjelaskan bahwa
kebudayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan
seni, oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.
Dari kebudayaan yang memadukan ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni tumbuhlah kejadian-kejadian baru dikalangan masyarakat yang disebut
dengan fenomena budaya. Dalam pemahaman Edmund Husserl, ia menyatakan bahwa zainabzilullah.wordpress.com20130120pemikian-fenomenologi-
menurut-edmund-husserl fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-
2
pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarankan fokus utama filsafat hendaknya
tertuju kepada penyelidikan tentang Labenswelt dunia kehidupan atau Erlebnisse kehidupan subjektif dan batiniah. Fenomenologi sebaiknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas
pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain Kuswarno, 2009 : 2
Jepang merupakan salah satu Negara maju di dunia. Selain memiliki kemajuan dalam bidang teknologi, industry dan ekonomi, Jepang pun dikenal
nyata sebagai suatu tempat yang dipenuhi oleh orang-orang dengan berbagai perbedaan dan keunikan yang mengacu pada pemikiran barat. Masyarakat Jepang
saat ini pun tidak sedikit yang mengambil unsur-unsur dari Budaya Barat dan menerapkannya pada kehidupan mereka. Meskipun tidak sedikit pula yang tetap
mempertahankan kebudayaan aslinya. Akibat dari kemajuan itu maka terjadilah modernisasi di Jepang, baik yang berdampak positif maupun negatif. Dampak
positif akibat terjadinya modernisasi ialah kemajuan teknologi, industri serta perekonomian. Sedangkan salah satu dampak negatif dari modernisasi adalah
merebaknya paham konsumerisme yang melanda para remaja. Sejak dulu masalah konsumerisme,fashion, dan prostitusi tidak pernah habis dibahas dalam kehidupan
orang Jepang.
3
Seiring dengan berkembangnya budaya pop popular menjadikan Jepang sebagai salah satu Negara konsumer fashion terbesar. Kehidupan para remaja kota
besar Jepang yang identik dengan keglamouran, mengakibatkan kecenderungan untuk konsumtif dalam memenuhi kebutuhan yang mendukung eksistensi mereka
tetap dilihat. Membeli barang-barang berlabel terkenal merupakan sesuatu hal yang dianggap perlu dilakukan. Ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi,
para remaja pun kerap berganti-ganti telepon genggam yang memiliki fitur-fitur yang lebih maju. Tidak hanya telepon genggam saja, notebook, peralatan software
dan video game pun sudah menjadi hal yang wajib dimiliki. Para remaja kini mulai mencari identitasnya di sekolah dan di luar rumah.
Seperti halnya Negara maju lainnya, Jepang pun banyak mengalami fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat apalagi
dikalangan remaja. Trend dan gaya hidup berputar sangat cepat sehingga menimbulkan hal-hal baru yang membuat orang sekitar menjadi gagap budaya.
Suasana gagap budaya itu menimbulkan suatu keadaan yang nantinya mampu menimbulkan persepsi yang berbeda tentang penyimpangan perilaku. Salah
satunya penyimpangan hubungan seks yang terjadi diluar pernikahan yang dilakukan oleh remaja Jepang atau lebih dikenal dengan istilah
Enjo Kōsai.
Kata Enjo Kōsai 援助交際 sendiri menurut kamus Matsuura Kenji
adalah pergaulan saling membantu. Tetapi ternyata kata Enjo Kōsai 援助交際
mempunyai arti lain di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Enjo Kōsai 援助交
際 adalah kegiatan atau praktek yang dilakukan oleh para remaja putri yang dibayar oleh laki-laki tengah umur dengan menemani mereka berkencan ataupun
4
sampai berhubungan seks untuk mendapatkan imbalan berupa uang ataupun barang-barang bermerk. Jamie Smith, 1998 : para.7. Sebenarnya ini bukan
merupakan masalah baru di Jepang. Pada tahun 1973, di era pemerintahan Shogun Tokugawa, pemerintah melegalkan untuk menjual anak perempuan mereka ke
dalam prostitusi. Akan tetapi hal itu mereka lakukan untuk mencari uang supaya keluarganya dapat bertahan hidup Garon Sheldon, 1993 : 710. Berbeda halnya
dengan Enjo Kōsai, anak remaja yang terlibat dalam Enjo Kōsai sebagian besar
tidak mempunyai kesulitan dalam bidang ekonomi. Mereka melakukan hal itu hanya untuk mendapatkan banyak uang saja dan tidak ada yang salah dengan
melakukan Enjo Kōsai Ben Hills, 1996 : 11.
Bila kita membicarakan Enjo Kōsai maka kita tidak akan lepas dengan
gadis remaja Jepang yang disebut dengan Kogyaru atau Kogals Jamie Smith 1998, para.7. Etimilogis dari kata Kogals adalah Koukou 高校 yang berarti
sekolah menengah umum SMU tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Ko dari kata Kogyaru adalah Ko 子 yang berarti anak, sedangkan kata Gals berasal
dari saluran bahasa Inggris slank yang berarti perempuan. Kogals atau Kogyaru identik dengan fashion yang menjadi dasar identitas para remaja. Kogals mudah
dikenali karena mereka umumnya mengenakan pakaian yang unik seperti memakai sepatu boot yang tinggi atau hak sepatu yang tebal, rok mini, dan tidak
sedikit yang memakai tata rias wajah yang menarik perhatian. Selain itu mereka umumnya mewarnai rambut mereka dengan warna pirang atau blond. Kyoko
Fujitani, 2000 : 22 Banyak yang mengkritik keberadaan Kogyaru karena tidak sedikit dari mereka yang terlibat dengan
Enjo Kōsai untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup mereka.
5
Enjo Kōsai merupakan suatu fenomena sosial menarik. Disamping karena pelakunya adalah remaja sekolah dengan klien yang rata-rata berusia paruh baya,
para gadis yang melakukan Enjo Kōsai menjual tubuhnya dengan sukarela tanpa
paksaan atau dorongan dari apapun atau siapapun. Keberadaan Enjo Kōsai ini
juga berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Jepang dewasa ini. Tentunya
Enjo Kōsai ini memiliki pengaruh positif dan negatif bagi pelaku maupun masyarakat. Dimulai dari pengaruh terhadap diri sendiri, dilihat dari segi
negatif, pelaku akan di kucilkan dalam pergaulan di masyarakat, pandangan masyarakat yang menilai bahwa pelaku
Enjo Kōsai ini merupakan jamur yang merusak pergaulan remaja Jepang, sedangkan pengaruh positifnya bagi si pelaku
ialah dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk gaya hidup konsumtif. Dan karena kepopuleran fenomena
Enjo Kōsai ini, Enjo Kōsai banyak diangkat kedalam dunia sastra, film dan dokumentasi di Jepang.
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis tentang fenomena
Enjo Kōsai lebih lanjut dikarenakan Enjo Kōsai yang sifatnya menyebar dan tidak terorganisir ini, telah menjadi suatu fenomena di kalangan
remaja Jepang dan penulis menuangkannya dalam penulisan skripsi yang diberi judul
“Fenomena Enjo Kōsai di Jepang Dewasa Ini”
1.2 Perumusan Masalah